Monday, July 24, 2017

√ Pengambilan Keputusan

DECISION MAKING IN SCHOOL
(PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI SEKOLAH)



A.      Pengertian Decision making

Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas. Dalam kamus besar ilmu pengetahuan Pengambilan Keputusan (Decision Making) didefinisikan sebagai pemilihan keputusan atau kebijakan yang didasarkan atas kriteria tertentu. Proses ini mencakup dua alternative atau lebih karena seandainya hanya terdapat satu alternative tidak akan ada satu keputusan yang akan diambil. Menurut J.Reason (2010) pengambilan keputusan sanggup dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternative yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final.
G.R. Terry dalam Syamsi (2000:5) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan ialah sebagai pemilihan yang didasarkan kriteria tertentu atas dua atau lebih alternative yang mungkin. Sedangkan Claude S. Goerge, Jr menyampaikan proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan diantara sejumlah alternative. Ahli lain yaitu Horold dan Cyril O’Donnell menyampaikan bahwa pengambilan keputusan ialah pemilihan diantara alternative mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari perencanaan, suatu planning tidak sanggup dikatakan tidak ada bila tidak ada keputusan, suatu sumber yang sanggup dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibentuk dan P. Siagian mendefinisikan terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta dan data, penelitian yang matang atas alternative dan tindakan. (Syamsi,2000:5)
Pengambilan keputusan merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir dan hasil dari suatu perbuatan itu disebut keputusan (Desmita,2008:198).  Pengambilan keputusan dalam psikologi Kognitif difokuskan kepada bagaimana seseorang mengambil keputusan. Dalam kajiannya, berbeda dengan pemecahan masalah yang mana ditandai dengan situasi dimana sebuah tujuan ditetapkan dengan terang dan dimana pencapaian sebuah target diuraikan menjadi sub tujuan, yang pada saatnya membantu menjelaskan tindakan yang harus dan kapan diambil.  Pengambilan keputusan juga berbeda dengan penalaran, yang mana ditandai dengan sebuah proses oleh perpindahan seseorang dari apa yang telah mereka ketahui terhadap pengetahuan lebih lanjut.
Menurut Suharman (2005:194), pengambilan keputusan ialah proses menentukan atau menentukan banyak sekali kemungkinan diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Pembuatan keputusan terjadi di dalam situasi-situasi yang meminta seseorang harus menciptakan prediksi kedepan, menentukan salah satu diantara dua pilihan atau lebih, menciptakan estimasi (prakiraan) mengenai frekuensi prakiraan yang terjadi. Menurut Rakhmat (2007:70-71) Salah satu fungsi berpikir ialah memutuskan keputusan. Keputusan yang diambil seseorang beraneka ragam. Tapi tanda-tanda umumnya antara lain : keputusan keputusan merupakan hasil berpikir, hasil perjuangan intelektual, keputusan selalu melibatkan pilihan dari banyak sekali alternative, keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka sanggup ditarik kesimpulan bahwa Pengambil Keputusan (Decision Making) merupakan suatu proses pemikiran dari pemilihan alternative yang akan dihasilkan mengenai prediksi kedepan.
Fungsi pengambilan keputusan individual atau kelompok baik secara institusional ataupun organisasional, sifatnya futuristic (Hasan, 2004:10). Tujuan pengambilan keputusan tujuan yang bersifat tunggal (hanya satu masalah dan tidak berkaitan dengan masalah lain) tujuan yang bersifat ganda (masalah saling berkaitan, sanggup bersifat kontradiktif ataupun tidak kontradiktif). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasinya yang dimana diinginkan semua kegiatan itu sanggup berjalan lancar dan tujuan sanggup dicapai dengan gampang dan efisien. Namun, kerap kali terjadi hambatan-hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang harus dipecahkan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut.

