Friday, August 18, 2017

√ Banchmarking

BANCHMARKING




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam kurun global menyerupai dikala ini, pendidikan yang bermutu merupakan suatu keharusan. Masyarakat yang cendekia tentunya lebih selektif dalam menentukan lembaga pendidikan bermutu bagi anak-anaknya dengan mempertimbangkan prospektifnya. Masyarakat akan menentukan lembaga yang ideal yaitu lembaga yang bisa mencetak generasi spiritual, berakhlak, dan juga bisa membuatkan aspek intelektualnya.
Oleh lantaran itu, upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan merupakan hal yang tidak sanggup ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, Standar Nasional Pendidikan ditetapkan sebagai standarisasi pendidikan sebagai upaya penyamaan arah pendidikan secara nasional dan bertujuan semoga tidak terjadi  disparitas mutu pendidikan antara tempat yang satu dengan tempat lain.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya insan yang terlibat dalam proses pendidikan. Selanjutnya untuk meningkatkan mutu lembaga menyerupai yang disarankan oleh Sudarwan Danim (2007:56), yaitu dengan melibatkan lima faktor yang mayoritas : 1) Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus mempunyai dan memahami visi kerja secara jelas, bisa dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat. 2) Siswa; pendekatan yang harus dilakukan ialah “anak sebagai sentra “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa sanggup digali sehingga sekolah sanggup menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa. 3) Guru; pelibatan guru secara maksimal, dengan meningkatkan kompetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pembinaan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah. 4) Kurikulum; adanya kurikulum yang ajeg atau tetap tetapi dinamis , sanggup memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) sanggup dicapai secara maksimal; 5) Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang bau tanah dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain, menyerupai lembaga pendidikan lain atau perusahaan sehingga output dari sekolah sanggup terserap didalam dunia kerja[1]
Berdasarkan uraian diatas, maka kinerja seluruh faktor lembaga pendidikan diatas harus selalu ditingkatkan mengingat tantangan dunia pendidikan untuk menghasilkan kualitas sumber daya insan yang bisa bersaing di kurun global semakin ketat.
Pandangan gres yang seharusnya dipahami ialah bahwa kompetisi atau persaingan antar lembaga di kurun ini bukan merupakan alasan untuk tidak melaksanakan kerjasama. Dengan jiwa kompetisi, lembaga pendidikan akan senantiasa berupaya untuk membuatkan diri ke arah yang jauh lebih baik. Begitu pula melalui kerjasama, sebuah lembaga pendidikan bahkan bisa memperkuat dirinya dalam meningkatkan daya saing dengan menerapkan secara efektif pelajaran-pelajaran yang telah dipelajari secara susah payah oleh lembaga-lembaga lain yang telah menghadapi situasi-situasi serupa atau masalah-masalah terkait. Kerjasama ini bergotong-royong telah banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan. Kerjasama yang demikian ini dalam istilah asingnya disebut benchmarking yang awal mulanya dilakukan di dunia bisnis. Benchmarking merupakan sebuah kerjasama antar lembaga dengan melaksanakan observasi secara langsung.[2] Strategi benchmarking ini pada mulanya dipakai dalam bidang bisnis untuk mengukur kinerja suatu perusahaan dengan perusahaan lain yang lebih maju.[3] Kegiatan benchmark ini dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan dengan berkunjung ke lembaga lain untuk proses mencar ilmu dan bertukar informasi, yang nantinya akhirnya akan dijadikan sebagai bekal untuk membuatkan lembaganya sendiri. Strategi ini sangat efektif untuk merumuskan tujuan jangka panjang melalui perbaikan kinerja yang berkelanjutan.


B.            Tujuan
Benchmarking yang bergotong-royong akan mendorong kita untuk melihat jauh ke dalam proses-proses di pesaing kita (atau sejawat kita) yang sejenis, yang mungkin telah diimplementasikan dengan lebih baik dan terbukti memberi kualitas hasil atau output yang lebih baik. Juga benchmarking ini sanggup membantu untuk menerima “jalan pintas” untuk mencapai tujuan (target), dengan memalsukan maka banyak hal sanggup dihemat, antara lain kita sanggup lebih meningkatkan proses pembelajaran (learning process), mengurangi kemungkinan kegagalan lantaran bisa mencar ilmu dari kegagalan orang lain.
C.           Permasalahan
Perlu diketahui bahwa lingkungan yang ada sesungguhnya selalu mengalami perubahan dan membawa efek yang sangat besar bagi lembaga pendidikan. Maka lembaga pendidikan kini ini juga semakin kompetitif, lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk mencapai mutu yang terbaik, sehingga bagi lembaga stagnan (menutup diri) kemungkinan besar akan terseleksi alam. Hal ini telah nampak pada beberapa lembaga sekolah yang kian hari siswanya kian mengalami penurunan secara drastis, bahkan sekolah harus menggembor-nggemborkan iming-iming gratis, untuk menarik minat siswa semoga sekolah di lembaga tersebut. Perubahan inilah yang seharusnya diantisipasi oleh lembaga pendidikan dengan mempersiapkan taktik yang berorientasi pada peningkatan mutu dan kinerja lembaganya, sehingga diharapkan sebuah lembaga bisa mempertahankan eksistensi dan bisa meningkatkan daya saingnya.









BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.           Hakikat benchmarking
Terdapat aneka macam definisi mengenai benchmarking (patok duga) oleh beberapa para ahli, di antaranya sebagai berikut:[4]
1) Gregory H. Watson mendefinisikan patok duga sebagai pencarian secara berkesinambungan dan penerapan secara kasatmata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif yang unggul.
2) Goetsch dan Davis mendefinisikan patok duga sebagai proses pembandingan dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar industri.
3) Menurut Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan bahwa benchmarking sanggup dirumuskan sebagai aktivitas  imitation with modification, dimana di dalam istilah modification sudah terkandung makna improvement. [5]
4) Prim Masrokan mendefinisikan benchmarking merupakan kegiatan untuk memutuskan standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu.[6] Untuk kepentingan praktis, standar tersebut direfleksikan dari realitas yang ada.[7]

B.            Manfaat dan Tujuan Benchmarking
Dari beberapa pengertian di atas sanggup disimpulkan bahwa tujuan patok duga (benchmarking) ialah untuk menemukan kunci atau belakang layar sukses dari sebuah lembaga pendidikan lain, kemudian diadaptasi, diseleksi, dan diperbaiki untuk diterapkan pada lembaga pendidikan yang melaksanakan patok duga (benchmarking) tersebut. 
Menurut Finn Frandsen ada 3 manfaat utama dari benchmarking, yaitu: perubahan budaya, perbaikan kinerja, peningkatan kemampuan sumber daya manusia.[8]
C.           Langkah-langkah benchmarking
Prinsip taktik benchmarking meliputi: formulasi strategi, implementasi strategi, dan pengendalian strategi. Selanjutnya, prinsip tersebut dijalankan berdasarkan pada langkah-langkah “Proses Monash” yang terdiri dari 13 langkah, yakni:[9] 1) Menetapkan misi lembaga, planning stratejiknya, dan faktor-faktor kritikalnya. 2) Laksanakan pendidikan pada karyawan, upayakan semoga terbentuk komitmen mereka terhadap perubahan dan terbentuknya tim benchmarking. 3) Pilih topik benchmarking, identifikasi proses-proses kunci yang berkaitan dengan topik, dan rancang atau ukur kinerja prosesnya. 4) Identifikasi, laksanakan penelitian perihal organisasi dengan praktik terbaik (yang paling berhasil dalam bidang pelayanan publik), atau prosesproses tertentu dan bisa hubungan-hubungan. 5) Tetapkan dan laksanakan standarisasi pengumpulan data. 6) Laksanakan pertemuan-pertemuan dengan para partner, ukur dan gambarkan kinerja mereka. 7) Tentukan kesenjangan kinerja yang berlaku dan identifikasi peluangpeluang perbaikan. 8) Komunikasikan hasil-hasil penemuan benchmarking kepada para karyawan. 9) Tetapkan dan laksanakan persetujuan perihal planning implementasi dan jadwal pelaksanaannya. 10) Upayakan untuk memutuskan sumber-sumber daya yang diperlukan. 11) Laksanakan monitoring dan membuat laporan serta mulailah kemajuan yang didasarkan atas sasaran kinerja. 12) Laksanakan kalibrasi atau pengukuran kembali perihal benchmarking dan laksanakan daur ulang benchmark. 13) Integrasikan hasil-hasil benchmarking ke dalam planning stratejik (renstra organisasi atau lembaga).
Formulasi benchmarking merupakan suatu proses awal yang mempunyai bias aksi, bukan hanya sekedar studi banding atas suatu proses pendidikan di lembaga lain yang lebih unggul, akan tetapi bagaimana semoga hasil benchmarking tersebut sanggup menjadi patokan untuk diimplementasikan di lembaga yang melaksanakan benchmark. Melalui formulasi benchmarking yang komprehensif, sebuah lembaga pendidikan akan bisa membuat sebuah patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas.
1.      Formulasi Benchmarking
Formulasi benchmarking yang komprehensif merupakan sebuah kegiatan perencanaan yang berorientasi pada wawasan yang luas untuk memprediksi segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang.
Melalui formulasi benchmarking yang komprehensif, sebuah lembaga pendidikan akan bisa membuat sebuah patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas.[10]
            Kegiatan formulasi tidak terlepas dari kiprah kepala sekolah sebagai konseptor dan pencetus dari seluruh sumber daya sekolah. Dalam melaksanakan formulasi taktik benchmarking komprehensif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
Pertama, berorientasi pada visi dan misi lembaga. Sebuah lembaga pendidikan harus menjadikan visi dan misi sebagai penentu arah dalam membuat kebijakan. Kebijakan yang dibuat haruslah tanggap dan responsif terhadap kemungkinan yang terjadi di masa yang akan datang, yaitu bukan hanya mendidik siswanya menjadi insan yang saleh tetapi juga produktif.
            Kedua, memahami karakteristik lembaganya sendiri. Setiap lembaga mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Karakter ini bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi sebuah lembaga. Strategi benchmarking harus dilaksanakan bagi mereka yang paham betul dengan karakter/kondisi lembaganya tersebut melalui analisa lingkungan internal dan lingkungan eksternal lembaga. Analisis yang sanggup dipakai ialah analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan suatu metode analisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal organisasi.[11]  Faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal berupa peluang dan ancaman. Penggunaan analisis SWOT dimaksudkan untuk menentukan berada di mana posisi organisasi.
