Tuesday, July 11, 2017

√ Esensi Birokrasi



PENGERTIAN DAN KONSEPSI BIROKRASI
Dibandingkan dengan subyek ilmu pengetahuan yang lain, sesungguhnya eksistensi birokrasi baik sebagai fenomena politik-adminstrasi maupun sebagai subyek ilmu pengetahuan sanggup dikatakan masih relative baru. Eksistensi birokrasi secara institusional, muncul sehabis insan mulai mengenal bentuk Negara modern. Sedangkan sebagai obyek kajian ilmu pengetahuan kajian terhadap birokrasi mulai dilakukan pada waktu di sekitar revolusi Perancis pada kala ke -18 atau sekitah tahuan 1760-an (Setiyono, 2012).
Walaupun pembahasan dan eksistensi birokrasi muncul seiring dengan eksistensi Negara modern, tetapi banyak andal percaya bahwa konsep yang menyerupai pengertian birokrasi kini ini telah digunakan oleh manajemen pemerintahan Romawi, Inca, Aztec, Mesir kuno dan Cina kuno dimana dikala itu para pejabat kerajaan diseleksi dengan system ujian, senioritas, dan keahlian. Bahkan berdasarkan pendapat (Gladden, 1972 dalam Stiyono, 2012), kokohnya peradaban dari banyak sekali macam Negara kuno tersebut, utamanya ialah berkat eksistensi tubuh birokrasi Negara yang bekerja menggunakan prinsip-prinsip operasional yang teratur. Di kerajaan Mesir kuno pada masa 2180 SM, organisasi birokrasi pemerintahan telah menerapkan system organisasi pemerintahan dengan model pendelegasian wewenang yang kompleks, spesialisasi kerja, dan system kelembagaan yang permanen (Heady, 1984 dalam Setiyono, 2012). Hal yang sama juga diterapkan oleh kerajaan Cina kuno pada masa 478 SM, yang mempunyai system birokrasi dengan model disiplin system manajemen yang teratur, ddengan rekrutmen berdasarkan pada keahlian, dokumen, pelaporan tulis, dan hirarki (Turner & Humle, 1997 dalam Setiyono, 2012).
Model birokrasi modern menyerupai yang kita kenal sekarang, utamanya terbentuk dan dipraktikkan pada beberapa Negara semenjak terjadinya revolusi industry di Eropa pada kala pertengahan. Pada era tersebut, badan-badan birokrasi pemerintah dan profesi birokrasi tumbuh berkembang seiring dengan tumbunya perusahaan-perusahaan industry dan profesi pekerjaan yang ada pada institusi (perusahaan) swasta. Sejak revolusi industry, unit institusi pemerintahan berkembang semakin kompleks dan variatif, dengan pola/system rekrutmen, pendidikan, pekerjaan, dan penggajian. Berkembangnya kompleksitas institusi birokrasi tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan swasta dan masyarakat terhadap pelayanan dan dukungan pemerintah. Terlebih lagi, pada dikala itu hamper semua Negara Eropa melaksanakan praktik penjajahan dan kolonialisasi di banyak sekali belahan dunia. Praktik itu menuntut Negara-negara Eropa untuk emodernisasi penyelenggaraan pemerintahan dan aparaturnya biar pengelolaan dan control terhadap Negara jajahan sanggup dilakukan dengan efektif. Seiringan dengan hal tersebut, bebagai produk industry menyerupai kertas, mesin tik, telepon, tinta, ballpoint, dan stempel juga membentuk karakteristik dan kinerja birokrasi modern (Setiyono, 2012).
Berikut ini merupakan banyak sekali macam pengertian atau definisi dari para andal mengenai birokrasi yang dikutip oleh Setiyono (2012) di mulai dari pengertian birokrasi yang sederhana hingga dengan yang paling kompleks.

