Friday, April 13, 2018

√ Sejarah Pelaksanaan Pemilu Di Indonesia Dari Era Ke Era (1955-2014)

Indonesia telah menyelenggarakan 11 kali pemilihan umum. Khususnya untuk pemilihan anggota dewan legislatif (baik sentra maupun daerah) digunakan jenis Proporsional, yang kadang berbeda dari satu pemilu ke pemilu lain. Perbedaan ini akhir sejumlah faktor yang mempengaruhi ibarat jumlah penduduk, jumlah partai politik, demam isu kepentingan partai ketika itu, dan juga jenis sistem politik yang tengah berlangsung.

Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu, Norris menyampaikan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik tergantung pada sistem pemilu yang berkembang di sebuah negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang terkenal sehingga punya elektabilitas yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (penyanyi, lawak, sinetron) yang tergiur untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik. Daftar terbuka memungkinkan seorang kandidat mendapat contrengan lebih banyak ketimbang calon lainnya dalam partai yang sama. Bagi partai politik, populernya seorang caleg menciptakan pilihan pemilih terfokus kepada partainya ketimbang kepada partai-partai politik lain.

Di Indonesia pula, undang-undang pemilu yang terakhir mensyaratkan seluruh parpol menyertakan minimal 30% kandidat perempuan. Hal ini membuka kemungkinan yang lebih besar bagi wanita untuk menjadi legislator. Namun, di sisi lain partai politik sangat selektif terhadap caleg perempuan: Hanya caleg wanita yang memenuhi kriteria tertentu (akademik, populer, cantik) yang benar-benar masuk ke dalam 30% kandidat partai mereka. Sehingga tingkat persaingan antar caleg wanita juga besar ibarat antar caleg laki-laki.

Untuk mempersingkat wakti, berikut ini pribadi saja akan kami paparkan perihal sejarah perjalanan pemilihan umum di Indonesia dari waktu ke waktu serta hasil pelaksanaannya :

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1955

 Khususnya untuk pemilihan anggota dewan legislatif  √ Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa (1955-2014)
Ilustrasi Pemilihan Umum Tahun 1955

Pemilu 1955 yaitu pemilihan umum pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wapres Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun (menurut Maklumat) harus diadakan secepat mungkin. Namun, akhir belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga ricuhnya politik dalam negeri ibarat pemberontakan), Pemilu tersebut gres diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.

Landasan aturan Pemilu 1955 yaitu Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan menentukan anggota bikameral, Anggota dewan perwakilan rakyat dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan yaitu proporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu sebagai berikut:
  • Jumlah anggota konstituante yaitu hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas.
  • Jumlah anggota konstituante di masing-masing kawasan pemilihan yaitu hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 150.000. Jumlah anggota konstituante di masing-masing kawasan pemilihan yaitu bilangan bundar hasil pembagian tersebut, seandainya kurang dari 6, dibulatkan menjadi 6. Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
  • Seandainya dengan cara poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota konstituante ibarat di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang mendapat jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali kawasan pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 dingklik itu
  • Penetapan jumlah anggota dewan perwakilan rakyat seluruh Indonesia yaitu total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas.
  • Jumlah anggota dewan perwakilan rakyat di masing-masing kawasan pemilihan yaitu hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000. Jumlah anggota dewan perwakilan rakyat di masing-masing kawasan pemilihan yaitu bilangan bundar hasil pembagian tersebut, Seandainya kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3. Sisa jumlah anggota dewan perwakilan rakyat dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing.
  • Seandainya dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota dewan perwakilan rakyat ibarat di poin ke empat, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali kawasan pemilihan yang telah mendapat jaminan 3 dingklik itu.

