Akhlak kepada Allah
Akhlak kepada Allah sanggup diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh insan sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Keharusan itu sangatlah logis lantaran begitu banyak nikmat-Nya yang tercurah pada manusia. Di mana dengan limpahan nikmat-Nya itulah manusiadapat menjalani segala acara kehidupannya sebagai khalifah di muka bumi.
Menutur Prof. Dr. Abudin Nata[1] lewat bukunya “Akhlak Tasawuf”, sekurang-kurangnya ada empat alasan kenapa insan perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, lantaran Allah-lah yang telah membuat manusia. Menciptakan insan dari tanah yang kemudian berproses menjadi tepat di dalam janin.
12. dan Sesungguhnya Kami telah membuat insan dari suatu saripati (berasal) dari tanah.13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam daerah yang kokoh (rahim).
Kedua, lantaran Allah telah menawarkan perlengkapan pancaindra kepada manusia, berupa pendengaran, penglihatan, budi pikiran, dan sanubari, disamping anggota tubuh yang kokoh dan tepat kepada manusia. (Q.S. an-Nahl ayat, 16:78)
78. dan Allah mengeluarkan kau dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kau pendengaran, penglihatan dan hati, semoga kau bersyukur.
Ketiga, lantaran Allah-lah yang telah menyediakan banyak sekali materi dan sarana yang diharapkan bagi kelangsungan hidup manusia, baik berasal dari air, udara, tanah, tumbuhan dll. (Q.S. Al-Jatsiyah, 45:12-13)
12. Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal sanggup berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kau sanggup mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kau bersyukur. 13. dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Keempat, lantaran Allah telah memuliakan insan dengan diberikannya kemampuannya menguasai daratan dan lautan. Liihat (Lihat Q.S. al-Isra, 17:70).
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan belum dewasa Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang tepat atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Namun, jangan menyangka bahwa Allah membutuhkan budpekerti baik insan kepada-Nya, tidak sama sekali tidak. Kebesaran Allah tidak akan menambah sedikitpun lantaran moral baik kita kepada-Nya dan kemuliaann-Nya tidak akan berkurang sedikit pun dikarenakan kedurhakaan insan terhadap-Nya.
Masih berdasarkan Abuddin Nata, banyak cara yang sanggup dilakukan untuk beradab kepada Allah. Diantaranya dengan tidak menyekutukan-Nya. (lihat Q.S. an-Nisa, 4:116)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا [٤:١١٦]
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
takwa kepada-Nya (QS. As-Syu’araa, 163)
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ [٢٦:١٦٣]
maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.
bertaubat kepada-Nya (QS. al-Baqarah 2:222)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [٢:٢٢٢]..
..Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
mencintai-Nya (QS. al-Nahl, 16:72), mensyukuri nikmat-Nya (QS. al-Ghafir, 40:60), beribah kepada-Nya(QS. al-Dzariyat, 51:56), menirukan sifat-sifat-Nya dan berusaha mencari keridhaannya (QS al-Fath, 48:29).[2]
Semetara itu Prof. Dr. M. Quraisy Shihab menyampaikan bahwa titik tolak akkhlak kepada Allah ialah legalisasi dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memilki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak akan bisa menjangkaunya[3]. Berkenaan dengan moral kepada allah dilakukan dengan cara banyak memujinya (QS. An-Naml, 27:93),
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ سَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ فَتَعْرِفُونَهَا ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ [٢٧:٩٣]
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu gejala kebesaran-Nya, maka kau akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kau kerjakan".
Selanjutnya sikap tersebut dilanjutkan dengan senantiasa bertawakkal kepada-Nya (QS. Al-Anfal, 6:61)
وَإِن يُرِيدُوا أَن يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ ۚ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ [٨:٦٢]
Dan kalau mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. yakni menimbulkan Tuhan sebagai satu-satunya yang menguasai diri manusia.
Akhlak Terhadap Rasulullah SAW.
Sebagaimana yang diriwayatkan mengenai sikap rasulullah SAW, bahwa baginda tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya, melainkan dipukulnya lantaran fi-sabilillah Ta’ala. Baginda juga tidak pernah menyimpan dendam lantaran sesuatu yang dilakukan terhadap dirinya. Melainkan melihat kehormatan Allah SWT. Jika baginda menentukan antara dua perkara, tanpa ragu-ragu lagi baginda akan menentukan yang paling ringan dan gampang antara keduanya, kecuali kalau pada masalah itu ada dosa, ataupun akan mengakibatkan terputusnya korelasi silaturrahim, maka baginda akan menjdi orang yang paling jauh sekali darinya.
Tiada pernah seseorang yang pernah tiba kepada nabi SAW. Baik mereka merdeka atau hamba sahaya ( hamba sahaya wanita ) mengadukan keperluannya, melainkan baginda akan memenuhi hajat masing-masing. Anas r.a berkata : demi dzat yang mengutusnya dengan kebenaran. Ia ( nabi ) tiada pernah berkata padaku dalam masalah yang tiada diinginkanya, mengapa engkau lakukan itu. Dan apabila istri-istri memarahiku atau sesuatu yang saya lakukan, maka ia berkata kepada mereka: biarakanlah si Ana situ, dan jangan dimarahi, sebenarnya tiap-tiap sesuatu itu berlaku berdasarkan ketentuan dan kadar.
