1.1. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia berubah dengan cepat. Komunikasi dan ekonomi sedang mengglobal, suksesnya karir membutuhkan kecakapan yang tinggi, imigrasi telah dipercepat di AS dan banyak Negara lainnya, dan pola keluarga dikala ini berbeda jauh dari 30 tahun yang lalu. Masing-masing perubahan ini mempunyai dampak utama terhadap pendidikan dari SD hingga universitas.
Namun, bentuk perintah tertentu yang fundamental dan imbas mengenai bagaimana membesarkan anak dan remaja tentu tetap penting. Perkembangan siswa masih sangat dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan dan teman, serta dengan budaya yang lebih luas dan kekuatan sosial seperti media massa, ibarat 60 atau 90 tahun yang lalu.
Disisi lain, cara-cara tertentu di mana kekuatan-kekuatan itu memberikan pengaruh pada anak dan remaja berubah dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, seorang guru memberikan perhatian terhadap siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Guru harus merespon secara memadai, dengan memperhatikan apa yang terjadi di keluarganya, kelompok sebaya dan media massa serta bagaimana budaya dan tren sosial mensugesti tingkah laris dan ilham yang dibawa siswa ke kelas.
Masyarakat memastikan persatuan dan kelangsungan hidupnya melalui budaya. Istilah budaya telah diartikan luas meliputi pola yang berubah terus menerus dari sikap yang diperoleh dan tingkah laris yang diwariskan di anggota masyarakat. Budaya yaitu suatu cara berfikir dan berperilaku; merupakan tradisi kelompok; kenangan; catatan tertulis, membagi aturan dan ide-ide, mengumpulkan kepercayaan, kebiasaan dan nilai. Tidak ada individu, kelompok atau masyarakat keseluruhan yang sanggup dimengerti tanpa mengacu kepada budaya. Kebiasaan berpakaian, pola makan, dan rutinitas sehari-hari-detil kecil yang tidak terhitung dari kehidupan biasa yang membutuhkan sedikit refleksi-semua merupakan pola budaya dan identitas. Sosialisasi, anak dipersiapkan untuk kiprah pertamana sebagai remaja kemudian dewasa, mewariskan budaya dan dengan demikian memungkinkan masyarakat berfungsi dengan baik.
Banyak individu dan institusi berperan dalam mensosialisasikan anak dan remaja. Keluarga merupakan yang terpenting bagi remaja, namun pada masyarakat modern institusi formal juga membantu menentukan apa yang dipelajari anak dan seberapa baik beliau dipersiapkan untuk mempunyai kegunaan di masyarakat. Sekolah melayani ibarat yang mungkin institusi besar (selain keluarga) rancang oleh generasi remaja untuk melihara dan mengabadikan budaya. Memasok alat yang dibutuhkan untuk bertahan dan memastikan penyebaran pengetahuan dan nilai untuk generasi mendatang. Sekolah menegakkan dan meneruskan nilai sosial, kepercayaan, dan norma (aturan bertingkah laku), bukan hanya pada mata pelajaran tapi juga melalui struktur dan pelaksaan sistem pendidikan.
Pada masyarakat yang beragam, sekolah bertanggungjawab membantu remaja berguru untuk berpatisipasi pada budaya nasional, namun mereka juga harus peka terhadap perbedaan budaya dan memastikan bahwa siswa dari kaum minoritas mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses dalam pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang duduk masalah yang telah dijelaskan, maka penulis merumuskan beberapa rumusan duduk masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tren dan ciri distributor sosialisasi?
2. Bagaimana imbas perbedaan jenis kelamin terhadap pembelajaran dan prestasi?
3. Apa saja duduk masalah yang timbul pada remaja dan pemuda?
1.3. Tujuan
Berdasarkan perumusan duduk masalah di atas, maka makalah ini bertujuan untuk, sebagai berikut:
1. Mengetahui tren dan ciri distributor sosialisasi.
2. mengetahuipengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap pembelajaran dan prestasi.
3. Mengetahui duduk masalah yang timbul pada remaja dan pemuda.
BAB II
LANDASAN TEORI
Kebudayaan berasal dari kata budaya, sedangkan budaya yaitu bentuk jamak dari kata budi-daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya bergotong-royong berasal dari bahasa Sansekerta buddayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera.
Menurut Soemardjan dan Soemardi (dalam Effendi dan Malihah, 2011, hlm. 92) kebudayaan yaitu semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Dalam definisi yang dikemukakan oleh Selo Soemardjam dam Soelaeman Soemardi ini, dapatlah disimpulkan bahwa kebudayaan itu merupakan hasil dari perjuangan insan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani biar hasilnya sanggup dipakai untuk keperluan masyarakat, misalnya:
1. Karya (kebudayaan material) yaitu kemampuan insan untuk menghasilkan benda atau lainnya yang berwujud benda
2. Rasa, di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur ekspresi jiwa insan yang mewujudkan nilai-nilai sosial dan norma-norma sosial
3. Cipta merupakan kemampuan mental dan berpikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan.
Beger (dalam Effendi dan Malihah, 2011, hlm. 37) mengemukakan bahwa sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society”, yaitu suatu proses di mana seorang anak berguru menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.
2.2.1. Agen Sosialisasi
Menurut Fuller dan Jacobs (1973) (dalam Sunarto, hlm. 2004), distributor yaitu media atau pihak-pihak yang melaksanakan serangkaian kiprah untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial. Peran tersebut yaitu merupakan forum sosial ibarat keluarga, forum pendidikan, forum politik, media massa, forum keagamaan, dan lingkungan sosial. Agen ini bisa di sanggup seorang anak di dalam rumah dan bisa juga didapatkan setelah seorang anak berpergian ke luar rumah. Disinilah mereka mempelajari aneka macam kemampuan gres dengan memasuki tahap game stage (mempelajari aturan-aturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat) sehingga memperoleh nilai-nilai keadilan.
Secara sederhana, sosialisasi yaitu sebagai proses berguru bagi seseorang atau sekelompok orang selama hidupnya untuk mengenali pola-pola hidup, nilai-nilai dan norma sosial biar ia sanggup menjelma pribadi yang bisa diterima oleh kelompoknya. Sosialisasi juga sanggup diartikan sebagai proses yang membantu individu-individu berguru dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan berpikir kelompoknya biar ia sanggup berperan dan berfungsi dalam kelompoknya (Sunarto, 2004).
Menurut Fuller dan Jacobs (1973) (dalam Sunarto, 2004), distributor sosialisasi yaitu pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi terhadap keluarga, kelompok bermain (peer group) ibarat sahabat sepermainan, kerabat, tetangga dan sahabat sekolah. Bila dalam keluarga, kebanyakan interaksi dilakukan dengan melibatkan hubungan yang tidak sederajat (seperti paman, kakek, ibu, tante, abang dan lain-lain), sedangkan dalam kelompok bermain mereka bisa melaksanakan interaksi dengan orang-orang yang sebaya.
Menurut Fuller dan Jacobs (1973) (dalam Sunarto, 2004), yang termasuk ke dalam agen-agen sosialisasi diantaranya adalah:
1. Keluarga
Secara sosiologis, keluarga terbagi menjadi dua yaitu nuclear family(keluarga inti) dan extended family (keluarga luas). Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, saudara kandung atau saudara lainnya yang tinggal di dalam satu rumah dan dalam waktu yang cukup lama. Peranan orang renta pada tahap awal sosialisasi ini sangat penting karena apa yang terjadi antara anak dan orang renta tidak banyak diketahui oleh orang luar. Diharapkan bahwa kekuasaan orang renta terhadap anak tidak disalahgunakan dengan melaksanakan penyalahgunaan kekuasaan ibarat melaksanakan tindakan kekerasan terhadap anak, mempekerjakan anak di bawah umur, dan sebagainya.
Sedangkan keluarga luas terdiri dari beberapa keluarga ibarat kakek, nenek, paman, bibi, dan lainnya yang masih menjadi kerabat baik dari pihak bapak maupun pihak ibu. Hal lain lagi apabila kalian melaksanakan pengamatan di masyarakat perkotaan di mana anak-anak banyak dititipkan pada forum penitipan anak, pembantu rumah tangga maupun babysitter. Oleh karena itu, mereka memegang peranan penting dalam proses sosialisasi karena orang renta sibuk dengan kegiatan mereka sendiri sehingga pola pengasuhan anak diserahkan oleh orang lain.