No.
Nama Ahli
Definisi Birokrasi
1.
Hague, Harrop & Breslin, 1998
“organisasi yang terdiri dari pegawapemerintah bergaji yang melaksanakan detail kiprah pemerintah, memperlihatkan pesan tersirat dan melaksanakan keputusan kenijakan”.
2.
Heywood, 2002
Di dalam konsep sosial, istilah birokrasi digunakan untuk menggambarkan pengaturan/pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat yang tidak dipilih, mesin manajemen kerja pemerintah, dan bentuk organisasi rasional”.
3.
Beetham, 1987
“institusi yang berada pada sector Negara yang mempunyai karakteristik adanya kewajiban, mempunyai kekerabatan dengan hukum, dan bekerjasama degan pertangjawaban kepada public dalam menjalankan tugasnya”.
4.
Weber, 1978 dalam Krieken, 2000
“organisasi dengan sebuah hirarki penggajian, pejabat trtap/penuh waktu, yang menyusun rantai komando”.
5.
Harold Laski, dalam Buechner, 1984
“sebuah system pemerintahan, sebuah control/kekuasaan, yang sepenuhnya ditangan pejabat yang kekuasaan mereka merenggut kebebasan dari rakyat kebanyakan”.
6.
Jacques, 1984
“system manajemen kerja yang hirarkis, dimana orang dipekerjakan untuk bekerja mendapat upah”.

Sedangkan pengertian birokrasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesian yang dikuti dari (Hambali dan Maghfur, 2015) yaitu system pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah dikarenakan telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan.
Jadi institusi birokrasi merupakan ruang mesin suatu Negara yang didalamnya berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan dipekerjakan oleh Negara untuk memperlihatkan nasehat dan melaksanakan kebijakan politik Negara. Walaupun secara teoritis pengertian birokrasi sanggup dipahami secara simple sebagai aparatur Negara, secara mudah pengertian birokrasi ini masih sering menimbulkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering disebut sebagai badan/sector pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau juga public service atau public administration.
Birokrasi dan Lingkungan Sosial
Membicarakan konsepsi dan kinerja birokrasi dalam suatu Negara juga  terkait dengan pembahasan corak, kultur, system sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Semua factor itu memperlihatkan efek yang kuat terhadap bentuk, struktur, kinerja dan system nilai birokrasi di masing-masing Negara.
Misalnya Negara-negara Asia Tenggara yang pernah mengalami masa penjajahan, unsur budaya penjajah mempunyai efek yang cukup signifikan dalam proses pembentukan forum birokrasi mereka. Walaupun Negara-negara di daerah Asia Tenggara pada umumnya mempunyai budaya local semacam Melayu, Tagalog, dan Khmer, tetapi corak birokrasi mereka berbeda-beda alasannya efek warisan budaya bangsa penjajah yang berbeda-beda pula. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Paget (2000) yang dikutip (Setiyono, 2012) corak perbedaan style birokrasi di Negara Asia Tenggara sanggup dilihat pada tabel berikut;

Negara
Pengaruh
Corak Birokrasi
Philipina
Spanyol, Amerika
Hierarki (katolik), agak monarkhi, militeristik, kapitalistik, state domination.
Vietnam
Cina, Soviet, Perancis, & AS
Mandarinate, direct/indirect rule, alat militer, ideology toralisme, dan neo-kapitalisme.
Malaysia
Inggris
Indirect rule, elite management, commonwealth, merit structure.
Thailand
Inggris, Perancis, & AS
Mesin militer, bureaucratic polity, pragmatism.
Indonesia
Belanda
Direct/indirect rule, exclusivist, semi professionalism, legalism.

