PENDAHULUAN
|
Jalan” dalam ayat tersebut berarti metode, sistem pedoman, pola laku, pola tindak dan pola piker yang menghantarkan insan kepada kebenaran. Ayat tersebut menyerukan insan untuk selalu berpegang teguh kepaa logika Qurani semoga tidak sesat pikir dalam mencapai kebenaran. Untuk mencapai hal tersebut perlu menelusuri usaha-usaha yang telah dilakukan oleh insan dalam meluruskan petunjuk-petunjuk operasional yang bermanfaat dalam menjalankan logika Qur’ani.
Mengikat Makna Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan budi pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika ialah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.[1] Istilah lain yang digunakan sebagai gantinya ialah Mantiq, kata Arab yang diambil dari kata kerja nataqa yang berarti berkata atau berucap.[2]
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan budi sehat untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Sedangkan logika yang dikatakan sebagai pengertian yang masuk akal, biasanya di dalamnya terdapat dua penalaran yang saling berlawanan, yakni antara yang betul dan yang salah. Karena itu, Irving M. Copi mengatakan, “Logika ialah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang salah.”[3]
Menurut Syaikh Abu Abdullah Muhammad Ahmad Muhammad ‘Ulaisy, logika (mantiq) adalah:
المنطق هو قانون تعصم مراعاته بتوفيق الله تعالي الذهن من الخطاء في فكره
Tatanan berpikir yang sanggup memelihara otak dari kesalahan berpikir dengan pertolongan Allah Swt.[4]
Adapun berdasarkan Syaikh Al-Jurjani merumuskan logika sebagai:
آلة قنونية تعصم مراعاثها الذهن عن الخطاء في الفكر فهو علم عملي آلي
Suatu alat yang mengatur kerja otak dalam berpikir semoga terhindar dari kesalahan; selain merupakan ilmu kecermatan praktis.[5]
Sedangkan berdasarkan Al-Quasini, ilmu logika adalah:
علم يبحث فيه عن المعلومات التصوريات والتصديقيات من حيث أنها توصل الي مجهول تصوري او تصديق او يتوقف عليها التوصل الي ذالك
Ilmu yang membahas objek-objek pengetahuan tashawur dan tashdiq untuk mencapai interaksi dari keduanya, atau suatu pemahaman yang sanggup mendeskripsikan tashawur dan tashdiq.[6]
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi logika antara lain:
1. Ilmu yang memperlihatkan aturan-aturan berfikir valid.
2. Ilmu mengenai ketentuan-ketentuan yang dijadikan petunjuk oleh insan dalam berfikir.
4. Ilmu perihal cara mencari dalil
5. Ilmu perihal menggerakan fikiran kepada jalan yang lurus, dalam memperoleh suatu kebenaran[8]
6. Ilmu yang membahas perihal undang-undang yang umum untuk fikiran.
7. Ilmu sebagai alat yang merupakan undang-undang dan bila undang-undang itu dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani insan sanggup terhindar dari fikiran yang salah.
8. Ilmu perihal aturan berfikir guna memelihara jalan fikiran dari setiap kekeliruan
9. Ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berfikir lurus atau tepat
10. Filsafat berfikir
Dari beberapa uraian di atas mengenai pengertian logika, kiranya sanggup disimpulkan bahwa logika ialah suatu ilmu yang mempelajari perihal cara berpikir yang baik dan benar dengan memakai otak atau budi yang mendapatkan bimbingan dari Allah Swt. semoga terhindar dari kesalahan.
Sejarah Logika
Perkembangan ilmu logika tidak terlepas dari perjalanan filsafat Yunani dan transformasinya ke dalam pemikiran dalam kegiatan ilmiah.
Pada mulanya kegiatan berpikir muncul berbarengan dengan adanya insan pertama. Manusia diberi potensi berpiikir untuk memikirkan dirinya dan segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Namun, mengenai berpikir sistematis (dalam pengertian secara logika), para penulis Ilmu Logika meyatakan bahwa secara konsepsional dan sistematis, kegiatan berpikir yang kemudian melahirkan tata cara berpikir yang dituangkan dalam suatu disiplin ilmu yang disebut Logika, gres tejadi kira-kira 470 SM. yang dirintis oleh kelompok Sofisme (Sufsathaiyun). Kelompok inilah yang mencoba mengangkat duduk masalah kemasyarakatan, agama, dan sopan santun dengan pendekatan akal; benar-salah dan baik-buruk sesuatu diukur dengan timbangan budi mereka. Sayangnya, kajian mereka kerapkali mengarah pada kesesatan berpikir, lantaran belum ada norma berpkir yang baku yang sanggup menuntun mereka ke arah berpikir yang benar dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.[10]
Pernyataan mereka kelihatannya benar, namun membuat penyesatan-penyesatan pemikiran, nilai dan moral. Di antara penyataan-pernyataan mereka adalah:
Kebaikan ialah apa yang Anda pandang baik
Keburukan ialah apa yang Anda pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh seseorang, itulah yang salah buat dia.[11]
Karena memperhatikan kenyataan kelompok Sofisme tersebut, muncullah Thales (624 SM-548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada budi sehat untuk memecahkan diam-diam alam semesta. Dan dimulai dari Thales inilah rumusan ilmu logika akhirnya tercipta.
Thales menyampaikan bahwa air ialah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Karena itu ia juga menyampaikan bahwa bumi ini terapung di atas air. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.
Pernyataan ini tentu saja menolak kepercayaan lebih banyak didominasi orang Yunani yang menyampaikan bahwa asal segala sesuatu ialah dari dewa-dewa. Pun demikian, pendapat Thales ini mendapatkan reaksi keras dari Anaximander yang berkesimpulan bahwa hanya ada satu asal segala sesuatu yaitu Yang Tak Terbatas, yang ia sebut to operion. Menurut Aximander bahwa yang menyusun segala sesuatu bukanlah air karena, jikalau air ialah asas pertama yang menyusun semesta, maka air harus terdapat di mana-mana, harus meresapi segala sesuatu termasuk api dan benda-benda kering. Air begitu terbatas untuk berada di mana-mana. Air dibatasi oleh lawannya, yaitu api. Air dan apa pun yang terbatas tidak bisa dikatakan menjadi penyusun segala sesuatu.
Teori Aximander itu menyampaikan bahwa terciptanya alam semesta berawal dari chaos (kekacauan), yaitu pada ketika terjadi proses perpisahan dari “yang tak terbatas” dengan “yang terbatas.” Dari yang tak terbatas terlepaslah unsur-unsur yang selalu berlawanan, yaitu panas-dingin, kering-basah. Kemudian terciptalah aturan keseimbangan, yaitu suatu aturan yang membuat kedua tetap berpasangan dalam keberlawanan, yang panas melingkupi yang dingin; keduanya menggumpal menjadi sejenis bola. Karena panas melingkupi cuek itu menimbulkan air terlepas menjadi kabut udara. Udara menekan “bola” itu hingga meletus, letusannya menghasilkan lingkaran-lingkaran yang masing-masing mempunyai satu pusat. Tiap lingkaran terdiri dari api yang dibalut udara, tiap lingkaran mempunyai satu lubang yang menjadikan api di dalamnya tampak sebagai bumi, bulan, matahari dan planet-planet (bintang-bintang).
Diketahui bahwa jawaban air yang diberikan oleh Thales terhadap pertanyaan asal segala sesuatu ialah berdasarkan pengamatan dan logika geometri. Sedangkan Aximander, mengarahkan cara menjawabnnya dengan memakai pikiran. Kemudian pendapat keduanya diperbaharui oleh Heraklitos (504 SM).
Heraklitos ialah orang yang pertama secara tegas memperbincangkan Tuhan. Tuhan yang dimaksud Heraklitos ialah Logos (akal). Logos ialah sesuatu yang meliputi seluruh dunia ibarat siang dan malam, ekspresi dominan salju dan ekspresi dominan panas, perang dan damai, kelaparan dan kemakmuran. Ia menyatakan bahwa kita hidup di antara keragaman dan perubahan-perubahan. Asal materi ialah sejenis api yang bersinar dan meredup, menyala-nyala dan padam yang tunduk pada hukum, bukanlah air. Tuhan atau logos universal ini menurutnya merupakan sesuatu yang ada dalam diri kita insan dan sesuatu yang menjadi penuntun setiap orang.
Ada tiga gagasan Heraklitos yang akhirnya memengaruhi Plato:
1) Segala sesuatu terus berubah ibarat aliran sungai. Ia bilang kita tidak bisa masuk dua kali ke dalam air aliran sugai.
2) Hanya ada satu yang benar-benar nyata, yaitu logos. Logos digambarkan dengan “api” alamiah yang terus menerus menggerakkan perubahan. Logoslah yang menjadi lantaran perubahan terus menerus, dan yang mengatus serta menyatukan perubahan (keanekaan) tersebut. Oleh lantaran itu, logos dianggap sebagai sumber pengetahuan. Melalui logos segala perubahan bisa diketahui maknanya.
3) Kesatuan dibuat dari pluralitas dan pluralitas muncul dari kesatuan.
Jika Empidocles menggabungkan pemikiran Heraklitos dan Parmeneides dengan kesimpulan bahwa segala sesuatu tidak mungkin berubah menjadi sesuatu yang lain, “Air tidak akan berubah menjadi tanah, tanah tidak berubah menjadi udara, udara tidak akan berubah menjadi api, dan seterusnya.” Plato dengan caranya sendiri berusaha untuk mensintesakan kedua tokoh di atas dengan cara yang lebih sistematis. Bagi Plato:
- Realita itu mempunyai dua kenyataan ada yang berubah (seperti pemikiran Heraklitos) dan ada yang tetap (seperti pemikiran Parmeneides)
- Yang berubah tertangkap oleh indrawi, sedangkan yang tetap tertangkap oleh pikiran (Noetic, logos).
- Logos menjadi sebab, pengatus, dan pemersatu segala perubahan. Oleh lantaran itu logos menjadi asal yang harus dicari dari perubahan yang nampak.
Teori Tauhid Plato
Ada | Penampakan |
- Pure good (yang tetap, baik, dan sempurna) - Asal dari yang tampak - Berada di balik dunia ini - Dipahami oleh logos | - Alam yang berubah (baik buruk, tepat dan tidak sempurna) - Memiliki jejak menuju yang tetap - Yang tampak di dunia ini - Diserap oleh indra |
Teori Akhlak Plato
Jiwa berasal dari dunia idea yang terbentuk dari perbuatan yang bersifat kekal tidak mati, jiwa mempunyai tiga bagian:
1. Akal, yang mencita-citakan kebijaksanaan
2. Kehendak, yang mencita-citakan keberanian,dan
3. Keinginan atau hawa nafsu (keinginan rendah) yang mencita-citakan menguasai dan menikmati dunia materi yang membuat insan bertindak ibarat binatang bila tidak dikendalikan sehingga kesopanan sanggup ditegakkan.
Plato percaya, jikalau ketiga penggalan jiwa tersebut sanggup dijalankan sesuai dengan kecenderungan akal, kita sanggup menjadi individu yang berbudi luhur.
Diketahui bahwa bergotong-royong semenjak Thales, sang filsuf itu mengenalkan pernyataannya, maka pada ketika itulah logika telah mulai dikembangkan.
Di susul kemudian oleh Socrates dan muridnya, Plato serta Artistoteles. Mereka mulai merintis tata aturan berpikir benar dalam bentuk kaidah-kaidah berpikir. Kaidah-kaidah inilah yang kemudian mewujud dalam suatu disiplin ilmu yang disebut Logika.[12]
Dengan demikian, hingga pada akhirnya para peneliti sejarah pemikiran insan menjuluki Aristoteles-lah sebagai peletak dasar bangunan Ilmu Logika. Karena itu ia disebut sebaga guru utama logika.
Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles menyampaikan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air ialah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air ialah jiwa segala sesuatu.
Dalam logika Thales, air ialah arkhe alam semesta, yang berdasarkan Aristoteles disimpulkan dari:
- Air ialah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
- Air ialah jiwa binatang dan jiwa manusia
- Air jugalah uap
- Air jugalah es
Jadi, air ialah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air ialah arkhe alam semesta.
Aritstoteles (384-322) berusaha mengalahkan mereka (kaum Sofisme) secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang briliyan. Pernyataan-pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Keberhasilannya menyusun teknik berfikir sistematis yang benar sekaligus hukum-hukumnya, telah mengangkatnya menjadi Guru Pertama logika di dunia hingga ke masa kini. Julukan itu memang menyusun teknik berfikir benar dengan kesimpulan yang benar ibarat yang dihasilkannya itu. Dengan kata lain, keberhasilannya itu murni dari upaya pemikirannya sendiri.[13]
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica, yang secara khusus meneliti banyak sekali argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles ialah silogisme.
Karya tulis Aristoteles[14] dalam bidang logika di antaranya Organon Oa Laterpretation dan Prior Arsilyteis.
Adapun buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:
1 Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2. De interpretatione perihal keputusan-keputusan
3. Analytica Posteriora perihal pembuktian.
4. Analytica Priora perihal Silogisme.
5. Topica perihal argumentasi dan metode berdebat.
6. De sohisticis elenchis perihal kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Pada 370 SM-288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika.[15]
Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM), murid Aristoteles, hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 SM), pemikir terbesar bangsa Jerman, menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit lantaran sudah cukup sempurna.[16]
Sayangnya, Konsili Nicae (325 M), dengan alasan yang berdasarkan mereka masuk akal, menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena (Yunani), Antiokia dan Roma. Pelajaran logika juga dihentikan kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak kepercayaan Kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi Filsafat Yunani dan, sekaligus, logika. Sejak masa itu hingga hampir seribu tahun lamanya, alam pemikiran di Barat menjadi padam sehingga dikenal dengan Zaman The Dark Ages (zaman gelap).[17]
Berbeda dengan Katolik yang memasung filsafat dan logika, Islam justru menyambutnya dengan penuh gegap gempita. Dalam perkembangan selanjutnya, logika Aristo ditransfer ke dunia Islam melalui kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab pada zaman Daulah Abbasiyah (153-656 H./750-1258 M.). Upaya penerjemahan itu antara lain dilakukan oleh Abdullah bin Mughafa –sekretaris Abu Ja’far al-Manshur– dan Muhammad bin Abdullah Mughafa, sehingga ada satu masa dalam sejarah Islam yang dijuluki Abad Terjemahan. Logika, karya Aristoteles, juga diterjemahkan dan diberi nama ’Ilmu al-Mantiq.[18]
Setelah itu, disusul oleh ulama dan cendekiwam muslim yang populer mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu logika ibarat Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Abu Nashr Al-Farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi, dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari era gelapnya, malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika. Tokoh-tokoh ilmuwan lainnya yang sangat populer di bidang logika ialah Abu Ali Al-Haitsam, Abu Abdullh Al-Khawarizmi, Al-Tibrizi, Ibn Bajah, Al-Asmawi, Al-Samarqandi yang tidak hanya populer di belahan timur tetapi juga di belahan barat.
Di Eropa, setelah hampir seribu tahun dalam era gelap, setelah era ke-13 dan ke-14 mulai menggali lagi pelajaran logika. Tetapi, mereka tidak sanggup mempelajarinya sepenuhnya lantaran pengucilan gereja terhadap logika masih berlaku sangat ketat. Namun demkian, kegairahan akan usaha berat memisahkan gereja dan negara, menjadi sangat tinggi. Berbagai ilmu yang tadinya disalin dan diterjemahkan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim ke dalam bahasa Arab diterjemahkan mereka kembali ke dalam bahasa Latin, kemudian ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Di bidang logika, mereka menggelari Al-Farabi sebagai Guru Kedua dan Ibnu Sina sebagai Guru Ketiga.
Buku Logika Ibn Sina diterjemahkan mereka ke dalam bahasa Latin di penghujung era ke-12. Terjemahan yang lebih lengkap ialah dari karya logika Ibn Rusyd di awal era ke-14. Terjemahan inilah yang disebarkan di Paris (Perancis) dan Oxford (Inggris). Setelah itu, logika hidup kembali dengan subur di Eropa, Amerika dan negara-negara lainnya.
Setidaknya, penghidupan kembali logika ini pada era 9 hingga era 15, yang ditandai dengan buku-buku Aristoteles ibarat De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan
Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika.
Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:
1. Petrus Hispanus (1210 - 1278)
2. Roger Bacon (1214-1292)
3. Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika gres yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian.
4. William Ocham (1295 - 1349)
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding
Francis Bacon (1561 - 1626) menyebarkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum.
J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic
Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:
1) Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan budi sehat dan lebih mempertajam kepastian.
2) George Boole (1815-1864)
3) John Venn (1834-1923)
4) Gottlob Frege (1848 - 1925)
Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University, melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs)
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970).
Logika simbolik kemudian diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran di bidang logika di dunia Islam lantaran dianggap terlalu memuja akal, sebagaimana yang pernah dialami sebelumnya di Yunani yang diharamkan oleh pihak gereja–Kristen. Di antara ulama-ulama besar Islam, ibarat Muhhiddin Al-Nawawi, Ibn Shalah, Taqiyuddin Ibn Taimiyah, Saduddin Al-Taftazani malah mengharamkan mempelajari Ilmu Logika dengan tuduhan akan menjadi zindiq, ilhad dan kufur. Pengaruh mereka ini telah menimbulkan banyak ulama tidak memperkenankan Ilmu Logika diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan yang mereka asuh.
Namun demikian, masih ada beberapa orang ulama besar yang masih tetap mempertahankan Ilmu Logika sebagai suatu ilmu yang harus dipelajari, tetapi terbatas pada maksud menggunakannya sebagai penunjang bagi Ilmu Tauhid (theologi) saja. Di antara mereka ialah Sayid Syarif Ali al-Jurjani, Muhammad Al-Duwani, Abdurrahman Al-Akhdari, Muhibbullah Al-Bishri, Al-Hindi, Ahmad Al-Malawi, Muhammad Al-Subhan dan tentu saja masih ada yang lain.
Dan di awal kebangkitan Islam (mulai pada penghujang era ke-19) yang ditandai dengan gerakan pembaharuan, ilmu-ilmu yang tadinya disingkirkan, termasuk Ilmu Logika, mulai dipelajari dan dikembangkan kembali. Gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pengaruh ini meluas ke seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, Ilmu Logika pada mulanya dipelajari secara terbatas di perguruan-perguruan agama dan pesantren yang biasa disebut dengan nama Ilmu Mantiq. Ilmu ini, kemudian, semakin menerima perhatian berkat semangat positif gerakan pembaharuan tadi. Tetapi, meskipun pakar logika mungkin banyak di Indonesia, ternyata buku-buku logika yang mereka susun dalam bahasa Indonesia masih amat sedikit. Sementara itu, mereka mengakui besarnya signifikansi dan peranan Ilmu Logika itu bagi pengembangan ilmu pada umumnya dan peningkatan daya pikir untuk memperoleh kesimpulan yang benar pada khususya.[19]
Embrio Logika
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika muncul ketika terjadi perdebatan perihal kata dan makna antara Abu Sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). Menurut al-Syirafi yang hebat bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing.
Sebaliknya, berdasarkan Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu dibanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, insan sanggup berinteraksi secara aktif dan melaksanakan transformasi dengan sesamanya tak lain lantaran ia mempunyai budi untuk berfikir. Al-Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut, yang tak diragukan lagi kebenaranya sangat menghargai peranan budi ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa undangan “untuk selalu berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam banyak sekali ayat, di antaranya : Al-Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60, Shaffat: 138.[20]
Akal merupakan suatu sarana super canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya. Dengan budi insan sanggup mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik perihal dirinya maupun hakikat alam dan diam-diam yang terkandung di dalamnya. Manusia lantaran akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika insan itu masih diberi kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula acara berfikir tidak akan terlepas darinya. Manusia termasuk Anda selalu berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada ketika itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, lantaran itu saya ada”. Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika – yang terang memakai nalar–, sama sekali tak sanggup “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi.
Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk budi dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim.[21]
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, ketika memahami al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum (penunjukan kalimat terhadap makna dengan memakai lafadh yang tidak sharih) yang tentunya diharapkan analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.[22]
Contoh di atas sengaja penulis paparkan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi budi teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh dapat dipercaya dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap duduk masalah kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, meskipun dengan memakai budi tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang kala salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah menerima pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh lantaran itu, supaya insan kondusif dari kekeliruan berfikir dan selamat dari menerima kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq menyampaikan bahwa kiprah ilmu mantiq atau logika ibarat halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan buku ini, meskipun di dalamnya hanya menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, ibarat arti, obyek, bagian, dan manfaatnya.
Tujuan dan Faedah Mempelajari Logika
Mempelajari Ilmu logika atau Manthiq, ibarat halnya mempelajari ilmu lainnya, tidak terlepas dari tujuan dan kegunaan. Tujuan dan kegunaan Ilmu Logika di antaranya sebagaimana dijelaskan oleh pakar Ilmu Logika (Manathiqah) berikut.
Tujuan Ilmu Logika berdasarkan Muhammad Nur al-Ibrahimi:[23]
1) Melatih , mendidik, dan menyebarkan potensi budi dalam mengkaji objek pikir dengan memakai metodologi berpikir.
2) Menempatkan duduk masalah dan menunaikan kiprah padasituasi dan kondisi yang tepat.
3) Membedakan proses dan kesimpulan berpikir yang berani (hak) dari yang salah.
Adapun mempelajari ilmu logika sungguh sangat berfaedah sekali untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
2. Melatih jiwa insan semoga sanggup memperhalus jiwa fikirannya
3. Mendidik kekuatan budi pikiran dan memperkembangkannya yang sebaik baiknya dengan melatih dan membiasakan mengadakan penyelidikan-penyelidikan perihal cara berpikir. Dengan membiasakan latihan berpikir, insan akan gampang dan cepat mengetahui dimana letak kesalahan yang menggelincirkannya dalam usaha menuju hukum-hukum yang diperoleh dengan fikiran itu.
4. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
5. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
6. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan memakai asas-asas sistematis
7. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan serta kesesatan.
8. Mampu melaksanakan analisis terhadap suatu kejadian.
9. Terhindar dari klenik, gugon-tuhon (bahasa Jawa)
10. Apabila sudah bisa berpikir rasional, kritis, lurus, metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan gambaran diri seseorang.
Jadi, mempelajari ilmu logika itu sama dengan mempelajari ilmu pasti, dalam arti sama-sama tidak pribadi memperoleh faedah dengan ilmu itu sendiri, tapi ilmu-ilmu itu sebagai mediator yang merupakan suatu jembatan untuk ilmu-ilmu yang lain juga untuk menimbang hingga dimana kebenaran ilmu-ilmu itu. Dengan demikian maka ilmu logika juga boleh disebut ilmu pertimbangan atau ukuran, dalam bahasa Arab disebut ilmu mizan atau mi’jarul ulum.[24]
Manusia dituntut untuk berpikir dalam banyak sekali cabang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan yang bekerjasama dengan alam maupun pengetahuan yang bekerjasama dengan manusia. Manusia berpikir perihal rumah tangga, pendidikan anak-anak, pemerintahan Negara dan banyak sekali masalah lainnya. Dalam hal ini logika merupakan lampu obor penerang jalan menuju arah yang dituju. Karena itu logika dinamakan ilmu dari segala ilmu, ilmu timbangan dan ukuran dari segala ilmu.