            Ketiga, membentuk team-work. Tim benchmarking dibuat berdasarkan keahlian masing-masing individu terhadap bidang kajiannya. Melalui pembagian tim tersebut akan memudahkan dalam proses penggalian informasi pada lembaga tujuan benchmark supaya lebih terfokus pada bidang kajian tertentu. Menurut Amstrong dan Baron dalam Wibowo karakteristik suatu tujuan yang sanggup dikatakan baik salah satunya ialah teawork-oriented (berorientasi pada kolaborasi tim).[12] Hal ini sebagaimana prinsip dalam mendesain struktur organisasi yaitu division of work (pembagian kerja). Stoner mendefinisikan pembagian kerja sebagai pembagian seluruh beban pekerjaan menjadi sejumlah kiprah secara masuk akal dan nyaman yang sanggup dilaksanakan oleh individu atau kelompok.[13] Pembagian kerja merupakan upaya membagi pekerjaan menjadi pekerjaan yang kecil, sederhana, dalam kegiatan yang terpisah, di mana karyawan mengkhususkan diri pada bidang tersebut sehingga produktivitas akan meningkat melalui spesialisasi pekerjaan. 
Keempat, penentuan lembaga unggul yang menjadi patokan. Strategi benchmarking memungkinkan adanya kolaborasi antara kedua belah pihak untuk saling bertukar informasi. Informasi itulah yang nantinya akan diolah dan dijadikan sebagai patokan pada pengembangan sekolah yang melaksanakan studi benchmarking. Karena intinya sekolah yang melaksanakan studi tersebut mencari format sekolah masa depan. Untuk itu lembaga unggul yang menjadi tujuan benchmarking merupakan sekolah yang berposisi sebagai pemimpin.[14] Menurut Watson ada beberapa kriteria dalam menentukan kawan benchmarking,  di antaranya: 1) tipe organisasi, 2) budaya organisasi, 3) struktur organisasi, 4) kinerja potensial, 5) reputasi, 6) mutu lulusan, 7) jangkauan kemitraan, 8) sistem manajemen, dan 9) perkembangan teknologi.
Kelima, penentuan topik benchmarking. Topik benchmarking ditentukan secara umum dengan menyesuaikan keadaan di lembaga sendiri dan lembaga kawan benchmarking. Biasanya pertimbangan ini diambil dari segi keunikan lembaga yang diharapkan sanggup memperlihatkan informasi gres yang belum  pernah dipublikasikan. Pada tahapan ini perlu persiapan berupa pedoman wawancara, kuesioner, atau dokumentasi.[15] Mitra benchmarking juga harus mengetahui informasi yang hendak dicari, sehingga kolaborasi sanggup betul-betul bermanfaat bagi kedua belah pihak. Topik pembahasan bisa diambil dari hasil analisis SWOT yang pernah dilakukan.
Dengan demikian, pada tahap formulasi taktik benchmarking harus dikonsep dengan sebaik-baiknya (komprehensif) semoga pelaksanaan studi benchmarking  sanggup berjalan secara maksimal. Fomulasi taktik benchmarking yang komprehensif memerlukan kiprah kepala sekolah sebagai konseptor. Karena intinya pemilihan taktik ini muncul dari kepala sekolah. Sehingga dalam perencanaan atau formulasi harus benar-benar dipikirkan perihal apa tujuan dan impian atas pelaksanaan taktik benchmarking ini. Terlebih dahulu kepala sekolah harus mempunyai keteguhan suatu visi dengan menanamkan komitmen perubahan menuju lebih baik serta mengidentifikasi job description yang terang bagi bawahan yang tergabung dalam tim benchmarking ini. Selain itu tim juga harus berbekal informasi yang memadai seputar lembaganya sendiri dan mempunyai topik pembahasan yang terang dan terarah. Hal ini harus dipahami benar oleh anggota tim benchmarking, sehingga dalam pelaksanaan ke lembaga tujuan sudah mempunyai konsep studi yang matang.