B.  Model-model “decision making”

1.      MODEL KLASIKAL : SEBUAH OPTIMALISASI STRATEGI
Teori Keputusan klasikal berasumsi bahwa keputusan seharusnya sangat rasional; ini melibatkan sebuah optimalisasi taktik dengan mencari kemungkinan alternative terbaik untuk memaksimalkan pencapaian tujuan dan sasaran. Menurut model klasikal, proses pembuatan keputusan ialah sebuah seri dari pecahan tahapan berikut:
1.      Sebuah problem diidentifikasi.
2.      Tujuan dan target ditentukan
3.      Semua alternative kemungkinan dibuat.
4.      Setiap konsequensi alternative dipertimbangkan
5.      Semua alternative dievaluasi dalam pencapaian tujuan dan sasaran
6.      Memilih alternative terbaik – yaitu satu diantaranya yang memaksimalkan tujuan dan sasaran
7.      Akhirnya, keputusan di implementasikan dan dievaluasi.
Model klasikal ialah model normative yang ideal, dibanding dengan citra fungsi pembuatan keputusan atau model deskriptif. Kebanyakan akademisi, pada kenyataannya, beropini model klasikal ialah sebuah model ideal tapi tidak realistis, atau naif. Pembuat keputusan bahwasanya tidak mempunyai saluran ke semua informasi yang relevan. Terlebih, pembuatan alternative keputusan dan konsekuensinya tidak dimungkinkan. Sayangnya, model ini berasumsi kapasitas proses informasi, rasionalitas dan pengetahuan yang disederhanakan oleh pembuat keputusan tidak tercapai, konsekuensinya, hal ini tidak mempunyai kegunaan bagi praktek administrator.
2.      MODEL ADMINISTRATIF: SEBUAH STRATEGI MEMUASKAN
Batas keras yang ada pada model klasik, seharusnya tidak mengejutkan bahwa pendekatan konsep yang lebih realistis dalam pengambilan keputusan organisasi, berkembang secara bertahap.  Kompleksitas masalah organisasi dan kapasitas terbatas dari pemikiran insan membuatnya benar-benar tidak mungkin untuk dipakai mengoptimalisasi taktik dalam segala hal kecuali  masalah-masalah sederhana.  Herbert Simon (1947) yang pertama memperkenalkan model administrative dalam pengambilan keputusan untuk menyampaikan citra yang lebih akurat bagi cara direktur dalam bagaimana seharusnya mengerjakan dan menciptakan keputusan organisasi. Pendekatan mendasar ialah “memuaskan”, yaitu menemukan solusi yang memuaskan dari yang terbaik. Sebelum menganalisa taktik yang memuaskan, penulis menguji asumsi dasar dari model yang ada.
Beberapa Asumsi Mendasar
Asumsi 1: Pembuatan Keputusan Administratif ialah proses dinamis dalam memecahkan beberapa masalah organisasi dan menciptakan hal lainnya.
Keputusan spesifik yang membantu pencapaian tujuan organisasi sering mengganggu kondisi penting lainnya. Peter M. Blau dan W. Richard Scott (2003: 250-51) menjelaskan proses pembuatan keputusan secara dialektikal: “Masalah muncul, dan ketika proses pemecahannya cenderung mengakibatkan masalah baru, pembelajaran terjadi dimana terdapat efek dari tantangan yang ditemukan. Oleh karenanya yang terbaik pembuatan keputusan dengan pemikiran dan keahlian penuh pimpinan dan stafnya seharusnya menuntun kepada keputusan yang rasional, tetapi iklim organisasi yang komplek biasanya menghalangi terjadinya keputusan akhir.
Asumsi 2: Rasionalisasi penuh dari pembuatan keputusan ialah tidak mungkin; oleh karenanya, direktur mencari yang memuaskan lantaran mereka juga tidak punya kemampuan dan juga kapasitas kognitif untuk mengoptimalkan proses pembuatan keputusan.
Adminstrasi yang efektif membutuhkan pembuatan keputusan yang rasional. Keputusan rasional ketika mereka menyesuaikan dengan tujuan dan tipikal orang-orangnya, mencoba untuk menciptakan keputusan yang rasional (Tversky, 1969; Payne, Bettman, dan Johnson, 1988). Keputusan administrative sering sangat kompleks dan rasionalitasnya dibatasi atau diikat oleh beberapa alasan:
·         Semua alternative tidak sanggup dipertimbangkan lantaran ada banyak pilihan yang tidak masuk akal.
·         Semua kemungkinan konsekuensi tiap alternative tidak sanggup di antisipasi lantaran insiden di masa depan sangat sulit untuk diprediksi dan di evaluasi.
·         Akhirnya, rasionalitas dibatasi tidak hanya oleh kapasitas memproses informasi dari administrator, tetapi juga oleh keterampilan, kebiasaan dan reflek bawah sadar mereka, sebaik nilai dan konsep tujuan yang mungkin menyimpang dari tujuan organisasi (Simon, 1947, 1991)
Dikarenakan individu tidak bisa menciptakan keputusan yang rasional secara penuh pada insiden yang kompleks, mereka konsern dengan seleksi dan implementasi dari alternative kepuasan lebih dari yang optimal. Menggunakan kata-kata Simon, “puas” lebih berarti dari “optimal” bagi administrator. Administrator mencari solusi yang “cukup baik”. Mereka mengenali bahwa persepsi mereka pada dunia ialah penyederhanaan model secara drastic dari kemampuan interaksi yang rumit, yang melibatkan dunia nyata. Hal ini terdiri dari penyederhanaan lantaran mereka percaya banyak kenyataan yang terjadi di dunia aktual tidak penting bagi permasalahan khusus yang dihadapi dan kekerabatan alasannya ialah akhir yang sederhana dan pendek. Konsekuensinya mereka mengabaikan banyak aspek situasi dan menciptakan pilihan memakai citra sederhana dari aspek aktual yang diperhitungkan hanya untuk beberapa factor yang dianggap paling relevan dan penting (Simon, 1947). Oleh karenanya mereka mempraktekkan rasionalitas terikat dengan membatasi ruang lingkup keputusan, sehingga rasionalitas sanggup dicapai (Gigerenzer, 2004; Simon, 1947,1955,1956)
Asumsi 3: Pembuatan keputusan ialah sebuah pola umum dari tindakan yang ditemukan dalam manajemen rasional dari semua area kiprah dan fungsi dalam organisasi.
Dalam memutuskan, semua itu dengan tanggung jawab umum melalui sebuah pola umum dari tindakan termasuk hal-hal berikut:
·         Mengenali dan mengidentifikasi masalah / isu
·         Menganalisa kesulitan dari situasi
·         Menetapkan criteria untuk solusi yang memuaskan
·         Membangun taktik tindakan
·         Menginisiasi planning dari tindakan
·         Evaluasi outcomes
Meskipun proses terkonseptualisasi sebagai pola sedikit demi sedikit lantaran setiap lengkap menyediakan dasar logis untuk langkah selanjutnya, prosesnya juga berupa siklus. Oleh karenanya pembuatan keputusan mungkin memasuki ruang apa saja. Lebih dari itu, alngkah yang diambil lagi lagi dalam proses mengadministrasi organisasi. Siklus rasionalisasi evoluasi , dengan hari-hati, merupakan tindakan yang penuh tujuan – dimulai dengan pembuatan taktik pengambilan keputusan dan bergerak menuju implementasi dan penilaian dari hasil – terjadi pada semua tipe organisasi (Litchfield, 1956)
Struktur pada proses pengambilan keputusan tanpa memperhatikan jenis organisasi (militer, pendidikan atau industry) dan meskipun kiprah yang dijalankan ialah merumuskan kebijakan , mengalokasikan sumber daya, menciptakan kurikulum, atau menciptakan keputusan financial. Universalitas dai pembuatan keputusan yang rasional memerlukan perhatian aktual yang pada dasarnya tidak memperhatikan kesamaan kiprah yang spesifik. Organisasi pendidikan berbeda dengan organisasi industry pada banyak cara penting, tetapi tidak dalam pembuatan keputusan.
Asumsi 4: Nilai ialah pecahan integral dari pembuatan keputusan
Keputusan tidak bebas nilai. Pilihan nilai dan moral ialah hal kritis dalam sistematika dan tahapan pembuatan keputusan. Ketika direktur mempraktekkan tindakan yang mereka percaya akan menghasilkan outcone berharga, mereka menciptakan pertimbangan nilai antara kebaikan dan sedikit kejahatan. Tetapi tindakan memerlukan lebih banyak kebaikan yang berarti. Sebagai contoh direktur pendidikan sering harus banyak bersimpati kepada pelajar dibandingkan dengan pendapat guru. Guru mungkin beresiko terhadap murid dan bereaksi keras untuk memperlihatkan kewenangannya. Dalam proses belajar, murid mungkin dieksekusi bila ada perbedaan yang mengancam posisi guru. Nilai direktur kesejahteraan untuk guru dan muridnya dan seringnya direktur belum bisa menciptakan keputusan disukai oleh satu pihak. Pertimbangan nilai tidak sanggup keluar dari pertimbanga kenyataan. Jenis yang sama dari pemindaian dan penilaian dipakai oleh pengambil keputusan untuk mempertimbangkan pilihan mereka sanggup bekerjasama dengan pilihan moral (Willower, 1991; Willower and Licata, 1997).
Baik sains maupun rasionalitas, bahkan sopan santun san praktek seharusnya terpisah secara tegas (Dewey, 1938; Evers and Lakomski, 1991; Willower, 1993, 1999). Orang akan melalui proses yang sama untuk menciptakan pertimbangan sopan santun atau sebuah keputusan rasional; Oleh karenanya uji reflective dari tindakan alternative dan konsekuensinya, sangat diperlukan. Praktek pengambilan keputusan administrative merupakan latihan berlanjut dalam rasionalitas dan penilaian; keduanya ialah sebuah rasionalitas dan acara etika. Untuk memisahkan acara tersebut ialah sangat udik dan tidak mungkin. Nilai dan rasionalitas ialah hal yang simbiosis bukan antithesis.
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN: Sebuah Siklus Tindakan
Bagian spesifik langkah dalam proses pengambilan keputusan secara garis besar telah dijelaskan. Siklus lingkaran proses tersebut digambarkan pada gambar 9.1. Banyak siklus tindakan pengambilan keputusan terjadi secara simultan. Seseorang memperinci siklus, mengikuti tujuan mendasar dan obyektif (perencanaan strategis), mungkin diproses pada tingkatan pendidikan, dimana siklusnya menjadi lebih kecil dan berhubungan, dengan memperhatikan kurikulum dan instruksi, servise kepada pelajar, manajemen keuangan dan bisnis, dan perencanaan fasilitas, mungkin laporan pada tingkat distrik (sundin).
Mari kita beralih ke analisa yang lebih detil dari tiap langkah tindakan siklus
                                                       Gambar 1
Langkah 1. Mengenali dan Mendefinisikan Masalah atau Isu
Mengenali kesulitan atau disharmoni dalam sistem ialah langkah pertama pada proses pengambilan keputusan. Administrator yang efektif sangat sensitive pada tindakan organisasi dan sikap yang tidak terukur secara standar. Jawaban umum “kami tidak punya masalah, tapi kami punya jawaban”. Adalah semboyan dari direktur yang kurang sensitive dalam menghadapi masalah. Meskipun hal itu mungkin bagi mereka untuk memelihara persamaan dalam organisasi selama perjalanan waktu yang pendek, kemungkinan kekacauan organisasi selama perjalanannya sanggup terlihat membaik.
Sering direktur mendefinisikan problem terlalu cepat dan sempit dan dalam melaksanakannya, membatasi pilihan mereka. Mereka mengobati tanda-tanda masalah, bukan masalah itu sendiri. Sebagai contoh, respon untuk sebuah undangan dari kelompok guru dalam mendapatkan otonomi untuk menentukan materi kurikulum yang terlihat oleh kepala sekolah sebagai sebuah upaya mengurangi kewenangan administrator. Solusi jangka panjang, bagaimanapun, melibatkan dengan baik secara bersama kesempatan pendidikan dan pengembangan acara instruksional pada satu atau banyak sekolah. Ada dua petunjuk untuk mendefinisikan masalah:
·         Pertama, definisikan masalah yang mendesak
·         Kemudian definisikan masalah jangka panjang
Langkah 2. Menganalisa Kesulitan pada Situasi yang ada
Pada proses ini bekerjasama dengan langkah pertama, beberapa penulis menkombinasikan antara definisi dan analisis. Analisis disebutkan sebagai pembagian terstruktur mengenai masalah. Apakah masalah itu unik? Atau ada manifestasi gres dari tipe kesulitan yang pola tindakannya telah dibuat?
Peter F. Ducker (1966) mengajukan dua jenis dasar keputusan, generic atau unik. Keputusan generic muncul dari perwujudan prinsip-pinsip, kebijakan atau aturan. Sejatinya, mengarahkan masalah yang rutin dipecahkan dengan perumusan hukum dan regulasi. Organisasi mempunyai mekanisme tetap dan mekanisme dalam menuntaskan masalah. Seperti keputusan yang diharapkan ketika kepala sekolah mengimplementasikan kebijakan mandate kepada pengurus/staf, memantau ketidak hadiran guru, memediasi konflik antara siswa dan guru serta interpretasi mekanisme kedisiplinan.
Keputusan unik, memungkinkan keputusan yang kreatif dalam menuju sebuah mekanisme tetap untuk menerima solusi; pada kenyataannya banyak terjadi modifikasi struktur organisasi. Disini pengambil keputusan berhadapan dengan masalah yang terdapat pengecualian yang tidak cukup dapat  dijawab oleh prinsip atau hukum umum. Dalam mencari solusi yang kreatif, pembuat keputusan mengeksplor semua pandangan gres yang relevan dengan masalah. Dua kesalahan yang biasa dilakukan administrator, yang dibutuhkan untuk mengatasinya adalah:
·         Merawat situasi rutin menyerupai bila terjadi serangkaian insiden unik
·         Memelihara insiden gres menyerupai bila terjadi masalah usang dimana diharapkan penerapan mekanisme lama
Akhirnya, pengambil keputusan memerlukan fakta yang relevan. Apa yang dilibatkan? Mengapa terlibat? Dimana ia dilibatkan? Kapan? Untuk keperluan apa? Jawaban pertanyaan tersebut menyampaikan informasi untuk memetakan parameter masalah.
Langkah 3. Menetapkan Kriteria untuk Solusi Memuaskan
Setelah masalah dianalisa dan dispesifikasikan, pembuat keputusan harus memutuskan apa yang sanggup menciptakan solusi yang sanggup diterima. Apa tujuan umum yang harus diraih? Apakah keharusan yang dibandingkan dengan keinginan? Apa yang cukup baik? Menjawab beberapa pertanyaan menyerupai ini membantu pembuat keputusan untuk melihat tingkat harapannya. Apa criteria dari keputusan yang memuaskan. Apa yang kami rujuk sebagai kriterai adequacy, para ilmuwan sering menghubungkan dengan kondisi terikat, batasan dimana pembuat keputusan menemukan keputusan yang memuaskan.
Langkah 4. Membangun Rencana atau Strategi dari Tindakan
Ini ialah langkah inti dari proses. Setelah mengenali masalah, mengumpulkan dara dan spesifikasi masalah dan kondisi yang mengikatnya, pembuat keputusan membangun planning tindakan yang sistematik dan reflektif. Proses ini melibatkan beberapa langkah berikut:
·         Spesifikasi Alternatif
·         Memprediksi Konsekuensi dari tiap alternatif
·         Mempertimbangkan dan Menseleksi Rangkaian Tindakan
o   Heuristik yang dikenali
o   Heuristik yang didapat
o   Heuristik yang representative
o   Heuristik yang tetap dan cocok
·         Memilih planning tindakan

