Sunday, August 13, 2017

√ Penyakit Ruhani

Penyakit Ruhani
A.    Cinta Dunia
Setiap orang mukmin menyakini dengan sepenuh hatinya bahwa ia akan mengalami tiga terminal kehidupan, yaitu:
1.      Kehidupan dunia sebagai daerah untuk berinfak sebanyak-banyaknya.
2.      Kehidupan di alam barzah; suatu daerah pemisah antara dunia dan akhirat, daerah setiap insan menunggu hari kebangkitannya.
3.      Kehidupan akhirat; kehidupan yang sebenarnya, daerah mendapatkan
tanggapan amal baik dan buruknya sewaktu didunia.
Namun seseorang yang terpanah cinta dunia, menganggap kehidupan itu hanyalah apa yang sanggup dilihat didengar, dan dirasakan di dunia ini.
Mereka dipermainkan oleh dunianya sehingga sebanyak-banyaknya mengumpulkan dan menghimpun seluruh bahan dunia yang ia cintai.
Dalam hal ini Allah Swt berfirman
"Ketahuilah bahwa kehidupan ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, embel-embel dan bermegah-megahan di antara sesamamu, saling berbangga-bangga alasannya banyak harta dan anak, mirip hujan (yang menyirami) tanaman-tanaman yang mengagumkan penanamnya, kemudian tumbuhan itu menjadi kering dan kau melihatnya menjadi kering dan hancur. Dan di darul abadi nanti (ada yang mendapat) azab yang keras dan (ada yang mendapat) ampunan serta keridhaan Allah. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang penuh tipuan.” (QS Al Hadid, 20)
Dengan adanya larangan mengasihi dunia (hubbud-dun-ya) ini, bukan berarti kita harus berbalik sikap menjadi benci dunia (bughdud-dun-ya). Karena, sehabis disebar Allah di muka bumi ini, insan tidak akan mengelak dari realitas dunianya. Sesuai dengan amanah kekhalifahannya, ia harus bisa mengolah bumi dengan seluruh sumber dayanya ini, sebagai nikmat dari Allah untuk sepenuhnya menjadi bekal ibadah. Jika seorang Muslim mengabaikan kiprah kekhalifahan, dan membiarkannya direbut orang kafir, di mana ia akan menjalankan roda kerajaan (mulkiyah) dan syariah Allah, padahal
menegakkan aturan merupakan suatu kewajiban yang mutlak. Oleh Karena itu, perjuangan untuk menguasai peraturan dunia pun wajib diperjuangkan oleh setiap Muslim. Lebih sederhana lagi, tak seorang pun dianggap sah menjalankan shalat kalau tidak menutup aurat, sedangkan pakaian epilog aurat ini merupakan belahan dari kehidupan dunia yang merupakan belahan dari kehidupan dunia yang harus diperjuangkan. Karena
itu, sangat keliru kalau ada suatu paham yang menolak realita kehidupan dunia.
Allah berfirman:
"Dan carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu (berupa kebahagiaan) di akhirat, dan janganlah kau melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat oke (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kau berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang suka berbuat kerusakan.” (QS Al Qasas, 77)
Adanya larangan hubbud-dun-ya merupakan peringatan (tarhib) semoga setiap orang selalu waspada dalam menghadapi dan mengantisipasi seluruh problematika dan dinamika kehidupan di dunia.
Rasulullah Saw bersabda:
"Mungkinkah kalau salah seorang di antaramu berjalan di atas air tetapi tidak basah? " Para sobat menjawab: "Tidak mungkin, wahai Rasulullah." Rasul meneruskan perkataannya:
"Demikian pula, orang yang mengasihi dunia tidak akan selamat dari dosa." (HR Baihaqi)
"Cinta dunia merupakan sumber segala kesalahan.” (HR Baihaqi)
"Dunia itu, halalnya (harus menjalani) hisaban; sedangkan haramnya mengakibatkan neraka." (HR Baihaqi)
Oleh alasannya itu, ulama tasawuf memperlihatkan pelajaran bahwa cara yang sempurna dalam menghadapi dunia yaitu dengan pola hidup zuhud, yaitu:
"Mengosongkan hati dari keterikatan dengan dunia” Selain itu, juga dengan pola hidup wara', yaitu "Menjaga diri dari segala sesuatu yang dihentikan oleh syarak.”
