Saturday, August 12, 2017

√ Watak Individu

BAB I
PENDAHULUAN
Akhlaq mengajarkan kita ihwal nilai-nilai baik dan buruk, terpuji dan tercela yang dijadikan sebagai pedoman hidup insan dalam segala aspek kehidupan serta yang berlaku hingga kapanpun dan dimanapun, tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sebagai warga Negara Indonesia yang di dalamnya terdapat banyak budaya dan kepercayaan maka sebagai umat beragama perlu untuk kita memahami bagaimana bergaul dan menjalin korelasi baik dengan orang yang berbeda kepercayaan dengan kita.
Agama merupakan sumber yang senantiasa mengucurkan setiap kebaikan, kemuliaan, serta hal-hal yang terkandung dalam prinsip-prinsip dasar pendidikan dan akhlaq dalam kehidupan ini, baik itu berupa nilai-nilai terpuji, kebiasaan yang baik dan sikap mulia. Rasulullah sebagai pembawa risalah agama islam di utus untuk menyempurnakan akhlaq pada awal dakwahnya, dia dalam menapaki jalan Islam yang panjang itu sanggup mencetak insan yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam, sehingga mereka berjalan menyebar di muka bumi ini laksana lembaran-lembaran yang darinya orang lain melihat beberapa referensi orang yang berbeda dari orang lain.
Sesungguhnya kesempurnaan dan puncak akhlaq dan sebaik-baik amalan utama ialah budbahasa dalam agama. Apa yang diikuti dan diamalkan oleh orang-orang mukmin ialah berupa anutan Allah, akhlaq para nabi dan rasul. Allah telah menuntun dan mendidik kita melalui utusan-Nya Rasulullah SAW. Orang muslim yang mencontoh akhlaq Rasulullah dalam bergaul dan berbuat akan senantiasa mempunyai akhlaq yang baik dan oleh masyarakat mereka akan senantiasa disegani dan dihormati.





BAB II
PEMBAHASAN

ADAB INDIVIDU DAN MASYARAKAT
A.    MENDESKRIPSIKAN ADAB INDIVIDU
Islam telah mengajak kaum muslimin supaya selalu bermurah senyum kepada orang yang berbeda dalam berpakaian, bertindak, bertingkah laris dan berbuat, supaya mereka menjadi suri tauladan yang mengakibatkan mereka layak mengemban risalah yang agung bagi manusia. Dalam mendeskripsikan budbahasa individu seseorang harus sanggup memelihara tubuhnya dengan menjaga kesehatan dan memelihara akalnya dengan memperdalam agama supaya sanggup menjaga keimanannya kepada allah SWT menjalankan perintah-Nya serta mejauhi larangan-Nya, membedakan antara baik dan buruk.
1.      Memelihara tubuhnya
a.       Sederhana dalam makan dan minum
Seseorang yang sanggup memelihara tubuhnya akan senantiasa berusaha supaya tubuhnya selalu sehat dan kuat. Dia tidak berlebuh-lebihan dalam makan dan minum, dia akan makan masakan yang sanggup menguatkan tulang-tulangnya dan memelihara kesehatan, kekuatan dan keseimbangan tubuhnya.[1]
Firman allah SWT:

  

Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kau mengikuti langkah-langkah setan, sebab setan itu ialah musuh konkret bagimu. (QS. Al Baqarah: 168).

Berkumpulah kau sekalian di depan makananmu dan sebutlah nama Allah, pasti kau menerima barokah dari masakan itu. (HR Ahmad).

Janganlah salah satu diantara kalian makan dengan tangan kiri dan janganlah pula minum dengan tangan kiri. Sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kiri. (HR Muslim dari Ibnu Umar).

Rasulullah melarang seseorang minum sambil berdiri (HR Muslim dari Anas).