Temasuk ahklaknya yang mulia, ia memulai member salam kepada siapasaja yang bdi temuinya. Jika ada orang yang mengasarinya lantaran sesuatu keperluan, ia menyebarkannya sehingga ornag itu memalingkan muka daripada baginda, bila berjumpa salah seorang sahabatnya, segera dia akan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Baginda tidak pernah bangun atau duduk, melainkan lidahnya senantiasa menyebut nama Allah SWT. Sering kali bila sedang sembahnyang. Lalu ada tamu yang tiba lantaran sesuatu keperluan, maka segeralah meringkaskan sembahnyangnya untuk menyambut tadi.
Bila baginda berada didalam suatu majelis antara para sahabatnya maka tidak pernah di khususkan satu daerah baginya, melainkan dimana saja sesuai baginda tiba di sutulah dia akan duduk. Baginda rasulullah SAW ialah seorang yang amat jarang marahnya, teapi kalau ia murka segera ingat dengan Allah SWT. Baginda ialah orang yang paling banyak menawarkan manfaat kepada seluruh manusia. Rasulullah saw ialah seorang yang amat lapang dada dan suka memaafkan orang lain meskipun banginda bisa membalas dendam. Dalam peristiwa-peristiwa yang lain banyak sekali parah sabat meminta izin membunuh orang-orang yang berbuat jahat kepada dirinya, rasul tidak setujuh dan melarannya. Beliau bersabda:
“Jangan hingga ada seorang dari kau yang memberikan sesuatu informasi perihal seorang dari sahabtku, sesungguhnya saya ingin keluar kepadamu sedangkan saya dalam keadaan berlapan dada”. Rasulullah saw ialah seorang yang berwatak lemah lemah lembut pada segala hal, lemah lembut laihr dan batin. Sering sekali rasulullah bersikap merendah diri memperkecil kedudukannya, rasulullah senantiasa memohon kepada Allah swt semoga memperhiaskan dirrinya dengan tata sopan yang mulian dan budi pekrti yang luhur, Allah swt berfirman “ jadilah engkau pemaaf dan surulah ornag mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. Al-A’raf; 199). Alquran juga mendidik baginda supaya melaksanakan keadilan, melaksanakan kebaikan terhadap orang banyak, ingat kepada kaum kerabat, melarang para kaum kerabat, segala macam kemungkaran, dan kekejihan. Firman Allah swt : “Seungguhnya Allah menyuruh” (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, member kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan kejih, kemungkaran dan permusuhan. Dia member pengajaran kepadamu semoga kau sanggup mengabil pelajaran’ (QS. An-Nhal : 90).
Adab –Adab Shalat
Sebagai seorang muslim, wajiblah ia menjalankan rukun islam yang lima itu. Salah satunya yakni mendirikan shalat. Ibadah ini merupakan ibadah harian yang didirikan oleh setiap muslim sebagai akomodasi menghadap Allah SWT dengan syarat dan rukun tertentu. Baik ia dalam keadaan sehat maupun sakit, menetap atau bepergian. Jika tidak didirikan tanpa adanya udzur, tentu sanggup dikatakan ada sesuatu yang salah dengan ruhani muslim tersebut.
الصَّلاََةُ عِمَادُ الدِّيْن
Selain syarat dan rukun tertentu, dalam pengerjaan ibadah shalat patut juga diperhatikan adab-adab ketika shalat. Pentingnya adab-adab shalat ini membantu muslim untuk lebih khusyu’ dalam mendirikan shalat dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Di antara sekian banyak adab, di bawah ini merupakan beberapa budpekerti shalat munfarid (sendiri) antara lain,
Menghadaplah kepada-Nya dengan kondisi terbaikmu
Bersihkanlah kotoran yang ada di badan, pakaian, dan daerah shalatmu. Sucikanlah dirimu dari segala hadats kemudian tutuplah auratmu dengan sempurna. Berdirilah menghadap kiblat, renggangkanlah kedua telapak kakimu, kemudian bacalah surat An-Naas sebagai bentuk doa untuk melindungi diri dari godaan setan.
Hadirkan hatimu dalam keadaan damai dan khusyu’
Jauhkanlah hatimu dari keadaan lalai, kosongkan hatimu dari urusan duniawi serta keinginan-keinginan yang buruk. Penuhilah hatimu dengan urusan-urusan alam abadi ibarat nirwana dan neraka. Beribadahlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa, maka sesungguhnya Allah melihat-Mu.
Tiang shalat ialah khusyu’ dan kehadiran hati disertai bacaan dan dzikir. Sesung-guhnya Allah mendapatkan shalat seorang muslim sesuai dengan kadar kekhusyu’an, ketun-dukan, dan kerendahan diri serta doanya yang tulus. Selain itu, menjauhkan hati dari sifat riya’ juga merupakan hal yang utama dalam adab-adab shalat. (AMY)[4]
Rasulullah saw bersabda:
اعبد الله كانك تراه وان لم تكن تراه فانه يراك
“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.”