Adapun proses taktik benchmarking berdasarkan Yuniarsih dan Suwanto terangkum melalui 13 langkah yang disebut dengan “Proses Monash” sebagai berikut: 1) Menetapkan misi lembaga, planning stratejiknya, dan faktor-faktor kritikalnya. 2) Laksanakan pendidikan pada karyawan, upayakan semoga terbentuk komitmen mereka terhadap perubahan dan terbentuknya tim benchmarking. 3) Pilih topik benchmarking, identifikasi proses-proses kunci yang berkaitan dengan topik, dan rancang atau ukur kinerja prosesnya. 4) Identifikasi, laksanakan penelitian perihal organisasi dengan praktik terbaik (yang paling berhasil dalam bidang pelayanan publik), atau prosesproses tertentu dan bisa hubungan-hubungan. 5) Tetapkan dan laksanakan standarisasi pengumpulan data. 6) Laksanakan pertemuan-pertemuan dengan para partner, ukur dan gambarkan kinerja mereka. 7) Tentukan kesenjangan kinerja yang berlaku dan identifikasi peluangpeluang perbaikan. 8) Komunikasikan hasil-hasil penemuan benchmarking kepada para karyawan . 9) Tetapkan danlaksanakan persetujuan perihal planning implementasi dan jadwal pelaksanaannya. 10) Upayakan untuk memutuskan sumber-sumber daya yang diperlukan. 11) Laksanakan monitoring dan membuat laporan serta mulailah kemajuan yang didasarkan atas sasaran kinerja. 12) Laksanakan kalibrasi (pengukuran) kembali perihal benchmarking dan laksanakan daur ulang benchmark. 13) Integrasikan hasil-hasil benchmarking ke dalam planning stratejik (renstra lembaga). Berdasarkan ke-13 langkah tersebut, sanggup dikategorikan point 1-5 sebagai formulasi taktik benchmarking yang komprehensif. Dengan demikian prasyarat sebelum pelaksanaan studi ke lembaga tujuan haruslah memenuhi ke-5 point awal tersebut, dengan tujuan semoga hasil studi benchmarking sanggup menghasilkan penemuan gres dalam proses pendidikan.
2.      Implementasi Benchmarking
Pelaksanaan studi benchmarking di lembaga tujuan sanggup memakai beberapa metode di antaranya: wawancara, kuesioner, dan dokumentasi.[16] Tanya jawab (wawancara)  mencakup kegiatan: bertukar informasi, problem solving terhadap masalah yang terjadi pada lembaga yang melaksanakan benchmark, dan pembahasan perihal isu-isu pendidikan. Observasi dilakukan melalui pengamatan dalam kegiatan pembelajaran, laboratorium, sarana prasarana, perpustakaan, dan lain sebagainya. Sedangkan dokumentasi meliputi: pengambilan foto, derma modul atau file, dan jurnal. Data yang telah diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengidentifikasi faktor-faktor penentu untuk diimplementasikan. Analisis data dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut: 1) Mengorganisasikan data guna mengidentifikasi kesenjangan-kesenjangan kinerja.  2) Membandingkan kinerja antara lembaga sendiri dengan lembaga tujuan tersebut. 3) Mengidentifikasi kesenjangan-kesenjangan kinerja dan menentukan sebab-sebab utamanya. 4) Memproyeksikan kinerja tiga hingga lima tahun mendatang (membahas isu pendidikan). 5) Mengevaluasi faktor-faktor penentu tersebut untuk diterapkan dengan menyesuaikan budaya lembaga sendiri. Data hasil benchmarking yang telah dikumpulkan akan lebih obyektif bilamana dianalisis dan dikomunikasikan dengan seluruh individu yang terdapat dalam suatu lembaga yang telah melaksanakan benchmark. Komunikasi memegang peranan penting dalam organisasi.[17] Komunikasi ini bertujuan untuk memberi dan mendapatkan informasi, untuk mensugesti orang lain, membantu orang lain, menuntaskan masalah, membuat keputusan, dan mengevaluasi sikap secara efektif.[18] Komunikasi ini penting lantaran hasil benchmarking tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di lembaganya sendiri, sehingga perlu adanya pembiasaan dan seleksi.
Hasil benchmarking tidak sanggup diterapkan dalam sebuah lembaga secara mentah. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa implementasi hasil benchmarking perlu dikomunikasikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Pertimbangan yang utama ialah perihal budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan huruf atau identitas organisasi yang harus dipertahankan. Menurut Gibson et all dalam Soetopo, menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan kepribadian organisasi yang mensugesti cara bertindak individu dalam organisasi.[19]  Sedangkan, fungsi budaya organisasi berdasarkan Creemers et all adalah: 1) memperlihatkan rasa identitas kepada anggota organisasi, 2) memunculkan komitmen terhadap misi organisasi, 3) membimbing dan membentuk standar sikap anggota organisasi, dan 4) meningkatkan stabilitas sistem sosial.[20] Budaya organisasi inilah yang akan terus dipertahankan dengan catatan budaya ini ialah budaya yang baik yang menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan. Budaya semacam inilah yang tidak akan terganti dengan kebudayaan gres sekalipun. Penting pula untuk dipahami bahwa tidak semua hasil benchmarking cocok untuk diterapkan di lembaga yang melaksanakan studi benchmark, artinya perlu disesuaikan dan dikembangkan dan disempurnakan kembali. Sebagaimana Jamaludin dan Abdulloh Aly: 
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ
”Tetap memelihara hal-hal yang usang yang baik dan mengambil hal hal yang gres yang lebih baik”.
