Friday, November 17, 2017

√ Conoh Makalah Perihal Analisis Semiotik Puisi Di Mesjid Karya Chairil Anwar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim digunakan oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu ialah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Pengertian semiotika secara terminologis ialah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Pemahaman semiotika sebagaimana diungkapkan  Aart van Zoest ialah salah satu perihal tanda dan segala yang bekerjasama dengan: cara berfungsinya, hubungannya dangan gejala lainnya, pengirimannya oleh mereka yang mengirimkannya. Studi sastra bersifat semiotik merupakan usaha untuk menganalisis karya sastra, di sini sajak khususnya, sebagai suatu sistem gejala dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dengan melihat variasi-variasi di dalam struktur sajak atau kekerabatan dalam (internal) antara unsur-unsurnya akan dihasilkan majemuk makna.
Semiotik menyerupai yang diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo yaitu bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan,yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah materi yang bebas (netral) menyerupai suara pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum digunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konvensi-konvensi masyarakat.
Lambang-lambang atau gejala kebahasaan itu berupa satuan-satuan suara yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang menurut atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut dengan semiotik. Begitu pula ilmu yang mempelajari sistem tanda-tandaiti disebut semiotika.
Sedangkan struktural dalam sajak atau karya sasatra yang menganggap bahwa sebuah karya sastra ialah sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem,yang di antara unsur-unsurnya terjadi kekerabatan yang timbal balik,saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan-kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang bangun sendiri-sendiri,melainkan hal-hal itu saling berkaitan,saling terikat,dan saling bergantung.
Dalam kajian atas puisi-puisi Chairil Anwar ini akan dipergunakan teori semiotika yang oleh Charles Sander Peirces disebutnya dengan tiga konsep penting: (i) ikon, (ii) indeks, dan (iii) simbol. Untuk menemukan itu (kebermaknaan karya puisi) maka dipergunakan langkah-langkah penting kajian semiotika yang ditawarkan Charles Morris, yakni (a) dilema kekerabatan antar lambang, (b) penarsiran lambang, (c) maksud lambang, dan (d) cara pemakaian lambang.
Dalam makalah ini, penulis mengambil salah satu puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Di Masjid” yang akan dianlisias secara struktural semiotik.

1.2 Rumusan Masalah
1.    Siapakah Chairil Anwar ?
2.    Mengapa menentukan puisi karya Chairil Anwar ?
3.    Mengapa menentukan puisi yang berjudul “Di Mesjid”?
4.    Bagaimana analisis puisi “Di Mesjid” dengan kajian berbasis semiotik?






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Chairil Anwa
Chairil anwar merupakan penggagas angkatan ’45, lahir di Medan 26 juli 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang tercerai berai. Chairil mempunyai iwa yang pantang mengalah dan meluap-luap dalam berekspresi, hal ini ditulis oleh Sjamsul Ridwan.
Chairil menerima julukan si hewan jalang lantaran puisinya yang bejudul AKU sangat fenomenal dari masa itu hingga masa sekarang. Nama chairil mulai populer dalam dunia sastra sesudah pemuatan ttuklisannya di “ majalah nisan ” pada 1942, pada dikala itu ia gres berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Puisi-puisi nya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Chairil memang penyair besar yang mengapresiasi upaya insan meraih kemerdekaan, termasuk usaha bangsa indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk “Krawang-Bekasi”.
Chairil meninggal dalam usia dua puluh tujuh tahun lantaran penyakit TBC.



2.2 Alasan Memilih Puisi Chairil Anwar
Alasan menentukan salah satu puisi karya Chairil Anwar ialah lantaran puisi Chairil Anwar dipandang monumental dan sering menjadi materi apresiasi di dunia pembelajaran. Apalagi H.B Yasin menobatkan Chairil Anwar sebagai salah satu penyair Indonesia yang sangat memperhatikan bahasa, maka pembicaraan atas puisi-puisinya menjadi hal menarik.
Sebagai penggagas angkatan ’45, Chairil membawa kesadaran gres dalam bidang perpuisian Indonesia lantaran pemakaian bahasanya yang bagus, kental, padat, dan ekspresif. Pemakaian bahasa  termasuk juga pemilihan kata Chairil, akan nampak terang apabila dibandingkan dengan penyair-penyair sebelumnya, menyerupai Amir Hamzah.
2.3 Alasan Memilih Puisi Yang Berjudul “ D i Mesjid ”
        Memilih puisi berjudul  “ Di Mesjid ” ini lantaran puisi tersebut merupakan salah satu karya Chairil Anwar syarat akan pemakaian bahasa yang bagus, kental, padat, dan ekspresif. Larik-larik puisi yang dirangkai Chairil Anwar dalam Di Masjid berbagai terdapat bahasa-bahasa yang imajinatif. Pengarang begitu cerdik dalam pemilihan diksi yang penuh akan  makna. 
Puisi masjid tersebut berisi perihal seorang hamba yang melaksanakan ibadah. Bahkan pengarang menggambarkan seolah-olah pengarang mencicipi kehadiran sang pencipta dalam diri dan jiwanya. 