Langkah 5. Menginisiasi Rencana Aksi
Suatu ketika keputusan telah dibentuk dan planning agresi telah dirumuskan, keputusan perlu diimplementasi. Elemen terakhir dalam sklus pengambilan keputusan. Inisiasi planning agresi paling tidak mempunyai 4 langkah:
 Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas √ pengambilan keputusan      Memprogram:  keputusan diterjemahkan dan diinterpretasi menjadi acara yang spesifik, dimana mekanik dan detil spesifik dalam implementasi harus spesifik.
 Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas √ pengambilan keputusan      Berkomunikasi: setelah diprogramkan, diharapkan keterlibatan individu biar menyadari  tanggungjawabnya. Penyaluran komunikasi diantara individu sebaik kesempatan untuk berkomunikasi secara horizontal dan vertical harus diberi perhatian khusus. (komunikasi dibahas detil pada pecahan 10)
 Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas √ pengambilan keputusan      Memonitor: proses mengawasi implementasi planning tindakan disebut monitoring. Evaluasi dan laporan harus dibangun menjadi satu kesatuan siklus agresi biar sanggup menyediakan penilaian berkelanjutan dan hasil actual dibandingkan dengan yang diharapkan. Monitoring juga merupakan proses control memakai umpan balik yang sistematik.
 Keputusan merupakan hasil pemecahan dalam suatu masalah yang harus dihadapi dengan tegas √ pengambilan keputusan      Menaksir: Suatu keputusan telah diprogramkan, dikomunikasikan dan dimonitor, outcomesnya tetap perlu diperkirakan untuk memastikan kesuksesan sebuah keputusan. Keputusan biasanya dibentuk dalam situasi dimana kemungkinan, ketidak pastian, harus dipertimbangkan. Oleh alasannya ialah itu, level ini merupakan selesai sekaligus awal dari siklus tindakan dalam pembuatan keputusan.

3.      MODEL INCREMENTAL: SEBUAH STRATEGI DARI PERBANDINGAN TERBATAS YANG BERTURUT-TURUT
Meskipun trategi kepuasan yang telah digambarkan sesuai dengan banyak masalah dalam administratsi pendidikan sayangnya beberapa situasi membutuhkan beberapa taktik incremental. Ketika alternative relevan sulit  di discern atau konsekuensi tiap alternative begitu rumit  menyerupai diperkirakan , meskipun memuaskan tidak bekerja dengan baik (Grandori 1984).
      Model Inkremental juga mengurangi banyak alternative. Pertimbangannya pada alternative yang cenderung sama, analisisnya berbeda antara keadaan yang ada dengan tujuan hasil  yang mengabaikan hasil dari selain dari perhatian pengambil keputusan. Dengan pendekatan ini, kompleksitas dari pengambilan keputusan secara dramatis terkurangi dan sanggup di atur.
      Secara ringkas pendekatan incremental mempunyai cirri khusus:
·         Analisis selesai yang berarti ialah tidak cocok lantaran setting tujuan dan pembuatan alternative terjadi secara simultan
·         Solusi yang baik ialah hal utama disaat pembuat keputusan menentukan tidak memperhatikan tujuan.
·         Alternatif-alternatif dan outcomes secara drastic mengurangi dengan mempertimbangkan hanya pilihan yang menyerupai dengan keadaan sekarang.
·         Analisis ditekankan untuk membedakan antara situasi yang ada dengan alternative dari tujuan
·         Metode incremental menjauhkan diri dari teori yang disukai dari perbandingan konkrit dan alternative praktek