Senada pula yang dikatakan Edwards Deming bahwa: “bagaimanapun benchmarking bukanlah sekedar metode menjiplak dari perusahaan lain.”[21] Hal ini juga senada yang disampaikan oleh Nisjar dan Winardi di dalam Tjuju menyatakan bahwa benchmarking sanggup dirumuskan sebagai aktivitas  imitation with modification, dimana di dalam istilah modification sudah terkandung makna improvement.[22] Dari keterangan di atas sanggup dipahami bahwa perlu adanya renovasi (perbaikan), modifikasi, dan improvisasi dalam implementasi atas hasil studi benchmarking dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sehingga tidak serta merta hasil tersebut diadopsi secara besar-besaran. Perlu dipertimbangkan dari segi budaya, budgeting, dan kesiapan sumber daya sekolah dalam implementasinya. Untuk pertimbangan dari segi budaya telah dijelaskan di atas. Sedangkan dari segi budgeting memang sulit untuk disamakan, faktor utama ialah kebanyakan sekolah unggul yang menjadi tujuan benchmarking sudah mengarah pada sekolah bisnis komersial. Sekolah yang menjadi tujuan benchmarking sebagian besar ialah sekolah swasta yang bebas mengambil pungutan, sehingga akomodasi yang diberikan pun tidak cumacuma. Fasilitas atau sarana prasarana yang serba canggih dan lengkap tersebut belum sanggup diadopsi secara menyeluruh. Crown menjelaskan bahwa dalam implementasi taktik ada beberapa hal yang perlu persiapkan, yakni (1) memutuskan tujuan tahunan, (2) memutuskan tujuan, (3) memotivasi karyawan, (4)mengembangkan budaya yang mendukung, (5) memutuskan struktur organisasi yang efektif, (6) menyiapkan budget, (7) mendayagunakan sistem, (8) menghubungkan kompensasi karyawan dengan performance organisasi. Implementasi hasil benchmarking berimplikasi pada perubahan kinerja. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Michael Paulus dan Devie bahwa “terdapat efek signifikan dan positif antara benchmarking terhadap kinerja organisasi, maka perusahaan yang menerapkan benchmarking akan meningkatkan kinerja organisasi.”[23]
3.      Pengendalian Benchmarking
Pengendalian ialah suatu kegiatan untuk mendapatkan kepastian perihal pelaksanaan acara atau pekerjaan atau kegiatan yang sedang atau telah dilakukan sesuai dengan planning yang telah ditentukan.[24] Kegiatan pengendalian atau pengawasan intinya dipakai untuk membandingkan kondisi yang ada dengan yang seharusnya terjadi. Kegiatan pengendalian dalam konteks administrasi stratejik dilakukan oleh manajer dengan tujuan untuk mengawasi perumusan (formulasi), penerapan (implementasi) yang telah diformat sebelumnya. Pencapaian tujuan organisasi membutuhkan suatu kolaborasi yang saling mendukung dan mensugesti yang terwujud dalam proses komunikasi. Pengendalian akan lebih efektif bilamana dilakukan melalui komunikasi yang intens antara pimpinan dan bawahannya. Komunikasi bermanfaat untuk membangun dan membuat pemahaman atau pengertian bersama. Melalui komunikasi yang intens kinerja bawahan akan gampang dikendalikan oleh seorang pimpinan. Sebagaimana manfaat komunikasi itu sendiri, yakni: perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan sikap (behavior change), dan perubahan sosial (social change).[25] Dengan demikian, komunikasi yang intens antara atasan dan bawahan akan berimplikasi pada perubahan teladan kerja (kinerja) yang diharapkan oleh pimpinan.
Menurut Didin dan Machali tujuan pengendalian taktik ialah sebagai berikut:[26] 1) Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan. 2) Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan. 3) Mendapatkan cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik. 4) Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, partisipasi, daan akuntabilitas organisasi. 5) Meningkatkan kelancaran operasi organisasi. 6) Meningkatkan kinerja organisasi. 7) Memberikan opini atas kinerja organisasi. 8) Mengarahkan administrasi untuk melaksanakan koreksi atas masalah-masalah pencapaian kinerja yang ada. 9) Menciptakan terwujudnya organisasi yang bersih.
Untuk mengetahui atau melihat sejauh mana efektivitas dari implementasi strategi, dilakukan tahapan berikutnya, yaitu penilaian taktik yang menyangkut aktivitas-aktivitas berikut: 1) meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang merupakan dasar dari taktik yang telah ada, 2) menilai kinerja strategi, 3) melaksanakan langkah koreksi, dan 4) pelaporan dan pertanggungjawaban.[27]










BAB III
PEMECAHAN MASALAH

Melalui taktik benchmarking sebuah lembaga pendidikan sanggup dengan gampang memperoleh informasi untuk membuatkan sebuah visi lembaga dengan penuh wawasan. Wawasan tersebut diperoleh, lantaran kawan benchmarking telah sepakat membagi informasi perihal belakang layar sukses lembaganya. Wawasan inilah yang nantinya akan membuat penemuan gres dalam proses pendidikan bagi lembaga yang telah melaksanakan benchmarking. Hal ini sebagaimana pendapat Jerome S. Arcaro yang menyatakan bahwa: Melalui benchmarking ini memungkinkan bagi sebuah lembaga pendidikan untuk mendapatkan pandangan gres terhadap praktik-praktik standar, mengidentifikasi tujuan-tujuan keunggulan, serta sebagai media untuk melaksanakan perbaikan dan terobosan-terobosan baru.[28]
Inovasi gres yang telah didapatkan melalui taktik benchmarking tentunya sangat dipengaruhi oleh perencanaan awal yang melatarbelakangi pelaksanaan benchmarking. Perencanaan awal yang efektif sangat bergantung pada formulasi taktik yang matang. Untuk sanggup memutuskan formulasi taktik yang baik, maka ada ketergantungan yang erat dengan analisa lingkungan dimana formulasi taktik memerlukan data dan informasi yang terang dari analisa lingkungan. Analisa lingkungan harus dipahami oleh tim benchmarking semoga tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan sasaran yaitu bisa meningkatkan kinerja di lembaga pendidikan. Sehingga formulasi taktik benchmarking yang dilakukan harus komprehensif, yaitu formulasi yang akhirnya nanti sanggup dijadikan sebagai patokan dalam menjabarkan rencana-rencana yang lebih spesifik ke arah tujuan-tujuan yang lebih luas.[29]