2. Kelompok Bermain atau sebaya
Setelah anak beranjak besar maka distributor sosialisasi selanjutnya yaitu pada kelompok bermain yaitu teman-teman sebayanya. Pada tahap ini anak-anak memasukigame stage yaitu mulai mempelajari aturan-aturan yang mengatur peranan-peranan orang yang kedudukannya sederajat. Kalau di dalam keluarga, anak-anak berinteraksi dengan orang remaja tetapi di kelompok bermain ini, anak-anak menemukan dunia yang berbeda dan menemukan kemampuan gres bersama sahabat bermainnya.
3. Sekolah
Menurut Dreeben, di sekolah anak dituntut biar mempunyai tanggung jawab yang lebih karena semua pekerjaan yang diberikan sekolah tidak bisa di kerjakan dengan mengharapkan pemberian dari orang renta ibarat ketika di dalam keluarga. Guru akan menuntut seorang anak untuk berdikari dan tidak bergantung lagi kepada orang tua. Dari pandangan Dreeben kita sanggup melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan-aturan gres yang dibutuhkan bagi anggota masyarakat dan aturan-aturan tersebut sering berbeda dan bahkan bertentangan dengan aturanaturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung ketika anak di rumah.
4. Media Massa
Media massa sebagai bentuk komunikasi masyarakat secara luas terdiri dari media cetak dan elektronik memberikan imbas yang cukup penting bagi masyarakat. Coba kalian perhatikan bagaimana anak-anak selalu menggandakan setiap adegan dalam film yang ditonton dan menggunakan pernakpernik yang bekerjasama dengan tokoh yang diidolakan? Pesan-pesan yang disampaikan oleh distributor sosialisasi media massa ini berbeda satu sama lain dan kadangkala bertentangan dengan aturan yang diajarkan di rumah. Menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp, televisi tidak memberikan pesan tunggal yang sederhana melainkan menyajikan aneka macam pesan yang rancu dan saling bertentangan. Dampak televisi sanggup memberikan arah sikap prososial maupun sikap antisosial.
2.2.2. Tahapan Sosialisasi
Setelah mengetahui agen-agen sosialisasi, maka selanjutnya kita akan membahas mengenai tahapan atau proses dari sosialisasi itu. Menurut George Herbert Mead, proses sosialisasi yang dilakukan oleh insan yaitu melalui peran-peran yang harus dijalankan oleh individu sehingga pemikirannya terkenal dengan Role Theory (teori mengenai peranan). Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat maka seorang individu sanggup berinteraksi dengan orang lain. Pengembangan diri insan melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain berjalan secara sedikit demi sedikit mulai dari tahap preparatory stage, play stage, game stage, dan generalized other.
1. Preparatory stage (tahap persiapan)
Tahap ini dialami seseorang semenjak ia dilahirkan kedunia ini. Pada tahap ini seorang anak mulai melaksanakan kegitaan menggandakan walaupun belum sempurna. Misalnya yaitu ketika seorang balita berguru bicara pertama kali, ia dikenalkan dengan kata-kata yang gampang ditirukannya ibarat minum dengan kata “mi-mi”, makan dengan kata “ma-mam.
2. Tahap play stage (tahap bermain)
Pada tahap ini ditandai dengan peran-peran yang dilakukan anak kecil yang menirukan peran-peran yang dimainkan orang-orang yang berada di sekitarnya ibarat orang tuanya atau orang remaja lainnya yang sering mengadakan interaksi dengannya. Ini sanggup kalian amati ketika anak kecil sedang bermain dan menjalankan kiprah yang dilakukan orang remaja tanpa memahami isi peran-peran tersebut. Misalnya seorang anak yang berpura-pura menjadi dokter, pilot, polisi, tanpa tahu mengapa dokter harus menyuntik, pilot berada di pesawat ataupun mengapa polisi itu harus membawa pistol.
3. Tahap game stage (tahap permainan)
Pada tahap ini, masa peniruan sudah mulai berkurang dan tergantikan dengan kiprah yang secara pribadi dimainkan dengan penuh kesadaran. Selain itu, jumlah orang yang berinteraksi dengannya semakin banyak dan kompleks serta mulai memahami kiprah yang harus dijalankan oleh orang lain tersebut. Seorang anak kecil mulai menyadari adanya norma-norma yang harus dipahami baik yang berlaku di dalam keluarganya maupun di luar keluarganya.
4. Tahap generalized stage (tahap penerimaan norma kolektif)
Pada tahap ini, seorang anak telah beranjak remaja dan bisa mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. Individu tersebut telah bisa berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat dikarenakan telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang-orang lain dengan siapa berinteraksi. Sebagai anak, ia telah bisa memahami peranan yang dijalankan orang tua, sebagai siswa, ia telahmampu memahami peranan yang dijalankan seorang guru, dan sebagainya.
2.3. Pendidikan
Pada hakikatnya dalam memahami pengertian pendidikan, terlebih dahulu perlu diketahui dua istilah dalam dunia pendidikan yaitu Pedagogi yang berarti pendidikan dan Pedagogia yang berarti ilmu pendidikan. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “Pedagogia” (Paedos dan Agoge) yang berarti “saya membimbing, memimpin anak”. Berdasarkan asal kata tersebut, maka Kasan (2005, hlm. 7) beropini bahwa pendidikan mempunyai pengertian “seorang yang tugasnya membimbing anak di dalam pertumbuhannya kepada arah berdiri sendiri serta bertanggung jawab”.
Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran biar peserta didik secara aktif berbagi potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, adat mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, biar mereka sebagai insan dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Masalah pendidikan yaitu merupakan duduk masalah yang sangat penting dalam kehidupan. Bukan saja sangat penting, bahkan duduk masalah pendidikan itu sama sekali tidak sanggup dipisahkan dari kehidupan. Baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar di tentukan oleh maju mundurnya pendidikan di negara itu.
Di samping itu terdapat 6 fungsi pendidikan (Depdiknas 2004: 4), yaitu:
· Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak
· Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya
· Menumbuhkan sikap dan sikap yang baik
· Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
· Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak
· Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.
BAB III
PEMBAHASAN
Berbagai macam institusi sosial membantu mewariskan budaya ke anak dan remaja. Pada banyak budaya, sejarah yang paling penting yaitu tempat ibadah, sahabat sebaya, sekolah, dan tentu saja keluarga. Namun beberapa institusi ini, ibarat tempat ibadah menjadi sedikit berperan di Barat daripada yang lain, ibarat media massa, telah muncul sebagai kekuatan sosial.
1. Keluarga
Walaupun struktur organisasinya bervariasi, keluarga merupakan distributor sosial yang paling awal dan paling utama di tiap masyarakat. Keluarga merupakan mediator pertama untuk mewariskan budaya ke anak. Karena bagi anak keluarga sangat berarti, setiap anggota keluarga yang mengajarkan anak wacana apa yang terjadi di kehidupan, sering tidak menyadari pengaruh besar yang mereka punya. Perilaku orang remaja yang mendorong dan yang mencoba menghalangi serta cara mereka mengajarkan disiplin juga mensugesti orientasi anak terhadap dunia.
Banyak anak berprestasi di sekolah karena keluarganya telah menyediakan persiapan yang baik untuk keberhasilan mereka di kelas. Ada yang buruk, karena mereka mempunyai persiapan yang jelek dan sekolah umumnya gagal membantu mereka mengatasi kerugian ini. Perubahan terbaru dalam sifat keluarga mempunyai implikasi penting untuk perkembangan pendidikan anak-anak dan kesuksesan di sekolah. Beberapa perubahan yang paling penting yang mensugesti keluarga, termasuk peningkatan angka kemiskinan, orang renta tunggal, dan ibu yang bekerja. Bagaimana keluarga sanggup mengakibatkan kesulitan pendidikan dengan menekan atau terlalu memanjakan anak. Akhirnya, kita akan mempelajari beberapa duduk masalah berat yang dihadapi anak di rumah, termasuk pelecehan dan tunawisma.
a. Anak dalam Kemiskinan
Kemiskinan merupakan duduk masalah utama bagi banyak keluarga. Lebih dari 15% anak Amerika hidup dalam kemiskinan. Rata-rata kemiskinan tinggi terutama bagi anak dari kaum minoritas. Kurang lebih 30% anak-anak Afrika Amerika dan anak-anak serta remaja Latin tumbuh dalam keluarga yang berada dibawah garis kemiskinan. Anak miskin sering menghadapi kesulitan dalam pendidikan.
