Pengobatan dengan Menggunakan Zat yang Haram
A. Pengertian
Pengobatan yaitu upaya insan untuk memulihkan kesehatannya dari gangguan penyakit tertentu.[1] Dan ada kalanya pengobatan tersebut menggunakan zat yang hukumnya haram dipakai, yang disebut al-tadawa bi al-muharram, misalnya menggunakan minuman keras dan lain-lain dari benda atau zat yang haram hukumnya.
B. Hukum
Menjadi kewajiban moral (kewaiban akhlaki) bagi setiap umat. Islam untuk menjaga dan memelihara dirinya serta mengobati penyakit yang dideritanya. Termasuk dihentikan makan darah, bangkai serta masakan dan minuman yang mengandung zat yang memabukkan. Maka hal tersebut, dihentikan dikonsumsi oleh agama, lantaran larangan tersebut merupakan salah satu tujuan untuk memelihara insan dari ketergantungan mengonsumsi masakan atau minuman yang diharamkan agama. Serta zat juga mengandung konsekwensi yang sangat berbahaya terhadap lambung, serta pedoman darah yang keluar-masuk ke jantung. Sehingga Husnayn Muhammad Makhluf menetapkan hukumnya haram dengan mengatakan:
Artinya: pengobatan dengan menggunakan zat yang haram, termasuk juga hukumnya haram.
Dalam dunia medis sering ditemukan benda haram berdasarkan Islam, tapi ternyata kadang bias menyembuhkan suatu penyakit. Daging paha kodok misalnya, sering “diresepkan” orang untuk anak yang sering sesak nafas dan asma. Sementara orang yang menderita diabetes jawaban ketidakmampuan seseorang untuk memproduksi enzim insulin, harus disuntik dengan insulin yang berasal dari babi. Begitupula alcohol. Jumhur ulama setuju bahwa berobat berobat dengan khamar dan segala yang diharamkan oleh agama intinya yaitu haram. Kesepakatan pendapat ini berlaku dalam keadaan yang memungkinkan ikhtiar (usaha), bukan dharurat (keterpaksaan). Dalilnya hadits Rasul Saw :
Penggunaan khamar sebagai obat, berdasarkan ulama Hanafiyah tidak boleh, lantaran Nabi dengan tegas melarangnya. Kondisi ini berlaku dalam keadaan normal, artinya masih ada obat-obat lain. Dr. Wahbah Zuhalili menjelaskan bahwa ulama Hanafiyah memang tidak membolehkan berobat dengan khamar bila kemanjurannya hanya bersifat zhan. Namun apabila diyakini melalui keterangan dokter bahwa khamar atau benda haram itu sanggup menyembuhkan penyakit, maka penggunaannya untuk berobat dibolehkan. Contoh, jikalau seseorang terseumbat tenggerokan (ghusshah al-tha’am), maka ia boleh minum khamar bila tidak ada air, guna menghindari ancaman maut. Argumentasinya yaitu melalui metode analogi (qiyas) terhadap kebolehan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam keadaan terpaksa. Sayyid Sabiq berpendapat: khamar diperbolehkan manakala tidak ada obat yang halal. Manfaat khamr untuk kesehatan hendaknya diniatkan untuk pengobatan semata bukan untuk bersenang-senang, mengikuti hawa nafsu. Dalam keadaan darurat, islam member rukhsah kepada umatnya. Tentu saja dispensasi itu tidak gampang diberikan, melainkan harus ada ‘illat dan ada lantaran atau bantalan an yang konkrit yang sanggup diterima oleh akal.
Ada kaidah fiqih :
Dalam keadaan dharurat, berlaku kaidah fiqih:
Ada perbedaan penndapat (khilafiyah) dikalangan ulama, mengenai aturan berobat (at-tadawi/ al-mudawah) dengan benda najis dan haram. Termasuk dalam hal ini berobat dengan obat yang mengandung alcohol yaitu haram dan najis. Ada yang mengharamkan, ibarat Ibnu Qayyim AL-Jauziyyah. Ada yang membolehkan ibarat ulama HAnafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, ibarat Yusuf Al-Qaradhawi. Ada yang memakruhkannya, ibarat Taqiyuddin al-Nabhani. Ada dua kelompok hadits yang Nampak bertentangan (ta’arudh). Disatu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan benda yang haram dan najis, contohnya hadits Rasulullah Saw riwayat Bukhari dan Baihaqi :
Di sisi lain, ada hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, contohnya dalam shahih Bukhari, “orang-orang suku ‘Ukl dan Urainah dating ke kota Madinah menemui Nbai Saw kemudian masuk Islam. Namun mereka kemudian sakit lantaran tidak cocok dengan masakan Madinah. NAbi Saw kemudian memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta”. Dalam hadits lain dari Anas r.a Rasulullah Saw member dispensasi rukhsah kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk menggunakan kain sutera lantaran menderita penyakit gatal-gatal. (H.R. Bukhari dan Muslim). Hadits ini membolehkan berobat dengan benda yang haram (dimanfaatkan), lantaran sutera haram digunakan untuk laki-laki.