Fomulasi taktik benchmarking yang komprehensif memerlukan kiprah kepala sekolah sebagai konseptor. Karena intinya pemilihan taktik ini muncul dari kepala sekolah. Sehingga dalam perencanaan harus benar-benar difikirkan perihal apa tujuan dan impian atas pelaksanaan taktik benchmarking ini. Terlebih dahulu kepala sekolah harus mempunyai keteguhan suatu visi dengan menanamkan komitmen perubahan menuju lebih baik serta mengidentifikasi job description yang terang bagi bawahan yang tergabung dalam tim benchmarking ini. Selain itu tim juga harus berbekal informasi yang memadai seputar lembaganya sendiri dan mempunyai topik pembahasan yang terang dan terarah. Hal ini harus dipahami benar oleh anggota tim benchmarking, sehingga dalam pelaksanaan ke lembaga tujuan sudah mempunyai konsep studi yang matang.  Dengan demikian, formulasi benchmarking di lembaga pendidikan dilakukan secara komprehensif. Sehingga formulasi benchmarking akan bisa membuat inovasi-inovasi gres dalam proses pendidikan manakala direncanakan secara komprehensif dengan menyesuaikan visi, misi, dan tujuan lembaga.
Hasil studi benchmarking ditindaklanjuti dengan mengkomunikasikan dengan segenap sumber daya yang ada di suatu lembaga melalui derma pandangan-pandangan perihal peluang ata pun bahaya bilamana acara yang dihasilkan dari benchmarking diterapkan. Tanpa tidak lanjut yang adaptif, planning strategis yang terbaik pun hanya akan tinggal planning semata. Hal ini muncul dari sebuah anggapan bahwa tidak ada “seorang yang kembar sekalipun mempunyai karakteristik yang sama”. Artinya, sebaik apapun sebuah acara diterapkan di lembaga unggul dan berhasil dengan sukses belum tentu bisa diadopsi sama persis di lembaga lain, lantaran faktor karakteristik dan culture yang berbeda. Selain itu juga pertimbangan pada faktor lain, contohnya kesediaan sumber daya yang capable dan faktor biaya. Tentunya bagi lembaga unggul yang menjadi tujuan benchmarking merupakan lembaga yang sudah mempunyai great dan branding, sehingga asupan dana tidak menjadi hambatan lagi, apalagi ditambah jikalau sekolah tersebut ialah lembaga swasta yang bebas mencari sumber dana dari manapun.  Senada dengan pendapat Steers bahwa adaptabilitas merupakan kriteria keefektifan organisasi dan sangat berafiliasi dengan konsep fleksibilitas dan inovasi.[30] Di sekolah adaptabilitas sanggup didefinisikan sebagai kemampuan pendidik profesional untuk melaksanakan perubahan dan untuk memunculkan kebijakan dan praktik gres untuk memenuhi tuntutan.[31]Selanjutnya, pendapat dari Crown perihal hal-hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi strategi, antara lain: 1) memutuskan tujuan tahunan, 2) memutuskan tujuan, 3) memotivasi karyawan, 4) membuatkan budaya yang mendukung, 5) memutuskan struktur yang efektif, 6) menyiapkan budget, 7) mendayagunakan sistem, 8) menghubungkan kompensasi karyawan dengan performance (kinerja) organisasi.[32] Berdasarkan pendapat Crown tersebut, selain implementasi taktik dikaitkan dengan culture, budgeting, dan kapabilitas karyawan juga dikaitkan pula dengan performance (kinerja) organisasi. Kinerja organisasi berafiliasi erat dengan sumber daya sekolah, utamanya tenaga pendidik, siswa, maupun tenaga kependidikan. Melalui keikutsertaan mereka dalam studi benchmarking sanggup menambah wawasan dan motivasi mereka untuk mencapai hasil yang unggul pula. Hasil benchmarking ini selanjutnya sanggup diterapkan baik secara personal dan kolektif. Secara personal lebih menekankan pada perubahan tingkah laris dan komitmen, dan secara kolektif berafiliasi dengan acara sekolah baik acara mingguan, bulanan, maupun tahunan. Sehingga melalui pelaksanaan taktik benchmarking kemungkinan besar akan menghasilkan terobosan-terobosan gres yang sanggup lebih mengoptimalkan kinerja kerja dari seluruh sumber daya sekolah serta sanggup meningkatkan produktivitas kerja. Hal yang paling nampak dari bantuan kegiatan benchmarking ialah semangat atau antusiasme yang muncul dari segenap anggota tim benchmarking, lantaran mereka menyadari ketertinggalannya dan menggugah keinginan untuk selalu proaktif dalam memberdayakan kemampuan dirinya. Sebagaimana dalam paparan data yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam suatu kegiatan kompetisi misalnya, guru pembina rela merogoh sakunya sendiri untuk melaksanakan pembinaan terhadap siswa berprestasi. Hal ini menandakan bahwa budaya pasif yang selama ini menggejala bertahap akan sanggup dihilangkan seiring dengan keinginan untuk meningkatkan daya saing. Semangat atau antusiasme ini juga merupakan indikator dalam peningkatan kinerja. Sebagaimana pendapat John L. hradesky yang dikutip oleh Rusyan dalam Soetisna, kriteria individu-individu yang berorientasi pada kinerja, sebagai berikut: 1) kemampuan intelektual, 2) ketegasan, 3) semangat/antusiasme, 4) berorientasi pada hasil, 5) kedewasaan, 6) Asertif, 7) keterampilan interpersonal, 8) keterbukaan, 9) keinginan, 10) proaktif, 11) pemberdayaan kemampuan, dan 12) teknis pengetahuan, keterampilan, keputusan, perilaku, dan tanggung jawab.[33] Implementasi benchmarking akan menghasilkan acara kerja yang berkualitas, manakala hasil benchmarking dikelola secara adaptif selektif dengan menyesuaikan kemampuan sumber daya manusia, culture, serta kemampuan financial suatu lembaga pendidikan.” 