Hadits ini mengisyaratkan adanya dua tingkatan kehadiran hati. Tingkat yang tertinggi ialah orang yang beribadah sanggup menyaksikan keindahan Sang Mahaindah, karam dalam tajalli Sang Kekasih, sehingga pendengaran hatinya tuli dari segala maujud yang lain, mata hatinya melihat keindahan murni Sang Mahaagung, sehingga tidak melihat selain-Nya, konsentrasi sepenuhnya pada Yang Mahahadir sehingga dia tidak mencicipi kehadiran dirinya dan daerah kehadirannya.
Tingkat yang di bawahnya ialah tingkat pelaku ibadah yang mencicipi kehadiran dirinya di hadapan kehadiran Tuhan, tapi dia menjaga budpekerti kehadiran dan daerah kehadirannya.
Rasulullah saw menunjukan bahwa kalau engkau mampu, jadilah orang yang meraih tingkatan pertama dan laksanakanlah ibadah dengan cara ibarat itu. Jika tidak, maka janganlah engkaulupa, bahwa pada ketika beribadah, engkau hadir di hadapan Tuhan, dan kehadiran ini menuntut adab. Melalaikan budpekerti ini sama dengan menjauhi keyakinan akan kehambaan dirimu di hadapan Tuhan.
Diceritakan di dalam hadits dari Ali bin Husain bahwa dia mendirikan shalat, kemudian sorbannya jatuh dari pundaknya, dan dia tidak mengambil sorban itu hingga shalatnya selesai. Beliau ditanya perihal hal itu. Beliau menjawab:
ويحك اتدري بين يدي من كنت
“Celakalah engkau, tahukah engkau di hadapan Siapa saya tadi?”
Diriwayatkan dari Rasulullah saw:
ان الرجلين من امتي ليقومان الى الصلاة وكوعهما وسجودهما واحد وان بين صلاتهما ما بين السماء والارض
“Dua orang dari umatku mengerjakan shalat. Ruku dan sujud mereka sama. Tapi, perbedaan shalat mereka ibarat jarak antara langit dengan bumi.”
Dalam hadits lain:
من صلى ركعتين لم يحدث نفسه بشيء من الدنيا غفر الله له ذنوبه
“Orang yang shalat dua rakaat dalam keadaan tidak membisikkan kepada dirinya dengan sesuatu dari urusan dunia, Allah mengampuni dosa-dosanya.”
Dalam hadits lain:
اذا قام العبد المؤمن في صلاته نظر الله اليه حتى ينصرف واظلته الرحمة من فوق رأسه الى افق السماء والملائمة تحفه الى افق السماء ووكل الله به ملكا قائما على رأسه يقول : ايها المصلى لو تعلم من ينظر اليك ومن تناجي مالتفت ولا زلت في موضعك ابدا
“Jika seorang mukmin mendirikan shalat, maka Allah memperhatikannya hingga dia selesai. Rahmat menaunginya dari atas kepalanya hingga ke ufuq langit. Malaikat menaunginya di sekitarnya hingga ke ufuq langit. Allah memerintahkan malaikat berdiri di hadapannya dan berkata, ‘Wahai orang yang sedang shalat, kalau engkau tahu Siapa yang memperhatikanmu, maka engkau tidak akan mengalihkan perhatian dan engkau tidak akan berpaling dari tempatmu selama-lamanya[5]
Adab Shalawat dan Salam kepada Rasulullah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia, yang artinya,“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kau untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan dia dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Yang dimaksud shalawat Allah ialah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat ialah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat dia ialah do’a dan mengagungkan perintah dia shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali menyampaikan bahwa disunnahkan bagi para penulis semoga menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga menyampaikan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan verbal dan tulisan.
Ketahuilah saudariku, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan kepingan dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita banyak sekali ilmu perihal dien ini?[6]
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya dan membersihkan dia dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dengan beliau.
Yang dimaksud shalawat Allah ialah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat ialah do’a dan istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat dia ialah do’a dan mengagungkan perintah dia shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dengan sanad shahih)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali menyampaikan bahwa disunnahkan bagi para penulis semoga menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tidak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dalam bahasa Indonesia – pent) setiap kali menulis nama beliau.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga menyampaikan dalam kitab Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dengan verbal dan tulisan.
Ketahuilah saudariku, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dengan makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan kepingan dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dalam beribadah dengan menyingkat salam dan shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita banyak sekali ilmu perihal dien ini?[6]
Adab dalam berdzikir.
Berdzikir mempunyai adab-adab yang perlu diperhatikan dan diamalkan, diantaranya:
Berdzikir mempunyai adab-adab yang perlu diperhatikan dan diamalkan, diantaranya:
- Ikhlas dalam berdzikir mengharap ridho Allah.
- Berdzikir dengan dzikir dan wirid yang telah dicontohkan Rasululloh, lantaran dzikir ialah ibadah. Telah kemudian klarifikasi Ibnu Taimiyah perihal hal tersebut.