Terdapat dua putaran pada pemilu 1955. Pertama untuk menentukan anggota dewan perwakilan rakyat pada tanggal 29 September 1955. Kedua untuk menentukan anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu untuk menentukan anggota dewan perwakilan rakyat diikuti 118 parpol atau adonan atau perseorangan dengan total bunyi 43.104.464 dengan 37.785.299 bunyi sah. Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah bunyi sah meningkat menjadi 37.837.105 suara.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1971

Pemilu tahun 2971 merupakan Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini dilaksanakan tanggal 3 juli 1971 dengan menggunakan sistem gabungan. Landasan operasional Pemilu tahun 1971 yaitu Ketetapan MPRS Nomor. XLII / MPRS/1968 (Perubahan dari Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966), Undang Undang Nomor 15 tahun 1969 perihal Pemilu dan Undang Undang Nomor 16 tahun 1969 perihal Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Pemilu 1971 ditujukan untuk menentukan anggota DPR. Pemilu tahun 1971 menghasilkan Golkar, NU, Parmusi, PNI, dan PSII Sebagai partai peraih bunyi terbanyak. Pemilu tahun 1971 sendiri dilaksanakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ditujukan menentukan 460 anggota dewan perwakilan rakyat dimana 360 dilakukan melalui pemilihan pribadi oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.

Untuk pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia. Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Untuk menentukan anggota dewan perwakilan rakyat kawasan pemilihannya yaitu Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000 penduduk mempunyai satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi minimal mempunyai wakil minimal sejumlah kawasan tingkat II (kabupaten/kota) di wilayahnya. Setiap kawasan tingkat II minimal punya satu orang wakil.

Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar sebesar 58.179.245 orang dengan bunyi sah mencapai 54.699.509 atau 94% total suara. Dari total 460 orang anggota dewan legislatif yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional ibarat tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga dingklik Golkar meroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin pria 426 dan wanita 34 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1977

Dasar aturan Pemilu 1977 yaitu Undang-undang No. 4 Tahun 1975. Pemilu ini diadakan sehabis fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna mempunyai dewan legislatif unicameral yaitu dewan perwakilan rakyat di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.

Persyaratan untuk ikut serta sebagai pemilih yaitu berusia sekurangnya 17 tahun atau pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa Indonesia, bisa baca-tulis latin, sekurangnya lulusan Sekolah Menengan Atas atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Voting dilakukan di 26 provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).

Jumlah pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya 63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar mendapat bunyi 39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP mendapat bunyi 18.743.491 (29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI mendapat 5.504.757 bunyi (8,60%) dan memperoleh 29 kursi. Sementara itu, dingklik jatah ABRI yaitu 75 dingklik dan golongan fungsional 25 kursi. Golongan fungsional kemudian menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar sehingga dingklik untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota dewan legislatif pria 426 orang sementara wanita 34 orang (7,40%).

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1982

Pemilihan umum tahun 1982 dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980. Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama ibarat Pemilu 1977 di mana hendak menentukan anggota dewan perwakilan rakyat (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih pribadi oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Voting dilakukan di 27 kawasan pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai mendapat dingklik berdasarkan pembagian total bunyi yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient di masing-masing wilayah.

Jumlah total pemilih yang terdaftar dalam pemilu 1982 yaitu 82.132.263 orang dengan jumlah bunyi sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Golkar mendapat 48.334.724 bunyi (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246 dingklik parlemen. PPP mendapat 20.871.880 bunyi (25,54%) sehingga berhak untuk mendapat 94 dingklik parlemen. PDI mendapat 5.919.702 bunyi (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 dingklik parlemen.

Sedangkan anggota dewan perwakilan rakyat yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional kemudian bergabung dengan Golkar sehingga dingklik dewan legislatif Golkar naik menjadi 267 dingklik dan menjadi sangat dominan. Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin pria sejumlah 422 dan wanita 38 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1987

Pemilu 1987 dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Republik Indonesia pada tanggal 23 April 1987 dengan menggunakan sistem Proporsional dengan varian Party-List. Landasan operasional Pemilu tahun 1987 yaitu Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1983, Undang - Undang Nomor 1 tahun 1985 dan Keputusan Presiden Nomor 70 tahun 1985.

Peserta Pemilu tahun 1987 sama dengan Pemilu 1982. Sebelum Pemilu 1987 dilaksanakan, pemerintah melalui Undang - Undang Nomor 3 tahun 1985 perihal Partai Politik dan Golkar memutuskan bahwa Pancasila menjadi satu - satunya asas bagi setiap partai politik dan Golkar, sehingga Partai Persatuan Pembangunan yang semula berlambang Ka’bah diganti dengan lambang Bintang.

Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu menentukan anggota dewan legislatif atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya seluruh Indonesia untuk Periode 1987 - 1992. Total dingklik yang tersedia yaitu 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara pribadi dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto.

Total pemilih yang terdaftar yaitu sekitar 94.000.000 dengan total bunyi sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%. Golkar mendapat 62.783.680 bunyi (73,16%) sehingga berhak atas 299 dingklik parlemen. PPP mendapat 13.701.428 bunyi (15,97%) sehingga berhak atas 61 dingklik parlemen. PDI mendapat 9.384.708 bunyi (10,87%) sehingga berhak atas 40 dingklik parlemen. Jumlah anggota dewan legislatif dari ABRI yang diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan fungsional 25 orang (kursi). Jumlah anggota dewan legislatif yang berjenis kelamin pria yaitu 443 sementara yang wanita 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota dewan legislatif berusia 21-30 tahun yaitu 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.

Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan melorotnya perolehan kursu PPP, yakni hilangnya 33 dingklik dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya memperoleh 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain alasannya dihentikan lagi partai itu menggunakan asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka’bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Disisi lain Golkar mendapat suplemen 53 dingklik sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 sanggup dikatakan mulai akrab dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, sukses menambah perolehan dingklik secara signifikan dari 30 dingklik pada Pemilu 1982 menjadi 40 dingklik di Pemilu 1987 ini.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1992

Pemilu 1992 merupakan Pemilu kelima pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilu 1992 di laksanakan pada tanggal 9 Juni 1992 dengan menggunakan Sistem Pemilu ibarat pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Landasan operasional Pemilu 1992 yaitu Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1988, Undang – Undang Nomor 1 tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu :
  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
  2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
  3. Golongan Karya (Golkar)
Sebagai Pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini yaitu Golongan Karya.

Tujuan Pemilu 1992 yaitu menentukan secara pribadi 400 dingklik DPR. Total pemilih yang terdaftar yaitu 105.565.697 orang dengan total bunyi sah yaitu 97.789.534. Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar mendapat 66.599.331 bunyi (68,10%) sehingga berhak atas 282 dingklik parlemen. PPP mendapat 16.624.647 bunyi (17,01%) sehingga berhak atas 62 dingklik parlemen. PDI mendapat 14.565.556 bunyi (10,87%) sehingga berhak atas 56 dingklik parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk golongan fungsional.

Komposisi anggota dewan perwakilan rakyat totalnya yaitu 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin pria yaitu 439 orang sementara wanita 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota dewan perwakilan rakyat ini yaitu 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1997

Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini yaitu menentukan 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh dingklik parlemen.

Hasil Pemilu 1997 yaitu Golkar mendapat 84.187.907 bunyi (74,51%) sehingga berhak atas 325 dingklik parlemen. PPP mendapat 25.340.028 bunyi (22,43%) sehingga berhak atas 89 dingklik parlemen. PDI mendapat 3.463.225 bunyi (3,06%) sehingga berhak atas 11 dingklik parlemen. Anggota dewan legislatif yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang (kursi). Sehingga total anggota dewan legislatif 500 orang.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 1999

Pemilu 1999 yaitu pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai akseptor tidak lagi dibatasi ibarat pemilu-pemilu kemudian yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga rancangan undang-undang selaku dasar aturan dilaksanakannya pemilu 1999, yaitu RUU perihal Partai Politik, RUU perihal Pemilu, dan RUU perihal Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dari Institut Ilmu Pemerintahan. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 perihal Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.

Dalam pemilihan anggota DPR, kawasan pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) yaitu Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang merupakan satu kawasan pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati II yang merupakan satu kawasan pemilihan. Jumlah dingklik anggota dewan perwakilan rakyat untuk tiap kawasan pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 dingklik yang penetapannya dilakukan oleh KPU.

Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah dingklik DPRD I minimal 45 dan maksimal 100 kursi. Jumlah dingklik tersebut ditentukan oleh besaran penduduk.
  • Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi.
  • Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 - 7.000.000 mendapat 55 kursi.
  • Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 - 7.000.000 mendapat 65 kursi.
  • Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 - 9.000.000 mendapat 75 kursi.
  • Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 - 12.000.000 mendapat 85 kursi.
  • Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100 kursi.

Undang-undang juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1 dingklik untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU.
  • Dati II berpenduduk hingga 100.000 mendapat 20 kursi.
  • Dati II berpenduduk 100.001 - 200.000 mendapat 25 kursi.
  • Dati II berpenduduk 200.001 - 300.000 mendapat 30 kursi.
  • Dati II berpenduduk 300.001 - 400.000 mendapat 35 kursi.
  • Dati II berpenduduk 400.001 - 500.000 mendapat 40 kursi.
  • Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi.
Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 dingklik di DPRD II. KPU yaitu pihak yang memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.

Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM yaitu 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 yaitu 48 partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak ibarat pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami kendala dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu: PARI, PSP, PUMI, SPSI, Murba, PID, PPI, PRD, PADI, PKM, PND, PUDI, PBN, Partai SUNI, PNBI, Partai MKGR, PIB, PKD, PAY, Krisna, Partai KAMI, Masyumi, PNI Supeni, PBI, PDI, Partai Keadilan dan PNU.

Karena penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian kasus kepada Panitia Pengawas Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden kemudian memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui kesannya tanggal 26 Juli 1999.

Masalah selanjutnya yaitu pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul yaitu pembagian dingklik sisa. Partai-partai beraliran Islam melaksanakan stembus-accord (penggabungan sisa suara) berdasarkan hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya mendapat 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melaksanakan stembus-accord tersebut mengklaim bisa memperoleh 53 dari 120 dingklik sisa.

Perbedaan pendapat ini kemudian diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik akseptor pemilu 1999 menyarankan voting. Voting ini terdiri atas dua opsi. Pertama, pembagian dingklik sisa dihitung dengan memperhatikan bunyi stembus-accord. Kedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 bunyi mendukung opsi pertama, dan 43 bunyi mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melaksanakan walk-out. Keputusannya, pembagian dingklik dilakukan tanpa stembus-accord. Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan bunyi ini masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu alasannya Mahkamah Konstitusi belum lagi terbentuk.

Total jumlah bunyi partai yang tidak menghasilkan dingklik 9.700.658 atau meliputi 9,17% bunyi sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh dingklik seimbang dengan bunyi yang diperolehnya di kawasan pemilihan, termasuk perolehan dingklik berdasarkan the largest remainder (sisa dingklik diberikan kepada partai-partai yang punya sisa bunyi terbesar).
Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 ialah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih berdasarkan pada rangking perolehan bunyi suatu partai di kawasan pemilihan. Jika semenjak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan bunyi terbesar atau terbanyak dari kawasan di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, bila dari daerahnya ia dan partainya mendapat bunyi terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan bunyi di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.

Dari total 500 anggota dewan perwakilan rakyat yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin pria dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase anggota dewan perwakilan rakyat yang berjenis kelamin wanita hanya meliputi 8% dari total.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 2004

Pemilihan Umun Indonesia 2004 yaitu Pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk menentukan Presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar – benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pemilu 2004 sekaligus menerangkan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang digunakan oleh pemerintah Indonesia. Pada Pemilu ini, rakyat sanggup menentukan pribadi Presiden dan Wapres (sebelumnya Presiden dan Wapres dipilih oleh MPR yang anggota - anggotanya dipilih melalui Presiden).

Selain itu, pada pemilu ini pemilihan Presiden dan Wapres tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999). Pada Pemilu ini, yang dipilih yaitu pasangan calon (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden), bukan calon Presiden dan calon Wapres secara terpisah. Landasan operasional Pemilu 2004 adalah:
  • Undang - Undang RI Nomor 23 tahun 2003 perihal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
  • Undang - Undang RI Nomor 22 perihal Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Daerah.
  • Undang - Undang RI Nomor 12 tahun 2003 tantang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sistem pemilu yang digunakan yaitu Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar yaitu sistem pemilihan mengikuti jatah dingklik di tiap kawasan pemilihan. Jadi, bunyi yang diperoleh partai-partai politik di tiap kawasan selaras dengan dingklik yang mereka peroleh di parlemen. 

