Tuesday, August 15, 2017

√ Character Building

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Character Building
Membangun karakter atau yang lebih terkenal dengan istilah Character Building, merupakan istilah yang sudah tidak absurd lagi bagi kita. Istilah ini biasanya banyak dijual di kursus-kursus kepribadian, bahkan diobral di seminar-seminar yang bertajuk pengembangan diri, entah itu dalam bentuk implementatif maupun hanya sekedar teori. Oleh kesannya masuk akal apabila kemudian timbul pertanyaan dari pembaca yang budiman : “Membangun karakter? Apa, sih?”. Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, pengertian karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, ibarat tabiat, watak, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Sedangkan pengertian dari membangun ialah proses pengolahan dan pembentukan suatu unsur atau bahan yang sudah ada menjadi sesuatu yang gres dan berbeda. Dari kedua pengertian tersebut, kita sanggup mengambil kesimpulan bahwa membangun karakter ialah suatu proses pembentukan watak atau budi pekerti. Tentunya dalam pengertian yang positif, tujuan dari pembentukan watak atau budi pekerti di sini ialah menjadi lebih baik dan terpuji dalam kapasitasnya sebagai langsung yang mempunyai nalar budi dan jiwa.
B.      Tazkiyat al-Nafs
Pembicaran konsep tazkiyatun nafs ini, berawal dari perkiraan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pemikiran Islam dengan jiwa manusia. Tazkiyatun nafs merupakan salah satu unsur penting dalam Islam yang untuk itulah nabi Muhammad dibangkitkan sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya
  
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta aksara seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Jum’ah (62) : 2)

Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) berarti Tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang mempunyai makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan. Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam ialah untuk membimbing umat insan dalam rangka membentuk jiwa yang suci.
Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari simpulan hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia semoga jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi harus berupaya wa sallam ke dunia ini tak lain ialah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat terang pada jiwa para sobat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.
Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya. Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam Al-Qur’an tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah sebagai berikut:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, Dan bulan apabila mengiringinya, Dan siang apabila menampakkannya, Dan malam apabila menutupinya[1579], Dan langit serta pembinaannya, Dan bumi serta penghamparannya, Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams (91) : 1-10)
[1579] Maksudnya: malam-malam yang gelap.                            
Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan bawah umur tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa memberi manfaat ialah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim , yaitu hati yang higienis dan suci.
Firman Allah:

“(yaitu) di hari harta dan bawah umur pria tidak berguna, Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,”. (QS. Asy-Syu’araa’ (26) :88-99).
C.      Hakekat Tazkiyatun Nafs
Secara umum acara tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu
  1. Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang seluruh penyakit hati.
  2. Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji.
Kedua hal itu harus berjalan seiring, dihentikan hanya dikerjakan satu kepingan kemudian meninggalkan kepingan yang lain. Jiwa yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar. Ibaratnya ibarat sepasang pengantin, sebelum berhias dengan bermacam-macam hiasan, mereka harus mandi terlebih dahulu semoga badannya bersih. Sangat jelek andaikata belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya tentu sebuah pemandangan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat akan tercium anyir tak sedap.
D.     Mujahadah
Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia. Dengan beribadah, insan mengakibatkan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi insan sebagai hamba wajib berbakti (beribadah).
Mujahadah ialah sarana menawarkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada insan ialah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.  
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kau akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, kemudian diberitahukan-Nya kepada kau apa-apa yang telah kau kerjakan.”
Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan berinfak shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah. Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.
Jiwa yang mempunyai rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sesungguhnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah belakang layar batinnya melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisaburi[1][2]  mengomentari perihal mujahadah sebagai berikut:
Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan. Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak harapan hawa nafsunya. Manakala jiwa bangun memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar. Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), ialah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina budbahasa dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit.
Mujahadah ialah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan keyakinan dan taqwa.