Sedangkan berdasarkan Immam al-Ahdhari, tujuan dan kegunaan Ilmu Logika ialah sebagai berikut:
فيعصم الافكار عن غي الخطاء * و عن دقيق الفهم يكشف الغطاء
”Manthiq (Logika) sanggup memelihara pikiran dari kesalahan berpikir, memperdalam pemahaman, dan menyingkap selimut kebodohan.”[25]
Dengan demikian kita sanggup memahami, bahwa betapa pentingnya logika itu dan sepakat sekali dengan apa yang dikatakan Imam al-Ghazali:
ان من لا معرفة له بالمنطق لا يوثق بعلمه
“Sesungguhnya orang yang tidak mempunyai pengetahuan dalam ilmu logika, tidak sanggup mengemban amanah ilmunya.”[26]
Mempelajari ilmu logika sama halnya dengan ilmu pasti, yaitu tidak secara pribadi memperoleh manfaat dari ilmu itu sendiri. Tetapi ilmu itu sebagai perantara, sebagai suatu jembatan untuk ilmu-ilmu lainnya. Disamping itu, untuk melihat dan menimbang hingga dimana kebenaran ilmu itu.
Di atas telah disebutkan, bahwa ilmu logika ialah ilmu dari segala ilmu. Hal ini berarti, bahwa ilmu logika niscaya ada hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya. Sebagaimana diketahui, bahwa ilmu ialah untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui dengan keyakinan dan asumsi yang kuat. Sedangkan ilmu logika ialah untuk mencari jalan dan dengan jalan itu akan mencapai yang dipandang benar.
Dengan demikian jelaslah bahwa korelasi ilmu logika dengan ilmu-ilmu yang lainnya itu, sukar dipisahkan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, dikemukakan pola berikut:
Panca indera kita sering terbentur pada sesuatu yang belum kita ketahui, sehingga akhirnya sanggup mengetahui dan mengenal sifat-sifat sesuatu yang tadinya belum kita kenal. Seperti keadaan anak kecil ketika melihat buah jambu atau buah jeruk. Dia rasai dan ia cium baunya, dilihat bentuk dan warnanya, diraba dan dipegangnya, kemudian dicoba dimakannya. Pada suatu ketika anak mendengar nama buah jambu atau buah jeruk dan melihatnya sebagaimana yang pernah dilihat sebelumnya, maka mengertilah ia bahwa buah yang semacam itu ialah buah jambu atau jeruk.
Selanjutnya anak itu sanggup membanding-bandingkan sifat jambu dan jeruk, pada suatu ketika nanti ia akan tahu yang mana jambu dan yang mana jeruk. Dengan demikian ia telah mempunyai pengetahuan perihal jambu dan jeruk.
Hukum Mempelajari Ilmu Logika
Salah satu ciri ilmu keislaman ialah adanya klarifikasi mengenai aturan mempelajari suatu disiplin ilmu. Para ulama sepakat bahwa aturan mempelajari Ilmu Logika Islam sama dengan mempelajari ilmu keislaman lainnya; sesuai dengan perintah Nabi Muhammad Saw. Adapun mengenai mempelajari ilmu logika yang termasuk kategori logika murni Yunani dan logika adonan antara Yunani dan Islam terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) ibarat berikut.[27]
a. Kelompok Ibnu Shalah dan Imam Abu zhadsfia Yahya al-Nawawi beropini bahwa aturan mempelajarinya ialah haram.
b. Kelompok Imam Al-Ghazali beropini bahwa mempelajarinya diperbolehkan, bahkan mendekati disunnahkan[28] dengan catatan: (a). Orang yang mempelajarinya cerdas, (b). Dikaitkan dalam upaya memperdalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta mempertahankan keduanya dari serangan pemikiran yang mengingkari Al-Qur’an dan as-Sunnah, dan (c). Dalam upaya mencari kebenaran.
c. Sebagian kelompok Sunni dan Sufi, ibarat Syuhrawardi, menganggapnya haram; bahkan menentang dan memeranginya.
d. Selain itu, ada juga yang beranggapan bahwa aturan mempelajari logika murni Yunani dan logika adonan antara Yunani dan Islam ialah wajib kifayah, yaitu suatu kewajiban yang sanggup diwakili; tidak setiap orang mesti mempelajarinya.[29]
e. Mubah, boleh bagi orang yang akalnya telah tepat dan mengerti benar aliran Al-Qur’an dan hadits. Pendapat ketiga ini ialah pendapat yang masyhur.[30]
Keutamaan Ilmu Logika
Menurut Syaikh Khatab Umar ad-Darwis, Ilmu Logika (Ilmu Mantiq) itu mempunyai keutamaannya. Adapun keutamaan keutamaan Ilmu Logika adalah:[31]
و اما فضله فهو علم يفوق و يزيد علي غيره من العلوم بكونه
عام النفع فيها اذ كل علم ثصورا و ثصديق وهو يبحث فيها
”Keutamaan Ilmu Mantiq (Ilmu Logika) di antaranya sanggup mengungguli dan memberi nilai tambah terhadap disiplin ilmu-ilmu lainnya, lantaran kegunaan Ilmu Mantiq bersifat umum. Artinya, Ilmu Mantiq membahas tashawur dan tashdiq sesuai dengan objek kajiannya.”
Pemahaman kita terhadap keutamaan Ilmu Mantiq, ibarat halnya terhadap ilmu-ilmu lainnya, bertujuan menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya nilai ilmu bagi kehidupan mempelajarinya seabgai penggalan dari kiprah kesehariannya.
Hubungan Ilmu Logika dengan Ilmu-ilmu Lain
Apakah Ilmu Logika itu ada kaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya? Begini, untuk menjelaskan korelasi ilmu logika dengan ilmu-ilmu yang lain, kita mencoba meminjam pendapatnya Syaikh Umar ad-Darwis mengenai klarifikasi ilmu logika. Menurutnya:[32]
واما نسبته الي العلوم فهو باعتبار موضوعه كل لها لان كل علم بصور او تصديق
”Hubungan Ilmu Logika dengan ilmu-ilmu lainnya sanggup dilihat dari segi objek bahasannya yang universal, yaitu tashawur dan tashdiq. Sebab, setiap disiplin ilmu berisikan tashawur dan tashdiq.
Tashawur dan tashdiq merupakan cara menunjukan dan memutuskan objek pikir secara esensial dan substansial, yang metodenya dijelaskan dalam Ilmu Logika. Adapun perwujudan dari tashawur dan tashdiq ialah suatu disiplin ilmu –isi setiap disiplin ilmu ialah keterangan mengenai segala sesuatu yang menjadi objek bahasannya yang disebut teori. Jadi, isi suatu disiplin ilmu ialah teori perihal sesuatu yang menjadi objek kajiannya; sedangkan teori berintikan tashawur dan tashdiq yang menjadi objek kajian Ilmu Logika. Dengan demikian, sanggup dipahami bahwa korelasi Ilmu Logika dengan ilmu-ilmu lainnya terletak pada fungsinya sebagai alat dan kaidah pembuatan teori yang menjadi isi setiap ilmu.
Sumber Pengambilan Ilmu Logika
Dalam Ilmu Manitq ada disebutkan ada kata istimdad. Jika dilihat dari segi bahasa, istimdad ialah sumber pengambilan sesuatu. Adapun secara terminologi, istimdad mengandung pengetian suatu sebutan untuk menyatakan sesuatu yang menjadi sumber atau dasar pengambilan disiplin ilmu.
Sumber pengambilan Ilmu Logika ialah akal, yang merupakan ”hidayah” dari Allah Swt. Dengan potensi budi itu, insan berbeda dari makhluk Allah lainnya. Bahkan, lantaran budi inilah insan diberi beban untuk memikul ”hidayah agama Islam.” Hidayah yang diberikan Allah kepada umat manusia, berdasarkan Dr. Musthafa Al-Maraghi[33] dalam penafsirannya terhadap QS. Al-Fâtihah [1]: 6, ada lima macam:
1) Hidayah Gharizah (Instink). Hidayah jenis ini dibeirkan Allah kepada insan dan kepad makhluk lainnya.
2) Hidayah Hawasi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan). Hidayah ini diberikan kepada insan dan makhluk lainnya.
3) Hidayah Akal (penalaran). Hidayah ini diberikan Allah kepada manusia, malaikat, dan jin.
4) Hidayah Din Al-Islam (Agama Islam). Hidayah ini diberikan Allah Swt. kepada manusiadan jin.
5) Hidayah Taufiqi (kemampuan untuk mencocokkan sikap dengan hidayah yang keempat). Hidayah ini diberikan Allah kepada insan dan jin berupa ”daya ikhtiari.”
Sebagai istimdad Logika, budi merupakan:[34]
نور روحا ني به تدرك النفس المعلومات الضرورية والنظرية
Cahaya spiritual yang dengannya seseorang sanggup memahami objek pengeahuan yagnmudah dan yang sulit.
Dasar-dasar Logika
Konsep bentuk logis ialah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni korelasi antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles (Mantiq al-Qadim) dan logika simbolik modern (Mantiq al-Hadits) ialah contoh-contoh dari logika formal.
Logika tradisional (Mantiq al-Qadim) ialah logika Aristoteles, dan logika daripada logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para Logikus setelah Aristoteles tidak membuat perubahan atau mencipta sistem gres dalam logika kecuali hanya membuat komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegant dengan sekedar mengadakan perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika modern (Mantiq al-Hadits) tumbuh dan dimulai pada era XIII. Mulai era ini ditemukan sistem baru, metode gres yang berlainan dengan sistem logika Aristoteles. Saatnya dimulai semenjak Raymundus Lullus menemukan metode gres logika yang disebut Ars magna.[35]
Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif –kadang disebut logika deduktif– ialah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jikalau kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jikalau dan hanya jikalau kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Pemikiran induktif merupakan proses pemikiran di dalam budi kita dari pengetahuan perihal kejadian/peristiwa-peristiwa/hal-hal yang lebh nyata dan ‘khusus’ untuk menyimpulkan pengetahuan yang lebih ‘umum’[36]
Contoh argumen deduktif:
1) Setiap makhluk ialah ciptaan Tuhan
2) Semua makhluk tersusun dari unsur substansi dan accident
3) Semua perbuatan hamba ialah proses sintesa antara energi ciptaan Tuhan dan kehendak manusia
Penalaran induktif –kadang disebut logika induktif– adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Dengan kata lain merupakan proses pemikiran di dalamnya budi kita dari pengetahuan yang lebih ’umum’ untuk menyimpulkan pengetahuan yang lebih ’khusus’.[37]
Contoh argumen induktif:
1. Al-Qur’annya orang Islam Arab berjumlah 30 juz
2. Al-Qur’annya orang Islam Turki berjumlah 30 juz
3. Al-Qur’annya orang Islam Amerika berjumlah 30 juz
4. Al-Qur’annya orang Islam Indonesia berjumlah 30 juz
5. ...
6. Al-Qur’an umat Islam berjumlah 30 juz
Cara ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, kita sanggup berpikir secara ekonomis. Meskipun eksperimen kita terbatas pada beberapa masalah individual, kita bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih umum tidak sekadar masalah yang menjadi dasar pemikiran kita. Kedua, pernyataan yang dihasilkan melalui cara berpikir induksi tadi memungkinkan proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif.[38]
Tabel di bawah ini memperlihatkan beberapa ciri utama yang membedakan penalaran induktif dan deduktif.