Dilihat dari corak birokrasi Indonesia di atas, maka kita tidak perlu heran bahwa meskipun Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun, tetapi sikap birokrasi kita masih saja menyerupai ambtenaar Belanda yang “sok berkuasa, sok merasa penting, sok menyepelekan rakyat, dan sebagainya”, dimana nilai-nilai itu yang memang ditinggalkan oleh penjajah kita. Sayangnya sehabis sekian usang Belanda meninggalkan kita, sangat sedikit sekali langkah yang kita ambil untuk meluruskan dan memperbaiki system birokrasi kita biar sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan rakyat.
Dalam sebuah jurnal yang yang ditulis oleh Romli (2008) perihal duduk perkara reformasi birokrasi disebutkan bahwa corak  birokrasi  Indonesia  menyerupai itu ternyata  bukan  sampai  di  situ  saja,  tetapi melalui pendekatan     budaya birokrasi Indonesia  masuk  dalam  kategori  birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial ialah (1) para pejabat disaring atas   dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan   dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun  fungsi  administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan  eksklusif dan politik. Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia    merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan  birokrasi gaya kolonial. Sama menyerupai halya abdi  dalem  dan  priyayi  yang  juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri dari banyak sekali pangkat,  golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri ialah abdi negara   mengandung makn berorientasi ke atas, sehingga  mirip  dengan  birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada  mengabdi  ke  atas  dari pada ke bawah sebagai pelayanan kepada masyarakat.
Kini, apakah model atau cap birokrasi menyerupai diungkapkan di atas masih tetap menempel dalam birokrasi di Indonesia? Seharusnya secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi menyerupai itu, tetapi harus menuju pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme, merit system, dan pelayan masyarakat. Mengapa? Hal ini alasannya zaman telah berubah dengan adanya era reformasi dan otonomi daerah, maka seharusnya birokrasi mengalami perubahan paradigma di mana birokrasi harus memposisikan diri sebagai abdi masyarakat, efisien, efektif, dan profesionalisme. 
B.     BIROKRASI WEBERIAN
Max Weber seorang sosiolog Jerman yang yang populer pafa kala ke -19 menulis karya yang sangat besar lengan berkuasa bagi Negara-negara yang berbahasa Inggris dan di Negara-negara di daratan Eropa. Karya itu hingga kini dikenal sebagai konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal perihal kritiknya terhadap kehidupan politik, atau bagaimana kiprah politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan pada bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara professional dan rasional dijalankan (Thoha, 2010).
Dalam (Robbins, 1994) mengungkapkan bahwa esensi dari tipe ideal birokrasi Weber mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
·           Pembagian kerja. Pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah hingga ke pekerjaan yang sederhana, rutin dan ditetapkan dengan jelas.
·           Hierarki kewenangan yang jelas. Sebuah struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau jabatan yang memastikan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervise dan control dari yang lebih tinggi.
·           Formalisasi yang tinggi. Ketergantungan pada peraturan dan mekanisme yang formal untuk memastikan adanya keseragaman dan untuk mengatur sikap pemegang pekerjaan.
·           Bersifat tidak eksklusif (impersonal). Sanksi-sanksi diterapkan secara seragam dan tanpa perasaan eksklusif untuk menghindari keterlibatan dengan kepribadian individual dan preferensi eksklusif para anggota.
·           Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kempapuan. Keputusan perihal seleksi dan promosi didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan, dan prestasi para calon.
·           Jejak karir bagi para pegawai. Para anggota dibutuhkan mengejar karir dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karir tersebut, para pegawai mempunyai masa jabatan; artinya mereka akan dipertahankan meskipun mereka “kehabisan tenaga” atau jikalau kepandaiannya tidak terpakai lagi.
·           Kehidupan organisasi yang dipidsahkan dengan terang dari kehidupan pribadi. Kebutuhan dan minat eksklusif dipisahkan sepenuhnhya biar keduanya tidak mencampuri sikap impersonal pada acara organisasi yang bersifat rasional.

Karakteristik-karakteristik tersebut menggambarkan “ideal type” dari Weber mengenai organisasi yang rasional dan efisien. Tujuan-tujuannya terang dan eksplisit. Posisi diatur dalam suatu hierarki berbentuk piramida, dengan wewenang yang makin meningkat waktu bergerak ke atas dalam organisasi. Kewenangan terletak pada posisi, bukann pada orang-orang yang menduduki posisi tersebut. seleksi para anggota didasarkan atas kualifikasi mereka daripada “siapa yang mereka kenal”, persyaratan perihal posisi memilih siapa yang akan dipekerjakan dan dalam posisi yang mana, dan prestasi ialah kriteria bagi promosi. Keterikatan terhadap organisasi dimaksimalkan dan konflik kepentingan dihilangkan dengan cara memperlihatkan pekerjaan seumur hidup (life time employment) dan dengan memisahkan kiprah anggota di luar pekerjaan dari yang disyaratkan untuk memenuhi tanggung jawab organisasi.
Terdengar menyenangkan bukan? Tidak ada unsur atau intervensi politik, tidak ada keterlibatan emosional dengan orang lain secara individual, tidak ada konflik mengenai tujuan atau kriteria untuk memilih keefektifan, keputusan yang didasarkan hanya pada kriteria yang objektif dan garis wewenang yang terang dan bagus. Sekarang pertanyaannya apakah ini semua sesuai dengan birokrasi yang kita kenal? Kemungkinan besar tidak! Tetapi perlu diketahui dan diingat bahwa Weber bukan menggambarkan organisasi yang umum atau yang khas. Akan tetapi ia sedang menjelaskan karakteristik yang memutuskan tipe ideal tersebut sebagai mesin efisiensi yang paling baik.
Tema sentral dari model birokrasi Weber ialah sebagai standarisasi dari birokrasi yang ideal. Perilaku orang dalam irokrasi ditentukan sebelumnya oleh struktur dan proses yang ysng distandarisasi. Model itu sendiri sanggup dipecah menjadi kelompok karakteristik. Pertama, yang bekerjasama dengan struktur dan fungsi dari organisasi, kedua, yang bekerjasama dengan cara untuk memberi imbalan terhadap suatu usaha, dan ketiga, yang bekerjasama dengan dukungan bagi para anggota secara individual (Robbins, 1994).