2.4 Analisis Puisi yang Berjudul “ Di Masjid” dengan Kajian Semiotik
    Di mesjid

    Kuseru saja Dia
    Sehingga tiba juga
    Kamipun bermuka-muka
    Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada
    Segala daya memadamkannya
    Bersimpuh peluh diri tak bisa diperkuda
    Ini ruang 
    Gelanggang kami berperang
    Binasa-membinasakan 
    Satu menista lain gila  
     ( 1943 )
Mursal Esten dalam bukunya Memahami Puisi dengan kajian semiotik menunjukkan petunjuk bahwa langkah pertama dalam memahami puisi ialah dengan memahami judulnya. Ikon ‘masjid’ misalnya, dikaitkan dengan gambaran sebagaimana mesjid merupakan kawasan dimana hamba melaksanakan interaksi dengan Tuhannya, pada khususnya. 
Dalam sajak ‘Di Mesjid’ karya Chairil Anwar merupakan ungkapan perasaan yang diungkapkan oleh penyair. Puisi  itu sanggup dianalisis sebabgai berikut: di masjid sebagai kawasan beribadah orang-orang muslim pengarang melaksanakan ibadah dan saat-saat tersebut ia berdoa dengan menyebut Tuhannya lalu ia mencicipi kedatangan  rahmat Tuhan menghampirinya, hal tersebut digambarkan  oleh pengarang pada bait ‘kuseru saja ia / sehingga tiba juga.       
Pada bait kedua ‘ kamipun bermuka-muka ‘ menggambarkan seseoarang yang sedang melaksanakan ibadah di masjid tersebut mencicipi Tuhan seolah-olah berada dihadapannya.
Pada bait selanjutnya ‘seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada / segala daya memadamkannya / bersempuh peluh diri tak bisa diperkuda dalam bait ini menggambarkan kehadiran Tuhan yang ada pada seorang hamba hingga dalam hati hamba tersebut, bahkan kehadiran Tuhan yang sangat berpengaruh hingga tak satupun yang sanggup menghalangi, sehingga hamba tersebut lemah terkulai dan tak bisa untuk melawan kekuatan Tuhan.
Pada bait ‘ini ruang / gelanggang kami berperang’ hal ini mengungkapkan bahawa kata ‘ini ruang’ merujuk pada atau kembali pada judul yaitu ‘masjid’. Pada kata gelanggang yang  dalam artian umum gelanggang ialah kawasan pertarungan tapi dalam puisi ini diartikan sebagai kawasan bertemu dan mengadunya seorang hamba kepada Tuhannya.
Sedangkan pada bait terakhir ‘binasa-membinasakan / satu menista lain gila‘, pemilihan diksi, pemilihan diksi yang berupa binasa-membinasakan menunjukkan gambaran berupa menyerupai perseteruan yang dasyat sehingga diakhir disebutkan satu menista lain absurd ini, satu menista ini menggambarkan Tuhan yang menyalahkan  pemikiran hamba yang menyimpang dan lantaran menerima p3enistaan dari Tuhan, hamba mencicipi rasa bersalah yang amat dalam sehingga menciptakan ia tertekan dalam kesalahan yang mendalam dan menjadi frustasi.
Demikianlah analisis puisi “Di mesjid” karya Chairil Anwar yang di analisis dengan memakai analisis kajian semiotik.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Chairil anwar merupakan penggagas angkatan ’45, lahir di Medan 26 juli 1922. Chairil menerima julukan si hewan jalang lantaran puisinya yang bejudul AKU sangat fenomenal dari masa itu hingga masa sekarang. Chairil meninggal dalam usia dua puluh tujuh tahun lantaran penyakit TBC.
Alasan menentukan salah satu puisi karya Chairil Anwar ialah lantaran puisi Chairil Anwar dipandang monumental dan sering menjadi materi apresiasi di dunia pembelajaran. Apalagi H.B Yasin menobatkan Chairil Anwar sebagai salah satu penyair Indonesia yang sangat memperhatikan bahasa, maka pembicaraan atas puisi-puisinya menjadi hal menarik.
Memilih puisi berjudul  “ Di Mesjid ” ini lantaran puisi tersebut merupakan salah satu karya Chairil Anwar syarat akan pemakaian bahasa yang bagus, kental, padat, dan ekspresif.
Mursal Esten dalam bukunya Memahami Puisi dengan kajian semiotik menunjukkan petunjuk bahwa langkah pertama dalam memahami puisi ialah dengan memahami judulnya. Ikon ‘masjid’ misalnya, dikaitkan dengan gambaran sebagaimana mesjid merupakan kawasan dimana hamba melaksanakan interaksi dengan Tuhannya, pada khususnya. Pada bait kedua ‘ kamipun bermuka-muka ‘ menggambarkan seseoarang yang sedang melaksanakan ibadah di masjid tersebut mencicipi Tuhan seolah-olah berada dihadapannya. Pada bait selanjutnya ‘seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada / segala daya memadamkannya / bersempuh peluh diri tak bisa diperkuda dalam bait ini menggambarkan kehadiran Tuhan yang ada pada seorang hamba hingga dalam hati hamba tersebut, bahkan kehadiran Tuhan yang sangat berpengaruh hingga tak satupun yang sanggup menghalangi. Sedangkan pada bait terakhir ‘binasa-membinasakan / satu menista lain gila‘, binasa-membinasakan menunjukkan gambaran berupa menyerupai perseteruan yang dasyat sehingga diakhir disebutkan satu menista lain absurd ini, satu menista ini menggambarkan
Tuhan yang menyalahkan  pemikiran hamba yang menyimpang dan lantaran menerima p3enistaan dari Tuhan.








DAFTAR PUSTAKA

Netti, A. G. Hadzarmawit. 2011. “Sajak-sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi”.
        Surabaya: B You Publishing.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (Ed). 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia
       Pustaka Umum.
Teeuw, A. 1980. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.




Sumber http://risalridwan.blogspot.com