Deduktif | Induktif |
- Jika semua premis benar maka kesimpulan niscaya benar. - Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis. | - Jika premis benar, kesimpulan mungkin benar, tapi tak niscaya benar. - Kesimpulan memuat informasi yang belum diketahui sebelumnya, bahkan secara implisit, dalam premis. |
Macam-macam logika
Logika sanggup dibagi: pertama berdasarkan kualitasnya, kedua berdasarkan perbedaan pendekatan yang dinyatakan dengan pelbagai perbedaan madzhab logika. Ketiga berdasarkan perbedaan jenis-jenis logika.
Dilihat dari segi kualitasnya, logika sanggup dibedakan menjadi Logika Alamiah atau Naturalis (Mantiq al-Fitri) dan Logika Ilmiah (Mantiq al-Sûri)
1. Logika alamiah
Logika alamiah ialah kinerja budi sehat insan yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah insan yang ada semenjak lahir.
2. Logika ilmiah
Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta budi budi.
Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah budi sehat sanggup bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih gampang dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.[39]
Berdasarkan perbedaan pendekatan, logika mempunyai banyak madzhab (school of logic). Sekurang-kurangnya ada lima madzhab logika, yaitu:
1. Traditional Logic (Logika Tradisional), yaitu madzhab logika yang menafsirkan logika sebagai sekelompok aturan berpikir yang berkhasiat bagi perbincangan sehari-hari dan perbincangan ilmiah. Madzhab yang dipelopori oleh Aristoteles ini memberi tekanan pada deduksi dan induksi.
2. Empiricism (madzhab Tajribi). Yaitu, pemikrian yang didasarkan pada penggunaan potensa indra lahir semata dalam memikirkan objek pikir. Pengetahuan yang dihsilkannya disebut epengetahuan indra.
3. Metaphysical Logic/Mysticism (Logika Metafisik/Madzhab Shufi), yaitu madzhab logika yang menganggap logika sama dengan metafisika. Madzhab ini merupakan pemikiran yang didasarkan pada penggunaan potensi nurani dan intuisi. Pengetahuan yang diperolehnya diseut pengetahuan mistis.[40] Menurutnya susunan pikiran dianggap sama dengan susunan kenyataan. Madzhab yang lebih menekankan pada upaya menafsir pikiran sebagai struktur kenyataan ini didukung oleh George Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf Jerman yang hidup antara 1770-1831.
4. Epistemological Logic (Logika Teori Ilmu Pengetahuan), yaitu madzhab logika yang beranggapan bahwa pikiran logis harus digabung dengan perasaan dan seluruh ilmu pengetahuan untuk mencapai kebenaran. Kebenaran berdasarkan madzhab ini tergantung pada kesesuaiannya dengan pendapat-pendapat lain dalam banyak sekali bidang dan disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga dengan demikian logika dianggap menjadi sebuah sisstem yang bulat. Madzhab ini didukung oleh Herbert Bradley (1848-1923).
5. Pragmatic Logic /madzhab ’Aqli/Rationalism (Logika Kegunaan), yaitu madzhab logika yang menganggap logika sebagai alat untuk menghadapi pengalaman hidup dan memecahkan masalah. Pengetahuannya didasarkan pada penggunaan potnsi budi semata. Menurut aliran ini, budi mempunyai kemampuan memahami, mengkaji, menetapkan, memikirkan, dan menyadari objek pikir. Pengetahuan yang diperolehnya disebut pengetahuan rasional.[41] Rangkaian pemikiran hanyalah berlangsung dalam rangka pemecahan masalah. Madzhab ini disebut juga Instrumentalist Logic dan didukung oleh John Dewey (1859-1952).
6. Criticism (madzhab Naqdihi). Yaitu, pemikrian yang didasarkan pada penggabungan antara madzhab Tajribi dan madzhab ’Aqli dalam memikirkan objek pikir.
7. Simbolic Logic (Logika Simbol), yaitu madzhab logika yang menganggap bahasa sebagai lambang dari kerja pikir. Madzhab yang didukung oleh Gofried Wilhelm Leibnizt (1646-1716) dan George Boole (1815-1864) memandang pentingnya penggunaan lambang-lambang matematik sebagai simbol dari kerja pikir.[42]
Sedangkan berdasarkan ragam dan jenisnya logika dibagi menjadi:
1. Philosophical Logic (Logika Filsafat), yaitu logika yang pembahasan-pembahasannya sangat erat dengan pembahasan-pembahasan filsafat. Misalnya, Deontic Logic (Logika Kewajiban) erat hubungannya dengan Etika (Filsafat Kesusilaan). Atau Intentional Logic (Logika Arti) erat hubungannya dengan metafisika (filsafat yang membahas hakekat yang ada di belakang kenyataan). Lawan dari logika filsafat ialah logika yang bersifat sagat teknis dan ilmiah.
2. Pure Logic (Logika Murni) dan Applied Logic (Logika terapan). Logika murni ialah logika yang berlaku umum tanpa mempersoalkan arti-arti khusus dari sebuah istilah atau pernyataan yang berlaku dalam suatu bidang ilmu tertentu. Lawannya logika terapan, yaitu logika yang diterapkan ke dalam cabang ilmu pengetahuan dan dalam pembicaraan sehari-hari. Seperti logika biologi, logika sosiologi dan lain-lain.
3. Traditional Logic (Logika Tradisional) dan Modern Logic (Logika Modern). Logika tradisional ialah logika yang berintikan logika Aristoteles yang pembahasannya berkisar masalah penalaran secara deduktif yang mendasarkan pada bentuk-bentuknya saja dan pokok sebutan serta keterangan pokok sebutan. Logika ini menerima penyempurnaan dari tokoh-tokoh muslim pada masa kejayaan Islam. Penyempurnaan dan pengembangannya berkisar sekitar: keterangan persyaratan yang benar (consequentia), qiyas awla, kaidah-kaidah pemikiran (laws of thought), penguraian induktif serta metode eksperimen (thariqah tajribiyah). Sedangkan Logika Modern ialah Logika Simbol yang memakai dasar-dasar matematik. Tokohnya yang menonjol ialah George Boole (1815-1864), spesialis logika berasal dari Inggeris.
4. Deductive Logic (Logika Deduktif) dan Inductive Logic (Logika Induktif). Logika deduktif ialah logika yang mempelajari asas-asas berpikir berdasarkan bentuknya di mana kesimpulan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikir (premis). Karena logika ini lebh menakankan keteraturan kerja budi sesuai dengan bentuknya (aturan-aturan yang berlaku), maka logika ini disebut pula dengan Logika Formal (Formal Logic). Lawannya ialah Logika Induktif, yaitu logika yang mempelajari asas-asas penalaran (reasoning) yang betul dari sejumlah hal khusus hingga pada kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi (probable). Karena logika ini lebih menekankan pada usaha menemukan asas-asas berpikir yang keabsahannya tergantung pada bersesuaian dengan kenyataan maka disebut pula Logika Isi (Material Logic). Berbeda dengan kesimpulan logika deduktif yang bersifat materi, kesimpulan logika induktif bersifat mungkin.
5. Formal Logic (Logika Bentuk) dan Material Logic (Logika Isi). Walaupun logika bentuk seringkali disamakan dengan logika deduktif, tetapi bergotong-royong ia hanya merupakan penggalan dari logika deduktif, yaitu penggalan yang bekerjasama dengan perbicangan (argument) yang sah berdasarkan bentuknya. Sedangkan Logika Isi ialah logika yang menelaah pemikiran dan penalaran yang mengungkapkan dunia kenyataan. Logika isi seringkali disamakan dengan logika induktif, logika minor, atau logika ilmu pengetahuan.[43]
Pengertian Ilmu
Dr. Muhammad al-Bahi menulis bahwa ilmu –dilihat dari segi sumbernya –terdiri dari dua macam: (a) ilmu yang bersumber dari tuhan, dan (b) ilmu yang bersumber dari manusia. Ilmu yang pertama disebut Ma’rifat al-Ilahiah, sedangkan ilmu yang kedua disebut Ma’rifat al-Insaniyah. Dalam pada itu. Iman merupakan asas dari keduanya.[44]
Dalam bahasa Indonesia "Ilmu" seimbang artinya dengan "Science" dan dibedakan pemakaiannya secara terang dengan kata "pengetahuan".
Kata “Ilmu” dalam pemakaiannya dibedakan dengan “Pengetahuan”. Dalam ilmu logika atau mantiq, istilah “Pengetahuan” (knowledge) sinonim dengan “ilmu badihi” yaitu ilmu yang diterima tanpa membutuhkan penyelidikan ibarat panas, cuek dsb. Cara mendapatkannya pun berasal dari acara mengetahui, yakni tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya.[45] Sedangkan istilah “Ilmu” (science) sinonim dengan “Ilmu Nazhari”, yaitu ilmu yang memerlukan pembuktian dan penelitian ibarat memahami hakikat hujan, gerhana matahari dan sebagainya.[46]
Syaikh Abd ar-Rahmân al-Ahdhari dan al-Darwisi beropini bahwa ilmu berarti klarifikasi tentan sesuatu dengan cara mengetahui sesuatu tersebut; atau, sampainya jiwa kepasda pemahaman makna sesuatu tersebut.[47] Pengertian ilmu ini tentu saja dalam konteks ilmu sebagai “ilmu baru” (hadits). Sebab, ilmu itu –dilihat dari segi waktu– terbagi menjadi ‘Ilm al-Qadim (Ilmu Allah Swt.), dan ‘Ilm al-Hadits (Ilmu “baru”), yaitu ilmu yang dimiliki manusia.[48]
Kita harus berhati-hati dalam memakai kata “pengetahuan” dan “ilmu” dan apa yang kita tangkap dalam jiwa. Pengetahuan (knowledge) sudah puas dengan “menangkap tanpa ragu” kenyataan sesuatu, sedangkan Ilmu (science) menghendaki klarifikasi lebih lanjut dari sekadar apa yang dituntut oleh pengetahuan (knowledge).
Sebagai seorang Muslim, Ali mengetahui bahwa Al-Qur’an ialah kitab Allah yang paling sempurna, oleh lantaran itu ia akan membantah jikalau Al-Qur’an itu dikatakan buatan Muhammad Saw. Yang demikian ini ialah “pengetahuan” baginya. Manakala ia kemudian mengetahui bahwa ternyata Al-Qur’an itu tatkala dibaca secara istiqamah akan menjadikan pembacanya menjadi tenteram, gaya bahasa Al-Qur’an itu sungguh sangat indah mempesona yang mana penyair terhebat sekalipun tidak bisa menandinginya. Dilihat dari ajarannya Al-Qur’an itu sangat masuk budi dan sanggup menyentuh kalbu. Dari pembagaian ajarannya pun ternyata Al-Qur’an berisi banyak sekali disiplin ilmu: fiqih, tafsir, tajwid, tahsin, murattal, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, ilmu eksakta, ilmu sosial, ilmu sosiologi, ilmu perbintangan dan lain sebagainya. Bahkan Ali akhirnya memahami bahwa Al-Qur’an merupakan komplemen dan penyempurna kitab-kitab Allah yang diturunkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Dari sinilah akhirnya Ali mengerti makna kesempurnaan Al-Qur’an yang sebenarnya. Nah, pengetahuan Ali yang kemudian perihal kesempurnaan Al-Qur’an ibarat ini disebut “Ilmu”.
Dengan demikian, Ilmu ialah pengetahuan perihal suatu bidang yang disusun secara bersistem berdasarkan metode-metode tertentu, yang sanggup digunakan untuk menunjukan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Sedangkan pengetahuan itu tidak membutuhkan klarifikasi yang lebih lanjut. [49]
Menurut Abu Hilal al-Askari, ilmu adalah:[50]
معرقة الشئ علي ما هو به واعثقاده
“Mengetahui dan meyakini sesuatu berdasarkan apa adanya (objektif).”