Begitu pula dengan Indonesia, berdasarkan Solihin (2016) keluarga dengan tekanan ekonomi yang berat merupakan salah satu faktor yang berdampak pada pola asuh terhadap anak. anak yang seharusnya masih berada pada usia sekolah terpaksa membantu orang renta untuk bekerja. Keadaan ini menjadi parah, karena 80 persen dari pekerja anak terutama di pedesaan, mereka bekerja tanpa dibayar.
b. Orang Tua Tunggal
Banyak pengamat menghubungkan tingkat kemiskinan yang cukup besar diantara anak-anak dan remaja dengan tingginya insiden keluarga dengan orang renta tunggal. Dalam dekade terakhir telah terlihat peningkatan besar dalam persentase rumah tangga dengan orang renta tunggal, biasanya orang renta yang tidak pernah menikah, bercerai, atau perempuan yang bercerai. Secara keseluruhan, keluarga orang renta tunggal dengan anak di bawah usia 18 tahun merupakan 32% persen dari semua rumah tangga. Sekitar 34% dengan perempuan sebagai kepala keluarga berada dibawah garis kemiskinan, bandingkan dengan kurang dari 10% untuk keluarga yang utuh. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, secara keseluruhan, lebih dari setengah remaja dibawa umur delapan belas tahun hidup dalam keluarga orang renta tunggal untuk selama masa kecil mereka.
Banyak penelitian yang memusatkan pada imbas khusus dari tumbuh besar di rumah tanpa adanya ayah. Beberapa penelitian menilai sedikit dampak yang terukur pada anak, namun kebanyakan yang lain menemukan aneka macam imbas negatif, termasuk sebuah kemungkinan besar bahwa keluarga akan jatuh pada kemiskinan dan anak akan memikul duduk masalah emosional yang serius dan duduk masalah akademik.
Di Indonesia sendiri, menurut Wibowo (2008) perbandingan jumlah janda dan duda di Indonesia yaitu 469:100, artinya jumlah duda yang tidak menikah hanya seperlima dari jumlah janda yang tidak menikah lagi. Makara lebih banyak duda yang menikah karenanya ibu dengan status orang renta tunggal lebih banyak. Hasil survey sosial Ekonomi Nasional yang diajukan oleh Badan Pusat Statistik (Harian Tempo, 2011) memperlihatkan bahwa jumlah ibu di Indonesia yang menjadi kepala keluarga karena bercerai sebanyak 778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.586 orang (total 4.459.724). berdasarkan data Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia berstatus janda. Hal ini berarti kenaikan jumlah ibu yang menjadi orang renta tunggal hampir sepuluh kali lipat selama rentang 10 tahun.
Untuk membantu seorang guru dalam menanggapi tren keluarga orang renta tunggal, para analis merekomendasikan langkah-langkah di bawah ini:
· Jangan menganggap bahwa kebanyakan atau bahkan semua anak dari keluarga orang renta tunggal punya duduk masalah yang tidak biasa.
· Mengirimkan salinan komunikasi dengan orangtua noncustodial
· Termasuk representasi keluarga orang renta tunggal di kurikulum dan komplemen materi perpustakaan dengan memperlihatkan bermacam-macam gaya hidup dan membantu mengatasi anak dari orangtua yang bercerai.
· Bekerja sama dengan forum lain dalam meningkatkan penyusunan peduli-anak sebelum dan sehabis sekolah.
· Mengadakan lokakarya untuk mambantu guru mencegah beberapa cita-cita negatif yang mereka bangun untuk anak dengan keluarga orang renta tunggal.
· Berfungsi sebagai pendukung dalam memberikan bantuan yang sesuai untuk masing-masing siswa.
· Jadwal pertemuan dan acara pada waktu yang cocok untuk orang renta tunggal.
· Bentuk kelompok pendukung yang disponsori sekolah bagi orang renta tunggal dan anak-anak mereka.
· Membantu orangtua berguru bagaimana mengawasi anak mereka dengan sukses.
c. Peningkatan Ibu yang Bekerja
Persentase ibu yang bekerja dengan anak dibawah delapan belas tahun meningkat terus menerus semenjak 1950 di Amerika Serikat. Beberapa alasan yaitu karena kesempatan kerja yang lebih baik bagi perempuan; peningkatan rata-rata perceraian; tekanan keuangan keluarga yang membutuhkan pemasukan kedua, peningkatan usia pernikahan, dan perubahan tingkah laris budaya tradisional yang mendikte bahwa Ibu harus tinggal di rumah. Sekolah, yang secara tradisional bergantung pada ibu yang tidak bekerja untuk membantu, perlu menyesuaikan kapan orang tua siswa akan tersedia waktunya untuk pertemuan. Kebanyakan sekolah juga menyesuaikan acara mereka untuk membantu mengatasi kebutuhan untuk mengawasi anak-anak yang orang tuanya bekerja setelah akhir hari sekolah regular.
Dewasa ini, di Indonesia telah berkembang nial budaya bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, tetapi juga sebagai perempuan pekerja yang berkarir atau menjadi tenaga tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Perubahan ini bedampak pada pola asuh anak, pengasuhan anak tidak hanya oleh orang tua, tetapi dibantu oleh pengasuh anak atau keluarga dari orang tua. Hal ini akan kuat terhadap pembentukan kepribadian anak.
d. Anak Latchkey Dan Pusat-Pusat Belajar Masyarakat
Kondisi anak latchkey yang kembali ke rumah setelah sekolah tanpa pengawasan yaitu sangat bermasalah karena banyak diantara anak ini menghabiskan waktu mereka untuk menonton televisi atau berkeliaran di jalanan. Data nasional memperlihatkan bahwa sebagian besar anak latchkey kembali ke rumah yang kosong atau pergi ke tempat umum ibarat mall atau ke sudut jalan. Karena alasan ini, banyak pejabat sekolah serta pemimpin sipil dan politik telah mengambil tindakan untuk memperluas kesempatan bagi anak-anak dan remaja untuk berpartisipasi dalam program tambahan di sekolah atau dalam kegiatan rekreasi dan pembelajaran di pusat-pusat komunitas setelah sekolah. Program setelah pulang sekolah menjadi aspek yang penting untuk melayani remaja di banyak tempat, dan anda akan menemukan bahwa banyak siswa yang anda didik hadir sebelum dan setelah acara sekolah. Namun, pemfokusan akademik yang berlebihan pada acara setelah sekolah atau acara diluar sekolah bisa membuat “hurried children”.
e. Anak yang Terlalu Dimanja
Padahal banyak anak-anak sanggup ditekan untuk memenuhi tuntutan orang renta pada awal belajar, yang lain terlalu dimanja oleh orang renta yang menyediakan terlalu banyak barang-barang material atau melindungi mereka dari tantangan yang akan mendorong pertumbuhan emosional. Banyak pengamat percaya bahwa anak yang dimanja merupakan kecenderungan yang dikala ini berkembang, khususnya di kalangan orang renta muda kelas menengah berusaha untuk memberikan anak-anak mereka banyaknya kemudahan. Beberapa psikolog beropini bahwa anak yang dimanja yaitu epidemi yang melanda sebanyak 20 persen anak-anak di Amerika Serikat. "cornucopia kids" mungkin sulit untuk bertahan dalam frustrasi, dan dengan demikian sanggup mengakibatkan duduk masalah khusus bagi guru dan sahabat sekelas mereka.
f. Penyiksaan Anak dan Penelantaran
Anak-anak dari setiap kelas sosial mungkin menderita penyiksaan atau penelantaran oleh orang renta mereka atau anggota rumah tangga lainnya. Seorang guru mempunyai tanggung jawab utama untuk melaporkan bukti bahwa seorang siswa telah dianiaya. Masyarakat kita telah menjadi lebih sadar tingkat dan konsekuensi dari penyiksaan dan penelantaran anak, dan jumlah anak dikukuhkan sebagai korban kekerasan dan penelantaran telah mencapai hampir satu juta tahun. Lebih dari setengah masalah ini melibatkan pengabaian kebutuhan ibarat makanan, pakaian, atau perawatan medis, sekitar satu per tujuh melibatkan penganiayaan secual, dan sekitar seperempat melibatkan pemukulan atau kekerasan fisik lainnya. Banyak forum childwelfare telah terbebani oleh tingkatan masalah. Meskipun mereka bekerja untuk menjaga keluarga tolong-menolong biar kondusif untuk anak-anak, forum ibarat itu sering harus memindahkan anak-anak dari rumah mereka dan menempatkan mereka di panti asuhan.
