Saturday, June 24, 2017

√ Penggunaan Bahasa Jurnalistik Dalam Media

Bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik dalam media ? Apakah memang ada yang disebut bahasa jurnalistik secara khusus ?


Jawaban dari pertanyaan ini bisa ya, bisa tidak. Jawaban iya, alasannya yaitu memang ada banyak perbedaan-perbedaan tertentu antara bahasa yang digunakan dalam karya-karya jurnalistik dan bahasa yang digunakan dalam karya-karya tulis lainya.


Jawaban tidak, alasannya yaitu bahasa jurnalistik juga sama saja dengan bahasa yang digunakan secara umum, yaitu mengikuti aturan-aturan bahasa yang baku, mengikuti tata bahasa yang berlaku, dan mempergunakan kosakata yang sama.


Tetapi, dalam penulisan jurnalistik ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan yaitu sifat goresan pena jurnalistik sebagai media komunikasi. Kenyataan ini menawarkan tekanan akan pentingnya sifat-sifat bahasa jurnalistik yang sederhana, jelas, nyata, dan disampaikan secara pribadi dalam sebuah goresan pena berita.


Selain berpangkal pada kenyataan, karya jurnalistik juga dibatasi oleh keharusan untuk memberikan informasi secara cepat. Karya jurnalistik memang ditulis dengan tergesa-gesa. Ingat bahwa dalam sejarahnya ada istilah “journalism is history in a hurry”, yang berarti jurnalisme dalam sejarahnya ditulis tergesa-gesa.


Bagaimana penggunaan bahasa jurnalistik dalam media  √ Penggunaan Bahasa Jurnalistik Dalam Media

Gambar. Seorang wartawan harus bisa dengan cepat menjelaskan sesuatu yang luas dengan bahasa sederhana (Foto: Siswapedia.com)


Oleh alasannya yaitu itu, bahasa yang digunakannya atau penggunaan bahasa jurnalistik dalam media juga bahasa yang cocok untuk ditangkap dengan cepat, sederhana, dan langsung. Berbeda dengan bahasa sastra yang menuntut bahasa yang indah.


Bahasa Jurnalistik Semakin Berkembang


Perkembangan bahasa jurnalistik Indonesia dalam empat dekade terakhir makin pesat saja. Kepesatannya sanggup terlihat bila kita membandingkan bahasa yang digunakan surat kabar-surat kabar empat puluh tahun yang kemudian dengan bahasa yang digunakan surat kabar-surat kabar sekarang.


Banyak istilah-istilah yang tadinya masih memakai bahasa ajaib misalnya, kini sudah ada istilahnya yang gres dalam bahasa Indonesia.


Istilah atau kosakata-kosakata gres sebagai pengganti istilah-istilah dan kosakata-kosakata ajaib dalam aneka macam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun perdagangan bukan saja ditemukan terus-menerus oleh badan-badan resmi.


Tetapi juga disahkan pribadi oleh kalangan pers sendiri terutama oleh kantor informasi yang sering disebut sebagai janji style house, style book, atau istilah lainya sering disebut sebagai “gaya selingkung” media.


Salah satu duduk perkara yang seiring dihadapi oleh pers Indonesia yaitu duduk perkara mengusahakan “pemurnian” bahasa dengan menyingkirkan perkataan-perkataan ajaib yang intinya sudah terkenal di masyarakat. Penyempurnaan jurnalistik oleh pers Indonesia tidak termasuk melaksanakan hal menyerupai itu.


Penggantian istilah-istilah ajaib yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah gres malah akan menjadikan kesulitan.


Kendala dalam Membuat Produk Jurnalistik dengan Bahasa yang Baik


Tanggung jawab wartawan itu berat, terutama wartawan media cetak, alasannya yaitu mereka sanggup dimintai pertanggung balasan wacana bahasa yang ditulisnya. Apa yang mereka tulis semuanya terekam, dan apa yang terekam kemudian di ikuti orang.


Seperti telah berkali-kali disinggung, bahasa jurnalistik itu hampir selalu jelas, meskipun gaya tulisannya tidak istimewa. Ia mengikuti hukum wacana bahasa yang sederhana, ringkas, dan langsung. Tetapi, sudah terlalu sering terjadi bahasa di surat kabar terasa rutin, dangkal, atau dinodai oleh banyak kesalahan yang bekerjsama sanggup dihindari.


Bahasa Jurnalistik Tetap Merujuk Pada EBI


Petunjuk penulisan produk-produk jurnalistik masih merujuk pada Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), kemudian ditambah lagi dengan Sepuluh Pedoman Pemakaian dalam Pers.


Beberapa media ada yang betul-betul patuh terhadap fatwa EBI, ada juga yang tidak patuh terhadap EBI. Tapi kebanyakan media tidak patuh terhadap fatwa EBI.


Hal ini karena fatwa pada gaya kepenulisan model EBI terasa kaku, dan kadang susah diterima oleh pembaca. Misalnya pada kata smartphone.


Walaupun kata smartphone ini sudah ada istilah bakunya yang disebut sebagai gawai. Masyarakat lebih sering memakai kata smartphone. Inilah mengapa banyak penggunaan bahasa jurnalistik dalam media yang tidak benar-benar patuh dengan gaya kepenulisan sesuai dengan EBI.


 



Sumber https://www.siswapedia.com