Sedangkan berdasarkan Muhammad Nur al-Ibrahim, ilmu adalah:[51]
ادراك المجهول علي جهة اليقين او الظن ادراكا يطابق الواقع لو يخالفه
“Pencapaian objek tahu yang belum diketahu dengan cara meyakini atau menduga yagn keadannya bisa cocok dengan kenyataan atau sebaliknya.”
Menurut Maranon (1953),[52] ilmu meliputi lapangan yang sangat luas, menjangkau semua aspek perihal progress manusia secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya pengetahuan yang elah dirumuskan secara sistematis melalui pengamatan dan percobaan yang terus-menerus, yang telah menghasilkan inovasi kebenaran yang bersifat umum. Tan (1954)[53] beropini bahwa ilmu bukan saja merupakan suatu himpunan pengetauan sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodelogi. Ilmu telah memperlihatkan metode dan system, yang mana tanpa ilmu semua itu akan merupakan suatu kebutuhan saja. Nilai dari ilmu tidak saja terletak dalam pengetahuan yang dikandungnya, sehingga si penuntut ilmu menjadi seorang yang ilmiah, baik dalam keterampilan, dalam pandangan maupun tindak tanduknya.
Ilmu menemukan matri-materi alamiah serta membeirkan suatu rasionalisasi sebagai aturan alam. Ilmu membentuk kebiasaan serta meningkatkan keterampilan observasi, percobaan (eksperimentasi), klasifikasi, analisis serta membuat generalisasi. Dengan adanya keingintahuan insan yang terus-menerus, maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan persepsi serta kemampuan berpikir secara logis, yang sering disebut penalaran.
Ilmu berdasarkan para pakar Logika ialah mengerti dengan yakin atau mendekati yakin mengenai sesuatu yang belum diketahui, baik paham itu sesuai dengan realita maupun tidak.
Contoh :
Ketika Anda membaca Al-Qur’an surat Al-Sajdah: 4, yang artinya, “Allah-lah yang membuat langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy,” kemudian Anda masih kurang jelas atau ragu-ragu; betulkah langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya itu ialah ciptaan Allah? Kemudian Anda bertafakkur sambil beranalogi dengan adanya kursi. Saat itu juga Anda mendapatkan jawabannya ternyata adanya dingklik –sebagai daerah duduk– tidak mungkin ada dengan sendirinya, niscaya ada yang membuatnya. Demkian pula dengan benda-benda lainnya yang ada di depan mata, ibarat meja, lemari, baju, celana, dan lain sebagainya. Benda-benda tersebut tidak mungkin ada dengan sendirinya bahkan tidak mungkin jikalau tidak ada yang membuatnya. Begitu pula dengan adanya langit serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya tidak mungkin dan tidak mungkin ada dengan sendirinya kalau tidak ada yang membuatnya (menciptakannya). Dan di ayat tersebut dijelaskan bahwa pencipta langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya ialah ”Allah”. Dengan demkian semakin mantaplah keyakinan Anda bahwa langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya ialah ciptaan Allah. Pemahaman Anda itu merupakan ilmu yang yakin dan sesuai dengan realitas (ilmu yaqin muthabiq lil-waqi'). Akan tetapi, jikalau Anda mempunyai pengertian yang mendekati yakin (zhan) bahwa langit dan bumi serta yang ada di antara keduanya ialah ciptaan Allah, maka pengertian Anda itu merupakan ilmu yang mendekati yakin (dzhan) dan sesuai dengan realitas (ilmun zhanni muthabiq lil-waqi') –sesuai dengan dalil naqli dan ’aqli.
Pembagian Ilmu
Para pakar mantiq membagi ilmu menjadi dua yaitu sebagai berikut :
1. Tashawur, yaitu memahami sesuatu tanpa mengenakan (meletakkan) sesuatu (sifat) yang lain kepadanya, ibarat memahami kata Husin, manusia, kerbau, kambing, rumah dan sebagainya.
2. Tashdiq, yaitu memahami korelasi antara dua kata atau memutuskan sesuatu (kata) atas sesuatu kata yang lain. Ketika Anda memahami Husin ilmu Anda mengenai Husin itu tersebut tasawur. Tetapi ketika Anda menyampaikan Husin sakit berarti Anda memahaminya dengan memutuskan (meletakkan) sakit kepada Husin. Pemahaman Anda pada waktu itu sudah berpindah dari tasawur kepada tashdiq.[54]
Ilmu-ilmu tashawur dan tashdiq itu masing-masing terbagi lagi kepada dua:
1. Badihi, ialah pemahaman perihal sesuatu yang tidak memerlukan pikiran atau penalaran, ibarat mengetahui diri merasa lapar lantaran terlambat makan. Ilmu ini disebut dengan ilmu a priori, yaitu ilmu-ilmu yang tidak kita peroleh dari pengalaman dan percobaan, tetapi bersumber pada budi itu sendiri. Kebernaran ilmu ini tidak sanggup ditemukan dan dikembalikan kepada data empiris sebagaimana ilmu-ilmu a posteriori, melainkan kepada akal. Semua ilmu yang tidak tergantung kepada pengalaman dan eksperimen termasuk dalam kelompok ini, begitu juga Logika.
2. Nazhari, ialah pemahaman yang memerlukan pemikiran, penalaran, atau pembahasan serta pengalaman inderawai, ibarat matematika, kimia, teknologi radio, televisi, komputer, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu kesehatan, dan semacamnya. Pendeknya semua ilmu yang bersumber pada pengalaman dan eksperimen. Dalam dunia modern ilmu ini disebut ilmu a posteriori.[55]
Tingkatan Ilmu
Menurut Plato, timbulnya pengetahuan merupkan keharusan adanya gabungan yang tidak bisa dipisahkan antara panca indera dan akal. Baginya, panca indera tidak sanggup memikirkan sesuatu, dan budi tidak sanggup mencerap sesuatu. Hanya bila kedua-duanya bergabung maka timbullah pengetahuan; mencerap tanpa dibarengi proses berpikir budi sehat sama dengan kebutaan, pikiran tanpa isi dari indera sama dengan kehampaan.[56]
Adapun tingkatan pengetahuan berdasarkan Plato dimulai dari tingkat bawah hingga tingkat tinggi adalah: Eikasia, Pistis, Dianoia, dan Noesia. Dari kesemuanya itu ada yang menunjuk pada kepahaman yang salah (Doxa), yaitu Eikasia dan Pistis; dan ada yang menunjuk pada kepahaman yang arif (Episteme). Namun yang menarik dari Plato ialah bahwa dari doxa itu, jikalau kita terus-menerus menelusuri formanya akan sanggup mencapai pada kearifan. Hal ini bisa terjadi, lantaran yang disebut doxa ialah pengetahuan yang dicerap melalui indera, yang justru data-data indera itu diharapkan bagi inovasi kearifan (episteme).
Dari kaitan ini kita sanggup berguru bahwa tak ada kesalahan atau kejahatan yang abadi, hanya kebaikan dan kearifan yang abadi. Dalil ini memberi ruang kebahagiaan tersendiri bagi kita, terlebih kita seringkali merasa sedih dan tersingkir ketika menyadari adanya kesalahan dalam kesadaran kita. Menurut Plato, kesalahan justru jalan menuju kebenaran. Tentu saja, dengan syarat kita menyadari kadar kesalahan itu; dengan modal kesadaran akan kesalahan, akan kebebalan kita sanggup menemukan kearifan.
Skema Tingkatan Pengetahuan Plato
Tingkatan Tertinggi, NOESIA: Pengetahuan pada nilai kesadaran
Tingkatan Tinggi, DIANOIA: Konsep hasil rumusan atas kenyataan
Tingkatan Sedang, PISTIS: Pendapat berdasar kesan inderawi
Hemat penulis, dalam bahasa spiritualitas Islam:
Tingkatan Tertinggi, NOESIA: Pengetahuan pada nilai kesadaran disebut haqq al-yaqîn[58]
Tingkatan Tinggi, DIANOIA: Konsep hasil rumusan atas kenyataan disebut ’ainu al-yaqîn.
Tingkatan Sedang, PISTIS: Pendapat berdasar kesan inderawi disebut ’ilmu al-yaqîn
Tingkatan Rendah, EIKASIA: Gosip, kabar belum tentu benar disebut ’ilmu
Hal tersebut kiranya selaras dengan makna QS. At-Takâtsur [102]: 1-8, yang namanya agak sedikit berbeda, namun pada hakekatnya sama, yakni sebagai berikut:
ãNä39ygø9r& ãèO%s3G9$# ÇÊÈ 4Ó®Lym ãLänöã tÎ/$s)yJø9$# ÇËÈ xx. ôqy tbqßJn=÷ès? ÇÌÈ §NèO xx. t$ôqy tbqßJn=÷ès? ÇÍÈ xx. öqs9 tbqßJn=÷ès? zNù=Ïæ ÈûüÉ)uø9$# ÇÎÈ cãrutIs9 zOÅspgø:$# ÇÏÈ ¢OèO $pk¨XãrutIs9 ú÷ütã ÈûüÉ)uø9$# ÇÐÈ ¢OèO £`è=t«ó¡çFs9 >ͳtBöqt Ç`tã ÉOÏè¨Z9$# ÇÑÈ
1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
2. Sampai kau masuk ke dalam kubur.
3. Janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
4. Lalu janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui.
5. Janganlah begitu, jikalau kau mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. Niscaya kau benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
7. Dan sesungguhnya kau benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.
8. Kemudian kau niscaya akan ditanyai pada hari itu perihal kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
Ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang yang bermegah-megahan dalam hidupnya hingga masuk ke dalam kubur. Oleh Al-Qur’an, kehidupan ibarat ini hendaklah jangan hingga terjadi pada setiap orang –khususnya umat Islam. Karena bagaimanapun ada kehidupan setelah mati, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap amal yang diperbuatnya selagi di dunia. Hanya saja, pemahaman dan keyakinan ibarat ini –adanya pertanggungjawaban amal setelah kematian– tidak ada yang sama sesuai daya tangkap pengetahuan yang dimilikinya.
Oleh lantaran tingkatan atau kemampuan seseorang dalam melihat dan memahami perihal keberadaan tanggapan atau tanggapan amalnya di akherat kelak berdasarkan tingkatan pengetahuannya, maka dalam surat tersebut dijelaskan mengenai pengetahuan seseorang dalam menjalani kehidupannya di dunia sesuai dengan kapasiatas yang dimilikinya, hingga menimbulkan pemahaman dan pengamalan yang masing-masing berbeda, yaitu:
1. Ada pengetahuannya yang gres hingga pada, kamu akan mengetahui.
Di sini (QS. At-Takatsur [102]: 3), berbunyi, Kallâ saufa ta’lamûn (janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui [akibat perbuatanmu itu]) tergolong pada pengetahuan umum, yang dalam istilah Plato disebut eikasia. Atau dalam bahasa spiritualitas Islam (baca: tasawuf) disebut ilmu (pengetahuan yang didapatkan hanya lewat panca indera semata). Melihat dengan bersifat sementara, belum ada keyakinan yang kuat, masih labil, lantaran indera rasanya gres pada tataran shadr.