Dalam pengendalian atau penilaian tidak terlepas dengan adanya komunikasi dua arah. Salah satu cara komunikasi yang lazim dilaksanakan dalam organisasi ialah pertemuan. Ada beberapa jenis pertemuan atau rapat yang perlu diketahui, yaitu:[34]
a)      Pertemuan atau rapat instruktif
Rapat ini bertujuan untuk memperlihatkan perintah melalui pertemuan. Biasanya berisi petunjuk pelaksanaan peraturan, kebijakan, dan acara gres yang harus dilaksanakan oleh staff.
b)      Pertemuan atau rapat inkuisitif
Rapat ini bertujuan untuk mendengarkan pendapat dan saran para anggota staff perihal suatu hal.
c)      Pertemuan atau rapat informatif
Rapat ini bertujuan untuk memberitahukan sesuatu yang gres kepada para anggota rapat, sehingga berkembang wawasan staff untuk meningkatkan mutu kinerjanya.


d)     Pertemuan atau rapat progresif
Rapat ini bertujuan untuk mencari jalan keluar dalam membuatkan instansi atau lembaga. Biasanya kepala sekolah sudah mempunyai konsep pengembangan, tetapi perlu memperoleh masukan dari para staf dalam membuatkan usahanya.
e)      Pertemuan atau rapat kompromitif
Rapat ini bertujuan untuk memadukan pertentangan, perbedaan, sehingga memperoleh titik temu perihal suatu pokok persoalan.
Rapat juga banyak dijadikan media untuk melaksanakan penilaian atau control terhadap agenda-agenda yang telah dijalankan. Untuk itu dalam proses pengendalian taktik perlu adanya keterbukaan dari aneka macam pihak. Keterbukaan merupakan kemampuan untuk mengungkapkan pendapat dan perasaan secara jujur, apa adanya, dan bersikap langsung.[35]
Selain itu bentuk komunikasi yang luwes juga lebih sanggup diterima, mengingat setiap bawahan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Jangan hingga teguran malah menciderai hati dan mengurangi semangat bekerja bawahan, namun harus sebaliknya pesan yang tersirat yang diberikan harus membangun dan menjadikan kesadaran bagi para bawahan untuk bekerja lebih baik lagi.
Oleh lantaran itu seorang pimpinan atau kepala sekolah harus mempunyai keterampilan interpersonal yang mantap. Keterampilan interpersonal merupakan suatu kecenderungan untuk memperhatikan dan memperlihatkan perhatian, pemahaman, dan mempedulikan perasaan orang lain.[36] Pertemuan-pertemuan yang intensif tentunya sanggup dijadikan sebagai lembaga penilaian diri sekolah yang bisa meningkatkan wawasan dan kinerja para pegawainya. Sehingga pengendalian taktik benchmarking akan berimplikasi pada peningkatan kinerja manakala kepala sekolah melaksanakan komunikasi secara terbuka, luwes, dan intens antar semua anggota lembaga serta memperlihatkan kesempatan bagi para anggotanya untuk meningkatkan potensi dirinya melalui pembinaan dan pembinaan baik di dalam maupun di luar sekolah.”
Secara garis besar benchmarking dalam meningkatkan kinerja lembaga pendidikan untuk mencapai daya saing yang kompetitif sanggup digambarkan sebagaimana denah berikut ini:  
Pemberdayaan potensi SDM di sekolah (Guru, siswa dan staff)
Mengintegrasikan hasil Benchmarking dengan acara sekolah
Penigkatan kinerja lemabaga yang unggul dan berdaya saing
Kepala Sekolah
 




Kepala Sekolah
 


















BAB IV
KESIMPULAN
Menurut Gregory H. Watson mendefinisikan benchmarking sebagai pencarian secara berkesinambungan dan penerapan secara kasatmata praktik-praktik yang lebih baik yang mengarah pada kinerja kompetitif yang unggul.