Penelitian wacana kekerasan terhadap anak memperlihatkan bahwa korban cenderung mengalami duduk masalah serius dalam perkembangan emosional, intelektual, dan sosial. Layaknya orang remaja mereka mempunyai tingkat yang relatif tinggi terhadap penyiksaan obat dan alkohol, sikap kriminal, gangguan belajar, dan gangguan kejiwaan. Namun, penelitian ini sulit untuk menafsirkan karena proporsi yang relatif besar korban pelecehan yaitu anak-anak berpenghasilan rendah. Hubungan antara kemiskinan dan duduk masalah perkembangan dan sikap pembangkang atau kriminal membuat lebih sulit untuk memisahkan imbas penyiksaan. Pada kenyataannya, banyak anak-anak dilecehkan berhasil menghindari duduk masalah sikap dan emosional yang serius.
g. Tunawisma
Beberapa studi memperlihatkan bahwa anak-anak tunawisma disproporsional menderita pelecehan anak dan kesehatan fisik yang buruk. Seperti yang kita bayangkan, mereka juga relatif rendah dalam kehadiran dan prestasi di sekolah. Pemerintah federal relatif sedikit melakukan penyediaan untuk orang remaja dan anak-anak tunawisma, dan pemerintah tempat yang enggan atau tidak bisa memberikan banyak bantuan. Namun, banyak sekolah berusaha untuk memberikan pemberian yang tepat. Beberapa kabupaten dan sekolah, misalnya, mempekerjakan konselor tambahan, mensponsori acara setelah sekolah, mempekerjakan orang yang penuh - waktu untuk mengkoordinasikan layanan dengan tempat penampungan bagi keluarga tunawisma, atau mencoba untuk menghindari mentransfer anak-anak tunawisma dari satu sekolah ke sekolah lain .
2. Teman Sebaya
Hubungan keluarga merupakan pengalaman pertama seorang anak hidup dalam kelompok, interaksi kelompok sebaya mulai memberi imbas sosialisasi yang kuat mereka rasakan. Dari playgroup untuk kelompok remaja, kelompok sebaya memberikan banyak kaum muda berguru pengalaman-bagaimana berinteraksi dengan orang lain, bagaimana sanggup diterima oleh orang lain, dan bagaimana untuk mencapai status dalam bundar pertemanan. Peer tidak sama dengan cara orang renta dengan anak-anak mereka atau guru dengan siswa mereka. Orang renta atau guru kadang kala sanggup memaksa anak-anak untuk mematuhi aturan mereka walau tidak mengerti atau juga tidak suka, tapi rekan-rekan tidak mempunyai kewenangan formal untuk melaksanakan hal ini, sehingga anak-anak bisa berguru arti bergotong-royong dari pertukaran, kerjasama, dan ekuitas lebih gampang dalam kelompok sebaya.
Kelompok sebaya semakin penting selama anak tumbuh, dan mereka mencapai imbas maksimal pada masa remaja, dikala mereka kadang kala mendikte banyak sikap remaja baik dalam dan luar sekolah. Beberapa peneliti percaya bahwa kelompok sebaya yang lebih penting kini daripada sebelumnya dalam periode-terutama ketika anak mempunyai sedikit kontak erat dengan orang renta mereka dan beberapa hubungan yang kuat dengan masyarakat yang lebih luas.
a. Budaya Kelompok Sebaya dan Sekolah
Sekolah sangat prihatin dengan karakteristik budaya siswa di sekolah. Budaya sebaya sering bekerja terhadap tujuan akademik di sekolah. Sebagai contoh, sebuah Landmark 1961 studi oleh James Coleman menemukan bahwa siswa Sekolah Menengan Atas memperoleh penghargaan dari rekan-rekan mereka dengan kombinasi keramahan dan popularitas, kecakapan atletik, penampilan menarik dan kepribadian, atau pemilikan keterampilan yang berharga dan benda (mobil, pakaian, catatan). Keberhasilan skolastik tidak termasuk di antara karakteristik yang disukai, secara umum, budaya rekan menghalangi daripada memperkuat tujuan akademik sekolah.
Lebih dari dua dekade setelah itu, John Goodlad dan rekan-rekannya menanyai lebih dari tujuh belas ribu siswa, "Apa satu hal terbaik dari sekolah ini ?" Seperti yang tertera pada Tabel 10.1, tanggapan yang paling sering sejauh ini yaitu "teman-teman saya." Responden juga diminta untuk mengidentifikasi siswa yang mereka anggap paling populer. Hanya 10 persen responden di tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas yang menentukan "siswa pintar", 70 persen dari siswa menentukan "siswa tampan" atau "atlet". Menimbang data ini, Goodlad menyimpulkan bahwa "penampilan fisik, hubungan kelompok sebaya, permainan, dan olahraga" yaitu lebih perhatian utama siswa yang mereka bawa ke sekolah, fenomena ini "muncul untuk menang" di sana. Tercatat bahwa Coleman dan lain-lain melaporkan temuan serupa dalam beberapa dekade sebelumnya, ia lebih lanjut bertanya-tanya "mengapa kami telah mengambil begitu sedikit akun mudah mereka di sekolah.
Untuk membina hubungan kelompok sebaya yang lebih mendukung daripada menghambat belajar, beberapa pendidik menyarankan melaksanakan kegiatan yang mendorong siswa untuk berguru secara kooperatif. Selain itu, guru harus meningkatkan interaksi anak-anak dengan sahabat sebaya, mengajarkan keterampilan interpersonal dan kelompok kecil, menugaskan anak bertanggung jawab untuk kesejahteraan rekan-rekan mereka, dan mendorong anak-anak untuk berinteraksi dengan remaja. Langkah-langkah tersebut sanggup membantu melawan tekanan sahabat sebaya untuk sikap antisosial.
b. Partisipasi dalam Kegiatan Ekstrakurikuler
Polling terus memperlihatkan bahwa siswa menganggap kerjasama dan interaksi dengan rekan-rekan dalam kegiatan ekstrakurikuler penggalan dari pengalaman sekolah mereka. Banyak pendidik percaya partisipasi ini merupakan kekuatan positif dalam kehidupan siswa, tetapi efeknya sulit untuk diukur. Kesulitannya terletak dalam menentukan apakah partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler yaitu penyebab atau imbas dari aspek lain dari pengembangan siswa. Hal ini diketahui, misalnya, bahwa siswa yang berpartisipasi dalam aneka macam kegiatan ekstrakurikuler umumnya mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak berpartisipasi, hal lain dianggap sama. Hal ini juga mungkin benar, bagaimanapun, siswa dengan nilai yang lebih tinggi lebih mungkin untuk berpartisipasi daripada orang-orang dengan nilai lebih rendah.