C. Upaya Menjaga Kesehatan Manusia
Menjaga dan memelihara diri dari penyakit yang sering menimpa manusia, sanggup dilakukan dengan tiga macam cara; yaitu upaya pencegahan (preventif atau al-wiqayah), cara pemeliharaan (respresif atau al-inayah), dan tindakan kuratif (pemulihan atau al-‘ilaj).[2]
Kualitas eksklusif sanggup diperkuat dengan kondisis fisik dan rohani yang sehat, sehingga sanggup mewujudkan budaya etos kerja yang tinggi, kemudian mendatangkan produktifitas hidup yang memuaskan. Inilah yang disebut amal shaleh yang banyak dijumpai dalam ayat al-Qur’an, dimana kata amal shaleh sering digandengkan dengan kata iman. Itu artinya, bahwa iman dalam diri insan menadi sumber motivasi amal shaleh atau produktifitas kerja manusia. Bahkan dalam surat al-‘Asr dinyatakan bahwa insan selalu rugi, peradabannya akan hancur, bila tidak mempunyai iman dan amal shaleh (SDM-nya tidak produktif).
Islam mendidik dan mengajarkan insan semoga mengetahui cara hidup sehat, supaya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka sanggup dikatakan, bahwa untuk menuju kepada kehidupan yang sehat sebagai salah satu nikmat Allah yang telah diberikan kepada hamba-Nya, yang disebut oleh Aminah Ahmad Hasan sebagai puncak bagi seluruh kenikmatan yang pernah diberikan kepada seluruh manusia, dan merupakan pula prasyarat untuk mendapat kebahagiaan hidup.
D. Metode Istinbath Berobat Dengan Benda Haram
Syaikhul Islam Ibnu Tayimiyah beropini : tidak boleh berobat dengan khamr dan barang haram yang lain. Sedangkan qiyas (analogi) yang dieknai dengan kebolehan memakan barang haram jikalau dalam keadaan terpaksa yaitu qiyas yang keliru, lantaran kesembuhan tidak mempunyai suatu lantaran tertentu yang tidak pasti. Karena ada orang yang disembuhkan Allah tanpa obat, dan ada yang disembuhkan oleh Allah dengn obat-obat dalam tubuh, baik yang halal maupun yang haram. Terkadang obat yang digunakan tapi tidak membawa kesembuhan, lantaran ada syarat yang tak terpenuhi atau adanya penghalang. Tidak ibarat makan yang merupakan lantaran rasa kenyang. Karenannya Allah membolehkan memakan barang haram bagi orang mudltor (terpaksa) saat terpaksa oleh kelaparan, lantaran rasa laparnya hilang dengan makan dan tidak hilang dengan selain makan. Bahkan bias mati atau sakit lantaran kelaparan. Karena makan yaitu satu-satunya jalan untuk kenyang, Allah membolehkannya tidak ibarat obat-obatan yang haram (buakn satu-satunya jalan untuk sembuh)
E. Syarat Rukhsah Bagi Dharurat
Dr. Yusuf al-Qaradhawi membolehkan dalam keadaan darurat. Nabi Saw pernah member izin menggunakan sutera kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam lantaran penyakit yang diderita kedua orang tersebut, padahal menggunakan sutera bagi pria kepada dasarnya yaitu terlarang dan diancam. Tetapi dispensasi atau rukhsah dalam menggunakan obat yang haram harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Terdapat ancaman yang mengancam kehidupan insan jikalau tidak berobat (akan menimbulkan kematian)
2. Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram tersebut.
3. Adanya sesuatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang sanggup dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya.
Menurut dia dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercaya, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan masakan yang haram ibarat obat. Tetapi dia menetapkan suatu prinsip di atas yaitu sekedar ihtiyath (sikap kehati-hatian) yang sangat mempunyai kegunaan bagi setiap Muslim, adakala dia berada disuatu kawasan yang disitu tidak ada obat kecuali benda haram
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com