Makan dan minum merupakan kebutuhan insan untuk sanggup bertahan hidup secara masuk akal dan sehat. Banyak masakan yang eksklusif diambil dari alam. Dari banyak jenis makanan dan minuman itu, kita dianjurkan oleh agama untuk menentukan makanan yang baik dan halal, dan benar-benar dibutuhkan untuk kesehatan, dihentikan berlebihan.
Makanan yang baik, ialah masakan yang bergizi. Halal berarti diperbolehkan agama. Makanan yang baik belum tentu halal, demikian juga halal belum tentu baik untuk kesehatan. Makara kita harus menentukan masakan yang baik sekaligus halal.

b.      Rajin berolahraga
Seorang muslim, meskipun mempunyai tubuh yang sehat dan kuat, karna terhindar dari masakan dan minuman yang membahayakan dan haram, juga harus rajin berolahraga yang sesuai dengan tubuh dan keseimbangannya, usia dan lingkungan sosialnya, dan yang sanggup menambah kekuatan, seamngat, dan kekebalan tubuh.[2]

c.       Berbadan dan berpakaian bersih
Orang muslim yang dikehendaki islam beda ditangah-tengah masyarakat akan senantiasa bersih. Badannya selalu higienis karna sering mandi. Hal itu dilakukannya berdasarkan pada petunjuk rasulullah SAW yang memerintahkan untuk selalu mandi dan memakai wangi-wangian, khususnya pada hari jum’at.[3]

“mandilah pada hari jumat dan basahilah kepalamu meskipun tidak sedang junub, dan pakailah wangi-wangian pada tubuhmu.” (HR. Bukhari).

2.      Memelihara akalnya
a.       Menuntut ilmu bagi seorang muslim merupakan kewajiban sekaligus kemuliaan
Orang muslim berkeyakinan bahwa mengasah otak dengan ilmu dan meggunakan nalar untuk menyingkap aneka macam gejala kekuasaan Allah SWT, merupakan suatu hal yang wajib. Hal itu sesuai dengan sabda rasulullah SAW,

“menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.

b.      Menuntut ilmu sepanjang hidup
Belajar yang bekerjsama bukanlah suatu perjuangan untuk mencapai gelar atau ijazah yang dengannya sanggup memperlihatkan kekayaan melimpah dan jabatan yang tinggi serta menjamin kehidupan yang mnyenangkan, tetapi  mencar ilmu ialah perjuangan terus menerus menelaah dan menambah ilmu.[4] Hal itu sesuai dengan firmanNya :

( @è%ur Éb>§ ÎT÷ŠÎ $VJù=Ïã ÇÊÊÍÈ  
“katakanlah, ‘ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”(thaha : 114)

B.     ADAB BERKAWAN
1.      Pengertian kawan
Kawan ialah seseorang yang selalu ada disamping kita dikala sedih dan senang, dan slalu menolong kita dikala kita mengalami kesusahan. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis yang artinya :

“Bersahabat dengan orang yang soleh dan dengan orang yang jahat persis mirip berkawan dengan pengedar minyak wangi dan tukang besi (yang menghembus bara api). Pengedar minyak wangi sama ada ia memberi anda sebahagian atau anda membeli bau-bauan daripadanya atau sekurang-kurangnya anda menerima juga baunya. Manakala tukang besi pula samada ia menimbulkan baju anda terbakar atau anda menerima busuk yang hapak." (Riwayat Abu Daud)”

2.      Ciri-ciri kawan yang baik
Ø  Taat kepada perintah Allah SWT
Ø  Baik budi pekerti dan bersopan santun
Ø  Sentiasa mengamalkan sifat mahmudah (terpuji)
Ø  Berilmu pengetahuan dan berinfak dengan ilmunya
Ø  Tidak mendedahkan keburukan kawan
Ø  Berlapang dada mendapatkan teguran atau pesan yang tersirat kawan
Ø  Sentiasa mendorong orang lain melaksanakan kebaikan
Ø  Sentiasa mendorong orang lain melaksanakan kebaikan