Meskipun kesulitan, penelitian memperlihatkan bahwa partisipasi -khususnya di atletik, layanan, kegiatan kepemimpinan, dan musik- memperkokoh kesehatan emosional dan fisik serta aspirasi siswa untuk pendidikan dan pencapaian pekerjaan yang lebih tinggi (misalnya, masih beberapa tahun lagi sekolah selesai). Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa imbas positif lebih mungkin di sekolah-sekolah kecil daripada di sekolah besar. Pentingnya untuk guru, kesimpulan ini mempunyai makna besar bagi para pendidik. Partisipasi di luar kurikulum akademik mungkin lebih "dimanipulasi" (dapat berubah oleh sekolah) daripada kebanyakan faktor lain yang bekerjasama dengan hasil pendidikan. Misalnya, lingkungan rumah sanggup mengakibatkan masalah, tapi pendidik jarang sanggup mengubah lingkungan rumah siswa. Namun demikian, guru dan direktur sanggup meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan ini mungkin salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan kinerja siswa.
c. Penelitian Bullying dan Pencegahan
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah mulai mengatasi duduk masalah yang disebabkan oleh " pengganggu " -anak muda yang sangat melecehkan rekan-rekan mereka baik di dalam maupun di luar sekolah. Sebagian besar sekolah telah menerapkan kebijakan untuk mengurangi bullying, khususnya yang berkaitan dengan orientasi secual dan intimidasi yang melibatkan penggunaan komputer, ponsel, dan media gres lainnya ("cyberbullying"). Faktor yang sering dikutip sebagai penyebab beberapa anak berperilaku sebagai pengganggu meliputi pengabaian dan pelecehan di rumah mereka, imbas televisi, dan kurangnya keterampilan sosial yang mengarah ke siklus sikap agresif. Mayoritas pria pengganggu, namun insiden bullying oleh gadis-gadis telah meningkat. Pendidik prihatin wacana tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga kecenderungan pengganggu memperlihatkan sikap kriminal sebagai orang remaja kelak. Pendekatan Anda mungkin berlaku untuk memodifikasi sikap intimidasi termasuk kontrak perilaku, instruksi dalam penyelesaian konflik secara damai, kegiatan kelas yang dirancang untuk mengurangi pelecehan, dan mendaftar keterlibatan orang renta dalam sikap pengawasan.
3. Budaya Sekolah
Pendidikan di sekolah, dibandingkan dengan pengalaman berguru dalam konteks keluarga atau kelompok sebaya, terjadi dalam cara-cara yang relatif formal. Keanggotaan kelompok tidak sukarela tetapi ditentukan oleh usia, bakat, dan sering gender. Siswa diuji dan dievaluasi, mereka diberitahu kapan harus duduk, kapan harus berdiri, cara berjalan melalui lorong-lorong, dan sebagainya. Acara majelis sekolah, atletik, dan upacara kelulusan-serta lambang sekolah, lagu, dan sorak-sorai-semua memberikan budaya sekolah dan sosialisasi siswa. Aktivitas yang kurang dan sikap guru juga mengakulturasi siswa di sekolah.
a. Peran siswa dan hidden currriculum
Gita Kedar-Voivodas telah menilik cita-cita guru untuk kiprah siswa-yaitu, sikap siswa yang diinginkan dan karakteristik-di kelas sekolah dasar. Dia mengidentifikasi tiga jenis kiprah utama siswa yang diharapkan : kiprah murid, kiprah pelajar penerima, dan kiprah pembelajar aktif.
Hidden curriculum istilah yang dipakai oleh banyak kritikus sekolah modern, yaitu apa yang dipelajari siswa, selain konten akademis, dari apa yang mereka lakukan atau diharapkan sanggup dilakukan di sekolah. Selain mengajar anak-anak untuk mengikuti keadaan secara pasif di dalam kelas, hidden curriculum mungkin mempersiapkan siswa kurang bisa untuk menjadi pekerja yang patuh di kemudian hari. Hal ini sanggup menjadi stereotip rasial dan secual negatif melalui materi termasuk dalam (atau dihilangkan dari) buku pelajaran. Hal ini sanggup mengakibatkan anak-anak untuk percaya bahwa bullying sanggup diterima atau menyalin karya orang lain sanggup dimaafkan. Penekanan yang berlebihan pada kompetisi untuk nilai sanggup membuat hidden curriculum yang mengajarkan siswa bahwa "mengalahkan sistem" lebih penting
dari apa pun.
dari apa pun.
b. Budaya dalam Kelas
Studi wacana proses dalam kelas di sekolah dasar, Philip Jackson menemukan keragaman subjek tertentu tetapi dalam beberapa jenis kegiatan kelas. Istilah seatwork, diskusi kelompok, demonstrasi guru, dan sesi tanya jawab menggambarkan sebagian besar dari apa yang terjadi di dalam kelas. Selanjutnya, kegiatan ini dilakukan sesuai dengan aturan yang terang ibarat "tidak berbicara keras selama seatwork" dan "mengangkat tangan Anda jikalau Anda mempunyai pertanyaan." Guru menjabat sebagai " kombinasi polisi kemudian lintas, hakim, pasokan sersan, dan pencatat waktu." Dalam sistem budaya ini, kelas sering menjadi tempat di mana insiden terjadi "bukan karena siswa ingin, tetapi karena sudah waktunya terjadi.
Sebuah studi sekolah yang dilakukan oleh John Goodlad dan rekan-rekannya menggambarkan pola meluas berikut:
1) Kelas ini umumnya diselenggarakan sebagai kelompok dimana guru memperlakukan secara keseluruhan. Pola ini sepertinya muncul dari kebutuhan untuk mempertahan-kan hubungan yang tertib di antara dua puluh atau tiga puluh orang di ruang kecil.
2) “Antusiasme, kegembiraan dan kemarahan yang disimpan di bawah kontrol.” Akibatnya, nada emosional umumnya "datar" atau "netral."
3) Kebanyakan kiprah siswa melibatkan "mendengarkan guru, menulis tanggapan atas pertanyaan, dan mengikuti tes dan kuis." Buku teks dan buku kerja umumnya merupakan" media pengajaran."
4) Pola-pola ini menjadi semakin kaku dan lebih banyak didominasi sebagai kelanjutkan siswa melalui nilai.
5) Instruksi jarang melampaui "milik dari informasi." Relatif sedikit upaya dilakukan untuk membangkitkan rasa ingin tahu atau untuk menekankan pemikiran.
Mengapa ruang kelas begitu sering berfungsi dengan cara ini? Ini merupakan pertanyaan penting, dan banyak hebat analisis telah membahas hal itu. Alasan yang telah mereka memperlihatkan meliputi:
1) Persyaratan kelembagaan untuk menjaga ketertiban
2) Preferensi mahasiswa untuk berguru pasif
3) Akomodasi, tawar-menawar, dan kompromi antara siswa dan guru
4) Alokasi perhatian guru
5) Persyaratan masyarakat bahwa siswa berguru untuk menyesuaikan diri
6) Kelebihan guru
4. Televisi dan Media Digital
Beberapa ilmuwan sosial menyebut televisi sebagai “kurikulum pertama” karena tampak mensugesti cara anak dalam berbagi keterampilan berguru dan mengikuti keadaan terhadap perjuangan memperoleh pengetahuan dan pemahaman, pendidik menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan minat siswa dan motivasi mereka di sekolah. Selain itu, sebagian besar anak-anak dan remaja percaya nilai mereka dalam pergaulan secara signifikan dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat di media.
Meskipun penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara prestasi sekolah dan menonton televisi, hubungan ini tidaklah sepenuhnya jelas. Beberapa studi menunjukkan bahwa menonton televisi sanggup mengurangi kegiatan membaca siswa, tapi kesimpulan ini tidak terdokumentasi dengan baik. Studi internasional memperlihatkan bahwa di beberapa negara, siswa yang sering menonton televisi juga mempunyai nilai prestasi yang relatif tinggi. Namun demikian, banyak pendidik khawatir bahwa penggunaan televisi dan media lainnya sanggup menurunkan prestasi bagi banyak siswa, khususnya karena survei memperlihatkan bahwa jutaan anak-anak menonton televisi dan menggunakan media lain hingga larut malam kemudian mengantuk di sekolah keesokan harinya.
Terlepas dari imbas yang mungkin negatif pada prestasi sekolah, televisi dan media lain, ibarat film, permainan video, dan musik, sangat mempengaruhi sosialisasi pada anak dan remaja. Media menstimulasi dan mencerminkan perubahan fundamental dari sikap dan sikap yang berlaku dalam masyarakat kita, mulai dari rekreasi, pilihan karir, hubungan secual, konsumerisme, dan penggunaan narkoba.
Banyak orang remaja khawatir bahwa televisi, permainan video, dan media lainnya, dapat mendorong sikap bergairah atau kekerasan. Rata-rata anak kini menonton ribuan simulasi pembunuhan dan puluhan ribu tindak kekerasan lainnya pada dikala beliau menuntaskan sekolah dasar. Efeknya tergantung pada faktor situasional: misalnya, tingkat frustrasi atau amarah anak, konsekuensi yang mungkin terjadi ibarat hukuman, penerimaan sebelumnya terhadap kekerasan, dan kesempatan untuk melaksanakan tindak kekerasan. Namun secara keseluruhan, berdasarkan komite ilmuwan behavioral, "kekerasan di televisi sangat berkorelasi dengan sikap bergairah ibarat halnya variabel sikap lainnya yang telah diukur." The American Academy of Pediatrics dan American Psychological Association juga telah menyimpulkan bahwa paparan kekerasan yang berulang di televisi dan media lainnya mendorong sikap kekerasan.