2. Ada pengetahuannya yang hingga pada, kamu akan mengetahui.
Pada pengetahuan yang kedua ini terdapat pada (QS. At-Takatsur [102]: 4). Dalam ayat ini berbunyi, Tsumma kallâ saufa ta’lamûn (lalu janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui), yang di dalamnya terdapat kata Tsumma, di mana kedudukannya sebagai kata sambung yang bermakna lalu, kemudian atau dan, yang memperlihatkan pada pengertian meneruskan pekerjaan yang berikutnya setelah mengerjakan pekerjaan sebelumnya yang dianggap sudah selesai atau memperbaharui pekerjaan tersebut menuju yang lebih baik lagi. Makara di sini sifatnya bisa kualitatif dan atau kuantitatif. Dalam istilah Plato, peringkat pengetahuan yang kedua ini disebut Pistis. Sedangkan dalam spiritualitas Islam disebut ilmu al-yaqîn (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera, pengalaman, imajinasi dan gres pada permukaan rasa). Melihat dengan penuh perhatian, namun belum ada kesadaran yang maksimal, indera rasanya sudah mulai naik, namun gres pada tataran qalb.
3. Ada pengetahuannya yang meningkat hingga pada, kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.
Meningkat pada pengetahuan yang ketiga ialah terdapat pada (QS. At-Takatsur [102]: 5). Dalam ayat ini berbunyi, Kallâ lau ta’lamûna ’ilma al-yaqîn (Janganlah begitu, jikalau kau mengetahui dengan pengetahuan yang yakin). Di sini istilah pengetahuan yang digunakan ’ilma al-yaqîn, yang merupakan hasil dari pengetahuan eikasia dan pistis sudah sanggup dipahami, maka ada pengetahuan berikutnya yang lebih tiggi lagi yaitu ilmu yaqîn, dalam istilah Plato disebut dengan dianoia. Dalam istilah spiritualitas Islam disebut ’ainu al-yaqîn. Ia melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat. Melihat dengan mata hati, indera rasanya meningkat tajam hingga pada fu’ad.
4. Ada pengetahuannya yang gres hingga pada, Sesungguhnya kau benar-benar akan melihatnya dengan ’ainul yaqîn.
Selanjutnya meningkat pada pengetahun tertinggi yang terdapat pada QS. At-Takatsur [102]: 5). Dalam ayat ini berbunyi, Kallâ lau ta’lamûna ’ilma al-yaqîn (Dan sesungguhnya kau benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin). Di sini istilah pengetahuan yang digunakan ’ainu al-yaqîn, yang merupakan hasil dari pengetahuan eikasia, pistis dan dianoia yang sudah sanggup dipahami, maka ada pengetahuan berikutnya yang lebih tinggi lagi yaitu ’ainu al-yaqîn, dalam istilah Plato disebut dengan dianoia. Dalam spiritualitas Islam disebut dengan haqq al-yaqîn (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera dengan lubb –jantung atau titik pusat kalbu orang yang beriman). Melihat dengan mata hati hingga menimbulkan keyakinan super berpengaruh (pengetahuan yang didapatkan lewat panca indera ditambah dengan shadr, qalbu, fuad hingga lubb).
Mengikat Makna Pikiran
Pemikir
Pemikir ialah orang yang meletakkan pikiran di akalnya. Inilah sumber segala sesuatu. Pemikirlah yang menentukan keinginannya, kemudian ia menentukan cara dan merealisasikan dengan perbuatan. Seorang pemikir bebas memilih: apakah ia akan meletakkan pikiran negatif atau positif di akalnya; pikiran yang membahagiakan atau yang menyengsarakan; pikiran spiritual atau duniawi; pikiran yang menjaga kesehatan atau yang merusaknya. Seorang pemikir ibarat petani. Dialah yang menentukan hasil yang diinginkan. Untuk itu, ia menentukan benih yang akan disemai, kemudian menyirami dan merawatnya hingga mendatangkan hasil. Jika menginginkan buah anggur maka ia harus menyemai benih anggur. Jika ia menginginkan buah ketimun, wortel, atau kedelai maka ia harus menyemai benih yang sesuai dengan keinginannya.
Sama ibarat pemikir, dialah yang menentukan dan menentukan jenis pikiran yang akan ditanam di akalnya. Pikiran itu akan membuatnya berpikir, berkonsentrasi, merasakan, bertindak, hingga mendatangkan hasil yagn sesuai dengan pikirannya. Jika yang ditanam ialah pikiran negatif maka hasilnya akan negatif. Jika yang ditanam pikiran positif maka hasilnya positif.
Seorang pemikir harus tahu bahwa satu pikiran negatif yang ia tanam di akalnya menjadi awal peristiwa bagi kesehatan, kejiwaan, dan keuangan. Karena itu, seorang pemikir harus menentukan pikiran yang akan diletakkan di akalnya. Sama ibarat petani yang dengan hati-hati menentukan benih yang akan disemaikan di sawahnya.
Pikiran
Segala sesuatu yang ada di semesta ini dimulai dari pikiran, menjadi kemungkinan, menjadi tujuan, melahirkan perbuatan, dan menjadi kenyataan. Adanya pesawat terbang dimulai dari pikiran yang hinggap di benak Wright bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright). Disney Land dimulai dari pikiran yang terbetik di benak Walt Disney, kemudian berubah menjadi menjadi kenyataan yangdikunjungi jutaan orang setiap tahun. Federal Ekspress (Fedex) dimulai dari pikiran yang timbul di kepala Fred Smith. Kini ia menjadi kenyataan yang jasanya banyak digunakan orang untuk mengirim paket atau surat ke banyak sekali negara dalam tempo kurang dari tiga hari. Lari sejauh satu mil dalam tempo kurang dari tiga hari. Lari sejauh satu mil dalam waktu tiga menit semua hanyalah pikiran Roger Panster, kemudian menjadi kenyataan yang diikuti ribuan olahragawan di dunia. Roket, pesawat, kapal, mobil, alat-alat elektronik, alat-alat kedokteran, alat-alat olahraga, dan lain-lain dimulai dari pikiran. Pikiran ialah sumber segala sesuatu.
Pikiran positif mengantarkan kita pada inovasi dan kemajuan yang berkhasiat di dunia. Pikiran negatif menimbulkan tindakan pembunuhan, penipuan, pencurian, perzinaan, monopoli, frustasi, serta penyakit jiwa dan fisik. Menurut sebuah faklutas kedokteran di San Fransisco, sebagian besar penyakit bermula dari pikiran dan kegiatan berpikir.
Sebagaimana sudah diketahui di muka bahwa logika mempelajarai hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Segala ilmu niscaya dalam memperolehnya salah satunya memakai acara berpikir. Contohnya Psikologi. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan benar salah. Sebaliknya, urusan benar dan salah menjadi masalah pokok dalam logika. Logika tidak mempelajari cara berpikir dari semua ragamnya, tetapi pemikiran dalam bentuk yang paling sehat dan praktis.
Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara sistematis dan akademis serta bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan. Ia merumuskan serta menerapkan hukum-hukum dan patokan-patokan yang harus ditaati aga insan sanggup berpikir benar, efisien dan teratur. Dengan demikian ada dua obyek penyelidikan logika, pertama, pemikrian sebagai obyek material, dan, kedua, patokan-patokan atau hukum-hukum berpikir benar sebagai obyek fromalnya
Kalau begitu, mungkin tidak kita sanggup mempelajari barang ghaib yang sanggup disebut pikiran itu? Kita harus tahu bahwa insan itu bukanlah makhluk spiritual murni an sich, melainkan juga ia ialah makhluk yang dianugerahi oleh Allah dengan seperangkat jasmani dan rohani. Karena itu ia memerlukan sarana material untuk sanggup menangkap pikiran yang ghaib tersebut. Kita tidak mungkin sanggup memahami pikiran seseorang kalau tidak diwujdkan dalam bentuk ucapan, goresan pena atau isyarat. Isyarat ialah perkataan yang dipadatkan, lantaran itu ia ialah perkataan juga.
Jadi, pikiran dan perkataan ialah identik, tidak berbeda satu sama lain dan bukan tambahan bagi masing-masingnya. Pikiran ialah perkataan dan perkataan ialah pikiran. Angan-angan, khayalan, imajinasi, pikiran yang berkecamuk dalam dada dan kepala kita tidak lain ialah bisikan kata yang amat lembut. Pendek kata, perkataan ialah hasil dari produk pikiran, dan begitu juga perkataan ialah lantaran yang menjadikan budi untuk melaksanakan acara berpikir kembali. Kata-kata yang mewakili pikiran ini bukan sekadar coretan pena yang dituliskan atau bunyi gaduh yang diucapkan, tetapi merupakan susunan kata yang mewakili maksud tertentu yang lengkap. Susunan kata yang memuat pemikiran disebut proposisi. Adapun lambang dari proposisi ini umumnya ialah bahasa.[59]
Pengetahuan kita tidak lain ialah informasi proposisi-proposisi. Dalam acara berpikir kita selalu membanding, menganalisis serta menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain. Dengan demikian penyelidikan logika dalam mencari kebenaran dalam pemikiran selalu berurusan dengan struktur dan korelasi proposisi.
Berpikir
Ketika memutuskan untuk menentukan pikiran tertentu, negatif atau positif, seorang pemikir akan meletakkan pikiran tersebut di otaknya. Di sini budi akan mengidentifikasi dan menganalisis dari segala sisi. Setelah itu, ia akan memberinya wilayah dan makna berdasaasrkan informasi sejenis yang ada di gudang memori. Akal akan membandingkannya dengan pikiran sejenis yang ada. Akal memberinya alasan dan makna yang dibangun berdasarkan banyak sekali informasi serupa yang telah ada. Terakhir akan mencarikan banyak sekali data pendukung pikiran yang ada dalam memori hingga pikiran benar-benar menancap dalam hatinya. Dengan demikian, pikiran itu telah siap direalisasikan. Pikiran membuat perhatian, konsentrasi, perasaan, serta tindakan dan akibatnya.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai intensitas berpikir dan sistematika berpikir.
1. Pentingnya Berpikir
Salah satu ciri yang membedakan insan dari binatang terletak pada potensi budi (nathiq), kegiatan nalar, atau kegiatan berpikir dalam merenungkan objek pikir. Eksistensi dan fungsionalisasi budi dapt meningkatkan derajat dan status keberadaan insan dalam menjalankan tuas sebgai pemegang amanat ”ibadah”, ”risalah,” dan ”khilafah” di muka bumi ini.
Al-Qur’an menegaskan bahwa berpikir termasuk kegiatan bersyukur terhadap nikmat Allah, sedangkan mensyukuri nikmat Allah termasuk ketaatan yang bernilai ibadah. Jadi, berpikir itu pada hakikatnya ialah ibadah yang merupakan penggalan dari amanat kemanusiaan. Dengan demikian, berpikir berarti pula menegakkan amanat tersebut.
Al-Qur’an mengecam orang-orang yang taklid dan orang-orang yang tidak mau memakai potensi indrawinya –baik indra lahir maupun indra batin –dalam mengkaji, meneliti, dan mendayagunakan anugerah alam semesta bagi kemanfaatan dan kemaslahatan alam dan segala isinya.
Rasulullah, peserta Al-Qur’an yang pertama, dalam sabdanya sering menunjukan kemuliaan orang-rangyang berilmu. Bahkan, nilai kerja seseorang yagn lahir dari pemikiran dipandang lebih baik daripada pekerjaan yang tidak berdasarkan pemmikiran (ilmu).
Dengan demikian, peranan ilmuwan di tengah-tengah kehidupan umat ialah laksana matahari, bulan, dan binatang yang menerangi dan menghiasi alam semesta. Kemajuan budaya suatu bangsa sanggup ditentukan oleh kemajuan berpikirnya.[60]
Dari uraian tersebut, kita sanggup mengambil suatu kesimpulan bahwa berpikir itu sangat enting, apabila mengetahu metodologi berpikir yang akan menjadi penuntun ke arah berpikir benar dalam menegakkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
2. Intensistas Berpikir
Berpikir sanggup didefinisikan sebagai kemampuan insan untuk mencari arti bagi realitas yang muncul di hadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Makara perkataan sanggup didefinisikan sebagai kemampuan insan untuk mengutarakan pikiran-pikirannya kepada orang lain.