- Memahami makna dan penunjukkannya dan khusu’ dalam melakukannya. Ibnul Qayim berkata: ‘Dzikir yang paling utama dan manfaat ialah yang sesuai verbal dengan hati dan merupakan dzikir yang telah dicontohkan Rasululloh serta orang yang berdzikir memahami makna dan tujuan kandungannya [Dinukil dari Fiqh Al Ad’iyah wal Azkar hal. 9]
- Memperhatikan tujuh budpekerti yang telah dijelaskan Allah dalam firmanNya:وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِمِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Artinya: “Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kau termasuk orang-orang yang lalai.” (Surat Al A’raf:205)
Ayat yang mulia ini memperlihatkan tujuh budpekerti penting dalam berdzikir, yaitu:
Ayat yang mulia ini memperlihatkan tujuh budpekerti penting dalam berdzikir, yaitu:
- Dzikir dilakukan dalam hati, lantaran hal itu lebih bersahabat kepada ikhlash.
- Dilakukan dengan merendahkan diri semoga terwujud sikap penyembahan yang tepat kepada Allah.
- Dilakukan dengan rasa takut dari siksaan Allah akhir kelalaian dalam berinfak dan tidak diterimanay dzikir tersebut. Oleh lantaran itulah Allah mensifati kaum mukminin dengan firmanNya:وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menawarkan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (Surat Al Mu’minun:60)
- Dilakukan tanpa mengeraskan suara, lantaran hal itu lebih bersahabat kepada tafakkur yang baik.
- Dilakukan dengan verbal dan hati.
- Dilakukan diwaktu pagi dan petang. Memang dua waktu ini mempunyai keistimewaan, sehingga Allah sebut dalam ayat ini, ditambah lagi keistimewaan lainnya yaitu keistimewaan yang disampaikan rasulullah dalam sabdanya:يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
Artinya: “Bergantian pada kalian malaikat di malam dan malaikat di waktu siang. Mereka berjumpa diwaktu sholat fajr dan ashr kemudian naiklah malaikat yang mendatangi kalian dan Rabb merreka menanyakan mereka dan Allah lebih tahu dengan mereka: “Bagaimana keadaan hambaKu ketika kau tinggalkan?” mereka menjawab: ‘Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat dan kami datangi mereka dalam keadaan sholat”[7]
Hakikat Doa
Allah swt berfirman:
“Dan kalau hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu perihal Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku ialah dekat. Aku mengijabah doa orang yang bedoa bila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaknya mereka memenuhi (seruan)Ku dan hendaknya mereka beriman kepada-Ku, semoga mereka selalu berada dalam bimbingan.” (Al-Baqarah: 186)
Kandungan makna ayat ini diungkapkan dengan ungkapan yang paling indah, struktur bahasa paling lembut. Allah swt menggunakan kata “Aku” tidak menggunakan kata “Dia” dan lainnya. Ini memperlihatkan betapa besar perhatian Allah swt terhadap hamba-Nya yang berdoa.
Ungkapan kata “hamba-hamba-Ku” juga memperlihatkan pada betapa besarnya perhatian Allah swt terhadap doa. Ayat ini tidak menggunakan kata penghubung dalam jawaban, yakni “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang-Ku. sesungguhnya Aku ialah dekat”, ditambah menggunakan kata “Sesungguhnya” dan kata “qarib”. Ini memperlihatkan bahwa ketika seorang hamba berdoa kepada-Nya, Allah sangat bersahabat dengannya, tetap dan selalu bersahabat dengannya.
Doa artinya memanggil, memusatkan pandangan yang dipanggil kepada yang memanggil. Adapun kata “As-Sual” artinya bertanya atau memohon, yang tujuannya untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat atau menghindarkan sesuatu yang berbahaya. Dengan permohonan diharapkan sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemohon sehabis ia memusatkan perhatiannya, dan permohonannya menjadi puncak doa.
Sebagaiman telah kami jelaskan dalam pembahasan yang lain, bahwa ubudiyah artinya ialah mamlukiyah, sifat pemilikan. Maksudnya setiap pemilikan memperlihatkan pada penghambaan insan kepada Allah swt. Kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan selain-Nya. Kepemilikan Allah ialah pemilikan yang mutlak dan sebenarnya, sedangkan kepemilikan selain-Nya bersifat nisbi, tidak sebenarnya.
Karena selain Allah tidak berhak menyandang kepemilikan yang bersifat mutlak. Apa saja yang dimiliki oleh hamba-Nya misalnya: isteri, anak, harta, kedudukan, dan lainnya. Juga dirinya, dan segala organ lahir dan batinnya. Semuanya akan kembali dan harus dikembalikan kepada Pemiliknya yang mutlak, yaitu Allah swt.
Semua ini memperlihatkan bahwa tidak ada kepemilikan selain Allah kecuali dengan izin-Nya, bahkan keberadaan hamba itu sendiri ialah milik-Nya. Sekiranya Allah tidak mengizinkan pasti kita semua tidak akan ada. Hanya Dialah yang menimbulkan kita mempunyai pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Dialah yang membuat segala sesuatu dan menentukan takdirnya.