3.      Cara beradab dengan kawan
Ø  Sentiasa member salam dan mendoakan kebaikan ketika bertemu dan berpisah
Ø  Menghindari perbuatan atau percakapan yang menyakiti hati
Ø  Saling pesan yang tersirat menasihati kea rah kebaikan
Ø  Jujur dan lapang dada dalam persahabatan
Ø  Senantiasa berprasangka baik terhadap kawan

4.      Kelebihan berkawan dengan orang baik
Ø  Mendorong  melakukan kasus kebaikan
Ø  Dapat mencontohi kebaikannya
Ø  Dapat mencegah diri dari melaksanakan perbuatan mungkar
Ø  Mendidik jiwa menjadi baik dan taat kepada Allah

C.    ADAB BELAJAR MENGAJAR
1.      Adab Belajar
Firman Allah SWT:

Dialah Allah yang mengajarkan insan dengan mediator pena ( Qs. Al-Alaq : 4 )

Ilmu ialah cahaya dari Allah SWT yang hanya sanggup diperoleh dengan pendekatan yang benar atau apa yang disebut dengan adab. Tanpa adab, tidak ada ilmu yang sanggup diterima. Sebagai pelajar atau sebagai seorang pendengar dalam suatu acara pembelajaran haruslah menampakkan kekhusyuan dan menundukkan pandangan. Besih dada dan selalu berprasangka baik, percayailah segala ucapan-ucapan yang didengar, menetapkan lah pendirian.[5]
a.       Istiqomah.
Belajar ialah ibadah, sebab tujuannya ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena merupakan ibadah, mirip halnya shalat, maka pencapaian ilmu tidak akan sah tanpa mensucikan kalbu dari kotoran dan sifat-sifat buruk. Membersihkan prilaku dan ruh dari kotoran atau hal-hal yang sanggup membelokkan seseorang dari tujuannya inilah yang disebut dengan istoqomah.

b.      Tuma’ninah.
Tuma’ninah ialah ketenangan hati, tidak tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan hanya akan menutupi kejernihan pikiran dan merusak konsentrasi. Konnsentrasi ini penting, sebab ilmu tidak akan memperlihatkan sebagiannya kepada seseorang, sebelum seluruh dirinya ia berikan kepada ilmu tersebut. Pikiran yang terbagi kepada aneka macam kasus yang bermacam-macam,ibarat sungai yang airnya terbagi-bagi. Sebagian diserap ke tanah,sebagian menguap ke udara, sehingga petani tidak mendapatkan sisanya. Makara tuma’ninah berarti berfokus pada ilmu dan mengurangi urusan-urusan dunia.
c.       Percaya dan hormat kepada guru
Terhadap guru, hendaknya ia bersikap mirip tanah tandus yang mendapatkan hujan lebat. Seluruh tanah itu menyerap dan dengan segala potensinya, ia mendapatkan hujan itu. Adapun yang diisyaratkan guru kepadanya sehubungan dengan studinya, hendaklah ia mengikutinya. menjaga rahasianyaaa, tidak menjelek-jelekkannya, melainkan memuliakannya, menghormatinya, memperlihatkan imbalan yang sederajat dengan amalnya, serta memaafkan segala kekurangannya. Jika murid tidak lagi percaya dan hormat pada gurunya, maka proses pendidikan itu pada hakekatnya tidak lagi sanggup dilanjutkan. Karena itu, ketaatan murid kepada guru merupakan suatu kemuliaan dan patut diupayakan oleh setiap murid.