Para ilmuwan sosial juga menjadi sangat peduli wacana imbas media terhadap sosialisasi anak perempuan. Sebuah satuan kiprah dari American Psychological Association telah meneliti wacana imbas televisi, musik video, lirik lagu, majalah, film, permainan video, internet, iklan, dan logo, dan menyimpulkan bahwa efeknya meliputi kerusakan gambaran diri dan pola perkembangan. Asosiasi menyesalkan "secualisasi" anak-anak dan remaja, yang didefinisikan sebagai "sesuatu yang terjadi ketika nilai seseorang hanya tiba dari kemenarikan perilakunya secara secual, dengan mengesampingkan abjad lain, dan ketika seseorang diobjektifikasi secara secual, misalnya, dibentuk menjadi hal untuk sesuatu yang lain dalam kegunaan secara secual.
Hal yang juga benar bahwa, televisi bisa memberi imbas positif dalam bersosialisasi. Sebagai contoh, penelitian memperlihatkan bahwa acara Sesame Street telah membantu remaja dalam hal akademis, dan anak-anak sanggup menjadi lebih kooperatif dan sopan setelah melihat acara ini yang menekankan pada perilaku. Penelitian juga memperlihatkan bahwa program-program ibarat Cyberchase sanggup membantu siswa SD untuk meningkatkan kemampuan matematika mereka. Beberapa analis percaya bahwa video, permainan komputer, dan media digital lainnya membantu anak-anak dan remaja berbagi banyak jenis kemampuan pemecahan duduk masalah dan keterampilan motorik.
Menyadari imbas baik dan imbas merusak dari media terhadap anak dan remaja, banyak orang yang bekerja untuk melaksanakan perbaikan. Parent-Teacher Association telah membuat reformasi televisi, khususnya pengurangan konten sec, komersialisme, dan tampilan kekerasan selama prime time. Organisasi ibarat National Citizen Committee for Broadcasting telah melobi aneka macam pihak untuk melaksanakan perubahan.
Pada tahun 1996, pemerintah federal memperkenalkan persyaratan bahwa stasiun televisi harus menyiarkan acara “edukatif dan informatif” setidaknya 3 jam/minggu untuk anak-anak, tapi sayangnya program ini hanya mempunyai sedikit pemirsa, dan acara yang menekankan sec dan/atau kekerasan tetap terus berlanjut.
a. Generasi Net di Era Digital
Beberapa analis telah mulai meneliti kemungkinan perubahan sebagian anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh komunikasi digital dan bermacam-macam sumber informasi ibarat video interaktif dan internet. Salah satu buku pertama yang membahas perkembangan ini adalah Don Tapscott dalam Growing Up Digital. Tapscott, yang menamai cowok yang tumbuh dalam era digital sebagai "Generasi Net," percaya bahwa internet sangat berbeda dari televisi. Internet merangsang partisipasi interaktif dibandingkan menonton televisi yang bersifat pasif. Tapscott memprediksi bahwa internet akan menghasilkan “generasi yang semakin mempertanyakan nilai-nilai implisit yang terkandung dalam informasi. . . [dan dengan demikian akan mendorong anak] untuk melatih tidak hanya kemampuan berpikir kritis mereka, tetapi juga kemampuan penilaian mereka.”
Tapscott percaya bahwa imbas utama revolusi digital akan meningkatkan kebebasan individu dan produktivitas masyarakat. Individu akan menemukan informasi dan pengetahuan dengan gampang dan dengan peluang yang sangat luas. Selain itu, keakraban dengan media digital juga membiasakan cowok untuk mengerjakan pekerjaan multitasking secara efektif yang amat dibutuhkan dalam pekerjaan yang rumit. Masyarakat akan menemukan bahwa ekonomi berbasis pengetahuan akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, dan teknologi akan memungkinkan sistem pendidikan untuk berfungsi dengan sukses dalam mempersiapkan cowok untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan. Seperti analis lain, bagaimanapun Tapscott tetap khawatir bahwa media digital akan meningkatkan kesenjangan yang merepotkan antara si kaya dan si miskin, yaitu, antara pemuda dari kelas menengah yang mempunyai jalan masuk yang baik ke teknologi terbaru dengan cowok dari kelas berpenghasilan rendah yang mempunyai jalan masuk yang relatif kurang dan dengan demikian mungkin akan lebih dirugikan.
b. Web 2.0 dan Jejaring Sosial
Tapscott dan beberapa analis terkemuka lainnya ibarat Urs Gasser, John Palfrey, dan Clay Shirky sangat tertarik dengan hubungan antara cowok dan pengalaman mereka menggunakan Web 2.0- yang meningkatkan interaktivitas dan konektivitas sosial dari internet. Banyak peneliti khawatir dengan imbas negatif dari fenomena ini, ibarat ancaman dari akun anonim, terlalu percaya terhadap sumber informasi yang mereka temukan di Google atau situs manapun, dan terlalu banyak waktu yang mereka habiskan untuk kegiatan tersebut sehingga mengganggu kiprah sekolah dan acara belajar. Tetapi, para peneliti juga mengemukakan bahwa Web 2.0 membuka kesempatan luas untuk meningkatkan kehidupan anak-anak dan orang dewasa. Beberapa saran yang mereka kemukakan yang sanggup diterapkan di sekolah antara lain:
· Mengajarkan wacana penggunaan yang kondusif dan tepat dari Web 2.0, daripada memblokir Web 2.0 dan membiarkan anak menemukannya sendiri.
· Memastikan bahwa siswa menggunakan bahasa yang sanggup diterima (sesuai kaidah ketata-bahasaan) dibandingkan menggunakan bahasa yang disingkat-singkat ibarat dikala menggunakan pesan pendek (SMS).
· Mengganti pola pembelajaran dari model yang berfokus pada guru menjadi model yang didasarkan pada kemampuan dan keterampilan siswa menggunakan Web 2.0.
· Menekankan pada keterampilan ibarat proyek berkelompok dengan memanfaatkan Web, yang sanggup mempunyai kegunaan bagi pekerjaan mereka di masa mendatang.
· Mendorong siswa untuk menggunakan video atau permainan komputer yang menekankan pada seni, sejarah, dan sains dibandingkan video yang menekankan pada kekerasan dan sec.
· Membantu siswa untuk menyeimbangkan antara hubungan dan pergaulan mereka di dunia maya dengan di dunia nyata, ibarat dengan olahraga dan bergabung pada klub tertentu.
· Membangun kompetensi media, termasuk literasi digital, literasi visual, dan aspek-aspek lainnya.
3.2. Peran dan Perbedaan Gender
Sosialisasi kuat sangat kuat terhadap kiprah gender pandangan wacana bagaimana seharusnya anak pria dan perempuan bersikap. Peran gender sangat berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain, tapi dalam budaya tertentu mereka didefinisikan dengan cukup baik, dan anak-anak disosialisasika didalamnya pada waktu tertnteu dari penguatan selektif.
Pada usia tiga tahun, sebagaimana dikatakan Robert Havighurst, sudah ada “perbedaan yang konkret dalam hal sikap antar pria dan perempuan”. Bahka pada anak usia ini, anak pria cenderung lebih aktif., sementara anak perempuan cenderung lebih “dependen” dan “nurturant”.
Di sekolah didominasi oleh norma-norma tradisional wacana kesopanan, kebersihan, dan ketaatan. Guru umumnya menekan sikap bergairah dan melawan, dan ini menjadi duduk masalah bagi anak laki-laki, karena rta-rata mereka lebih bergairah di abndingkan anak perempuan hampir dari semenjak mereka lahir, yang mungkin karena perbedaan hormon.
Beberapa peneliti percaya bahwa kecenderungan guru untuk menghargai sikap pasif dan mencegah agresivitas kuat terhadap tingginya tingkat keterasingan anak pria dan seringnya mereka melanggar peraturan sekolah. Anak pria mendapatkan lebih banyak teguran dari guru dan mengalami gangguan emosional dibandingkan anak perempuan.