Dari klarifikasi ini memperlihatkan kejelasan bahwa Allah swt mendinding di antara sesuatu dan dirinya, antara insan dan setiap yang menemaninya: isteri, anak, teman, harta, kedudukan, kebenaran, dan lainnya. Sehingga ini memperlihatkan bahwa Allah swt lebih bersahabat kepada kita dari setiap yang bersahabat dengan kita. Hanya Dialah Yang Maha Dekat, dan kedekatan-Nya bersifat mutlak. Makna inilah yang dimaksudkan oleh firman-Nya:
“Kami lebih bersahabat kepadanya daripada kamu, tetapi kau tidak melihat.” (Al-Waqi’ah: 85)
“Kami lebih bersahabat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)
“Ketahuilah sesungguhnya Allah mendinding antara insan dan hatinya.” Al-Anfal: 24)
Pemilikan Allah terhadap hamba-Nya ialah pemilikan yang sebenarnya. Pemilikan inilah yang mengharuskan setiap perbuatannya harus sesuai dengan kehendak-Nya tanpa hijab. Ini memperlihatkan bahwa hanya Allah yang mengijabah doa orang yang berdoa kepada-Nya, menghilangkan penderitaannya, memenuhi kebutuhannya, dan lainnya. Karena kemutlakan kepemilikan-Nya, maka ilmu dan kekuasaan-Nya mencakup semua takdir tanpa dibatasi oleh takdir yang lain, tidak ibarat yang dikatakan oleh orang-orang yahudi:
Allah swt berfirman:
“Dan kalau hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu perihal Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku ialah dekat. Aku mengijabah doa orang yang bedoa bila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaknya mereka memenuhi (seruan)Ku dan hendaknya mereka beriman kepada-Ku, semoga mereka selalu berada dalam bimbingan.” (Al-Baqarah: 186)
Kandungan makna ayat ini diungkapkan dengan ungkapan yang paling indah, struktur bahasa paling lembut. Allah swt menggunakan kata “Aku” tidak menggunakan kata “Dia” dan lainnya. Ini memperlihatkan betapa besar perhatian Allah swt terhadap hamba-Nya yang berdoa.
Ungkapan kata “hamba-hamba-Ku” juga memperlihatkan pada betapa besarnya perhatian Allah swt terhadap doa. Ayat ini tidak menggunakan kata penghubung dalam jawaban, yakni “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang-Ku. sesungguhnya Aku ialah dekat”, ditambah menggunakan kata “Sesungguhnya” dan kata “qarib”. Ini memperlihatkan bahwa ketika seorang hamba berdoa kepada-Nya, Allah sangat bersahabat dengannya, tetap dan selalu bersahabat dengannya.
Doa artinya memanggil, memusatkan pandangan yang dipanggil kepada yang memanggil. Adapun kata “As-Sual” artinya bertanya atau memohon, yang tujuannya untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat atau menghindarkan sesuatu yang berbahaya. Dengan permohonan diharapkan sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan pemohon sehabis ia memusatkan perhatiannya, dan permohonannya menjadi puncak doa.
Sebagaiman telah kami jelaskan dalam pembahasan yang lain, bahwa ubudiyah artinya ialah mamlukiyah, sifat pemilikan. Maksudnya setiap pemilikan memperlihatkan pada penghambaan insan kepada Allah swt. Kepemilikan Allah berbeda dengan kepemilikan selain-Nya. Kepemilikan Allah ialah pemilikan yang mutlak dan sebenarnya, sedangkan kepemilikan selain-Nya bersifat nisbi, tidak sebenarnya.
Karena selain Allah tidak berhak menyandang kepemilikan yang bersifat mutlak. Apa saja yang dimiliki oleh hamba-Nya misalnya: isteri, anak, harta, kedudukan, dan lainnya. Juga dirinya, dan segala organ lahir dan batinnya. Semuanya akan kembali dan harus dikembalikan kepada Pemiliknya yang mutlak, yaitu Allah swt.
Semua ini memperlihatkan bahwa tidak ada kepemilikan selain Allah kecuali dengan izin-Nya, bahkan keberadaan hamba itu sendiri ialah milik-Nya. Sekiranya Allah tidak mengizinkan pasti kita semua tidak akan ada. Hanya Dialah yang menimbulkan kita mempunyai pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Dialah yang membuat segala sesuatu dan menentukan takdirnya.