Pelaksanaan Pemilu tahun 2004 dilakukan dalam tiga tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Pemilu Legislatif
Pemilu Legislatif yaitu tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 Partai Politik, dan dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk menentukan partai politik (sebagai persyaratan Pemilu Preside) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat dan DPRD. Pemilu tahap pertama juga ditujukan untuk menentukan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Partai – Partai Politik yang memperoleh bunyi lebih besar atau sama dengan tiga persen sanggup mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu Presiden putaran pertama. Pemilu Legislatif tahun 2004 menempatkan kembali Golkar sebagai peraih bunyi terbanyak disusul PDIP, PPP, Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PKS.

2. Pemilu Presiden Putaran Pertama
Setelah Pemilu Legislatif selesai, partai yang mempunyai bunyi lebih besar atau sama dengan tiga persen sanggup mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya untuk maju ke Pemilu Presiden Putaran Pertama. Apabila dalam Pemilu ini ternyata ada pasangan calon yang memperoleh bunyi lebih dari 50 persen, maka pasangan calon itu pribadi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Selebihnya, Pemilu Presiden putaran kedua akan diselenggarakan dengan ua pasangan calon yang memperoleh bunyi terbanyak. Pemilu prresiden putaran pertama 2004 ini diikuti oleh 5 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004.

Ada lima pasangan calon Presiden dan calon Wapres yang dicalonkan di Pemilu Presiden putaran pertama, yaitu :
  1. H. Wiranto, SH. Dan Ir.H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya).
  2. Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
  3. Prof. Dr.H.M. Amien Rais dan Dr.Ir.H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional).
  4. DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia).
  5. Dr.H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan).
Hasil Pemilu ini diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dengan hasil ini masih perlu diadakan Pemilu Presiden putaran kedua alasannya belum adanya pasangan calon yang mendapat bunyi paling tidak 50 persen.

3. Pemilu Presiden Putaran Kedua
Sesuai hasil Pemilu Presiden putaran pertama di atas, yaitu belum ada pasangan calon yang memperolehan bunyi lebih dari 50 persen, maka diadakanlah Pemilu Presiden putaran kedua. Pasangan – pasangan calon yang mengikuti Pemilu Presiden putaran kedua ini yaitu dua pasangan calon dengan yang memperoleh bunyi terbanyak pada Pemilu Presiden putaran pertama 2004 yang lalu. Pemilu ini diadakan pada tanggal 20 September 2004.

Ada dua Pasangan calon Presiden dan Wapres yang memperoleh bunyi terbanyak pada Pemilu Presiden putaran pertama yang dicalonkan di Pemilu Presiden Putaran kedua, yaitu :
  1. Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh partai Demokrasi Indonesia Perjuangan).
  2. DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia).

Hasil Pemilu Presiden putaran kedua telah dihitung dan diumumkan oleh KPU pada tanggal 4 Oktober 2004 melalui Keputusan KPU Nomor 98/SK/KPU/2004. Pada putaran kedua ini, pasangan DR.H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs.H. Muhammad Jusuf Kalla berhasil memperoleh bunyi terbanyak mengalahkan pasangan Hj. Megawati Soekarno Putri dan KH.Ahmad Hasyim Muzadi. Dengan demikian pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan menjadi Presiden dan Wapres RI menggantikan Presiden dan Wapres Hj. Megawati Soekarno Putri dan Dr.H. Hamzah Haz. Pelantikannya sendiri dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2004 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 2009

