Friday, August 11, 2017

√ Ijma

PEMBAHASAN
IJMA’
                Obyek ijma' ialah semua kejadian atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, kejadian atau kejadian yang bekerjasama dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak eksklusif ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang bekerjasama dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits
1.       Pengertian ijma'
                Ijma' berdasarkan bahasa Arab berarti akad atau sependapat wacana sesuatu hal, menyerupai perkataan seseorang. أجمع القوم على كذا  yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) wacana yang demikian itu.”
                Ijma’ dalam arti lughawi (bahasa) ialah bentuk masdar dari kata جمع  atau أجمع yang berarti setuju, berkumpul, bersatu pendapat, mengumpulkan pendapat, bersepakat, atau kata lain yang semakna. Juga boleh diartikan mengumpulkan pendapat dan kemudian menyepakatinya. Menurut istilah andal ushul, ijma’ diartikan sebagai berikut ;
ألاجمع هو إتفاق المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاةالرسول على حكم شرعي فى واقعة
                Ijma’ ialah akad segenap mujtahidin dari kaum muslimin, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Mengenai aturan syara’ berkenaan dengan ketetapan aturan suatu kasus tertentu. Sebagai teladan ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia dibutuhkan pengangkatan seorang pengganti dia yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas akad bersama pula diangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang menyerupai ini sanggup dikatakan ijma'.
                Dari pengertian ijma’ tersebut, dapatlah difahamkan bahwa ijma’ harus terdiri dari 4 unsur sebagai berikut :
a.       Terdapat beberapa orang mujtahid ketiak aturan itu terjadi, alasannya ialah akad hanya terjadi apabila ada beberapa pendapat  yang dikemukakan oleh beberapa orang dan pendapat-pendapat itu bersesuaian satu sama lain.
b.      Terdapat akad diantara para mujtahid terhadap aturan yang mereka putuskan, dengan tidak memandang suku bangsa ataupun golongan. Karena tidak sanggup dikatakan ijma’ apabila kespakatan itu hanya terjadi dikalangan Fuqoha indonesia atau ulama Syi’ah saja, melainkan harus merupakan akad seluruh mujtahid alam islam (dunia islam).
c.       Kesepakatan atau persetujuan mujtahidin tersebut haruslah dinyatakan secara tegas melalui perkataan atau perbuatan, menyerupai mempraktekannya dalam putusan pengadilan atau dalam kehidupan sehari-sehari.
d.      Kesepakatan tersebut haruslah merupakan akad bulat. Bukan merupakan akad dominan apalagi minoritas.

                Apabila ke-4 unsur diatas terpenuhi, maka aturan yang dibangun atas dasar ijma’ tersebut sanggup dinilai qot’i dan menjadi keharusan kaum muslimin untuk mematuhinya, sebagaimana sanggup dipahami dari dasar kehujjahan ijma’.
2.       Dasar aturan ijma'
Dasar aturan ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan logika pikiran.
a.       Al-Qur'an
Allah SWT berfirman:
ياأيهاالذين أمنوأطيع الله وأطيعوا الرسول وأولى الامر منكم ( النساء )
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)
                Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum mencakup urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
                Dari ayat di atas dipahami bahwa bila para ulil amri itu telah sepakat wacana sesuatu ketentuan atau aturan dari suatu peristiwa, maka akad itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Firman AIlah SWT:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا
Artinya:
"Dan berpeganglah kau semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kau bercerai-berai." (Ali Imran: 103)
                Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan tidak boleh bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
Firman Allah SWT:
ومن يشاقق الرسول من بعد ماتبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ماتولى ونصله جهنم وساءت مصيرا
                Artinya: "Dan barangsiapa yang menantang Rasul setelah terperinci kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisâ': 115)
                Pada ayat di atas terdapat perkataan sabîlil mu'minîna yang berarti jalan orang-orang yang beriman. Jalan yang disepakati orang-orang beriman sanggup diartikan dengan ijma', sehingga maksud ayat ialah: "barangsiapa yang tidak mengikuti ijma' para mujtahidin, mereka akan sesat dan dimasukkan ke dalam neraka."
b.      AI-Hadits
                Bila para mujtahid telah melaksanakan ijma' wacana aturan syara' dari suatu kejadian atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, alasannya ialah mereka mustahil melaksanakan akad untuk melaksanakan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
لاتجتمع أمتى على خطاء
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melaksanakan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Pada hadits lain rasulullah SAW bersabda :
مارأى المسلمون حسنافهو عندالله حسن
Artinya : Apa-apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, di sisi Allah akan dipandang baik juga. (HR. Ahmad)