2.      Adab mengajar
Sebelum mengajar hendaknya terlebih dulu dimulai dari diri sendiri sebab apa yang dikatakan pengajar baik maka murid akan menyampaikan baik juga, dan apa yang dikatakan pengajar buruk maka akan dianggap buruk juga oleh murid. Bersikap damai dalam majlis dan hendaknya banyak menanamkan hal-hal yang menambah rasa takut anak kepada Allah. Jangan memberi pertanyaan yang berat dan jangan pula membebani keluarganya sebab sanggup membosankan mereka.[6]
Firman Allah SWT:

Sungguh telah tiba seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan ) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. ( Qs. At-Taubah : 128 )

a.       Lembut hati
Guru ialah orang yang memperlihatkan jalan untuk mendekatkan diri murid kepada Allah SWT. Jika tujuan mengajar ialah mendekatkan murid-muridnya kepada Allah SWT, maka dia harus menyatukan dirinya dengan kalbu-kalbu mereka, mencicipi apa yang dialami mereka atau beridentifikasi dengan mereka , dengan ikatan kecintaan. Dan jikalau beberapa insan mengarah pada satu tujuan yang sama, pasti mereka akan bantu-membantu dalam mencapai tujuan itu.

c.       Kasih sayang
Keberhasilan pendidikan banyak ditentukan oleh adanya korelasi kasih sayang dan kecintaan antara guru dan murid, baik ketika mengajar atau korelasi sosial. Hubungan ini menjamin murid untuk merasa aman-tenteram berdampingan dengan gurunya, sehingga tidak merasa takut dengannya atau lari dari ilmunya Apabila murid diperlakukan dengan lemah lembut dan kasih sayang oleh gurunya, ia akan merasa percaya diri dan tentram ( ada rasa kondusif ) berdampingan bersamanya. Perasaan inilah yang akan menunjang tercapainya ilmu dengan mudah.

d.      Menjadi teladan
Guru ialah orang yang diteladani dan ditiru oleh murid. Karena itu, kemuliaan jiwa dan kemampuan untuk memahami orang lain hendaknya menjadi karakternya yang paling utama. Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa seorang guru hendaknya menyebarkan korelasi bermasyarakat dengan etika yang mulia dengan saling menghormati, menghargai dan bertoleransi.

D.    ADAB TERHADAP TETANGGA
Adapun hak-hak seorang muslim ialah memberi salam kepadanya jikalau bertemu dengannya dan memenuhi undangannya, mendo’akannya diwaktu bersin, menjenguknya bila ia sakit, melayat jenazahnya bila ia wafat, memenuhi sumpahnya bila ia bersumpah, menasihatinya bila ia meminta nasihat. Rasulullah SAW.  Bersabda, “empat kasus termasuk hak orang-orang muslim atas dirimu, yaitu engkau tolong orang yang berbuat baik diantara mereka dan memohon ampun bagi yang berdosa di antara mereka, engkau do’akan orang yang berpaling dan mendapatkan penyesalan orang yang menyesal diantara mereka”[7].

1.      Berbuat Baik Terhadap Tetangga
Dalam berbuat dan memelihara korelasi baik dengan tetangga, hendaklah bertuturkata yang baik kepada bawah umur dan pembantunya, maafkan kesalahan dan kekhilafannya, tengoklah apabila mereka sedang sakit, berdukacitalah bila mereka sedang terkena musibah, dan berikan ucapan selamat atau tampakkan kegembiraan ketika tetangga sedang bahagia.[8]
Firman Allah SWT:
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù ÇÌÏÈ  
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat oke kepada kedua orang tua, karib kerabat, bawah umur yatim, orang-orang miskin, tetangga yang akrab dan tetangga yang jauh, sobat sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian…” (An-Nisa’ : 36)
Maksud firman Allah Azza wa Jalla “Al-Jaari dzil qurba” (tetangga dekat) ialah tetangga yang masih ada korelasi darah (nasab) atau ikatan agama. Sedang “Al-Jaar Al-Junub” (tetangga jauh) adlah yang tidak ada korelasi darah atau yang berbeda agama. Adapun maksud “Al-Shahih bil janbi” (teman sejawat) ialah kawan kawan dalam hal kebaikan.[9]

2.      Toleransi Tehadap Tetangga
Orang muslim yang hatinya senantiasa disinari cahaya petunjuk islam sangat toleran terhadap tetangganya, berbuat baik kepadanya, lemah lembut dan tidak melarangnya mengambil manfaat sesuatu dari rumahnya jikalau dia membutuhkannya.