“Dan sesunggunya Kami telah membuat insan dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) dikala dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf (50): 16-18). [2][3]
Imam al-Ghazali mendefinisikan dunia sebagai segala objek yang sanggup ditemukan. Berdasarkan pengertian ini, dunia bisa dikatakan sebagai bumi dengan segala yang ada padanya. Al-Ghazali membagi keterkaitan insan dengan dunia menjadi dua, yaitu keterikatan batin (hati) dan keterkaitan zhahir. Keterikatan batin atau hati tercermin dari rasa cinta pada dunia dan keterikatan zhahir tercermin dari kesibukan fisik meladeni dunia tersebut.
E.      Riyadhah
Riyadhoh atau disiplin asketis atau latihan kejuhudan dipahami oleh ibnu Arabiy sebagai: tahdzibul budbahasa (pembinaan ahklak) yaitu tankiyyatuha watathiiruha mimma laa yaliiku biha (penyucian dan pencucian jiwa dari segala hal yang tidak patut untuk jiwa). Karena itu riyadhoh ialah alat dan bukan tujuan. Disamping istilah Riyadhah ,para ulama Tasawwuf juga memakai istilah ‘mujahadah’.Imam qusyairi menempatkanya dalam rangkaian maqomat atau madarij arba as-saluk, sedangkan Abdul Wahab Sa’roni menempatkanya sebagai kepingan dari Adab al-murid Finafsihi (etika murid terhadap diri sendiri).
Para ulama thoriqoh melandaskan riyadhoh atau mujahadah ini pada banyak ayat Alqur’an hadist Rasulullah dan penuturan pengalaman para ulama tashowuf. Di antara ayat Alqur’an yang mereka jadikan pegangan antara lain, firman Allah :

“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari harapan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah daerah tinggal(nya).” (QS. An-Naziat (79) : 40-41)
Demikian pula ayat lain,