Dari klarifikasi ini memperlihatkan kejelasan bahwa Allah swt mendinding di antara sesuatu dan dirinya, antara insan dan setiap yang menemaninya: isteri, anak, teman, harta, kedudukan, kebenaran, dan lainnya. Sehingga ini memperlihatkan bahwa Allah swt lebih bersahabat kepada kita dari setiap yang bersahabat dengan kita. Hanya Dialah Yang Maha Dekat, dan kedekatan-Nya bersifat mutlak. Makna inilah yang dimaksudkan oleh firman-Nya:
“Kami lebih bersahabat kepadanya daripada kamu, tetapi kau tidak melihat.” (Al-Waqi’ah: 85)
“Kami lebih bersahabat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaaf: 16)
“Ketahuilah sesungguhnya Allah mendinding antara insan dan hatinya.” Al-Anfal: 24)
Pemilikan Allah terhadap hamba-Nya ialah pemilikan yang sebenarnya. Pemilikan inilah yang mengharuskan setiap perbuatannya harus sesuai dengan kehendak-Nya tanpa hijab. Ini memperlihatkan bahwa hanya Allah yang mengijabah doa orang yang berdoa kepada-Nya, menghilangkan penderitaannya, memenuhi kebutuhannya, dan lainnya. Karena kemutlakan kepemilikan-Nya, maka ilmu dan kekuasaan-Nya mencakup semua takdir tanpa dibatasi oleh takdir yang lain, tidak ibarat yang dikatakan oleh orang-orang yahudi:
“Sesungguhnya Allah membuat sesuatu dan menentukan takdir-Nya, maka sempurnalah perkara-Nya, dan terlepaslah ikatan kendali pengaturan yang gres dari tangan-Nya dengan ketetapan yang Dia memutuskan atasnya, sehingga tidak ada lagi penghapusan, bada’ dan ijabah doa lantaran persoalannya telah selesai.”
Juga tidak ibarat yang dikatakan oleh sebagian ummat Islam: “Sesungguhnya Allah terlepas sama sekali dari setiap perbuatan hamba-Nya.” Ini ialah pernyataan orang-orangt Qadariyah yang oleh Rasulullah saw dinamakan Majusinya ummat ini. Yakni dalam hadisnya: “Qadariyah ialah majusinya ummat ini.”
Jadi, setiap sesuatu tidak akan pernah terlepas dari kepemilikan Allah, izin dan kehendak-Nya. Karena itu, tidak akan terjadi suatu insiden tanpa izin dan kehendak-Nya walaupun kita juga harus berusaha dan berikhtiar. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah swt:
“Hai manusia, kau yang butuh kepada Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Penjelasan itu memperlihatkan bahwa setiap sesuatu diliputi oleh hukum, termasuk juga ijabahnya doa. Yakni ditentukan oleh sebab-sebab yang mengakibatkan dan mengharuskan doa itu diijabah. Seorang hamba yang berdoa kepada Allah dengan tawadhu’, kerendahan hati, dan khusuk doanya akan mengakibatkan ia bersahabat dengan-Nya dan kedekatan dengan-Nya mengakibatkan doanya diijabah oleh-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh firman-Nya: “Aku mengijabah doa orang yang berdoa kepada-Ku.”[8]
Dari uraian Allamah Thabathaba’i perihal pembatasan ijabah doa memperlihatkan pada Adab-adab berdoa, dan syarat-syarat ijabahnya suatu doa.[9]
Adab Berdoa
Pertama, Memakan kuliner dan menggunakan pakaian dari yang halal. Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Seorang pria yang lusuh lagi kumal lantaran usang bepergian mengangkat kedua tanganya ke langit tinggi-tinggi dan berdoa : Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dagingnya tumbuh dari yang haram, maka bagaimana doanya bisa terkabulkan.?” Imam Muslim
Kedua, Hendaknya menentukan waktu dan keadaan yang utama, seperti:
1. tengah malam, Rasulullah saw. bersabda:
: قال صلى الله عليه وسلم: “أقرب ما يكون الرب من العبد في جوف الليل الآخر فإن استطعت أن تكون ممن يذكر الله في تلك الساعة فكن”.
“Keadaan yang paling dekan antara Tuhan dan hambanya ialah di waktu tengah malam akhir. Jika kau bisa menjadi kepingan yang berdzikir kepada Allah, maka kerjakanlah pada waktu itu.”
Dari Jabir berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kepingan dari malam ada waktu yang apabila seorang hamba muslim meminta kebaikan kepada Allah dan sesuai dengan waktu itu, pasti Allah mengabulkannya.” Imam Ahmad menambah: “Itu terjadi di setiap malam.”
2. ketika sujud. Rasulullah saw. bersabda: “Dan adapun ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian berdoa, pasti akan diijabahi doa kalian.”
3. ketika adzan. Rasulullah saw. bersabda: “Ketika seorang muadzin mengumandangkan adzan, maka pintu-pintu langit dibuka, dan doa diistijabah.”
4. antara adzan dan iqamat. Rasulullah saw. bersabda: “Doa antara adzan dan iqamat mustajab, maka berdoalah.”
5. ketika bertemu musuh. Dari Sahl bin Saad, dari Nabi saw. bersabda: “Dua keadaan yang tidak tertolak atau sedikit sekali tertotak; doa ketika adzan dan doa ketika berkecamuk perang.”
6. ketika hujan turun. Dari Sahl bin Saad dari Nabi saw. bersabda: “Dan ketika hujan turun.”
7. potongan waktu final di hari Jum’at. Rasulullah saw. bersabda: “Hari Jum’at 12 jam tiadalah seorang muslim yang meminta kepada Allah sesuatu, kecuali pasti Allah akan memberinya. Maka carilah waktu itu di final waktu bakda shalat Ashar.”
8. doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya. Dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Darda’ berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Tiada seorang muslim yang berdoa bagi saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya itu, kecuali Malaikat berkata, bagimu ibarat apa yang kau doakan untuk saudaramu.” Dalam kesempatan yang lain Rasulullah saw. bersabda: “Doa seorang al-akh bagi saudaranya tanpa sepengetahuan dirinya tidak tertolak.”
9. hendaknya ketika tidur dalam kondisi dzikir, kemudian ketika bangun malam berdoa. Dari Muadz bin Jabal dari Nabi saw. bersabda: “Tiada seorang muslim yang tidur dalam keadaan dzikir dan bersuci, kemudian ketika ia bangun di tengah malam, ia meminta kepada Allah suatu kebaikan dunia dan akhirat, kecuali Allah pasti mengabulkannya.”
Ketiga, Berdoa menghadap kiblat dan mengangkat doa tangan.
Dari Salman Al-Farisi berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Hidup lagi Maha Pemurah. Dia malu kalau ada seseorang yang mengangkat kedua tangannya berdoa kepada-Nya, Dia tidak mendapatkan doanya, nol tanpa hasil.”
Keempat, Dengan bunyi lirih, tidak keras dan tidak terlalu pelan.
Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Dzat yang kalian berdoa kepada-Nya tidak tuli dan juga tidak tidak ada / gaib.”
Kelima, Tidak melampaui batas dalam berdoa.
Allah swt. berfirman: “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan penuh rendah diri dan takut (tidak dikabulkan). Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang melampaui batas.” Al-A’raf:55. Contoh melampai batas dalam berdoa ialah minta disegerakan adzab, atau doa dalam hal dosa dan memutus silaturahim dll.
Keenam, Rendah diri dan khusyu’. Allah swt. berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan bunyi yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Al-Araf:55. Allah swt. berfirman dalam surat Al-Anbiya’:90:
“Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya sanggup mengandung. Sesungguhnya mereka ialah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka ialah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
Ketujuh, Sadar ketika berdoa, yakin akan dikabulkan dan benar dalam pengharapan.
عن أبى هريرة قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “ادعوا الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه”،
Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Berdoalah kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan doa kalian. Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” Imam Ahmad
Rasulullah saw. juga bersabda: “Jika salah satu di antara kalian berdoa, maka jangan berkata: “Ya Allah ampuni saya kalau Engkau berkenan. Akan tetapi hendaknya bersungguh-sungguh dalam meminta, dan memperlihatkan kebutuhan.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Janganlah salah seorang dari kalian menahan doa apa yang diketahui oleh hatinya (dikabulkan), lantaran Allah swt. mengabulkan doa makhluk terkutuk, iblis laknatullah alaih. Allah swt. berfirman: “Berkata iblis: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku hingga hari (manusia) dibangkitkan. Allah berfirman: “(Kalau begitu) maka sesungguhnya kau termasuk orang-orang yang diberi tangguh.” Al-Hijr:36-37
Kedelapan, Hendaknya ketika berdoa memelas, menganggap besar apa yang didoakan dan diulang tiga kali.
Ibnu Mas’ud bekata: “Adalah Rasulullah saw. kalau berdoa, berdoa tiga kali. Dan ketika meminta, meminta tiga kali. Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah satu di antara kalian meminta, maka perbanyaklah atau ulangilah, lantaran ia sedang meminta kepada Tuhannya.”
Kesembilan, Hendaknya ketika berdoa dimulai dengan dzikir kepada Allah dan memujinya dan semoga mengakhirinya dengan shalawat atas nabi saw.
Kesepuluh, Taubat dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi, menghadap Allah dengan ringan.
Dari Umar bin Khattab ra. berkata: “Sesungguhnya saya tidak memikul beban ijabah, akan tetapi memikul doa, maka ketika saya telah berupaya dalam doa, maka ijabah atau dikabulkan akan bersamanya.”
Ia melanjutkan: “Dengan sikap hati-hati dari apa yang diharamkan Allah swt. Allah akan mengabulkan doa dan tasbih.”
Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan kecuali orang yang sadar dalam berdoa. Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan dari orang yang mendengar, melihat, main-main, sendau-gurau, kecuali orang yang berdoa dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati.”
Dari Abu Darda’ berkata: “Mintalah kepada Allah pada hari di mana kau merasa senang. Karena boleh jadi Allah mengabulkan permintaanmu di ketika susah.” Dia juga berkata: “Bersungguhlah dalam berdoa, lantaran siapa yang memperbanyak mengetok pintu, ia yang akan masuk.”
Dari Hudzaifah berkata: “Akan tiba suatu zaman, tidak akan selamat pada zaman itu, kecuali orang yang berdoa dengan doa ibarat orang yang akan tenggelam.”[10]
Menghindari kesalahan dalam berdoa
Ada beberapa praktek doa yang disebagian umat muslim masih terus berlangsung, padahal itu menjadi penghalang doa dikabulkan. Di antaranya adalah:
Pertama, Berdoa untuk keburukan keluarga, harta dan jiwa.