4.      MODEL MIX-SCANNING: SEBUAH STRATEGI YANG ADAPTIF
Walau dipakai secara luas, melampaui segala keterbatasan: ada hal yang konservatif dan tanpa tujuan (Hoy and Tarter, 2003). Kebanyakan administrator menciptakan keputusan dengan informasi yang parsial dan dalam keadaan waktu yang sempit. Amitai Etzioni (1967, 1986,1989) memperlihatkan sebuah model pengambilan keputusan yang memakai pendekatan pragmatis untuk mengatasi kompleksitas dan ketidakpastian. Model yang adaptif ini disebut Mix Scanning Model, ialah sintesis dari model administrative dengan model incremental (Thomas, 1984; Wiseman, 19791, 1979b). Mixed Scanning terdiri dari dua pertanyaan:
·         Apa misi dan kebijakan organisasi?
·         Apa keputusan organisasi akan bergerak menuju misi dan kebijakannya?
Mixed Scanning dicari untuk memakai sebagian informasi dalam mebuat keputusan yang memuaskan tanpa menciptakan semua informasi macet atau memproses membabi buta dengan hanya sedikit atau tanpa informasi. Strategi adaptif ini ialah adonan antara uji data yang dangkal dan mendalam – dengan pertimbangan umum dari kenyataan dan pilihan yang mengikutinya – dengan uji detil dari kenyataan dan pilihan yang terfokus (Etzioni, 1989:124).
Prinsip-prinsip mixed scanning sangat terus terang; dalam kenyataannya ada tujuh hukum lanjutan mendasar untuk taktik ini menyerupai telah diringkas oleh Wayne Hoy dan John Tarter (2003) sebagai berikut:
1.      Gunakan trial error yang terfokus
Pertama, mencari alternatif yang masuk akal, kemudian pilih, menerapkan, dan menguji mereka, dan akhirnya, menyesuaikan dan memodifikasi sebagai hasil menjadi jelas. Fokus trial and error mengasumsikan bahwa, meskipun fakta bahwa informasi penting yang hilang, manajemen sekolah harus bertindak. Makara keputusan dibentuk dengan informasi parsial dan kemudian dengan hati-hati dipantau dan dimodifikasi dalam terang data baru.
2.      Untuk sementara; proses dengan hati-hati
Bersiaplah untuk memodifikasi tindakan seperlunya ialah penting bahwa manajemen sekolah melihat setiap keputusan sebagai eksperimental, mengharapkan untuk merevisinya.
3.      Jika tidak pasti, tundalah
Menunggu tidak selalu buruk. Ketika situasi ambigu, menunda selama mungkin sehingga informasi lebih lanjut sanggup dikumpulkan dianalisis sebelum mengambil tindakan. Kompleksitas dan ketidakpastian sering mempengruhi keputusan penundaan.
4.      Teguhkan keputusanmu
Berkomitmen untuk keputusan secara bertahap, mengevaluasi hasil dari setiap tahap sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya.
5.      Jika tidak pasti, pecah keputusan menjadi beberapa bagian
Jangan menginvestasikan seluruh sumber daya untuk melaksanakan keputusan, namun memakai sumber parsial hingga konsekuensi yang memuaskan.
6.      Tahan keraguanmu
Menerapkan beberapa alternatif bersaing, asalkan masing-masing mempunyai hasil yang memuaskan. Kemudian melaksanakan penyesuaian atas dasar hasil.
7.      Bersiaplah untuk membalikkan keputusanmu
Cobalah untuk menjaga keputusan tentatif dan eksperimental. Keputusan reversibel menghindari tindakan berlebih-lebihan ketika hanya sebagian informasi yang tersedia. Manajemen sekolah pendidikan yang terampil sanggup memakai semua teknik adaptif, semua menggambarkan fleksibilitas, hati-hati, dan kapasitas untuk melanjutkan dengan pengetahuan parsial.
Maka mixed scanning mempunyai ciri khusus sebagai berikut:
·         Luas, kebijakan organisasi (memungkinkan) menyampaikan kode untuk keputusan incremental yang sementara
·         Keputusan yang baik mempunyai hasil yang memuaskan yang konsisten dengan kebijakan dan misi organisasi.
·         Pencarian alternative menjadi terbatas untuk menutup masalah
·         Analisis menurut asumsi dari informasi penting yang hilang tetapi tindakannya diharapkan sekali
·         Teori, pengalaman dan perbandingan berturut-turut dipakai secara bersama

5.      SEBUAH PENDEKATAN KONTIGENSI (berdasar kondisi): STRATEGI YANG TEPAT UNTUK SITUASI YANG TEPAT
Mana cara yang terbaik untuk memutuskan? Tidak ada cara terbaik untuk memutuskan sebagaimana tidak ada cara terbaik untuk mengatur, untuk mengajar, untuk melaksanakan riset, atau untuk banyak sekali pekerjaan lainnya. Pada kiprah yang kompleks, pendekatan yang benar ialah yang paling cocok dengan keadaan – sebuah pendekatan contingency.
      Cara-cara pengambilan keputusan sanggup dipilih menurut kelayakan dan kapasitasnya dalam menangani kompleksitas dan kondisi dimana terdapat semakin banyak konflik dan ketidakpastian (Grandori, 1984). Ketika keputusan yang diambil ialah hal yang sederhana, dimana disertai informasi yang lengkap dan niscaya sebagai landasan pengambilan keputusan, dan adanya pendapat bersama (tidak ada konflik), maka cara pengambilan keputusan optimal merupakan cara yang paling sempurna untuk digunakan.
      Ketika terdapat ketidakpastian dan konflik, menyerupai yang biasa terjadi dalam kasus-kasus pengambilan keputusan di bidang administrasi, cara pengambilan keputusan yang memuaskan merupakan pilihan yang tepat. Model pengambilan keputusan adminitratif bersifat fleksibel dan heuristik. Keputusan yang diambil didasarkan pada perbandingan antara konsekuensi yang akan muncul dari solusi-solusi alternatif yang dipakai dengan tingkat aspirasi si pembuat keputusan. Hanya sebagian kecil ekplorasi cara-cara alternatif yang dilaksanakan hingga ditemukannya tindakan-tindakan yang memuaskan. Jika tidak ditemukan solusi yang memuaskan, maka tingkat aspirasi si pembuat keputusan diturunkan porsinya. Tentu saja, ketidakcukupan waktu sanggup memenggal proses yang sedang berjalan, dimana hal tersebut menciptakan kondisi si pengambil keputusan hanya bisa mempertimbangkan sedikit saja dari sekian banyak pilihan pengambilan keputusan.
      Ketika solusi-solusi alternatif sulit ditemukan, bila tidak bisa dikatakan mustahil, atau konsekuensi – konsekuensi yang ada terlalu rumit sehingga prediksi-prediksi yang dihasilkan meleset, bahkan cara pengambilan keputusan yang memuaskan mempunyai keterbatasan bila dihadapkan dengan kondisi menyerupai ini. Pada kondisi yang demikian, maka pengambilan keputusan dengan cara pencampuradukan atau bersifat penambahan merupakan hal yang sempurna lantaran pendekatan menyerupai itu sanggup dipakai dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian dan konflik kepentingan. Hal itu dijalankan dengan membangun sebuah gagasan bahwa perubahan-perubahan kecil yang dilakukan tidak akan menghasilkan konsekuensi yang besar yang bersifat negatif terhadap organisasi (Grandori, 1984).           
      Sebagai kesimpulan, cara pengambilan keputusan yang sempurna tergantung pada informasi yang ada, kompleksitas situasi, waktu, dan seberapa penting keputusan yang harus diambil. Kami memaparkan pendekatan-pendekatan yang telah disederhanakan untuk menentukan model pengambilan keputusan yang sempurna menurut tiga pertanyaan:
·         Apakah terdapat informasi yang cukup yang bisa menggambarkan kepuasan terhadap hasil sebuah keputusan?
·         Apakah terdapat cukup waktu untuk melaksanakan pencarian solusi yang komprehensif?
·         Seberapa pentingkah keputusan yang harus diambil?
Jika terdapat informasi yang memadai yang bisa menggambarkan kepuasan terhadap hasil keputusan yang diambil, maka model pengambilan keputusan menurut kepuasan sanggup menjadi pilihan. Namun, dipengaruhi oleh faktor waktu dan tingkat urgensi keputusan yang dibuat, cara pengambilan keputusan yang memuaskan sanggup dipersingkat dan diadaptasikan dengan kondisinya. Walaupun demikian, bila tidak terdapat informasi yang memadai, maka pemuasan adaptif merupakan cara yang lebih layak untuk dipilih. Namun lagi-lagi, bergantung pada waktu dan tingkat urgensi keputusan yang diambil, keputusan dengan kepuasan yang adaptif sanggup dipersingkat ataupun dibentuk menjadi lebih moderat dengan cara pencampuradukan.