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut (29) : 69)
Adapun hadist yang di jadikan landasan ialah penegasan Rasulullah yaitu perihal fungsi kerasulanya; inama buistu li utammima makarimal budbahasa (HR Baehaki dari Abu Hurairoh). Atau Hadist lain ; afdolull jihad kalimatu adlin inda shultonin jaiirin ; Jihad yang paling utama ialah mengemukakan kata keadilan dihadapan penguasa yang semena mena (HR Abu daud)
Mengemukakan keberanian dihadapan penguasa dzalim tentu membutuhkan keberanian dan tidak takut kecuali dengan Allah . Sifat ini mustahil berubah menjadi bila kita masih dikuasai hawa nafsu dan cinta dunia. Urgensi riyadhoh atau mujahadah dikemukakan oleh banyak ulama, Abu Ali ada-daqok guru imam Qusyairi, menyatakan : Man jayyana dhohirohu bil mujahadah (riyadoh) hassanallohu sarooirohu bil msyahadah, wa’lam anna man lam yakun fi bidayatihi shohiba mujahadatin lam yajid min hadihit thoriqotihi ( siapa yang menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadah (riyadoh) Allah memperindah bathinnya dengan kemampuan musyahadah (menyaksikan ke agungan Allah dengan hatinya, menyaksikan yang ghoib sejelas yang dilihat mata lahiriyahnya) Dan ketahuilah bahwa siapa yang pada awalnnya tidak mujahadah, maka ia tidak akan merasakan semerbak aroma wangi dalam Thoriqoh.
Dengan agak sedikit mengancam Abu Usman almagribi berkata: Man donna annahu yuftahu lahu sa’iun min haadhihit thoriqot au yuksafa lahu an syai’n minha illa bilujumil musyahadah fahuwa mukhtiun. (siapa yang menerka bahwa ia akan di bukakan sesuatu untuknya thoriqoh ini atau di sibakan sedikit saja dari thoriqoh ini tanpa mujahadah sungguh ia keliru. Ungkapan terkenal (((al haroka barokah juga bisa di pahami dalam kontek riyadhoh . Abu Ali addaqqoq mengungkapkan dengan kalimat ”Harokatuddowahir tujibu barokatus sarooir “ gerakan tubuh lahiriyyah (mujahadah riyadhoh) menghasilkan keberkahan pada jiwa. Yahya bin mu’adz sebagai mana di kutip imam Al Ghozali menegaskan : a’daul insan salasatun : dunyahu wasaithonun wanafsuhu fahtaris minaddunyahu bijjuhdi wa minassyaithonu bimukholafatihi waminannafsi bittarkissahawat. Arriyadotu ala arbaati aujuhin : al quutu minatto’am walgomdu minal manam walhajatu minal kalam wal hamlul ada min jamiil anam fayatawalladu min killatit to’am mautussahawati wamin killatil manam shofwul iroodaah wamin killatil kalam assalamatu minal aafat wamin ihtimaalil adaa albulugu ilal gooyaat : riyadoh itu meliputi 4 aspek, 1) Mengurangi masakan pokok 2) Mengurangi tidur 3) Mengurangi bicara yang tidak perlu 4) Dan menanggung derita lantaran di ganggu banyak orang.
Target mengurangi makan supaya mengendalikan harapan liar yaag menjerumuskan, sasaran sedikit tidur bersihnya banyak sekali keinginan, sasaran sedikit bicara selamet dari banyak sekali bencana, sasaran menanggung derita diganggu banyak orang ialah hingga tujuan.
F.       Macam-macam Mujadah
•  Mujahadah Yaumiyah, Mujahadah yang dilaksanakan setiap hari oleh seiap pengamal Wahidiyah setelah melaksanakan mujahadah 40 hari.
•  Mujahadah Usbu iyyah, Mujahadah berjamaah yang dilaksanakan seminggu sekali oleh pengamal Wahidiayah satu kelompok / satu kampung / satu desa yang diatur oleh Penyiar Sholawat Desa.
•  Mujahadah Syahriyah, mujahadah yang dilaksanakan oleh pengamal Wahidiyah sewilayah kecematan dalam sebulan / delapan hari sekali, yang diatur oleh pengamal Wahidiyah Desa.
•  Mujahadah Rubu’usanah, Mujahadah yang dilaksanakan oleh pengamal Wahidiyah sekab./ Kodya dalam tiga bulan sekali yang diatur oleh pengamal Wahidiyah Kab. / Kodya.
•  Mujahadah Nishfusana, ialah yang dilaksanakan seluruh pengamal Wahidiyah sewilayah propinsi dalam setengah tahun sekali yang diatur oleh penyiar Sholawalat Wahidiyah Propinsi.
•  Mujahadah Kubro, Mujahadah yang dilaksanakan seluruh pengamal Wahidiyah dua sekali setahun yaitu : Bulan Suro, / Muharam dan Bulan Rojab, yang diatur oleh Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat.
•  Mujahadah Khusus, Mujahadah yang dilaksanakan secara khusus . contohnya Mujahadah yang dilaksanakan sebelum melaksanakan tugas, Mujahadah Lapanan, Triwulan, Kubro dsb.mujahadah yang dilaksanakan secara khusus oleh anggota Penyiar Sholawat Wahidiyah.
•  Mujahadah Non stop, Mujahadah yang diklaksanakan terus – menerus dalam waktu yang di tentukan secara estafet.
•  Mujahadah Momenti / Waktiyah, Mujahadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu yang diintruksikan oleh Penyiar Sholawa wahidiyah Pusat contohnya Menjelang Pemilu, Hari Besar Islam / Nasional dsb.
•  Mujahadah Muqaddimah, Mujahadah yang dilaksanakan dalam resepsi acara–acara Wahidiyah, lazimnya sebagai mata program yang ketiga atau mujahadah yang di laksanakan sebelum musyawarah- musyawarah Wahidiyah / pengajian–pengajian Wahidiyah, mujahadah tersebut istilah populernya disebut ‘‘ Muqodimah Sholawat Wahidiyah ''  
• Mujahadah 40 hari. Mujahadah yang dilaksanakan selama 40 hari dengan cara-cara sebagaimana yang tertulis didalam Lembaran Sholawat Wahidiyah.
Cara mengendalikan jiwa
1. Meminta santunan kepada Allah Swt. Dengan berdoa, “wahai Tuhan, buatlah saya membenci segala sesuatu yang tidak ku senangi. “Insya Allah, engkau akan melihat dirimu membenci segala yang mengundang marah Allah Swt. Jika ingin meninggalkan maksiat apa pun, engkau harus menghampiri Zat yang menggengam kalbumu. Mungkin akan memakan waku lama, lantaran Allah ingin menguji kejujuran tekadmu.