Dari Jabir ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian berdoa untuk kemadharatan diri kalian, dan jangan berdoa untuk keburukan belum dewasa kalian. Jangan berdoa bagi keburukan harta-harta kalian. Janganlah kalian meminta kepada Allah di satu waktu yang diijabah Allah, padahal doa kalian membawa keburukan bagi kalian.” Imam Muslim
Kedua, Terlalu keras dalam berdoa. Allah berfirman:
“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kau seru, Dia mempunyai Al-Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kau mengeraskan suaramu dalam shalatmu (doamu) dan janganlah pula merendahkannya. Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” Al-Isra’:110
Ketiga, Melampau batas. Seperti berdoa semoga disegerakan adzab, doa dengan dicampuri dosa dan memutus tali silaturahim.
Keempat, Berdoa dengan pengecualian. Contoh: “Ya Allah, ampuni saya kalau Engkau berkenan.”
Kelima, Tergesa-gesa. Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Akan diijabahi doa kalian, kalau tidak tergesa-gesa. Sungguh kau telah berdoa, maka atau kenapa tidak diijabahi?” Imam Bukhari
Demikian, uraian singkat perihal keutamaan doa di bulan Ramadhan, budpekerti berdoa, waktu-waktu yang istijabah, dan hal-hal yang harus dihindari ketika berdoa. Semoga kesungguhan doa kita, terutama di bulan suci ini didengar Allah swt., Amin. Allahu a’lam.[11]
A. Pengertian Ibadah
Secara etomologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak mempunyai apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga akhirnya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia ialah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya:
Secara etomologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak mempunyai apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga akhirnya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia ialah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya:
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدونِ الذريات 56
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS. 51(al-Dzariyat ): 56).
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS. 51(al-Dzariyat ): 56).
B. Jenis ‘Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
1. ‘Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini mempunyai 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh budi atau budi keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada teladan Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah ialah untuk memberi contoh:
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya;
1. ‘Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah bentuk ini mempunyai 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh budi atau budi keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada teladan Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah ialah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء 64
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 4: 64).
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…الحشر 7
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kau maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 4: 64).
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…الحشر 7
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kau maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat dan haji ialah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
صلوا كما رايتمونى اصلى .رواه البخاري . خذوا عنى مناسككم .
Shalatlah kau ibarat kau melihat saya shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, lantaran bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, budi hanya berfungsi memahami diam-diam di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini ialah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul ialah untuk dipatuhi:
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, ialah :
1. Wudhu,
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah
Shalatlah kau ibarat kau melihat saya shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, lantaran bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, budi hanya berfungsi memahami diam-diam di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini ialah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul ialah untuk dipatuhi:
Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, ialah :
1. Wudhu,
2. Tayammum
3. Mandi hadats
4. Adzan
5. Iqamat
6. Shalat
7. Membaca al-Quran
8. I’tikaf
9. Shiyam ( Puasa )
10. Haji
11. Umrah
12. Tajhiz al- Janazah
Rumusan Ibadah Mahdhah adalah
“KA + SS”
(Karena Allah + Sesuai Syari’at)
(Karena Allah + Sesuai Syari’at)
Hikmah Ibadah Mahdhah
Pokok dari semua pemikiran Islam ialah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya ialah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang).
Pokok dari semua pemikiran Islam ialah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya ialah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang).
Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia ialah kerikil tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak)
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak)
Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa.
Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang digunakan mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari semenjak turunnya hingga sekarang al-Quran ialah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.[12]
Daftar pustaka
Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali, kitab budpekerti kenabian dan ahklak Muhammad.
Nata, Abuddin, M.A, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010, cet ke-10
Shihab, M. Quraisy, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1996, cet ke-3
http://www.dakwatuna.com/2009/08/3691/10
http://www.tokoku99.com http://shalatdoa.blogspot.com
Hadits Shohih Al Bukhori dalam shohihnya kitab Mawaaqit Ash Sholat kepingan Fadl Sholat AL Ashr
Hadis Shohih Muslim kitab Al Masaajid wa Mawadi’ Al Sholat kepingan Fadl Sholat Al Fajr wal Ashr wa Muhafadztu ‘Alaihima
Hakim Abdul bin Amir Abdat, Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Nawawi, Muhammad Al Jawi. (2000). Maraqil Ubudiayh: Syarah Bidayah al-Hidayah. (Terj. Zaid Husein Al-Hamid). Surabaya: Mutiara Ilmu.
[1] Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010, cet ke-10, hal 149
[2] Ibid, hal 150
[3] M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung:Mizan, 1996), hal 261
[4] Nawawi, Muhammad Al Jawi. (2000). Maraqil Ubudiayh: Syarah Bidayah al-Hidayah. (Terj. Zaid Husein Al-Hamid). Surabaya: Mutiara Ilmu.
[6] Hakim Abdul bin Amir Abdat, Sifat Shalawat dan Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
[7] Hadits riwayat Al Bukhori dalam shohihnya kitab Mawaaqit Ash Sholat kepingan Fadl Sholat AL Ashr no.522 dan Muslim dalam shohihnya kitab Al Masaajid wa Mawadi’ Al Sholat kepingan Fadl Sholat Al Fajr wal Ashr wa Muhafadztu ‘Alaihima no. 632