6.      MODEL TEMPAT SAMPAH (GARBAGE) : PENGAMBILAN KEPUTUSAN YANG TIDAK RASIONAL.
Apa yang disebut dengan model daerah sampah ialah model yang menjelaskan mengenai kecenderungan tindakan tersebut, dimana lebih sering terjadi pada organisasi yang mengalami kondisi ketidakpastian dengan tingkat yang luar biasa tinggi. Michael Cohen, James March, dan Johan Olsen (1972), para tokoh yang membidangi lahirnya model ini, menyebutkan bahwa organisasi semacam itu berusaha untuk meredam kekacauan-kekacauan yang ada di dalamnya. Organisasi jenis ini dicirikan dengan: Pendapat-pendapat yang menuai masalah, ketidakjelasan terhadap teknologi, dan anggota organisasi yang tiba dan pergi.
Karakteristik dasar dari model daerah sampah ini ialah bahwa prosess pengambilan keputusan tidak dimulai ketika munculnya masalah dan tidak berakhir ketika solusi masalah telah ditemukan; melainkan, keputusan-keputusan yang diambil merupakan produk dari aliran-aliran gagasan independen yang merupakan hasil pemikiran dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan organisasi (Cohen, March dan Olsen, 1972; Cohen dan March, 1974; March, 1982; Estler, 1988; Daft, 1989, Tarter dan Hoy, 1998; Slater dan Boyd, 1999). Empat jenis gagasan berikut ini secara khusus mempunyai relevansi dengan proses pengambilan keputusan dalam organisasi ketika organisasi tersebut berusaha mengatur dan meredam kekacauan di dalamnya:
-          Masalah merupakan inti dari ketidakpuasan yang perlu diperhtikan; bagaimanapun juga Masalah tidak selalu seiring dengan solusi dan pilihan-pilihan jalan keluar.
-          Solusi merupakan ide-ide yang sanggup diambil, namun keberadaannya tidak bergantung dengan ada atau tidaknya masalah.
-          Partisipan atau anggota ialah para anggota organisasi yang tiba dan pergi. Karena para personel organisasi terus mengalir (baca: tiba dan pergi), masalah yang dihadapi dan solusi sanggup berubah secara cepat.
-          Kesempatan Memilih ialah kondisi-kondisi dimana organisasi diharapkan untuk bisa menciptakan keputusan – sebagai contoh, kontrak harus ditandatangani, orang-orang dipekerjakan dan dipecat, pengeluaran anggaran dana, dan alokasi sumber daya.
Dengan empat elemen utama tersebut diatas, pola organisasi secara keseluruhan dalam mengambil keputusan mempunyai sifat acak. Pembuat keputusan dalam sebuah organisasi tidak merasa perlu untuk menciptakan keputusan ketika tengah terjadi sesuatu hingga pada ketika masalah yang muncul mempunyai kecocokan dengan pengalaman mereka sebelumnya dalam mengatasi masalah (Hall, 1987). Dalam model “tempat sampah”, organisasi dipandang sebagai sebuah perangkat pencarian terhadap pilihan - pilihan untuk menghadapi masalah, pencarian gagasan dan sensitifitas untuk menemukan daerah dimana terdapat keputusan yang bisa menciptakan mereka bernafas, pencarian solusi untuk pertanyaan – pertanyaan yang bisa mereka jawab, dan pencarian terhadap sang pembuat keputusan untuk dipekerjakan (Cohen, March, dan Olsen, 1972).
      Model “tempat sampah” ini sanggup membantu menjelaskan mengapa solusi bisa saja diajukan walaupun tidak terdapat masalah yang harus dipecahkan; mengapa segala pilihan dibentuk walau tidak memecahkan masalah; mengapa permasalahan tetap ada tanpa dicoba untuk dipecahkan; dan mengapa hanya beberapa masalah saja yang bisa ditemukan jalan keluarnya.
Tidak ada keraguan bahwa model “tempat sampah” ini sanggup menjadi kiasan/ citra elemen-elemen isi dari kebenaran, dan menjadi sebuah deskripsi yang baik wacana bagaimana sebuah keputusan sanggup dihasilkan dalam beberapa situasi, namun ia tidak sanggup dibentuk di situasi yang lain. Model ini telah menerima pinjaman dari beberapa hasil penelitian terhadap organisasi yang berbeda – beda (Sproull, Weiner, dan Wolf, 1978; Broomily, 1985; Levit dan Nass, 1989), namun penelitian terkini lainnya mempertanyakan kegunaan/manfaat model ini sebagai model umum pengambilan keputusan, walaupun dalam organisasi yang penuh kompleksitas, ketidakpastian, diskontinyuitas, dan kekuatan politik (Janis dan Mann, 1977; Padgett: 1980; Hickson dkk, 1986; Pinfield, 1986; Heller dkk, 1988).
      Secara garis besar, model “tempat sampah” mempunyai karakteristik khas menyerupai berikut ini:
·         Tujuan - tujuan organisasi muncul secara spontan; mereka tidak disusun dulu sebelumnya.
·         Awal dan selesai merupakan dua hal yang tidak saling terkait; kesempatan ataupun kebetulan yang menghubungkan keduanya.
·         Keputusan yang baik ialah keputusan yang dibentuk ketika masalah yang muncul bertemu dengan solusi yang tepat.
·         Sebuah keputusan lebih didasarkan pada kesempatan ketimbang rasionalitas.
·         Pengambil keputusan menyidik setiap solusi yang tersedia, masalah yang ada, partisipannya, dan kemungkinan – kemungkinan untuk mempertemukan ketiga hal tersebut dalam sebuah titik yang sama.
Gambaran model “tempat sampah” ini merupakan sebuah deskripsi wacana bagaimana sebuah keputusan itu adakala diambil; ini bukanlah merupakan sebuah saran untuk dilakukan.
7.      TEORI KONFLIK JANIS-MANN: TEKANAN DAN IRASIONALITAS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Dengan mengabaikan cara apa yang diterapkan dalam mengambil sebuah keputusan, tekanan yang berasal dari situasi yang ada dan proses pengambilan keputusan itu sendiri seringkali menghasilkan rasa tertekan. Irving Janis dan Leon Mann (1977) telah mengembangkan pandangan yang mendalam dan gampang dipahami mengenai model konflik yang menjawab dua pertanyaan berikut ini:
-          Dalam kondisi menyerupai apa sebuah tekanan sanggup menyampaikan imbas yang kurang baik terhadap kualitas pengambilan keputusan?
-          Dalam kondisi yang menyerupai apa para individu akan mengambil keputusan yang seakan-akan sesuai dengan mekanisme untuk menghindari pilihan – pilihan yang akan dengan cepat menciptakan mereka kecewa?
Orang mengatasi tekanan psikologis dengan cara yang berbeda-beda menyerupai layaknya ketika mereka menciptakan sebuah keputusan penting. Sumber- sumber utama tekanan semacam itu ialah perasaan takut gagal, kekhawatiran terhadap konsekuensi yang akan diterima dan tidak diketahui bentuknya, berpikir akan menciptakan keputusan yang menciptakan orang – orang  menganggap dirinya bodoh, dan kehilangan harga diri bila keputusan yang diambil akan mengakibatkan kerusakan (Janis, 1985). Keputusan – keputusan penting juga biasanya melibatkan konflik nilai. Orang menghadapi dilema yang mengguncang dirinya ketika setiap pilihan yang mereka buat akan menciptakan target atau tujuan yang berharga menjadi terkorbankan; oleh lantaran itu, munculah rasa khawatir dari sang pembuat keputusan, juga rasa malunya dan perasaan bersalah. Hal ini mengakibatkan naiknya kadar stress atau tekanan mental orang tersebut (Janis, 1985).
      Keputusan yang baik biasanya diambil ketika sang pembuat keputusan sanggup memperhitungkan segala aspek yang ditimbulkan akhir keputusan yang dibuatnya; mereka dengan telaten mencari segala informasi yang relevan dengan masalah yang sedang dihadapi, mencerna informasi dengan tidak memihak, dan kemudian mengevaluasi segala alternative yang ada sebelum menciptakan keputusan yang bijaksana. Pembuat keputusan yang memperhitungkan segala aspek ialah pembuat keputusan yang paling efektif lantaran ia sanggup menghindari banyak kekurangan dari empat tipe pembuat keputusan yang lainnya (Janis dan Mann, 1977).
Namun, walaupun seorang pembuat keputusan telah bersikap penuh perhitungan, kadangkala mereka juga menciptakan kesalahan dalam mengambil keputusan dengan memakai pemikirannya yang tidak utuh. Setiap jenis orang, termasuk ilmuwan dan orang-orang statistik, menciptakan kesalahan dalam peimikirannya menyerupai contohnya menciptakan asumsi yang terlalu tinggi wacana kemungkinan bahwa insiden sanggup dengan gampang digambarkan, lebih memberi banyak perhatian pada informasi- informasi yang mewakili, terlalu banyak bergantung pada sampel yang sedikit, dan berpegang pada potongan informasi yang salah (Tversky dan Kahneman, 1973; Nisbet dan Ross, 1980; Janis, 1985).
      Kondisi-kondisi menyerupai apakah  yang sanggup mendorong ataupun menghalangi seseorang untuk bersikap penuh perhitungan? Ketika dihadapkan dengan situasi dimana diharapkan pengambilan keputusan, seorang pembuat keputusan biasanya, baik secara sadar ataupun tidak, mempertimbangkan empat hal berikut ini (Janis dan Mann, 1977):
Pertanyaan 1: Apakah akan ada resiko yang serius bila saya tidak mengubah kondisi yang ada?
Pertanyaan 2: Apakah akan ada resiko yang serius bila saya melaksanakan perubahan atau mengambil keputusan?
Pertanyaan 3: Apakah realistis ketika berharap bisa menemukan solusi yang lebih baik?
Pertanyaan 4: Apakah ada cukup waktu untuk mencari dan memikirkan atau merencanakan solusi yang lebih baik?
Pada intinya, seorang pembuat keputusan atau pengurus sekolah harus memperhitungkan segala sesuatunya ketika akan mengambil keputusan; bagaimanapun juga, beban pekerjaan, waktu, dan tekanan mental seringkali menghalangi dilakukannya perhitungan-perhitungan menyerupai itu. Mengetahui ancaman yang ada dan kapan bahaya-bahaya tersebut kemungkinan besar terjadi sanggup membantu si pembuat keputusan untuk menghindari kekeliruan.