2. Mendengarkan ceramah-ceramah agama. Ingatlah keyakinan kadang bertambah dan kadang berkurang. Ketika insan mendengarkan ceramah agama dan memperoleh pengetahuan gres serta menerapkannya selama dua, tiga, atau empat hari, pasti ia bertambah taat. Allah Swt. Berfirman, “dan berikanlah peringatan, lantaran peringatan sungguh bermanfaat bagi orang-orang mukmin.” (QS. Al-Dzariyat:55)
3. Menetapkan tujuan. Ketika pikiran selalu mengarah kepada harapan untuk meraih ridha Allah Swt. Dan masuk ke surga, pasti setiap hari ia aka berupaya untuk lebih mengendaliakan jiwa. Ketika ridha Allah Swt. Mendapat posisi lebih besar di hatimu, bertambahlah usaha dan perjuanganmu lantaran engkau mempunyai tujuan besar masuk ke nirwana dan meraih ridah Tuhan.
4. Yakin pada diri sendiri bahwa engkau bisa meningglakan maksiat dan tidak  akan kembali kepadanya.
5. Meninggalkan sahabat-sahabat yang jelek perangainya.
Semoga kita bisa mengendalikan nafsu. Kita sering memberi nafsu apa yang diinginkannya. Kita harus berjuang mengendalikan nafsu semoga kita tidak terjebak oleh hawa nafsu yang jahat. Dengan jiwa, engkau bisa melaksanakan apa yang kau inginkan serta menggabungkan kebahagiaan dunia dan alam abadi sekaligus. Jiwa insan di alam abadi nanti hanya berupa salah satu dari dua jiwa, yaitu:  jiwa yang senang atau jiwa yang sengsara.[3]
G.     Pembinaan Akhlak Anak
Anak dilahirkan membawa ftirah suci, namun fitrah tersebut berada di dalam lubuk jiwanya, Orang bau tanah (ibu bapak, keluarga) dan lingkungan harus bisa berbagi dan menampakan fitrah tersebut dalam dunia nyata. Penyimpangan atas fitrah tersebut merupakan ialah dampak negatif dari mereka, khususnya ibu bapak. Dalam konteks ini, sangat terkenal sabda Nabi Muhammad saw. Yang menyatakn bahwa:
Ssetiap anak dilahirkan atas dasar fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang mengakibatkan menyimpang dari fitrah tersebut.
Di sebabkan oleh peranan orang bau tanah yang demikian besar, sehingga anak yang menyimpang sanggup menyeret orang tuanya untuk ikut bertanggung jawab akhir kelalaiannya mendidik.
Dalam konteks berbagi fitrah serta menghiasi kepribadian anak, ditemukan literatur agama sekian banyak tuntunan guna menyiapkan lahan yang subur demi berkembangnya budbahasa manusia. Tuntunan tersebut sanggup disimpulkan dengan kata “penghoramatan terhadap anak”.
Anak bukannya barang atau hewan yang hanya membutuhkan makan, minum, atau bermain, dan tidur saja, tetrapi dia ialah insan yang mempunyai perasaan, kendati dia lemah. Dia mempunyai potensi yang sangat memadai untuk di diolah dan sanggup menjadikannya insan yang berprestasi dan bermanfaat.
Karena itu ditemukan Nabi saw. Memperlakukan bawah umur sedemikan rupa sehingga anak tidak merasa dilecehkan atau dianaktirikan. Nabi saw. Misalnya mengucapkan salam dan berjabat tangan dengan mereka. Ini untuk memupuk rasa percaya diri dan menanmkan dalam jiwa mereka bahwa eksistensinya diakui oleh masyarakat. Beliau juga senang bermain dengan mereka semoga anak sanggup merasa bahwa apa yang dilakukannya, bukan saja di restui, tetapi juga dianggap penting oleh orang dewasa. Ini merupakan salah satu upaya untuk mengakibatkan anak lebih dekat dengan orang tuanya yang pada gilirannya mengakibatkan sang anak lebih terbuka. Di sisi lain, melalui permainan sanggup terungkap ke pribadian anak, serta tingkat kecerdasan pikiran dan emosionalnya.
Dalam konteks penghormatan kepada anak itu dan training akhlaknya di tmukan juga sabda Rasul saw. Yang menyatakan:
“Allah merahmati seorang ayah yang membantu anaknya untuk berbakti kepadanya”  seseorang bertanya: “bagai mana cara dia membantunya?” Beliau menjawab: “Dia merima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, tidak membebaninya, tidak pula memakinya. Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia sanggup melahirkan kedurhakaan melalui anaknya”.
Sungguh benar pesan yang menyatakan :
Jika anak disalahkan, dia berguru mencemoohkan.
Jika anak dihina, dia hidup menjadi penakut.
Jika ia di permalukan, ia selalu merasa bersalah.
Jika ia hidup dalam permusuhan, ia berguru berkelahi.
Perhatian Nabi saw. Terhdap anak dalam rangka “menghormatinya” mengakibatkan dia mempercepat shalatnya untuk menghentikan tangisnya atu memperlambatnya guna memberi kesempatan kepada anak menunggang punggung dia yang sedang sujud. Dalam konteks memelihara perasaan anak, dia menegur seorang pengasuh yang merenggut dengan berangasan seorang anak yang “pipis” pada pangkuan Rasul. Beliau bersabda: “kencing yang membasahi bajuku ini sanggup dibersihkan dengan air, tetapi apa yang sanggup menjernihkan kekeruhan hati anak ini dari renggutan mu itu”
Alhasil, mengakui kepribadian anak dan kemandiriannya serta hak-haknya ialah syarat utama untuk nlahirnya dari mereka anak mulia.
Kita sanggup menuntut dari bawah umur kita untuk menampilkan akhalk mulia,jika kita tidak mempersiapkan lahan yang subur untuk mengakibatkan mereka bisa menampilkannya, yakni perhatian orangtua, keluarga, bacaan yang bermutu, dan lingkungan yang sehat.
 