Fungsi berpikir menyangkut dua aspek yang penting dalam diri insan yang dinamakan “wissen” atau mengetahui dan ibarat “verstehen” atau mengerti atau memahami secara mendalam. Pendeknya, orang yang gres mengetahui belum tentu sanggup memahami. Oleh kerena itulah dalam berpikir, terlebih lagi berpikir logis, berpikir seharusnya tidak hanya mengetahui tapi juga hendaknya sanggup mamahami.
Dalam kehidupannya insan sebagai makhluk sosial berpikir mengenai realitas sosial yang dalam proses proses berlangsung secara horizontal atau berpikir sensitivo-rasional dan insan juga ialah makhluk spiritual, lantaran itu insan bisa melaksanakan intensitas berpikir secara vertikal atau metariasional.
a). Berpikir sensitivo-rasional, secara horizontal insan berpikir mengenai sesuatu realitas dengan dilandasi pengalaman sebagai rekaman dan penginderaan selama hidupnya, rekaman dan fungsinya sebagai penyampai pesan pikiran dalam setiap proses perkataan atau komunikasi yang melibatkan dirinya. Maka, apabila ia berkata atau berkomunikasi secara horizontal yang berkisar duduk masalah tahu dan mengetahui, sifatnya menjadi sensitivo-rasional.
b). Ternyata, insan itu tidak hanya puas dengan sekadar mengetahui (wissen), tetapi juga ingin memahaminya secara mendalam (verstehen) di sini berlangsung proses refleksi kontemplasi atau perenungan yang secara akumulatif bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kualitasnya akan berkadar tinggi apabila proses perenungan itu diakukan secara sistematik. Maka pemikirannya itu tidak sekadar sensitivo-rasional, melainkan metarasional.[61] Ia tidak lagi memandang suatu realita sosial dengn indra mata (das ding ansich), tetapi dengan mata batiniah apa yang terdapat di seberang realita (beyond the reality), secara metafisik.
Dalam keradikalannya pemikiran insan secara vertikal itu bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya Ilahi. Ia mendengar perihal Tuhan. Ia ingin mengetahui adanya Tuhan. Lalu ia percaya akan ada-Nya, Maha Esa-Nya, Mahakuasanya Tuhan, serta sifat-sifat lainnya, sebagai konsekuensinya ia bersujud dan berserah diri. Kepercayaan ibarat itu bersifat suprarasional, suatu tingkat pemahaman di luar jangkauan pemikiran secara sensitivo-rasional.[62]
3. Proses Berpikir
Proses berpikir ialah suatu refleksi yang teratur dan hati-hati. Proses berpikir lahir dari suatu rasa sangsi akan sesuatu dan keinginan untuk memperoleh suatu ketentuan, yang kemudian tumbuh menjadi suatu masalah yang khas. Masalah ini memerlukan suatu pemecahan dan untuk ini dilakukan penyelidikan terhadap data yang tersedia dengan metode yagn tepat. Akhirnya, sebuah kesimpulan tentatif akan diterima, tetapi masih tetapi di bawah penyelidikan yang kiritis dan terus-menerus untuk mengadakan penilaian secara erbuka.
Bagaimana kira-kira porses yang terjadi ketika berpikir? Menurut Dewey (1993)[63] proses berpikir dari insan normal mempunyai urutan berikut.
Ø Timbul rasa sulit, baikdalam bentuk pembiasaan terhadap alat, sulit mengenal sifa ataupun dalam menunjukan hal-hal yang muncul secara tiba-tiba
Ø Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisi dalam bentuk permasalahan.
Ø Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotsis, inferensi, atau teori.
Ø Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pemebntukan implikasi denan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
Ø Menguatkan pembuktian perihal ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan ataupun percobaan-percobaan.
Menurut Kelly (1930),[64] proses berpkir menuruti langkap-langkah berikut.
Ø Timbul rasa sulit.
Ø Rasa sulit tersebut didefinisikan.
Ø Mencari suatu pemecahan sementara.
Ø Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut ialah benar.
Ø Melakukan pemecahan lebih lanjut dngan verifikasi eksperimental (percobaan).
Ø Mengadakan penilaian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
Ø Membeirkan suatu pandang ke depan atau gambaran mental perihal situasi yagn akan tiba untuk sanggup mengggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Dari keterangan-keterangan di atas sanggup disimpulkan bahwa berpikir secara budi mempunya dua buah kriteria penting, yaitu:
1) Ada unsur logis di dalamnya, dan
2) Ada unsur analitis di dalamnya.
4. Sistematika Berpikir
Setelah kita mengetahui bahwa pekataan ialah produk dari pikiran, dan kita juga sudah mengetahui bagaimana porses intensitas berpikir ada dua yaitu berpikir sensitivo-rasional dan metarasional, maka klarifikasi berikutnya ialah perihal sistematika berpikir.
Dalam Al-Qura’an dijelaskan bahwa insan diciptakan oleh Allah Swt. dalam jenis pria dan perempuan, dan menjadikan mereka berbangsa-berbangsa dan bersuku-suku yang tujuannya tiada lain ialah semoga mereka saling mengenal. Dengan manuisa yang beraneka ragam itu tentunya bukan hanya warna kulit dan bahasa saja yang berbeda, cara berpikir pun tentu berbeda-beda pula. Karena itu di bawah ini kita akan membahas mengenai banyak sekali macam cara berpikirnya manusia.
a). Berpikir deduktif (deductive thinking)
Reasoning yang deduktif berasal dari suatu pandangan umum (general conclusion).
Sumber dari filsafat berpikir (philosophy of thinking) ibarat ini berasal dari Plato dan Aristoteles.
Ada sebuah kisah yang menyatakan, bahwa ketika Galileo mengemukakan pendapatnya bahwa ia sanggup melihat adanya daerah yang gelap pada permukaan matahari, pengetahuannya dianggap sebagai suatu noda terhadap konklusi umum (general conclusion) waktu itu,bahwa matahari ialah suatu ”heavenly body” yang tidak mungkin ada cirinya.
Meskipun cara ini kurang sempurna, tetap bermanfaat kalau deduksi ini didasarkan pada suatu rumusan yang betul. Dasar pelajaran ilmu niscaya alam ialah demikian pula halnya. Dari satu rumus umum sanggup ditarik banyak sekali kesimpulan. Metodik berpikir ini sanggup disebut analytic thinking (berpikir analitik).
b). Berpikir induktif (inductive thinking)
Kebalikan dari berpikir deduktif ialah berpikir induktif (inductive thinking), yakni menarik suatu kesimpulan umum dari banyak sekali insiden (data) yang ada di sekitarnya. Dasarnya ialah observasi, proses berpikirnya ialah synthesis, tingkatan berpikirnya ialah induktif. Jelas, bahwa pemikiran semacam ini mendekatkan insan pada ilmu pengetahuan.
Pada hakikatnya semua pengetahuan yang dimiliki insan berasal dan proses pengamatan (observasi) terhadap data. Rangkaian pengamatan data tersebut kemudian memperlihatkan suatu pengertian terhadap insiden berdasarkan suatu reasoning yang bersifat synthesis.
Dalam ilmu niscaya dan alam metode synthesis ialah kelanjutan dari metode analisis. Sumber dari tingkatan berpikir ini berasal dari ”the philosophy of thinking” para ilmuwan pada waktu itu ibarat Galileo, Newton, Descartes, dan lain-lain.
Dalam ilmu statistik conclusion dari data yang didapatkan dari suatu sample, yang berlaku untuk seluruh populasidari mana sample itu berasal, ialah suatu pola dan inductive thinking. Istilah lain yang sama maknanya ialah generaling atau integral.[65]
c). Berpikir memecahkan masalah (problem solving thinking)
Manusia mulai berpikir pada waktu ia mencoba mengenal untuk kemudian menguasai suatu situasi (to control the situation). Tingkatan ini merupakan suatu kelanjutan yang logis dari kedua tingkatan terdahulu. Dengan pengetahuan mengenai tanda-tanda umum yang dikenalnya dari pengalaman yang lampau (deduksi) ditambah dengan observasi terhadap situasi yang dihadapinya, yang memperlihatkan suatu kesimpulan (induksi), maka ia kemudian akan menuntaskan persoalannya dalam situasi tersebut.
Prosesnya secara kronologis ialah seabagai berikut:
- Analysis
- Synthesis problem definition (atau kadang kala disebut problem recognition)
- Evaluation
- Selection (alternatif)
Dalam buku-buku pelajaran, metodik ini lebih dikenal dengan istilah ”analysis-evaluate-select” approach, untuk menggambarakan suatu cara pendekatan (approach) dalam hal menuntaskan suatu problem secara ilmiah.
Di sini sudah ditemukan ”science” dan ”art.” Ilmu dan seni. Science menyampaikan kepada insan apa yang harus diketahuinya, art mengajarkan padanya apa yang harus dilakukannya.
d). Berpikir kausatif (Causative thinking)
Manusia tidak menunggu hingga dihadapkan pada suatu situasi, kalau ia sanggup menggambarkan situasi tersebut sebelumnya. Lebh dari itu ia sanggup mengatur langkahnya sedemikian rupa, sehingga situasi tadi tidak dihadapkan kepadanya. Atau jalan lain sanggup ditempuh: mengatur langkahnya sedemikian rupa, sehingga ia akan dihadapkan kelak pada suatu situasi yang diinginkan (favorable).
”Titik berat causative thinking” ialah membentuk insiden mendatang dan prestasi daripada menunggu nasib yang akan menimpa (causative thinking emphasies the shaping of future events anda achievements, instead of waiting for destiny to decide them).
Dalam ilmu kedokteran dasar demikiran ini digunakan dalam apa yang disebut ”preventive medicine” ialah ilmu pencegahan penyakit; tujuannya ialah mencegah untuk menghadapi suatu situasi sakit. Selain ini dikenal istilah ”curative medicine”, suatu penyelesaian dalam situasi sakit. Di sini tingkatannya ialah problem solving.[66]
e). Berpikir kreatif (Creative thinking)
Creative thinking ialah suatu tingkatan berpikir yang tinggi: kesanggupan seseorang untuk membuat inspirasi gres yang berfaedah. Ide ini tidak dilengkapi dengan semua data; orangnya tidak menguasai seluruh situasi yang dihadapinya, tetapi dengan kemampuannya untuk sanggup mengeliminir yang tidak esensial, maka ia tetap sanggup mengatur langkahnya sedemikian rupa, sehingga mendapatkan faedah yang tinggi.
Assumption (estimate) ialah salah satu pedomannya; yang lain ialah imagination. Tingkatan ini disebut juga scientific imagination.
Scientific imagination ini ialah suatu perpaduan antara science dan imagination; dengan sendirinya cara berpikir ini sanggup membahayakan. Seorang manager yang terlalu banyak mengendalikan perusahaannya kepada imagination tanpa mengimbanginya dengan ratio, akan sanggup menghancurkan usahanya keseimbangan antara science dan imagination yang tepat, ialah kunci dan tingkatan berpikir ini.
Creative thinking berbeda dengan original thinking ialah dalam hal bahwa yang pertama selalu berkhasiat bagi usaha penciptanya, sedangkan original thinking tidak perlu. Seseorang yang mengemukakan sesuatu yang orisinil, tidak selalu mendapatkan laba daripadanya.[67]
f). Berpikir filsafati (Philosophical thinking)
Louis O. Kattsoff dalam bukunya ”Elements of Philosophy” menyatakan bahwa kegiatan filsafati merupakan perenungan, yaitu suatu jensi pemikiran yang meliputi kegiatan mencurigai segala sesuatu, mengajukan pertanyaan, menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya, menanyakan ”mengapa,” mencari jawaban yang lebih baik ketimbang jawaban pada pandangan pertama. Filsafat sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keruntutan, dan keadaan memadainya pengetahuan semoga sanggup diperoleh pemahaman.
Tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan insan sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.
Dalam korelasi ini Kattsoff menyajikna pola klasik yang terkenal, yaitu insiden aturan matinya Socrates pada tahun 399 SM. atas tuduhan merusak jiwa cowok di Anthena. Hukumannya ialah minum racun hingga mati. Tetapi Socrates mempunyai banyak sahabat yang bersedia membantunya untuk melarikan diri dengan jalan menyuap penjaga penjara.
Bagi insan mudah proteksi untuk melarikan diri ibarat itu niscaya disambut segera, tetapi tidak demikian Socrates. Kepada kawan-kawannya itu ia berkata bahwa sebelum mendapatkan tawaran tersebut perlu ditentukan terlebih dahulu apakah perbuatan melarikan diri itu layak baginya. Demikianlah ucapan seorang filosof. Lalu ia bersama teman-temannya membahas masalah itu. Secara hati-hati teman-temannya mengajukan alasan-alasan mengapa Socrates perlu melarikan diri. Dengan saksama ia meneliti alasan-alasan tersebut yang diikuti oleh alasan-alasan lain yang menujukkan penolakan untuk melarikan diri.
Akhirnya, teman-temannya sepakat bahwa tidaklah tepat bagi Socrates untuk melarikan diri. Pada ketika itulah pembahasan filsafati berakhir; Socrates bertindak. Tindakannya itu didasarkan pada pemikirannya, tetapi tindakan itu tidak merupakan penggalan pemikiran tersebut. Socrates tetap tinggal di penjara, dan ia pun......minum racun.[68]
Filsafat ialah suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran mengenai suatu masalah, serta penyusunan secara sengaja dan sistematis suatu pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan.[69]
Mengikat Makna Benar
Hukum-hukum, asas-asas, patokan-patokan Logika membimbing budi menempuh jalan yang paling efisien untuk menjaga kemungkinan salah dalam berpikir. Lantas apakah makna benar itu?
Benar intinya ialah persesuaian antara pikiran dan kenyataan.[70] Kita akan berkata bahwa proposisi berikut ialah salah:
- Batu hitam karam dalam air raksa
- Batu lebih ringan daripada kapuk
- Kepada Nabi Musa Allah menurunkan kitab al-Qur’an.
- Nabi Isa ialah Nabi yang terakhir
- Langit dan bumi ada dengan sendirinya
- Manusia diciptakan dari cahaya
- Malaikat ialah putri-putri Allah
- Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib bukan sahabat Nabi.
- Nabi Muhammad itu memakai sihir dalam mengajak insan masuk Islam.
- Siti Aisyah anak Nabi Muhammad
- Fatimah al-Zahra ialah istri Nabi Muhammad.
- Ridwan ialah malaikat yang memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad.
Sebaliknya kita mengakui kebenaran dari proposisi berikut:
- Bumi bergerak mengelilingi matahari
- Napoleon ialah panglima perang yang ulung
- Besi lebih berat daripada air tawar.
- Ali bin Abi Thalib ialah Khalifah keempat dan menantu Nabi Muhammad Saw.
- Al-Qur’an ialah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
- Setiap jiwa akan mencicipi mati
- ’Aisyah ialah istri Nabi Muhammad Saw. sekaligus putri Abu Bakar ra.
Apakah dasar kita menentukan demikian itu? Tidak lain dan tidak bukan ialah sesuai tidaknya proposisi itu dengan kenyataan sesungguhnya.
Ukuran kebenaran kedua ialah adanya persesuaian atau tidak adanya kontradiksi dalam dirinya.[71] Suatu pertanyaan dikatakan benar manakala ia tidak mengandung kontradiksi dari awal hingga akhir. Peryataan yang mengandung kontradiksi contoh:
- Muhammad ialah seorang yang jujur yang suka menipu
- Fatimah ialah seorang bisu yang pintar berdebat
- Di antara sahabat Nabi Muhammad ialah Rabi’ah Al-’Adawiyah yang tergolong tabi’in
- Menurut kaum Mu’tazilah Al-Qur’an ialah qadim yang bukan makhluk
- Al-Qur’an ialah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. semenjak kecil
- Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa fitnah itu lebih ringan daripada pembunuhan
Ungkapan-ungkapan tersebut ialah pernyataan memperkosa prinsip yang disebut pertama kemudian.
Juga termasuk cara berfikir yang salah:
- Semua Rasul ialah amanah, Muhammad ialah Rasul, maka Muhammad ialah khianat
- Semua Nabi ialah filosof, dan semua filosof belum tentu Nabi, Ibnu Rusyd ialah filosof, maka ia Nabi
- Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat dosa besar, syirik ialah dosa besar, maka syirik ialah dosa yang bisa diampuni.
Pertentangan dalam pemikiran tidak saja terdapat dalam pernyataan yang pendek ibarat terlihat dengan adanya dua kata yang bertentangan atau dalam pengambilan kesimpulan yang keliru tetapi juga dalam uraian yang panjang. Seorang hakim yang cerdas akan melihat tidak adanya persesuaian isi pembelaan si tertuduh meskipun berpuluh-puluh halaman panjangnya.
Pertentangan dalam pemikiran juga terdapat dalam pernyataan yang tidak sanggup ditangkap pengertiannya. Pernyataan yang dimaksud ialah seperti:
Tuhan sanggup memasukkan benda volume Cm³ ke dalam benda bervolume 10 Cm³; Tuhan sanggup mencipta makhluk yang tidak mempunyai sifat-sifat kemakhlukan; Tuhan sanggup mencipta atom yagn lebih besar dari molekulnya; Tuhan sanggup membuat tongkat berujung satu.
Pernyataan serupa ini yang sering menjadi permasalahan dalam Ilmu kalam, sesungguhnya tidak perlu dirisaukan seandainya kita menengok sejenak kepada Logika. Bagi Logika pernyataan tersebut ialah salah lantaran ia tidak menghadirkan maksud yang bulat. Pernyataan tersebut sama salahnya dengan pernyataan: ia ialah seorang buta aksara yang pintar membaca.
[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika; Asas-asas Penalaran Sistematis. (Jakarta: Penerbit Kanisius, tt).
[7] ”Melamun” tidaklah sama dengan berpkiri, demikian pula merasakan, pekerjaan panca indera (melihat, mendengar, dan sebagainya), dan kegiatan ingatan dan khayalan, meskipun ini semua penting sekali untuk sanggup berpikir (dan menghasilkan buah pikiran yang berarti). Tetapi berpkir juga sanggup berarti kegiatan kenyataan yang menggerakkan pikiran. Kenyataan yang memegang inisiatif. Lihat W. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 13.
[8] Dengan kata lain ditunjuk target atau bidang logika, yaitu kegiatan fikiran atau budi sehat manusia. Dengan berpikir dimaksudkan kegiatan budi untuk ”mengolah” pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indra, dan ditunjukkan untuk mencapai suatu kebenaran. Jadi, dengan istilah ”berpikir” ditunjukkan suatu bentuk kegiatan budi yang khas dan terarah. Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, h. 13
[10] Untuk lebih jelasnya sanggup dilihat pada karya Aly Sami al-Nasyr, Manahij al-Bahts ’Inda al-Mufakiri al-Islamy, h. 5-24.
[11] Baihaqi A.K., Ilmu Mantik; Teknik Dasar Berpikir Logik, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2002), h. 2.
[12] Ada juga yang menyampaikan bahwa kata logika rupa-rupanya dipergunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium. Kaum Sopis, Socrates dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa. Bertrand Russel, History of Western Philosophy, (London: George Allen & Unwin, 1974), h. 206.
[14] Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh muridnya diberi nama Organon. Buku tersebut ialah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (mengenai keputusan-keputusan), Analitica Priora (tentang silogisme), Analitica Posteriora (mengenai pembuktian), Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Theoptostus menyebarkan Logika Artistoteles ini, sedangkan kaum Stoa mengajukan bentuk-bentuk berpkir yang sistematis. Buku-buku inilah yang menjadi dasar Logika Tradisional. Lihat Richard B. Angel, Reasoning and Logic, (New York: Century Grafts, 1964), h. 41.
[15] Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM penggagas Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang menyebarkan logika dengan menerapkan metode geometri. Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae.
[35] Sumartoyo Hardjosatoto & Endang Daruni Asdi, Pengantar Logika Modern, (Yogyakarta: Karya Kencana, 1979), h. 16-23, 49-59.
[40] Sayid Abdul Majdi, Al-Malakah al-‘Aqliyah fî al-Qur’an al-Karim dalam al-Muhadharah al-‘Ammah, h. 88-89.
[45] Tentang keadaan yaqîn sebagai syarat untuk menetahui lihat Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalâl, (Beirut: Maktabah Saqafiyyah, tt.), h. 7-12.
[47] Syaikh Hasan Darwis al-Quwaisiny, Syarah Mtan al-Sulam fi al-Manthiq, (Surabaya: tt.), h. 10-11.
[48] Menurut hemat penulis, mengenai pembagian ilmu yang tiba dari Allah dan dari insan ini, hendaknya pembaca jangan hingga terjebak bahwa memang insan itu bisa membuat ilmu. Sekali-kali tidak. Perlu dikatehuai bahwa sehebat apa pun ilmu yang dimilki insan pada hekakatnya ilmu yang dimiliki oleh insan itu ialah datangnya ujung-ujung nya dari Allah juga.
[49] Baihaqi A.K, “Ilmu Mantiq Teknik Dasar Berpikir Logik”, (Jakarta: Darul Ulum Press,1996), cet. 1, h. 9.
[52] J. Maranon, Science in Industrial Development, dalam, Anoymous (Ed.), The Role of Science in the Philippines. (Manila: Science Foundation of the Philippines, 1954), h. 15-19.
[53] V.A. Tan, Science in Industrial Development, dalam, Anoymous (Ed.), The Role of Science in the Philippines. (Manila: Science Foundation of the Philippines, 1954), h. 1-4.
[58] Menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jaelani, ilmu hakikat (haqq al-yaqîn) ini tidak sanggup dicapai hanya melalui ilmu yang diperoleh melalui panca indera. Lewat panca indera semata, seseorang tidak akan sanggup mencapai tujuannya, yaitu mengenal Yang Asal atau Dzat. Ibadah yang bergotong-royong memerlukan syariat dan hakikat. Dsebutkan dalam firman Allah, “Dan saya idak membuat jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS. Adz-Dzariat: 56). Lihat , Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jaelani, Rahasia Sufi (Sirr al-Asrâr fî mâ Yahtaj Ilaihi al-Abrâr), (Jakarta: Diadit Media, 2009), h. 13.
[59] Isi pesan perkataan atau dalam istilah komunikasi lebih umum memakai bahasa isi pesan komunikasi terutama ialah pikiran, ada kalanya juga perasaan, tetapi hanya merupakan faktor imbas saja; sedangkan lambang umumnya ialah bahasa oleh karean hanya bahasa dibandingkan dengan lambing-lambang lain ibarat kial (gesture), gambar, warna, isyarat, dan lain-lain yang bisa member makna kepada segala hal dalam kehiduapan manusia, baik benda yang nyata maupun konsep yang abstrak. Lihat Otong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2003), h. 366.
[60] Abu ‘Amar Yusuf ibn ‘Abd al-Bar al-Namary al-Qurtuby, Jami al-Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt), h. 50-58.
[64] T.L. Kelly, The Scientific Versus the Philosophic Approach to the Novel Problem, Science, (71, 1930), h. 299.