Dengan demikian, zuhud dan wara' bukanlah mengharamkan segala sesuatu yang halal, tetapi menjaga diri dari segala tipuan bahan dunia.
Zuhud dimaksudkan untuk membentengi diri semoga jangan salah dalam memperlakukan semua bahan dunia yang telah dianugerahkan, sedangkan wara' untuk membentengi diri semoga dalam mencari dan mendayagunakannya tidak terjerumus dalam dosa (maksiat). Berdasarkan makna zuhud dan wara' tersebut, sangatlah mungkin pada zaman kemajuan dunia ini ada seorang konglomerat yang zuhud dan wara'. Sebaliknya, ada juga kemungkinan si miskin menjadi budak dunia yang sangat berani melanggar aturan Allah.

B.     Bakhil
Al-syuhh atau bakhil boleh didefinisikan sebagai suatu sifat menahan diri dari memberi, meskipun keperluan peribadi mirip makana, pakaian, minuman dan daerah tinggal telah berjaya dipenuhi. Dari segi praktikaliti, bakhil bermaksud lokek, tangkai jering, pelit, kikir dan tamak. Perkataan bakhil telah Allah sebutkan secara spesifik dalam Surah Al-Lail, ayat ke-8:
"Sebaliknya: orang yang bakhil (daripada berbuat kebajikan) dan merasa cukup dengan kekayaan dan kemewahannya."
Bakhil atau syuhh merupakan suatu perbuatan yang bukan sahaja merosakkan kesalihan, merugikan masyarakat dan membuka kepada jalan penyakit hati yang lain mirip 'ujub, riya' dan ghurur, bahkan mendapat ancaman dari Tuhan sendiri. Dalam Surah Al-Lail, pada ayat yang kontekstual dengan ayat di atas, yakni ayat 9 dan 10, Allah berfirman:
"Serta ia mendustakan kasus yang baik; maka sesungguhnya Kami akan memberikannya akomodasi untuk mendapat kesusahan dan kesengsaraan."
Maka di sini kita sanggup melihat betapa sifat bakhil ini hanya membawa kepada keburukan diri-sendiri. Ya, mungkin dengan kebakhilan, kita boleh menjadi insan  yang penuh nikmat dan kekayaan di dunia, namun di akhirat, siapakah yang bisa memperlihatkan syafa'at? Adakah harta kita bisa membelikan kita sebuah gondola bagi mengelakkan panas lautan api neraka? Ini juga, telah Allah jelaskan dalam Surah Ali Imran, ayat 180:
"Dan jangan sekali-kali orang-orang yang bakhil dengan harta benda yang telah dikurniakan Allah kepada mereka dari kemurahanNya - menyangka bahawa keadaan bakhilnya itu baik bagi mereka. Bahkan ia yaitu buruk bagi mereka. Mereka akan dikalongkan (diseca) dengan apa yang mereka bakhilkan itu pada hari simpulan zaman kelak..."
C.     Sombong/Takabur
Takabur yaitu Berbangga diri dan kecenderungan memandang diri berada di atas orang yang disombonginya.
Berikut akhir kesombongan yang akan dirasakan, baik didunia maupun di akhirat:
1.      Semua orang akan membenci dan menjauhi, alasannya sikapnya yang suka menyepelekan orang lain.
2.      Selalu cenderung pada kemaksiatan, meskipun sangat jago dalam hal ilmu agama alasannya kesombongan lebih banyak didominasi menolak kebenaran. Allah berfirman, "Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di bumi tanpa alasan yang benar dari gejala kekuasaan-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan kalau melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. Tetapi kalau melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya.” (QS Al 'Araf, 146)
3.      Di darul abadi nanti kesombongan akan menjadi penghalang mendapat pahala surga. Rasulullah bersabda, "Tidak akan masuk surge orang yang di dalam hatinya ada sebesar biji sawi (atom) dari kesombongan." (HR.Muslim)
Hindari penyakit tercela ini dengan cara berikut:
1.      Memahami ancaman sifat ini, terutama bahayanya di darul abadi kelak.
2.      Melatih diri kita secara perlahan untuk bersikap tawadlu,baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk.