Sebaliknya, duduk masalah yang perempuan hadapi dalam sistem pendidikan umumnya mencerminkan tinkat sosialisasi mereka yang cenderung “bergantung” daripada “kemandirian dan ketegasan”. Secara historis, kebanyakan anak perempuan tidak di dorong untuk mempersiapkan diri untuk pekerjaan berstatus tinggi ibarat hukum, kedokteran, atau pekerja teknik yang bergaji tinggi. Sebaliknya mereka di harapkan untuk mempersiapkan diri untuk mengamil kiprah sebagai istri dan ibu rumah tanggga.
Raphaela Best menemukan bahwa kelompok sebaya di sekolah membantu mengkomunikasikan cita-cita tradisional untuk anak pria dan perempuan. Best melaporkan bahwa kelompok sebaya anak pria menekankan pada kekuatan ibarat "selalu menjadi yang pertama" dan "jangan bergaul dengan pecundang," sedangkan kelompok anak perempuan relatif lebih menekankan pada “bersenang-senang” daripada “kemenangan” dan menekankan kerja sama daripada kompetisi. Best juga melaporkan bahwa seiring siswa yang ditelitinya tumbuh dewasa, mereka membuat beberapa kemajuan dalam mengatasi stereotip yang membatasi aspirasi perempuan dan membatasi pertumbuhan emosi laki-laki. Demikian pula, Barrie Thorne yang mempelajari siswa sekolah dasar menyimpulkan bahwa kiprah gender "dikonstruksi secara sosial" pada usia dini. Thorne juga menyimpulkan bahwa guru harus mencoba untuk melawan stereotip gender dengan memfasilitasi sikap kooperatif dan meningkatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam bermacam-macam kegiatan.
a. Prestasi dan kemampuan pada gender yang berbeda
Penelitian wacana topik ini menunjukkan variabilitas lebih luas antara kemampuan antara anak pria dibandingkan dengan anak perempuan: pria lebih mungkin untuk menjadi konkret tinggi ataupun konkret rendah dalam hal kemampuan.
Mereka yang percaya bahwa perbedaan kemampuan antara kedua jenis kelamin terdapat pada dikala lahir kemudian menunjukkan perbedaan dalam fungsi otak anak pria dan perempuan. Bagi kebanyakan orang, belahan otak kiri mengkhususkan diri dalam kiprah verbal, sedangkan belahan kanan mengkhususkan diri dalam hal nonverbal, termasuk fungsi spasial yang penting dalam matematika. Dalam hal ini, penelitian neurosains memperlihatkan beberapa perbedaan yang terkait dengan hormon sec yang mulai berfungsi pada dikala lahir atau bahkan lebih awal. Di antara orang-orang yang bertangan kanan (right handed person-mayoritas), perempuan menangani fungsi spasial lebih dengan otak kiri dibandingkan laki-laki. Perempuan juga menggunakan otak belahan kanan secara lebih untuk fungsi verbal.
Sebuah argumen yang senada mengungkapkan bahwa perempuan cenderung takut untuk sukses dalam pekerjaan yang secara tradisional ditujukan untuk laki-laki, karena keberhasilan mereka dalam bidang itu berarti mereka melanggar stereotip gender, yang karenanya akan mengundang cemoohan. Analis lain juga percaya bahwa anak perempuan cenderung mengalihkan perhatian mereka kearah hubungan sosial dikala mereka memasuki masa remaja. Tapi situasinya begitu kompleks, dan hanya beberapa generalisasi skala besar yang sanggup dibuat.
b. Tingkat pendidikan dan pekerjaan perempuan
Sepanjang sebagian besar sejarah AS, perempuan mengikuti jenjang pendidikan hingga tingkat yang lebih rendah dibanding laki-laki. Pada tahun 1979, perempuan untuk pertama mengalahkan jumlah pria di perguruan tinggi. Sejak tahun 1992, lebih dari setengah dari semua gelar sarjana dan master telah diberikan kepada perempuan. Sekarang, hampir 60% civitas di universitas yaitu perempuan.
Hasil yang sama juga tampak dalam hal pekerjaan perempuan. Sebagai contoh, pada tahun 1950, hanya 15% dari akuntan yaitu perempuan, dibandingkan dengan 61% pada tahun 2004; persentase yang serupa untuk pengacara perempuan yaitu 4% pada tahun 1950 dan menjadi 30% pada tahun 2005. Sekolah dan masyarakat luas yang melihat efek dari upaya untuk menghilangkan genderisme dari kurikulum sekolah, mendorong perempuan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dan mempersiapkan profesi untuk mereka, mendukung perempuan untuk memasuki bidang sains dan komputasi, dan beberapa perjuangan lain untuk menyamakan kesempatan antara pria dan perempuan.
Namun demikian, masih banyak hal yang harus dicapai. Disamping peningkatan hasil yang tampak akhir-akhir ini, masih banyak perempuan yang terkonsentrasi pada pekerjaan yang berupah rendah dan berstatus rendah. Meskipun persentase ilmuwan dan insinyur perempuan dengan gelar doktor telah meningkatkan lebih dari dua kali lipat semenjak tahun 1973, tapi secara total, persentase perempuan masih kurang dari seperempatnya. Banyak peneliti menyarankan untuk lebih meningkatkan kesempatan pendidikan dan kesetaraan bagi perempuan yang meliputi:
· Meningkatkan training guru terkait dengan isu-isu gender.
· Mengusahakan kesetaraan gender yang lebih luas dalam pendidikan kejuruan.
· Menghilangkan bias dalam tes standar dan mengurangi kiprah tes ini dalam penerimaan di perguruan tinggi.
· Mengurangi stereotip gender dan lebih meningkatkan keterwakilan perempuan dalam bahan ajar.
· Melindungi hak-hak remaja perempuan yang hamil dan orang tua-remaja.
· Memperkenalkan kurikulum yang "adil secara gender" yang mengakomodasi perbedaan gaya belajar.
· Memperkenalkan acara khusus untuk mendorong anak perempuan untuk berpartisipasi dalam matematika, program komputasi, dan sains.
· Bekerja untuk melawan penurunan kepercayaan diri yang sering terjadi ketika remaja perempuan mulai peduli dengan penampilan mereka.
3.3. Masalah Remaja dan Pemuda
Dalam banyak tradisi, dalam budaya tradisional, cowok diinisiasi pada kehidupan remaja dimulai setelah pubertas. Inisiasi ini terkadang terjadi melalui ritual khusus yang dirancang untuk menandakan kelayakan cowok untuk mengambil kiprah dewasa. Dalam beberapa kebudayaan, masyarakat hanya mengenal dua periode: anak-anak dan dewasa, dan hanya ada jarak yang singkat –itupun jikalau memang ada- yang memisahkan antara kedua periode tersebut.
Dalam masyarakat berteknologi modern, cowok terpaksa menunda masa remaja mereka untuk jangka waktu yang disebut masa remaja. Alasan utamanya yaitu bahwa masyarakat modern tidak lagi mempunyai kebutuhan ekonomi atas kaum muda dalam kelompok usia ini. Satu akibat yang disayangkan yaitu bahwa cowok telah menjadi lebih terisolasi dari kehidupan masyarakat. Pada saat yang sama, isolasi cowok menghambat upaya sekolah dan forum sosial lainnya untuk mempersiapkan cowok menuju kehidupan dewasa. Dalam beberapa dekade terakhir, isolasi ini telah meningkatkan duduk masalah yang berpusat pada pemuda, yaitu :
1. Obat terlarang dan minuman beralkohol
Para pendidik khawatir bahwa penggunaan alkohol, ganja, dan obat-obatan lainnya pada remaja sanggup memperkuat atau merangsang keterasingan dari lembaga-lembaga sosial atau sebaliknya menghambat transisi mereka menuju masa dewasa. Ini bukan untuk menyampaikan bahwa penggunaan narkoba selalu menyebabkan duduk masalah ibarat rendahnya kinerja akademik, pemberontakan, dan kegiatan kriminal; ini hanya sebagai kemungkinan bahwa duduk masalah awal telah timbul dan mengarah pada penggunaan narkoba. Banyak remaja yang menggunakan narkoba dan alkohol untuk melarikan diri dari kesulitan yang mereka hadapi dalam upaya mempersiapkan kehidupan dewasa. Remaja sendiri percaya bahwa obat-obatan dan alkohol memberi imbas negatif dalam hidup mereka. Survei nasional secara konsisten memperlihatkan bahwa kebanyakan siswa SMA mengatakan baik obat-obatan ataupun alkohol sebagai "pengaruh terburuk tunggal" dalam kehidupan mereka.