Upaya ini mencakup proses formulasi, implementasi dan pengendalian. Formulasi benchmarking dalam meningkatkan kinerja di lembaga pendidikan dilakukan secara komprehensif  melalui: 1) penyesuaian visi, misi, dan tujuan sekolah, 2) analisis lingkungan strategis, 3) menentukan topic benchmarking, 4) menentukan lembaga unggul tujuan benchmarking, dan 5) membentuk tim benchmarking.  Pelaksanaan studi benchmarking di lembaga tujuan sanggup memakai metode wawancara atau diskusi, observasi, dan dokumentasi untuk mengumpulkan data. Data hasil studi benchmarking tersebut selanjutnya disesuaikan dan diseleksi dengan mempertimbangkan beberapa factor di antaranya; culture, kapasitas sumber daya insan dan budgeting dengan berpegang pada prinsip “Tetap memelihara halhal yang usang yang baik dan mengambil hal-hal yang gres yang lebih baik”. Pengendalian benchmarking dalam meningkatkan kinerja di lembaga pendidikan dilakukan melalui komunikasi yang intens antara pimpinan, bawahan, dan seluruh stakeholders pendidikan sanggup menjadikan penerapan taktik lebih efektif, lantaran bisa mendeteksi sedini mungkin aneka macam hambatan yang dihadapi para bawahan. Keterbukaan dan keluwesan seorang pimpinan juga menjadi azas yang sangat penting sebagai upaya perhatian pemimpin terhadap kebutuhan para bawahannya. Sehingga melalui bentuk pengendalian pemimpin yang intens, terbuka, dan luwes ini terdapat kekerabatan yang saling menguntungkan antara pimpinan dan bawahan.  






DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jaromes S. (2007). Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-Prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. terj. Yosai Triantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Danim, Sudarwan. (2007). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta:Bumi Aksara.
Frandsen, Finn, et all. (2012). Public Relations and Communication Management: The State of the Profession. Slovenia: Bledcom Academic.
Kurniadin, Didin dan Imam Machali. (2012). Manajemen Pendidikan: Konsep & Prinsip Pengelolaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mutohar, Prim Masrokan. (2013). Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. (2009). Islamic Leadership (Membangun SuperLeadership Melalui Kecerdasan Spiriual). Jakarta: Bumi Aksara.
Watson, Gregory H.(1996.).Strategic Benchmarking (Mengkur Kinerja Persahaan Anda Dibandingkan Perusahaan-perusahaan Terbaik Dunia). Terj. Robert Haryono Imam dan Titis Eddy Arini. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Yuniarsih, Tjutju dan Suwatno. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi, dan Isu Penelitian. Bandung: Alfabeta.






[1] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta:Bumi Aksara, 2007) 56
[2]  Masykuri Bakri, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Paradigma Islam, (Surabaya: Visipress Media, 2010) 16
[3] Ibid 11
[4] Masykuri Bakri, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Paradigma Islam, (Surabaya: Visipress Media, 2010), 232-233
[5] Tjutju Yuniarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian,  (Bandung.: Alfabeta, 2011), 48.
[6] Prim Masrokan Mutohar, Manajemen Mutu Sekolah: Strategi Peningkatan Mutu dan Daya Saing Lembaga Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 280.
[7] Ibid
[8] Ibid 237
[9] Tjutju Yuniarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia… 50.
[10] Didin Kurniadin dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan…, 177
[11] Ibid 115
[12] Wibowo, Manajemen Kinerja, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 55
[13] Abdul Aziz Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), 42
[14] Watson, Strategic Benchmarking…, 71
[15] Watson, Strategic Benchmarking…, 71
[16] Ibid
[17] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi: Teori dan Praktik di Bidang Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 189.
[18] Ibid
[19] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi…, 123.
[20] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi…, 123.
[21] Watson, Strategic Benchmarking…, 2.
[22] Tjutju Yuniarsih dan Suwanto, Manajemen Sumber Daya Manusia: Teori, Aplikasi dan Isu Penelitian,  (Bandung.: Alfabeta, 2011), 48.
[23] Michael Paulus dan Devie, Analisa Pengaruh Penggunaan Benchmarking Terhadap Keunggulan Bersaing dan Kinerja Perusahaan, tahun 2013.
[24] Didin Kurniadin dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan:…,., 367.
[25] Ibid 358
[26] Ibid., 367-368.
[27] Ibid., 158-159
[28] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Prnsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan), terj. Yosal Irintara, (Yogyakarta: Pustaka elajar, 2006), 206.
[29] Marno dan Triyo Supriyatno, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2008), 55
[30] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi: Teori dan Pratik di Bidang Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 86.
[31] Ibid., 87.
[32] Agustinus Sri Wahyudi, Manajemen Strategic: Pengantar Proses Berfikir Strategik, (Bandung: Binarupa Aksara, 1996), 17.
[33] Tabrani Rusyan dan Sutisna, Kesejahteraan dan Motivasi dalam Meningkatkan Efetivitas Kinerja Guru,  (Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara, 2008), 39-40.
[34] Hendyat Soetopo, Perilaku Organisasi: Teori dan Pratik di Bidang Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 199-200
[35] Tabrani Rusyan dan Sutisna, Kesejahteraan dan Motivasi…, 40.
[36] Ibid 40

Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com