3.      Mencintai Tetangga Seperti menyayangi diri sendiri
Orang muslim yang membuka diri dan hatinya serta selalu menerima petunjuk agamanya, akan senantiasa lemah lembut, terbuka fikirannya, berperangai baik, mencicipi apa yang dirasakan tetangganya, berbahagia atas kebahagiaannya, merasa sakit atas sakit yang dirasakan tetangganya dan menyayangi tetangganya mirip menyayangi diri sendiri, dengan mengakibatkan sabda Rasulullah SAW sebagai landasannya.
“Tidaklah salah seorang diantara kalian beriman sehingga dia menyayangi saudaranya mirip menyayangi dirinya sendiri”

Sedangkan dalam riwayat Muslim dari Anas, dia menceritakan, rasulullah SAW pernah bersabda,
“demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya tidaklah seorang hamba beriman sehingga dia menyayangi bagi tetangganya mirip menyayangi dirinya sendiri,” (HR.Muslim)

E.     ADAB INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Manusia ialah makhluk sosial, satu dengan lainnya saling bergantung dan membutuhkan. Seseorang akan merasa tentram bila hidup bersama makhluk sejenisnya dan akan merasa kesepian manakala hidup sendirian.
Jika demikian keadaannya maka mau tidak mau seseorang harus mempunyai perangai yang dengannya akan terwujud keberlangsungan hidup yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Dalam hidup bermasyarakat setiap orang akan menghadapi insan dengan aneka macam corak dan tabiat yang berbeda-beda. Tentunya sebagai belahan dari masyarakat, seseorang ada kalanya menjadi pelaku (fa’il/ subjek) atau yang diperlakukan (maf’ul bih/ objek). Terkadang memberi dan adakalanya diberi. Bila ingin menjadi anggota masyarakat yang baik, hendaklah berusaha memperlihatkan yang terbaik bagi masyarakatnya. Membimbing mereka kepada jalan kebaikan dan kemaslahatan serta mencegah mereka dari hal-hal yang membahayakan. Nabi SAW bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik insan ialah yang paling mempunyai kegunaan bagi manusia.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani  dalam Shahih Al-Jami’ )
1.      Akhlak yang Mulia dan Pengaruhnya dalam Pergaulan
Biasanya orang menilai baik dan buruknya seseorang dengan melihat sikap kesehariannya. Mereka tidak akan menaruh simpati kepada seseorang sedalam apapun ilmunya dan sebesar apapun ketaatannya, manakala etika yang mulia tidak bisa tercermin dalam kehidupannya. Memang benar, jikalau lahiriah seseorang tidak memperlihatkan kebaikan, itu merupakan bukti bahwa di batinnya ada kejelekan. banyak ayat Al-Qur`an yang memerintahkan kepada  hamba-Nya supaya menghiasi diri mereka dengan etika yang mulia serta memberi gosip besar hati dengan surga.
Firman Allah SWT:

“Dan bersegeralah kau kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada nirwana yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imran: 133-134)
Demikian pula Rasulullah  dalam hadits-haditsnya menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri mereka dengan etika yang mulia. Sampai-sampai ketika dia ditanya ihwal sebaik-baik anugerah yang diberikan kepada seseorang, dia menjawab:
“Akhlak yang baik.” (Shahih Sunan Ibnu Majah)
Berbicara ihwal etika yang mulia sangat luas cakupannya. Apa yang telah disebutkan kiranya telah cukup untuk mengingatkan kaum mukminin supaya yang lalai terbangun dan yang lupa menjadi ingat. Hendaklah seseorang mengaca diri, apakah terhadap orang lain dia berlemah lembut, berwajah ceria dan murah senyum?! Di mana dengan sikap itu mereka akan tenteram dengannya, suka berada di sisinya, dan mau bercengkrama dengannya. Mereka berlomba-lomba untuk menemaninya dalam perjalanan. Jiwa mereka damai dari kejahatannya sebagaimana mereka merasa kondusif pada harta dan kehormatan mereka. Jual belinya mudah, ucapannya jujur, janjinya ditepati, dan tutur katanya baik. Tangannya terhindar dari kejahatan dan matanya tercegah dari khianat. Ucapan salamnya diberikan kepada pembantunya sebagaimana dia berikan kepada pemimpinnya. Wajahnya tersenyum ceria kepada orang yang tidak dia kenal mirip apabila ia tersenyum kepada rekan sejawatnya. Kedengkian hatinya telah tercabut dan prasangkanya terhadap saudaranya baik, serta persaudaraannya tulus.
Firman Allah SWT:

“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan wanita sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan rasul-Nya mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
(Diambil dari kitab Al-Mau’izhah Al-Hasanah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani dari hal. 4-23 secara ringkas)
Adapun hakikat etika yang baik dalam bergaul bersama masyarakat ialah mirip yang dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak yaitu: wajah yang lapang (tersenyum), memperlihatkan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti orang. (lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi)
F.     ETIKA PERGAULAN DALAM MASYARAKAT
1.      Etika Pergaulan Dengan Orang Yang Lebih Tua
Sebagian tanda memuliakan Allah ialah menghormati orang Islam yang telah putih rambutnya (tua). (HR Abu Daud).
Tiada seorang cowok yang menghormati orang yang bau tanah usianya, melainkan Allah akan menyediakan orang-orang yang akan menghormatinya jikalau ia telah bau tanah usianya. (HR Turmudzi).
Yang dimaksud orang yang lebih bau tanah disini ialah para orang bau tanah kita, yaitu Bapak, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, abang dan orang lain yang lebih bau tanah dari kita.
Kita wajib menghormati orang bau tanah yang telah memelihara kita dan membesarkan, mendidik dan membiayai hidup kita, tidak sedikit pengorbanan mereka lahir dan batin, baik materi, tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan untuk kepentingan anak-anaknya. Walaupun mereka tidak mengharapkan tanggapan atas kasih sayang dan pengorbanan kepada kita.
Namun tidak selayaknya kita mengabaikan kewajiban menghormati dan menuruti segala nasehat dan perhatiannya. Kakek, nenek, paman, bibi, dan kerabat kita yang lebih bau tanah juga harus kita hormati dan kita perlakukan mirip orang bau tanah kita. Oleh sebab itu kita harus berlaku hormat dan sopan, tidak bersikap melawan atau menentang pada ketika ada perselisihan. Karena bila kita bersikap hormat dan sopan insya’ Allah mereka pun akan berlaku sama.
Agama Islam mengajarkan supaya kita selalu hormat dan sopan kepada semua orang yang lebih tua, dari mereka yang sudah mengenyam banyak pengalaman, kita memperoleh ilmu untuk bekal dimasa datang. Kita menerima warisan kebudayaan yang akan kita teruskan, apalagi para hero yang turut memerdekakan bangsa kita. Barang siapa yang bersikap hormat kepada orang yang lebih tua, maka akan dijanjikan oleh Rasulullah SAW, akan dihormati pula pada masa tuanya nanti dan apabila tidak menghormati orang yang lebih bau tanah maka Rasulullah SAW, pun tidak hendak mengakui seseorang tersebut sebagai umatnya.
2.      Etika Pergaulan Dengan Orang Yang Sebaya
Orang mukmin terhadap orang mukmin lainnya, tak ubahnya bagaikan sesuatu bangunan yang bagian-bagiannya (satu sama lain) berpengaruh mengkuatkan. (HR Muslim).
Barang siapa yang berjalan dalam upaya memenuhi kebutuhan saudaranya, dan perjuangan ini berhasil, ialah lebih baik daripada beri’tikaf sepuluh tahun. Dan barang siapa beri’tikaf satu hari saja sebab Allah, maka Allah menjauhkan antara dia dan neraka sejauh tiga parit yang lebih jauh dari antara ujung bumi sebelah barat dan timur. ( HR Baihaqi).
Sebaya bisa berarti sama usianya, maka dari itu pergaulan dengan orang sebaya sangat penting. Hampir setiap hari, dikalangan Manusia ialah makhluk Muslim).
Bukan dari umatku orang yang tidak belas kasihan kepada yang lebih kecil dan tidak menghargai kehormatan yang lebih tua. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Dalam pergaulan, tidak hanya orang yang lebih bau tanah dan orang yang menjadi perhatian kita untuk selalu kita hormati, tapi juga orang-orang yang lebih muda. Islam menganjurkan kita supaya bersikap merendah dan santun sesama mukmin, termasuk orang yang lebih muda dari kita. Walau kita banyak kelebihan dibanding mereka, kita tak boleh sombong, dan congkak pada mereka justru kita harus membantunya dengan penuh kasih sayang dan segala kecintaan.
Pergaulan dengan orang lebih muda termasuk juga terhadap orang yang keadaan perekonomiannya rendah, Allah supaya kau menerima rahmatnya. (QS. Al Hujuraat: 10).
Pergaulan antar sesama muslim berkaitan dengan peraturan-peraturan ihwal pergaulan umat Islam antar satu golongan atau satu agama. Kita sebagai muslim dan umat Islam yang menganut anutan Allah harus mengetahui bagaimana etika pergaulan dikalangan masyarakat muslim, yaitu kita harus bertingkah laris yang sopan santun, lemah lembut dan tidak bertindak salah (keliru) kita harus bisa membedakan yang baik dan buruk mirip halnya bagaimana kita menghadapi gosip khayal (kosong) yang dibawa dan disebarkan oleh orang fasik dan jail.
Cara menuntaskan persengketaan antar sesama orang muslim yang timbul dikalangan umat Islam, yaitu dengan bersatu padu dalam satu tujuan melawan kejahilan orang sebab intinya muslim dan muslim satu ceroboh akan mendatangkan musibah.
5.       Etika Pergaulan Dengan Orang Yang Berbeda Agama
Firman Allah SWT:

Hai manusia, sesungguhnya kami membuat kau dari seorang pria dan seorang wanita dan mengakibatkan kami berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kau saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kami disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujuraat: 13).
Agama Islam menganjurkan kepada kita untuk bergaul dengan orang-orang yang berbeda agama dengan agama kita. Pada dasarnya mereka pun sama dengan kita (makhluk ciptaan Allah) hanya saja berbeda keyakinan, banyak beraneka sifat prilaku dan keinginan, juga kepercayaan dan keyakinan yang berbeda namun merupakan belahan dari Al Qur’an ialah menutup seluruh auratnya. Pada dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi si pemakai melaksanakan acara sehari-hari dalam etika dalam pakaian dan memandang.
  • Dengan adanya pergaulan kita harus menghargai orang bau tanah dan kalau berbicara pada orang bau tanah haruslah bicara baik jangan bicara yang jorok-jorok kepada orang lain atau orang bau tanah yang lebih bau tanah dari kita.









  • DAFTAR PUSTAKA

    Al-Ghazali, Imam. 1992.  Adab Dalam agama. Jakarta: Gema Insani Pres

    Al-Ghazali, Imam. Ringkasan Ihya Ulumuddin

    Ali Al-Hasyimi, Muhammad. 1999.  Jati Diri Muslim. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar

    Al-qur’an






    [1]        Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h.42
    [2]        Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim ….h.43
    [3]        Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim,….h.44
    [4]        Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim,….h.51-53
    [5]        Al-Ghazali, Adab Dalam agama (Gema Insani Pres: Jakarta, 1992), h.26
    [6]        Al-Ghazali, Adab Dalam agama,…. h.22-23
    [7]        Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, hal. 129
    [8]        Al-Ghazali, Adab Dalam agama,…. h.61
    [9]        Dr. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Muslim,….hal.121

    Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com