Pemilu 2009 dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 2008. Jumlah dingklik dewan perwakilan rakyat ditetapkan sebesar 560 di mana kawasan dapil anggota dewan perwakilan rakyat yaitu provinsi atau potongan provinsi. Jumlah dingklik di tiap dapil yang diperebutkan minimal tiga dan maksimal sepuluh kursi. Ketentuan ini berbeda dengan Pemilu 2004.
Pemilihan Presiden
Pemilu Presiden tahun 2009 menggunakan Two Round System. Artinya, bila pada putaran pertama tidak terdapat pasangan yang menang 50 plus 1 atau merata persebaran bunyi di lebih dari setengah kawasan pemilihan maka konsekuensinya harus diadakan putaran kedua. Untungnya, dana negara tidak terbuang sia-sia alasannya pemilu Presiden 2009 ini cuma berlangsung satu putaran saja. Pilpres yang direkapitulasi oleh KPU pada 22 - 4 Juli 2009 ini diikuti oleh tiga pasang calon yaitu: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto. Hasil Pilpres resmi KPU menghasilkan data berikut:
  1. SBY-Boediono (73.874.562 atau 60,80%)
  2. Megawati-Prabowo (32.548.105 atau 26,79%)
  3. JK-Wiranto (15.081.814 atau 12.41%)

Dengan demikian, pasangan SBY-Boediono keluar sebagai pemenang Pemilihan Presiden tahun 2009 dan sah untuk mengatur manajemen negara kesatuan Republik Indonesia dari 2009 hingga 2014.

Pemilihan Legislatif
Menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 10 tahun 2008, jumlah dingklik untuk anggota DPRD Provinsi minimal tiga puluh lima dan maksimal seratus kursi. Jumlah ini ditentukan melalui perhitungan jumlah penduduk wilayah provinsi masing-masing dimana:
  1. provinsi berpenduduk minimal 1.000.000 mendapat alokasi 35 kursi.
  2. provinsi berpenduduk 1.000.000–3.000.000 mendapat alokasi 45 kursi.
  3. provinsi berpenduduk 3.000.000–5.000.000 mendapat alokasi 55 kursi.
  4. provinsi berpenduduk 5.000.000–7.000.000 mendapat alokasi 65 kursi.
  5. provinsi berpenduduk 7.000.000–9.000.000 mendapat alokasi 75 kursi.
  6. provinsi berpenduduk 9.000.000–11.000.000 mendapat alokasi 85 kursi.
  7. provinsi berpenduduk di atas 11.000.000 mendapat alokasi 100 kursi.
Selanjutnya pasal 24 undang-undang ini menyebutkan bahwa kawasan pemilihan anggota DPRD Provinsi yaitu kabupaten atau kota atau adonan kabupaten atau kota di mana jumlah dingklik setiap kawasan pemilihan anggota DPRD provinsi sama dengan pemilu 2004.

Daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten atau kota yaitu kecamatan atau adonan kecamatan yang jumlahnya sama ibarat pemilu 2004. Jumlah dingklik DPRD kabupaten atau kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50 kursi, yang besaran kursinya ditentukan oleh:
  1. wilayah berpenduduk hingga 100.000 mendapat alokasi 20 kursi.
  2. wilayah berpenduduk 100.000–200.000 mendapat alokasi 25 kursi.
  3. wilayah berpenduduk 200.000–300.000 mendapat alokasi 30 kursi.
  4. wilayah berpenduduk 300.000–400.000 mendapat alokasi 35 kursi.
  5. wilayah berpenduduk 400.00–500.000 mendapat alokasi 40 kursi.
  6. wilayah berpenduduk 500.000–1.000.000 mendapat alokasi 45 kursi.
  7. wilayah berpenduduk > 1.000.000 mendapat alokasi 50 kursi.

Pemilihan DPD
Untuk pemilihan anggota DPD ditetapkan 4 dingklik bagi setiap provinsi. Provinsi yaitu kawasan pemilihan untuk anggota DPD. Dan dengan demikian dengan total provinsi sejumlah 33, jumlah anggota DPD Indonesia yaitu 132 orang.