3.      Merasakan hakikat kekurangan diri dan kelebihan yang ada pada orang lain kalau sewaktu-waktu tiba sifat takabur.
4.      Menyadarkan kekhilafan kita dengan mengucap kalimat "Subhanallah" (Maha Suci Allah). Hanya Allah-lah Yang Maha Sempurna dalam zat, sifat, dan pekerjaan-Nya. Dialah yang pantas dengan atribut kesombongan.
5.      Beristighfar atas kekhilafan tersebut.
6.      Merenungkan peringatan Allah berikut: "Dan janganlah kau memalingkan mukamu dari insan (karena sombong) dan janganlah kau berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan suka membanggakan dirinya. Dan sederhanalah kau dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk bunyi yaitu bunyi keledai." (Q.S. Luqman, 18-19).
D.    Mengikuti Hawa Nafsu
Nafsu dengan syahwatnya merupakan belahan dari nikmat Allah bagi manusia. Secara alami, nafsu itu cenderung pada hal-hal yang tidak baik. Nikmat yang satu ini memang mempunyai unsur kesamaan dengan apa yang dimiliki binatang. Allah Swt berfirman.
" Sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh (mengajak) ke jalan kejelekan, kecuali (nafsu) seseorang yang mendapatkan Rahmat Tuhanku." (Q.S. Yusuf, 53).
Orang-orang yang mendapatkan kasih sayang Allah yaitu mereka yang sanggup membimbing dan mengendalikan nafsunya sejalan dengan hidayah-Nya.
Dalam diri manusia, ada 4 (empat) potensi nafsu, yaitu:
1.      Nafsu Hayawani.
Nafsu jenis ini punya kecenderungan pada sikap binatang, misalnya rakus, tamak, tidak punya rasa malu, dan sifat hewan lainnya.
2.      Nafsu Sabu'iyyah; nafsu yang mendorong seseorang berperilaku mirip hewan buas. Misalnya, kebencian, permusuhan, hasut, dengki, amarah, dan saling hantam.
3.      Nafsu Syaithaniyyah; nafsu yang mewakili watak setan yang mengajak insan ke jalan sesat.
4.      Nafsu rabbaniyyah; nafsu yang menggunakan atribut-atribut ketuhanan, mirip egois, takabur, ingin selalu dipuji dan diagungkan.
Apabila berhasil mengendalikan hawa nafsu dengan menjalankan atau mendayagunakannya di jalan Allah, kita akan mencicipi ketenteraman surgawi, baik di dunia maupun di akhirat; sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut:
" Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, sungguh surgalah daerah mereka." (Q.S. An Nazi'at: 40-41).
Pengendalian hawa nafsu tidak berarti menahan hawa nafsu dari hajat kesenangan duniawi dan sepenuhnya hanya memikirkan akhirat, tetapi membimbingnya melalui pedoman kepercayaan dan takwa. Iman berarti keterikatannya dengan Allah, dan takwa berarti pembiasaan tindakannya dengan aturan-Nya. Jika nafsu ini sedang diperalat setan semoga keluar dari pedoman tersebut, hendaknya kita bisa memeranginya. Itulah makna jihadun-nafsi yang dianggap lebih besar daripada perang fisik.