Konsekuensi Atas Penyelewengan Fungsi Birokrasi
Birokrasi dikala ini sering dipandang tidak baik, hal ini dibuktikan  dengan beberapa kritik yang dilontarkan oleh andal lain menenai tipe ideal birokrasi Weber menyerupai yang ditulis oleh Robbins, 1994 antara lain:
1.        Penyimpangan Tujuan
Birokrasi paling banyak diserang alasannya mendorong penyimpangan tujuan (goal displacement)- mengganti tujuan organisasi menjadi tujuan sub-unit atau tujuan pribadi. Argumentasi yang paling umum disampaikan oleh Robert Merton. Setelah mengakui bahwa peraturan yang birokratis dan impersonality menghasilkan suatu tingkat keandalan (reliability) dan daya ramal yang tinggi, ia memperlihatkan bahwa persesuaian (conformity) sanggup merusak alasannya mengurangi fleksibilitas. Peraturan menjadi demikian ditekankan sehingga mempunyai arti yang simbolis tersendiri. Peraturan menjadi lebih penting daripada tujuan yang dirancang untuk melayani. Akibatnya ialah penyimpangan tujuan dan hilangnya keefektifan organisasi.
2.        Penerapan Peraturan yang Tidak Tepat
Berhubungan erat dengan duduk perkara penyimpangan tujuan ialah imbas yang tidak diinginkan dari anggota yang menggunakan peraturan dan mekanisme dalam situasi yang tidak cocok; artinya, menanggapi suatu situasi yang unik seakan-akan itu ialah duduk perkara rutin, akan menimbulkan konsekuaensi dysfungsional. Merton menyatakan bahwa sehabis beberapa waktu birokrasi memperlihatkan ketaatan yang demikian besarnya kepada peraturan sehingga para anggota secara membabi buta mengulangi keputusan dan tindakan yang telah mereka buat sebelumnya, tanpa menyadari bahwa situasi telah berubah.

3.        Keterasingan Pegawai
Para anggota mencicipi bahwa impersonality organisasi membuat semacam jarak antara mereka dengan pekerjaannya. Seperti sebuah “sekrup pada sebuah roda”. Para pegawai seringkali sukar untuk merasa terikat kepada organisasi.
4.        Konsentrasi Kekuasaan
Konsentrasi kekuasaan pada direktur senior pada birokrasi telah dijadikan target oleh beberapa orang. Meskipun kritik tersebut subjektif, tergantung apakah kita melihat konsentrasi kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, kritik itu niscaya memukul para ilmuwan dalam bidang sosial yang ingin menyamaratakan kekuasaan dalam organisasi biar membuatnya lebih manusiawi. Adalah fakta bahwa birokrasi mengakibatkan kekuasaan yang sangat besar dalam tangan beberapa orang saja. Jika anda merasakannya sebagai sesuatu yang tidak diinginkan, atau yang berlawanan dari nilai sebuah masyarakat yang demokratis, menyerupai yang dirasakan beberapa orang, anda akan menemukan atribut tersebut sebagai suatu konsekuensi bentuk birokrasi yang negative.
5.        Frustasi dari yang Bukan Anggota
Konsekuensi negative terakhir yang akan kita tanggapi ada kaitannya dengan mereka yang berada di luar organisasi. Misalnya, setiap mahasiswa yang pernah mencicipi kekakuan dari penggalan registrasi dan menghadapi “system” yang impersonal dan yang didominasi oleh peraturan dari universitasnya sanggup membandingkannya dengan putus asa yang dirasakan bukan anggota yang secara teratur harus berhadapan dengan birokrasi.