Pemilu 2009 masih menggunakan sistem yang ibarat dengan Pemilu 2004. Namun, electoral threshold dinaikkan menjadi 2,5%. Artinya, partai-partai politik tatkala masuk ke perhitungan dingklik caleg hanya dibatasi bagi yang berhasil mengumpulkan komposisi bunyi di atas 2,5%. Pemilu ini pun ibarat dengan Pemilu 1999 di mana 48 partai ikut berlaga dalam kompetisi dagang janji ini.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu 2014

Pelaksanaan pemilu tahun 2014 terdiri dari pemilihan legislatif yang bertujuan untuk menentukan anggota DPR, DPRD, dan DPD, serta pemilihan presiden. Pemilihan Legislatif dilakukan pada tanggal 9 April 2014 sedangkan Pemilihan Presiden dilakukan pada tanggal 9 Juli 2014, bila kesannya mengharuskan dua putaran, maka akan dilakukan di bulan september 2014.

Pemilu tahun 2014 diselenggarakan berdasarkan:
  1. Undang-Undang 32/2004 perihal Pemerintahan Daerah (mencakup pemilu kepala daerah
  2. Undang-Undang 42/2008 perihal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
  3. Undang-Undang 27/2009 perihal Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  4. Undang-Undang 2/2011 perihal Partai Politik
  5. Undang-Undang 15/2011 perihal Penyelenggara Pemilihan Umum
  6. Undang-Undang 8/2012 perihal Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dewan perwakilan rakyat terdiri dari 560 anggota yang berasal dari 77 kawasan pemilihan berwakil beragam (multi-member electoral districts) yang mempunyai tiga hingga sepuluh dingklik per kawasan pemilihan (tergantung populasi penduduk dapil terkait) yang dipilih melalui sistem proporsional terbuka. Ambang batas dewan legislatif sebesar 3,5 persen berlaku hanya untuk dewan perwakilan rakyat dan tidak berlaku untuk DPRD. Sedangkan DPD mempunyai 132 perwakilan, yang terdiri dari empat orang dari masing-masing provinsi (dengan jumlah provinsi 33), yang dipilih melalui sistem mayoritarian dengan varian distrik berwakil banyak (single non-transferable vote, SNTV).

Untuk Pemilu 2014, UU 8/2012 mempertahankan diwajibkannya kuota minimal 30 persen calon wanita untuk daftar calon yang diajukan dan satu calon wanita dalam setiap tiga calon secara berurutan dari awal daftar calon. Kedua ketentuan ini kini mempunyai bahaya hukuman bila gagal dipenuhi partai politik yang gagal memenuhi kuota tersebut akan dicabut haknya sebagai akseptor pemilu di kawasan pemilihan di mana kuota tersebut gagal dipenuhi.

Penyelenggara pemilihan umum yang berdasarkan undang-undang dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan forum yang bertanggung jawab mengawasi supaya somasi terkait pemilu ditujukan kepada tubuh yang sempurna dan diselesaikan secara benar, secara umum, pelanggaran bersifat kriminal dirujuk kepada polisi dan pengadilan biasa, dan pelanggaran manajemen kepada KPU. UU 8/2012 perihal Pemilihan Umum Legislatif menawarkan Bawaslu wewenang pemutusan masalah dalam sengketa antara KPU dan akseptor Pemilu.Putusan Bawaslu bersifat final terkecuali untuk hal-hal terkait registrasi partai politik dan calon legislatif akseptor pemilu.

Sedangkan pelanggaran serius yang mempengaruhi hasil pemilu diajukan secara pribadi kepada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan dalam UU 15/2011 mengatur bahwa Bawaslu dan KPU yaitu forum yang setara dan terpisah. Anggota Bawaslu dipilih oleh komite seleksi yang sama dengan komite yang menentukan anggota KPU. UU 15/2011 juga memutuskan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). DKPP yaitu dewan sopan santun tingkat nasional yang ditetapkan untuk menyelidiki dan memutuskan somasi dan/atau laporan terkait tuduhan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU atau Bawaslu.


Sekian artikel mengenai Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa (1955-2014). semoga artikel ini sanggup bermanfaat bagi teman baik untuk mengerjakan tugas, maupun untuk sekedar menambah wawasan perihal pemilu di indonesia, pelaksanaan pemilu di indonesia, pemilu pada masa orde gres dan sistem pemilu di indonesia, Terimakasih atas kunjungannya.

Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa (1955-2014)
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR


Sumber http://www.markijar.com/