BAB III
KESIMPULAN
Perlu kita ketahui bahwa gerak jiwa dan hati nurani ialah inspirasi bagi hati jasmani yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk sikap dan watak manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila baik, maka baik pulalah seluruh tubuh. Apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah ia ialah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Memang segala sifat yang dimiliki oleh jiwa akan meluap keluar dan bekas-bekasnya itu tentu tampak sekali diantara anggota lahiriyah, sehingga anggota-anggota tadi tidak akan bergerak sama sekali melainkan sesuai berdasarkan irodah jiwanya. Ini sudah pasti dan tidak bisa diingkari lagi.
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya “Igotsatul Lahfan” : Hati ialah raja bagi semua anggota badan. Seluruh anggota tubuh akan melaksanakan segala perintahnya dan mendapatkan apa saja yang diberikannya. Tidak ada satu perbuatanpun yang bisa terealisasi dengan benar, kecuali jikalau muncul dari kehendak dan niat hati. Hatilah yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Maka lantaran itulah memperbaiki dan meluruskan hati merupakan perhatian utama yang dilakukan orang-orang yang menempuh jalan menuju ridlha Allah. Lebih jelasnya Abdurrahman Habanakah Al Maidani menyebutkan : Secara tabi’at kapan seseorang itu suci jiwanya, maka akan luruslah akhlaq (perilakunya) baik yang dhohir maupun yang batin.
Meskipun akhlaq karimah itu kadang memang sudah merupakan watak orisinil (fithrah) seseorang. Namun sesungguhnya hal itu sanggup diperoleh dan diusahakan dengan jalan latihan, yaitu dengan cara membiasakan untuk melaksanakan hal tersebut atau dengan jalan pergaulan, yaitu dengan menyaksikan dan berkawan dengan orang yang sholih.
Akhlaqul mahmudah yang merupakan cermin dari sucinya jiwa. Menghiasi diri dengan akhlaq yang terpuji dan membersihkannya dari akhlaq yang tercela ialah merupakan usaha untuk tazkiyatun nafs (mensucikan jiwa), sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat : “Telah beruntung orang yang mensucikan jiwanya dengan taat kepada Allah dan membersihkannya dari akhlaq yang rendah dan hina.”



[1][2] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”.
[2][3] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’.
[3] Amr Khaled, Terjemahan Akhlaq al-Mu’min, Jakarta:2010, hlm. 356-357

Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com