Hal-hal diatas merupakan konsekuensi yang akan dihadapi jikalau fungsi birokrasi diselewengkan. Dari birokrasi yang semestinya terlihat ideal menyerupai yang dikatakan Weber, menjadi birokrasi yang negative.




C.    BIROKRASI SEBAGAI SEBUAH ORGANISASI
Berawal dari pandangan Weber bahwa organisasi dan birokrasi dianggap sebagai bersinonim. Dalam istilah yang popular kebanyakan orang kini menyampaikan bahwa setiap organisasi besar dianggap sebagai birokrasi. Sehingga tidak asing jikalau menyebut lembaga-lembaga pendidikan, organisasi tentara, gereja-gereja dan rumah sakit sebagai birokrasi-birokrasi (Albrow, 1989).
Dengan demikian secara umum ilmuwan sosial modern yang menulis organisasi sebagai birokrasi tidak mengandalkan pada modifikasi kopleks ddari teori Weber untuk membenarkan konsep mereka. Mereka sanggup menggunakan bahasa sehari-hari sebagai otoritas mereka. Seperti yang diungkapkan Talcott (1960) dalam Albrow (1989) menyatakan bahwa salah satu ciri structural paling penting perihal suatu masyarakat menyerupai itu terletak pada kemenonjolan organisasi-organisasi yang secara relative berskala besar dengan fungsi-fungsi yang dikhususkan, yang secara agak longgar cendderung disebut “birokrasi-birokrasi”. Ahli-ahli lainnya agak sembrono dalam penggunaan ini. Seperti halnya berdasarkan Heyman dalam Albrow (1989) bahwa birokrasi sanggup diabstraksikan sebagai sebuah organisasi besar, dan organisasi besar sudah niscaya merupakan sebuah birokrasi, bagi Simon dalam Albrow (1989) menyatakan bahwa birokrasi agaknya merupakan suatu sinonim untuk organisasi skala besar, Presthus dalam Albrow (1989) menyebutnya “istilah organisasi besar” dan “struktur birokrasi” ialah bersinonim, ssedangkan Eztoni dalam Albrow (1989) menganggap ada banyak sinonim bagi istilah organisasi, salah satunya ialah birokrasi.
Friedrich dalam Albrow (1989) membela studi perbandingan system administrasi, begitu pula ia mengidentikan birokrasi dengan organisasi sebagai suatu keseluruhan yang mendukung penelitian untuk memutuskan dimensi-dimensi apa yang menandai organisasi-organisasi. Tentu saja rencana menyerupai itu dengan sendirinya tergantung pada konsep organisasi yang diambil pada permulaan penelitian. Beberapa pemikir melihat bahwa organisasi-organisasi hanya sebagai unit-unit sosial yang berorientasi pada tujuan-tujuan khusus. Pemikir-pemikir lainnya secara implisit atau eksplisit mempunyai konsep yang luas perihal organisasi dan membatasi bidang penelitian mereka pada organisasi-organisasi yang kompleks atau yang berskala besar, formal atau yang modern. Dengan demikian, sebagaimana Ferrel Heady dalam Albrow (1989) menulis bahwa birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi. Organisasi-organisasi apakah merupakan birokrasi atau bukan, tergantung pada ciri-ciri tadi, dimiliki atau tidak. Terdapat banyak sekali catatan perihal ciri-ciri yang dibentuk atas birokrasi oleh pengarang-pengarang yang menganut konsep ini. Presthus dalam Albrow (1989) menunjuk ukuran spesialisasi, hierarki, otoritas, status, oligarki, kooptasi, rasionalitas dan efisiensi. Bennis dalam Albrow (1989) menyebut suatu rantai komando, aturan-aturan, pembagian pekerjaan, pemilihan berdasrkan kompetensi dan impersonalitas individual. Heady dalam Albrow (1989) menciutkan catatannya menjadi tiga butir yang di klaimnya merupakan janji substansial, diferensi atau spesialisasi, dan kualifikasi atau kompetensi.
Struktur organisai bukan merupakan data yang tidak membingungkan, yang sanggup diperoleh oleh siapa saja yang mengobservasi, tetapi merupakan tanda-tanda yang abnormal dan sulit dimengerti yang tergantung pada daya cipta interpretative. Khususnya, keterbatasan-keterbatasan organisasi ialah sulit untuk dijelaskan. Sama sulitnya, untuk menarik garis antara admixistrasi dan organisasi, begitu pula sulit untuk melihat di mana masyarakat bermula. Hierarki, peraturan-peraturan, pembagian kerja, karier-karier, kualifikasi-kualifikasi sepertinya mencakup masyarakat modern dan tidak sekedar terwadahi di dalam organisasi yang terpisah. Barangkali kita sanggup menyampaikan organisasi-organisasi sebagai birokrasi hanya alasannya organisasi itu merupakan suatu penggalan dari suatu birokrasi yang lebih luas, yakni masyarakat modern itu sendiri.