PARTISIPASI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Partisipasi para pekerja dalam proses pengambilan keputusan sanggup meningkatkan produktivitas kerja. Penelitian lain juga mendukung keinginan dan efek pertisipasi anggota dalam pengambilan keputusan, baik di bidang bisnis maupun di bidang organisasi pendidikan. Gambaran umum berikut ini merupakan kesimpulan dari banyak penelitian yang telah dilakukan dan juga landasan teori mengenai partisipasi guru dalam proses pengambilan keputusan:
·         Adanya kesempatan untuk merumuskan kebijakan secara bahu-membahu merupakan sebuah faktor penting yang mendukung kondisi moril dan antusiasme para guru terhadap lingkungan sekolah.
·         Partisipasi dalam pengambilan keputusan mempunyai kekerabatan yang positif dengan kepuasan individual guru terhadap profesinya sebagai seorang pengajar.
·         Para guru lebih menyukai kepala sekolah yang turut melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
·         Keputusan yang diambil sanggup menemui kegagalan lantaran kualitas keputusannya yang jelek atau lantaran keputusan tersebut tidak sanggup diterima oleh para bawahan.
·         Para guru tidak mengharapkan dan juga tidak menginginkan untuk dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; pada kenyataannya, terlalu banyak campur tangan bisa merugikan, begitu juga apabila terlalu sedikit ruang partisipasi yang diberikan.
·         Peran dan fungsi para guru dan juga pengurus sekolah dalam proses pengambilan keputusan perlu divariasikan menurut hakikat permasalahannya.

8.      MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERSAMA HOY – TARTER
Para bawahan mendapatkan beberapa keputusan yang diambil tanpa bertanya-tanya lantaran mereka bersikap hirau tak hirau atau tak peduli terhadap keputusan tersebut. Seperti dipaparkan oleh Barnard (1938: 167), bahwa ada sebuah zona ketidakpedulian “dalam diri seorang individu, dimana permintaan-permintaan yang diajukan oleh orang lain diterima begitu saja tanpa ada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara sadar mengenai otoritas mereka.” Simon menentukan untuk lebih memakai istilah positif, yaitu Zona Penerimaan, namun istilah tersebut dipakai secara bergantian atau bertukar-tukar dalam teori-teori yang ada. Zona penerimaan dalam diri para bawahan merupakan hal yang penting untuk menentukan dalam kondisi menyerupai apa mereka dilibatkan ataupun tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Zona Penerimaan: Urgensi dan Kegunaannya.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Barnard (1938), Simon (1947) dan Chase (1951), Edwin M. Bridges (1967) mengajukan dua pendapat mengenai proses pengambilan keputusan bersama:
  1. Ketika para bawahan terlibat dalam pengambilan keputusan dimana masalah yang dibahas merupakan hal yang berada dalam zona penerimaan mereka, partisipasi yang ada tidak akan terlalu efektif.
  2. Ketika para bawahan dilibatkan dalam pengambilan keputusan dimana keputusan tersebut berada di luar zona penerimaan mereka, partisipasi yang ada akan menjadi lebih efektif.
Permasalahan yang harus diputuskan oleh manajemen pengurus ialah keputusan-keputusan yang menyerupai apa yang masuk di dalam zona penerimaan para bawahan, dan yang mana berada di luar zona penerimaan mereka. Bridges menyarankan dua jenis tes guna menjawab pertanyaan tersebut:
-          Tes relevansi: Apakah para bawahan mempunyai kepentingan personal terhadap hasil keputusan yang dibuat?
-          Tes kecakapan: Apakah para bawahan mempunyai keahlian/ kecakapan dalam berkontribusi terhadap hasil keputusan?
 Hoy dan Tarter (1995) mengajukan dua pendapat teoritis suplemen sebagai acuan:
1.      Ketika para bawahan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dimana mereka mempunyai kecakapan marjinal, maka partisipasi mereka juga akan menjadi setengah efektif.
2.      Ketika para bawahan dilibatkan dalam pembuatan keputusan dimana mereka hanya sedikit mempunyai kepentingan tentangnya, maka partisipasi mereka akan menjadi setengah efektif.