c.       Akal pikiran
                Setiap ijma' yang dilakukan atas aturan syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok fatwa Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok fatwa Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia memakai nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya bila dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang sanggup dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, alasannya ialah itu ia boleh memakai dalil-dalil yang bukan nash, menyerupai qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melaksanakan menyerupai yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, alasannya ialah semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melaksanakan menyerupai ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama wacana aturan suatu kejadian lebih utama diamalkan.
3.       Sendi-sendi (rukun-rukun) ijma'
                Dari definisi dan dasar aturan ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh memutuskan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
  1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya kejadian dan para mujtahid itulah yang melaksanakan akad (menetapkan aturan kejadian itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu kejadian tentulah tidak akan terjadi ijma', alasannya ialah ijma' itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
  2. Yang melaksanakan akad itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika akad itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka akad yang demikian belum sanggup dikatakan suatu ijma'.
  3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain wacana aturan (syara') dari suatu kejadian yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam akad itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus mendapatkan suatu keputusan. Kesepakatan itu sanggup dilakukan dengan banyak sekali cara, menyerupai dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu perilaku yang menyatakan bahwa ia baiklah atas suatu keputusan aturan yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
  4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan akad yang lingkaran dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu akad oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum niscaya ke taraf ijma'. Ijma' yang demikian belum sanggup dijadikan sebagai hujjah syari'ah.
4.       Kemungkinan terjadinya ijma'
                Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin semenjak zaman Rasulullah SAW hingga sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma' sanggup dibagi atas tiga periode, yaitu:
  1. Periode Rasulullah SAW;
  2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab; dan
  3. Periode sesudahnya.
                Pada masa Rasulullah SAW, dia merupakan sumber hukum. Setiap ada kejadian atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka eksklusif menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya eksklusif menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang memutuskan aturan suatu kejadian atau kejadian yang mereka alami.
                Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah memiliki pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau kejadian yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang kasatmata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini ialah alasannya ialah pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping tempat Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sobat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
                Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh, perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, menyerupai peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang populer dengan perang Jamal, timbul golongan Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.
                Disamping itu tempat Islam semakin luas, semenjak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) hingga kebagian tengah benua Afrika, semenjak ujung Afrika Barat hingga Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melaksanakan ijma' dalam keadaan dan luas tempat yang demikian.
Dari keterangan di atas sanggup diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Ijma' tidak dibutuhkan pada masa Nabi Muhammad SAW;
  2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman hingga dikala ini mustahil terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya tempat yang berpenduduk Islam.
                Pada masa kini telah banyak berdiri negara-negara Islam yang berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya dominan beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, dominan penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan dewan legislatif India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu sanggup dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman hingga kini sekalipun ijma' itu hanya sanggup dikatakan sebagai ijma' lokal.
                Jika demikian sanggup ditetapkan definisi ijma', yaitu keputusan aturan yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat Islam. Karena sanggup dikatakan sebagai ulil amri sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagaiahlul halli wal 'aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk menciptakan undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
                Hal yang demikian dibolehkan dalam agam Islam. Jika agama Islam membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bantu-membantu memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian memutuskan suatu aturan atau peraturan. Pendapat sebagai hasil perjuangan yang dilakukan orang banyak tentu lebih tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
5.       Macam-macam ijma'
                Sekalipun sukar pertanda apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu sanggup ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
a.       ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan terperinci dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut jugaijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
  1. Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan terperinci dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak menunjukkan reaksi terhadap suatu ketentuan aturan yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' menyerupai ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', sanggup dibagi kepada:
a.       ljma' qath'i, yaitu aturan yang dihasilkan ijma' itu ialah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa aturan dari kejadian atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
  1. ljma' dhanni, yaitu aturan yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa aturan dari kejadian atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
                Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
a.       Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sobat Rasulullah SAW;
  1. Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya sanggup dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak sanggup dilakukan lagi;
  2. Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
  3. Ijma' andal Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' andal Madinah merupakan salah satu sumber aturan Islam berdasarkan Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber aturan Islam;
  4. Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber aturan Islam.


6.       Berlalunya Masa Ijma’

                Permasalahan yang kerap di hadapi oleh ijma ialah apakah ijma dihukumi masih berlaku bila masanya telah berlalu dan semua mujtahid yang ikut dalam ijma ini sudah meninggal. Untuk menjawab hal tersebut sanggup dilihat pendapat para ulama sebagai berikut:
a.       Imam Ahmad bin Hambal, Abu bakar Ibnu Al-fauraq, dan sebagian ulam kecil Syafi’iyah beropini bahwa berlalunya masa dan meninggalnya penerima ijma menjadikan ijma itu tidak berlaku lagi. Alasan mereka bahwa pernah terjadi penyimpangan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh ijma.
b.      Menurut Jumhur ulama yang terdiri kebanyakan pengikut Syafi’iyah, Abu Hanifah, Ulama kalam Asy’ariyah dan Mutazilah. Mereka beropini bahwa berlalunya masa dan meninggalnya semua ulama mujtahid bukan syarat tidak berlakunya ijma. Artinya ijma masih tetap berlaku. Alasan mereka alasannya ialah kehujaan ijma ini berdasar kepada al-Quran dan sunah Nabi. Kedua sumber tersebut tidak lapuk dengan berlalunya masa. Dan mereka pun beralasan bahwa hakekat ijma ialah kesepakatan. Kekuatan aturan terletak pada kesepakan ini bukan alasannya ialah meninggalnya pesrta ijma.






























DAFTAR PUSTAKA

1.       Shiddiq, Sapiuddin. Ushul fiqih. Jakarta: kencana, 2011.
2.       Djauharuddin. Pengantar bushul fiqih. Bandung:  media pembinaan, 1992.
3.       Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina utama, 1994.

4.       Syafe’i, Rachmat. Ilmu ushul fiqih. Bandung: Pustaka setia, 2010.

Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com