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Institusi birokrasi merupakan ruang mesin suatu Negara yang didalamnya berisi orang-orang (pejabat) yang digaji dan dipekerjakan oleh Negara untuk memperlihatkan nasehat dan melaksanakan kebijakan politik Negara. Walaupun secara teoritis pengertian birokrasi sanggup dipahami secara simple sebagai aparatur Negara, secara mudah pengertian birokrasi ini masih sering menimbulkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering disebut sebagai badan/sector pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau juga public service atau public administration.
Tema sentral dari model birokrasi Weber ialah sebagai standarisasi dari birokrasi yang ideal. Perilaku orang dalam irokrasi ditentukan sebelumnya oleh struktur dan proses yang ysng distandarisasi. Model itu sendiri sanggup dipecah menjadi kelompok karakteristik. Pertama, yang bekerjasama dengan struktur dan fungsi dari organisasi, kedua, yang bekerjasama dengan cara untuk memberi imbalan terhadap suatu usaha, dan ketiga, yang bekerjasama dengan dukungan bagi para anggota secara individual.
Hierarki, peraturan-peraturan, pembagian kerja, karier-karier, kualifikasi-kualifikasi sepertinya mencakup masyarakat modern dan tidak sekedar terwadahi di dalam organisasi yang terpisah. Barangkali kita sanggup menyampaikan organisasi-organisasi sebagai birokrasi hanya alasannya organisasi itu merupakan suatu penggalan dari suatu birokrasi yang lebih luas, yakni masyarakat modern itu sendiri.




B.     Saran
Dengan ditulisnya makalah birokrasi ini, pemekalah memperlihatkan saran bagi para “birokrat” (pejabat) yang berkutat dalam institusi pemerintahan sanggup menjalankan fungsi  birokrasi sebagaimana mestinya sesuai dengan tipe ideal birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Seharunya tujuan sebuah organisasi itu akan benar-benar efektif jikalau diimplementasikan sesuai dengan tipe ideal birokrasi weber, yang murni bekerja dengan professional.
Kenudian bagi masyarakat kebanyakan yang membaca makalah ini  menganggap sebenarnya birokrasi itu jelek sanggup lebih jernih memahami birokrasi itu secara komperhensif, alasannya birokrasi di Negara ini jelek bukan semata-mata birokrasinya yang jelek akan tetapi alasannya pemain film yang menduduki institusi birokrasi itu yang belum sanggup menjalankan insttitusi birokrasinya dengan baik dan dengan professional.


















DAFTAR PUSTAKA


Albrow, Martin. (1989). Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Magfur, Ifdlolul. (2015). Ilmu Administrasi Birokrasi Publik. Yogyakarta: Yayasan Kodama.
Robbins P, Stephen. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi. Jakarta: Arcan.
Romli, Lili. (2008). Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal kebijakan dan manajemen PNS. Volume 2.
Setiyono, Budi. (2012). Birokrasi: Dalam Perspektif Politik & Administrasi. Bandung: Nuansa.
Thoha, Miftah. (2010). Birokrasi & Politik. Jakarta: RajaGrafindo Persada.





Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com