Rasa Percaya dan Situasi
Satu lagi pertimbangan yang akan bermanfaat apabila kita menginginkan keberhasilan dalam mengaplikasikan model pengambilan keputusan pada permasalahan sebenarnya. Kepercayaan para bawahan kadangkala menciptakan mereka lebih rasional dalam tingkat partisipasinya. Ketika tujuan-tujuan personal para bawahan berlawanan dengan tujuan organisasi, maka tidak disarankan untuk mendelegasikan keputusan kepada mereka dikarenakan tingginya resiko bahwa keputusan tersebut akan dibentuk menurut kepentingan personal dengan mengorbankan kebaikan sekolah secara keseluruhan. Maka, kepercayaan para bawahan merupakan hal yang penting, dan untuk mengukur tingkat kepercayaan mereka, kami menyarankan untuk memakai tes terakhir ini.
-          Tes kepercayaan: Apakah para bawahan mempunyai komitmen terhadap misi organisasi? Dan apakah mereka bisa dipercaya untuk menciptakan keputusan yang membela kepentingan organisasi?
Jika keputusan yang diambil berada di luar zona penerimaan para bawahan dan mereka sanggup mendapatkan amanah untuk menciptakan keputusan yang membela kepentingan organisasi, maka pengambilan keputusan sanggup melibatkan partisipasi para bawahan. Kami menyebutnya sebagai “situasi demokratis” lantaran persoalannya hanya berkisar seputar apakah keputusan yang diambil perlu dirumuskan dengan sebuah konsensus atau hukum mayoritas saja.
      Walaupun demikian, bila gagasan mengenai keputusan yang akan diambil tidak mempunyai relevansi dengan para bawahan dan mereka juga tidak mempunyai kecakapan, maka keputusan yang ada akan masuk ke zona penerimaan mereka sehingga partisipasi harus dihindari: inilah yang disebut dengan “situasi yang tidak berkolaborasi”. Sudah pasti, partisipasi dalam masalah menyerupai itu akan mengakibatkan kegusaran dikarenakan para bawahan biasanya tidak mempunyai ketertarikan terhadap permasalahan tersebut.
      Ketika para bawahan mempunyai kepentingan personal mengenai issue yang ada namun hanya mempunyai sedikit kecakapan, maka kita akan menghadapi “situasi pemegang kepentingan” dan partisipasi para bawahan harus dibatasi dan mereka dilibatkan hanya dalam situasi-situasi tertentu saja.
Terakhir, ada “situasi para ahli’ – yaitu ketika para bawahan tidak mempunyai kepentingan personal terhadap hasil keputusan namun mempunyai pengetahuan yang sangat dalam untuk menyampaikan bantuan yang bermanfaat. Haruskah bawahan menyerupai ini dilibatkan? Kadangkala saja
Struktur Pengambilan Keputusan
Setelah manajemen sekolah telah menetapkan bahwa para bawahan harus terlibat dalam pengambilan keputusan, pertanyaan selanjutnya ialah mengenai bagaimana proses pengambilan keputusan itu berjalan. Hoy dan Tarter (2003) menyarankan lima struktur dalam proses pengambilan keputusan:
  1. Kelompok Konsensus
Mengumpulkan konsensus. Manajemen sekolah melibatkan para bawahannya dalam pengambilan keputusan, maka kelompok memutuskan. Semua anggota kelompok mengembangkan sama menyerupai mereka menghasilkan dan mengevaluasi keputusan, tetapi konsensus total diharapkan sebelum keputusan sanggup dibuat.
  1. Kelompok Mayoritas
Mengumpulkan pendukung mayoritas. Manajemen sekolah melibatkan para bawahannya dalam pengambilan keputusan, maka kelompok tersebut memutuskan menurut bunyi mayoritas.
  1. Kelompok Penasihat
Mengumpulkan pendapat dari para penasihat. Manajemen sekolah memohon pendapat dari seluruh kelompok, membahas implikasi dari saran kelompok, kemudian menciptakan keputusan yang mungkin atau tidak mungkin mencerminkan keinginan bawahan.
  1. Penasihat Individu
Manajemen sekolah berkonsultasi dengan bawahan secara individual yang mempunyai keahlian untuk menginformasikan keputusan, kemudian menciptakan keputusan yang mungkin atau tidak mungkin mencerminkan pendapat mereka.
  1. Keputusan Unilateral
Keputusan sepihak. Manajemen sekolah menciptakan keputusan tanpa berkonsultasi atau melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.

Peran Pemimpin
Sejauh ini kita telah berfokus pada pembahasan mengenai para bawahan dalam proses pengambilan keputusan bersama. Kini kita beralih kepada manajemen dan memaparkan lima kiprah kepemimpinan mereka: pemersatu, anggota parlemen, pendidik, peserta saran dan pengarah.
Penyusunan Bersama: Sebuah Model untuk Pengambilan Keputusan Bersama
      Konsep inti dari model tersebut, menurut pendapat Barnard (1938) dan Simon (1947), ialah zona penerimaan. Ada beberapa keputusan yang sanggup dengan gampang diterima para bawahan dan oleh lantaran itu, situasi yang demikian tidak membutuhkan partisipasi mereka. Manajemen sekolah mengidentifikasi situasi-situasi tersebut dengan mengajukan dua pertanyaan:
  1. Pertanyaan mengenai relevansi: Apakah para bawahan mempunyai kepentingan personal terhadap hasil keputusan?
  2. Pertanyaan mengenai kecakapan: Dapatkah para bawahan berkontribusi dari segi pengetahuan terhadap solusi yang diambil?
Jika tanggapan dari dua pertanyaan tersebut ialah “ya”, yaitu ketika para bawahan mempunyai kepentingan personal terhadap keputusan yang diambil dan pengetahuan yang bisa dikontribusikan, maka situasinya ialah diluar zona penerimaan mereka. Para bawahan akan menginginkan untuk dilibatkan, dan keterlibatan mereka harus meningkatkan kualitas keputusan yang diambil. Bagaimanapin juga, selanjutnya seseorang harus menilai komitmen mereka terhadap organisasi dengan mengajukan pertanyaan berikut ini:
  1. Pertanyaan mengenai kepercayaan: Apakah para bawahan sanggup mendapatkan amanah dalam menciptakan keputusan yang berpihak pada kepentingan organisasi?
Jika mereka mempunyai komitmen, keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan diharapkan dikarenakan anggota para anggota mencoba untuk mengembangkan atau mencari keputusan yang “terbaik”. Dalam prosesnya, kiprah manajemen ialah sebagai pemersatu (jika diharapkan adanya consensus) atau sebagai anggota DPR (jika mayoritas kelompok cukup). Jika para bawahan tidak mempunyai komitmen (situasi konflik), keterlibatan mereka haruslah dibatasi. Pada situasi ini, manajemen sekolah berperan sebagai seorang pendidik, dan para anggota kelompoknya diberikan nasihat. Manajemen juga mengidentifikasi sejumlah resistansi yang ada.
      Model pengambilan keputusan bersama ini bukanlah obat yang paling mujarab. Model ini tidak sanggup menggantikan pemikiran dan tindakan yang penuh dengan sensitivitas dan refleksi manajerial; model ini hanya menyampaikan panduan secara sederhana untuk menentukan kapan dan bagaimana para guru dan kepala sekolah harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan bersama. Efektifitas keputusan yang diambil ditentukan oleh kualitas keputusan itu sendiri dan tingkat penerimaan dan komitmen para bawahan untuk mengimplementasikan keputusan tersebut.
Sebuah Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengambilan Keputusan Kolektif: Groupthink (Pemikiran Kelompok)
Ada sedikit pertanyan mengenai apakah pengambilan keputusan di dalam kelompok sanggup berjalan efektif atau tidak, bagaimanapun juga, bahkan tetap ada beberapa ancaman/ resiko ketika dibutuhkan pengambilan keputusan secara kolektif. Waktu selalu menjadi salah satu batasan yang paling potensial untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan secara kolektif, dan pengambilan keputusan kolektif biasanya membutuhkan waktu lebih banyak dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang dilaksanakan secara individu. Partisipasi anggota kelompok mencakup diskusi, debat dan seringkali konflik; pada kenyataannya, sejalan dengan bertambahnya jumlah peserta dalam proses pengambilan keputusan, koordinasi menjadi sebuah hal yang lebih penting dan juga lebih sulit untuk dilakukan. Perihal kecepatan dan efisiensi dalam pengambilan keputusan sama sekali tidak menjadi nilai lebih dari pengambilan keputusan kolektif.
        Janis (1985) menekankan kecenderungan cari – bertemu ini dalam kelompok yang mempunyai tingkat keterpaduan tinggi. Ketika kecenderungan ini menjadi hal yang secara umum dikuasai dalam kelompok, artinya, para anggota dalam kelompok kecil (kelompok dalam kelompok) memakai sumber – sumber pemikiran kolektif untuk mengembangkan rasionalisasi yang sejalan dengan imajinasi semu mereka megenai kekuatan yang dimiliki oleh organisasinya; kondisi menyerupai inilah yang menggambarkan sindrom groupthink (pemikiran kelompok).
      Janis (1985) menyampaikan analisis yang utuh mengenai kondisi-kondisi menyerupai apa saja yang mendorong terjadinya groupthink ini. Salah satu kondisi yang paling potensial memunculkan groupthink ini ialah adanya penghalang untuk melaksanakan kontak dengan anggota-anggota yang lain di dalam kelompok organisasi yang sama yang bukan termasuk dalam anggota dari kelompok kecil (di organisasi tersebut) yang merupakan kelompok pembuat kebijakan. Kurangnya pemimpin yang bisa bersikap adil (tidak berat sebelah) juga merupakan faktor yang mendorong terjadinya kecenderungan groupthink ini, terutama apabila sang pemimpin merupakan orang yang kharismatik dan daerah dimana para pengikutnya mencari kepuasan/ kesenangan. Dengan mengetahui prefrensi awal seorang pemimpin, hal tersebut sanggup mewarnai dan mengarahkan pola pikir anggotanya. Terlebih lagi, kurangnya norma yang mengharuskan para anggota organisasi untuk melaksanakan analisis yang sistematik, ditambah lagi dengan latar belakang social dan ideology yang homogen diantara para anggota organisasi, maka akan mengakibatkan terjadinya kesamaan cara berpikir.
      Demikian pula, konteks situasional sanggup mengakibatkan kondisi groupthink tetap terpelihara. Tekanan yang berat yang disebabkan oleh ancaman – ancaman eksternal, ditambah lagi dengan kecilnya keinginan bahwa sang pemimpin organisasi sanggup menjalankan solusi yang lebih baik, sanggup mendorong kelompok organisasi tersebut kedalam sebuah konsesus tanpa kritik di dalamnya. Lebih jauh, rendahnya kepercayaan diri kelompok tersebut, yang kadangkala disebabkan oleh kegagalan yang baru-baru saja dialami, kesulitan-kesulitan yang luar biasa, dan dilemma moral, menambah potensi munculnya groupthink. Seluruh kondisi pendahuluan ini mendorong munculnya kecenderungan terjadinya groupthink, yang pada saatnya nanti akan menghasilkan sejumlah konsekuensi dari terjadinya groupthink – keinginan berlebih, cara berpikir yang tertutup, dan tekanan untuk menciptakan kebulatan suara.
      Mari kita sederhanakan, ketika orang yang cerdas berpikir dengan cara yang sama, keputusan yang diambil pastilah keputusan yang jelek kualitasnya. Groupthink menyisakan masalah di masa kini yang telah ada dan berputar-putar dalam waktu yang panjang; perhatikan saja bagaimana keputusan untuk menginvasi Teluk Babi, atau eskalasi dari Perang Vietnam, dan tragedy pesawat Challenger NASA. Merupakan hal yang gampang bagi sebuah kelompok yang mempunyai kekompakan, ketika mereka berada di bawah tekanan, untuk menghasilkan sebuah kebulatan kata diatas motivasi mereka untuk menilai segala alternatif rangkaian tindakan yang lebih realistis.
TABEL 1
PERBANDINGAN DARI MODEL KLASIKAL, ADMINISTRATIVE, INCREMENTAL, DAN MIX SCANNING DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
KLASIKAL
ADMINISTRATIVE
INCREMENTAL
MIXED SCANNING
Tujuan ditetapkan lebih dulu untuk menciptakan alternatif
Tujuan biasanya ditetapkan lebih dulu untuk menciptakan alternatif
Menetapkan tujuan dan menciptakan alternative bersama
Garis besar kebijakan umum ditetapkan lebih dulu untuk menciptakan alternatif
Pengambilan keputusan  ialah analisis selesai cara untuk mencapai tujuan akhir; permulaan dan tujuan selesai yang ditentukan dan cara untuk mencapai tujuan diperoleh
Pengambilan keputusan ialah tipe analisis cara untuk mencapai tujuan akhir; bagaimanapun tujuan selesai ialah kesempatan sebagai hasil analisis
Karena cara dan tujuan bukan pecahan terpisah, analisis cara untuk mencapai tujuan selesai tidak sesuai
Pengambilan keputusan terfokus pada tujuan yang luas dan cara mencapainya yang sementara.
Uji dari keputusan yang baik ditunjukkan menjadi cara yang terbaik untuk mencapai tujuan
Uji dari keputusan yang baik ditunjukkan pada hasil dari cara mencapai tujuan yang memuas- kan; terbukti dengan penetapan kondisi yang mengikat
Uji dari keputusan yang baik ialah pembuat keputusan sanggup menyetujui sebuah alternative yang arahnya benar ketika keberadaan teorinya terbukti salah
Uji dari keputusan yang baik ditunjukkan oleh hasil dari keputusan yang memuaskan yang konsisten dengan kebijakan organisasi.