Karena watak nafsu itu mengajak ke jalan yang buruk, dalam pengendalian dan penyadarannya, harus bertahap, apalagi kalau nafsunya sudah terbelenggu norma-norma buruk yang melingkupinya. Jika nafsu seseorang berada dalam kondisi yang aslinya, ia harus berusaha memperlihatkan bimbingan, pengajaran, dan pengendalian semoga mengetahui, mengerti, dan menyadari arah perjalanan sebenarnya, kemudian melatihnya beramal. Namun, kita tidak perlu memaksanya supaya berpengaruh memikul seluruh aturan dan undang-undang persis mirip yang disunahkan oleh Rasulullah, alasannya kita tidak akan bisa memikulnya.
Rasulullah Saw bersabda: "Wahai manusia, lakukanlah sebagian dari amal-amal (salehmu) sekuatmu. ( Jika kau memaksa nafsumu untuk memikul amal-amal berat di luar kemampuanmu, kau niscaya akan segera mengalami kebosanan). Sebab sesungguhnya Allah tidak akan bosan (menerima amalmu) kecuali kalau kau sudah bosan. Sesungguhnya sebaik-baik amal yaitu amal yang terus menerus dijalankan meskipun sedikit.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga, jangan sekali-kali mengekangnya dengan tidak peduli terhadap realitas kemajuan dunia yang telah Allah tebar di muka bumi ini. Berilah ia hiburan dengan embel-embel dan keramaian yang dilihatnya. Ali bin Abi Thalib berkata: "Hiburlah hatimu, alasannya kalau (terus) dipaksa (memikul beban), ia bakal (cepat) merasa lelah.”
E.     Tamak/rakus
Ketahuilah bahwa obat Rakus/Tamak ini terdiri dari tiga unsur: sabar, ilmu, dan amal. Secara keseluruhan terangkum dalam hal-hal berikut ini:
1.      Ekonomis dalam kehidupan dan arif dalam membelanjakan harta.
2.      Jika seseorang bisa mendapatkan kebutuhan yang mencukupinya, maka ia tidak perlu gusar memikirkan masa depan, yang bisa dibantu dengan membatasi harapan-harapan yang hendak dicapainya dan merasa yakin bahwa ia niscaya akan mendapatkan rezeki dari Allah. Jika sebuah pintu rezeki tertutup baginya, sesungguhnya rezeki akan tetap menunggunya di pintu-pintu yang lain. Oleh alasannya itu hatinya tidak perlu merasa gusar.
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَآبَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقُهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَإيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan berapa banyak hewan yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-’Ankabut: 60)
3.      Hendaklah ia mengetahui bahwa qana`ah itu yaitu kemuliaan alasannya sudah merasa tercukupi, dan dalam kerakusan dan tamak itu ada kehinaan alasannya dengan kedua sifat tersebut, ia merasa tidak pernah cukup. Barangsiapa yang lebih mementingkan hawa nafsunya dibandingkan kemuliaan dirinya, berarti ia yaitu orang yang lemah akalnya dan tipis imannya.
4.      Memikirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani, orang-orang yang hina dan terbelakang alasannya karam dalam kenikmatan. Setelah itu hendaklah ia melihat kepada para nabi dan orang shalih, menyimak perkataan dan keadaan mereka, kemudian menyuruh akalnya untuk menentukan antara makhluk yang mulia di sisi Allah ataukah mirip penghuni dunia yang hina.
5.      Dia harus mengerti bahwa menumpuk harta itu bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُنْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَأَنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang yang di atas kalian, alasannya yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat yang Allah limpahkan kepada kalian.” (Hadits riwayat Muslim)
Hadits ini berlaku dalam urusan dunia. Adapun dalam urusan akhirat, maka hendaklah setiap muslim berlomba-lomba untuk mencapai derajat kedudukan tertinggi.
Penopang urusan ini yaitu sabar dan membatasi cita-cita serta menyadari bahwa target kesabarannya di dunia hanya berlangsung tidak seberapa usang untuk mendapatkan kenikmatan yang abadi, mirip orang sakit yang harus menunggu pahitnya obat ketika menelannya, alasannya ia mengharapkan kesembuhan selama-lamanya.





Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com