Optimalisasi
Kepuasan
Perbandingan berturut
Kepuasan yang adaptif
Menggunakan analisis komprehensif; semua alternative dan konsekuensinya dipertimbangkan
Menggunakan “pencarian masalah” hingga alternative yang masuk kebijaksanaan teridentifikasi
Batas drastic dari pencarian dan analisis; Fokus pada alternative yang menyerupai untuk keadaan yang ada. Banyak alternative dan hasil penting diabaikan
Batas pencarian dan analisis alternative menuntaskan masalah; tetapi penilaian sementara dari alternative dalam kerangka kebijakan. Lebih komprehensif dari pada metode incremental
Kepercayaan penuh pada teori
Percaya pada teori dan pengalaman
Perbandingan berturut turut mengurangi atau mengeliminasi kebutuhan akan teori
Teori, pengalaman dan perbandingan berturut-turut dipakai bersama-sama




A.    KESIMPULAN

Pengambil Keputusan (Decision Making) merupakan suatu proses pemikiran dari pemilihan alternative yang akan dihasilkan mengenai prediksi kedepan.Fungsi pengambilan keputusan individual atau kelompok baik secara institusional ataupun organisasional, sifatnya futuristic.(Hasan, 2004:10). Pengambilan keputusan ini merupakan sebuah proses dinamis yang memecahkan beberapa masalah organisasi.Dalam Hoy (2005:324) ada beberapa model dalam pengambilan keputusan yakni; Pertama, Model pembuatan keputusan klasikal memakai taktik optimalisasi untuk memaksimalkan pencapaian tujuan, tetapi  model ini lebih ideal daripada sebuah citra actual dalam praktek. Kedua, model administrative ialah taktik pembuatan keputusan pragmatis yang oleh beberapa direktur dipakai untuk memecahkan masalah dalam praktek.Ketiga, model incremental banyak dipakai dalam memutuskan, untuk mengatasi kekacauan. Keempat, model adaptif, menyatukan rasionalis dan kekompresifan model administrative dengan fleksibilitas dan kegunaan dari model incremental. Kelima, model kontigensi, dengan asumsi tidak ada cara terbaik untuk memutuskan sebagaimana tidak ada cara terbaik untuk mengatur, untuk mengajar, untuk melaksanakan riset, atau untuk banyak sekali pekerjaan lainnya.  Pada kiprah yang kompleks, pendekatan yang benar ialah yang paling cocok dengan keadaan. Keenam, model carbage menjelaskan pembuatan keputusan yang irasional Ketujuh, model Janis mann menjelaskan bahwa seorang pembuat keputusan yang merasa tertekan terkait dalam situasi dan proses pengambilan keputusan terhadap kualitas pengambilan keputusan, Kedelapan, model pengambilan keputusan bersama, seperti dipaparkan oleh Barnard (1938: 167), bahwa ada sebuah zona ketidakpedulian “dalam diri seorang individu, dimana permintaan-permintaan yang diajukan oleh orang lain diterima begitu saja tanpa ada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara sadar mengenai otoritas mereka.



B.     REFERENSI


Wayne K. Hoy & Cecil G. Miskel. 2005. Educational Administration, Theory, Research, and
Practice. New York: Mc Graw-Hill, International Edition.
Reason, James. 1990. Human Eror. Ashgate: ISBN 1-84014-104-2
Syamsi, Ibnu. 2000. Pengambilan keputusan dan system informasi. Jakarta: Bumi Aksara
Desmita, 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Suharman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi
Rahmat, Jalaludin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya
Hasan, M. Iqbal. 2004. Pokok-pokok Materi Pengambilan keputusan. Bogor: Ghalia
Indonesia, hlm 10







Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com