2. Bunuh diri
Pendidik menjadi semakin khawatir wacana masalah bunuh diri di kalangan remaja. Tingkat bunuh diri di kalangan anak dan remaja telah naik hampir empat kali lipat semenjak 1950, dan beberapa survei memperlihatkan bahwa sebanyak satu dari sepuluh remaja usia sekolah mungkin mencoba bunuh diri. Alasan peningkatan ini sepertinya termasuk penurunan nilai-nilai agama, imbas media massa, tekanan berprestasi di sekolah, hubungan yang gagal dengan sahabat sebaya, dan tekanan atau frustasi terkait dengan perceraian atau duduk masalah keluarga lainnya.
Guru dan personil sekolah lainnya harus waspada terhadap duduk masalah bunuh diri ini. Gejala peringatan sanggup meliputi: mengasingkan diri dari teman, keluarga, dan kegiatan reguler, sikap kekerasan atau memberontak, melarikan diri, alkohol atau penyalahgunaan narkoba; secara tidak biasa mengabaikan penampilan pribadi, perubahan radikal dalam kepribadian, kebosanan terus-menerus; kesulitan dalam berkonsentrasi, penurunan prestasi sekolah, dan tanda-tanda emosional atau fisik ibarat sakit kepala dan sakit perut. Guru juga harus mengingat bahwa Pengadilan Distrik US akan memberikan eksekusi jikalau menemukan pejabat sekolah yang ikut bertanggung jawab atas bunuh diri siswa, termasuk ketika mereka gagal untuk memberikan perawatan yang "masuk akal", dan membantu remaja yang memperlihatkan tanda-tanda akan bunuh diri.
3. Kehamilan remaja
Diantara kalangan remaja secara keseluruhan, jumlah dan tingkat kelahiran telah menurun secara substansial selama masa setengah abad, sebagian karena ketersediaan kontrasepsi dan aborsi, serta keberhasilan kampanye di beberapa komunitas. Di sisi lain, persentase kelahiran dari ibu remaja yang terjadi di luar nikah telah meroket dari 15% di tahun 1960 menjadi hampir 90% dalam dekade terakhir. Para peneliti telah menghubungkan tren ini dengan aneka macam duduk masalah sosial. Misalnya, keluarga ibu-ibu remaja tersebut jauh lebih mungkin hidup dibawah garis kemiskinan dibandingkan dengan keluarga lain, dan ibu remaja sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan perawatan prenatal daripada ibu yang lebih tua. Tidak heran jikalau kemudian, anak dari ibu remaja cenderung memiliki kesehatan yang jelek dan berkinerja jelek di sekolah. Selain itu, masyarakat menghabiskan miliaran dolar untuk menopang kehidupan anak-anak dari ibu remaja ini.
Persentase kelahiran dari ibu remaja di Amerika Serikat jauh lebih tinggi daripada di kebanyakan negara-negara industri lainnya. Menurut ilmuwan sosial yang telah menganalisis data fertilitas, tingginya insiden kelahiran diluar nikah merupakan hasil dari beberapa faktor yang saling berkorelasi ibarat penerimaan sosial akan secualitas remaja, hubungan secual lebih awal dan lebih sering, penurunan tingkat ijab kabul dini, kurangnya pasangan ijab kabul yang potensial, penurunan imbas masyarakat dan orangtua terhadap remaja, dan perkiraan akan adanya pemberian oleh forum sosial terhadap ibu remaja.
Banyak sekolah telah merespon fenomena ini dengan mendirikan klinik berbasis sekolah untuk remaja yang hamil dan ibu remaja, dan dengan memperluas acara yang fokus pada pendidikan sec, kesehatan, pengembangan pribadi, dan kehidupan keluarga. Meskipun data awal pada kegiatan ini umumnya negatif, studi terbaru memperlihatkan bahwa perjuangan tersebut sanggup efektif dalam mencegah atau setidaknya mengurangi duduk masalah yang terkait dengan kehamilan remaja. Hasil positif juga telah dilaporkan untuk aneka macam pendekatan yang dilaksanakan semenjak tahun 1996 sebagai penggalan dari National Campaign to Prevent Teen Pregnancy. Selain itu, organisasi ibarat Girls, Inc. telah melaksanakan proyek-proyek yang menyediakan kombinasi dari training untuk bersikap tegas bagi para remaja perempuan, pelayanan kesehatan, keterampilan komunikasi, konseling pribadi, dan informasi wacana secualitas. Data terbaru memperlihatkan bahwa upaya-upaya tersebut secara substansial telah mengurangi angka insiden kehamilan pada remaja.
4. Kenakalan dan kekerasan
Penelitian wacana kenakalan dan kekerasan di kalangan cowok mendukung beberapa generalisasi, sebagai berikut:
· Tingkat kenakalan yang signifikan muncul di kalangan cowok dari semua kelas sosial. Namun, kenakalan dan kekerasan jauh lebih sering terjadi di antara cowok dari kelas pekerja dibandingkan dengan cowok dari kelas menengah.
· Meskipun sebagian besar kejahatan dilakukan oleh orang-orang di bawah usia dua puluh lima, kebanyakan penjahat cukup tenang untuk menghadapi kehidupan remaja yang produktif.
· Peningkatan geng telah membantu menghasilkan kekerasan yang lebih tinggi di kalangan pemuda.
· Kenakalan dikaitkan dengan pengangguran. Dari sudut pandang ini, kenakalan adalah respon parsial terhadap kesempatan anak muda yang terbatas untuk berperan dalam masyarakat modern.
· Karakteristik keluarga yang bekerjasama dengan kenakalan meliputi kurang efektifnya pengawasan orangtua, kurangnya kekompakan masyarakat, dan ketiadaan sosok ayah.
· Tingkat kejahatan dan kekerasan untuk anak perempuan telah meningkat lebih cepat dibandingkan anak laki-laki. Namun, tingkat kenakalan untuk wanita dan pria sangat berkorelasi: masyarakat yang mempunyai kecenderungan kenakalan tinggi untuk satu jenis kelamin juga mempunyai kecenderungan yang sama untuk jenis kelamin lain.
· Kenakalan bekerjasama dengan ketidakmampuan berguru dan prestasi sekolah yang rendah.
· Salah satu prediktor terkuat kenakalan yaitu imbas sahabat sebaya, tapi imbas ini berinteraksi dengan keluarga, lingkungan, dan faktor lainnya.
· Kejahatan cowok telah meningkat secara substansial di tempat pinggiran kota dan pedesaan.
5. Efek pada sekolah
Remaja tidak dengan gampang meninggalkan pola-pola budaya yang lebih besar ketika mereka memasuki pintu sekolah. karakteristik budaya kaum muda mempunyai konsekuensi yang sangat besar bagi sistem pendidikan di US. Masalah yang mempunyai imbas pribadi yaitu narkoba dan alkohol di sekolah-sekolah, kekerasan, pencurian, dan gangguan di lingkungan sekolah. Indikator sikap antisosial di dalam dan sekitar sekolah telah menjadi perdebatan secara terus menerus dalam 30 tahun ini.
Meskipun kekerasan dan vandalisme paling umum terjadi di sekolah-berpenghasilan rendah di kota-kota besar, tetapi duduk masalah ini menjadi serius di banyak sekolah di luar kota, terutama ketika sekolah terpengaruh oleh geng remaja dan geng dewasa, dengan kejahatan yang terhubung dengan penyalahgunaan zat dan penjualan obat terlarang, dan oleh penyusup yang menyusup masuk ke lingkungan sekolah. Hampir dua ratus siswa telah tewas di dalam atau sekitar sekolah selama sepuluh tahun terakhir, beberapa dari mereka dipublikasikan secara luas ibarat penembakan di Columbine dan Santee High School. Dalam beberapa tahun terakhir, planning keamanan yang rumit telah diterapkan, kebijakan dengan toleransi nol (dijelaskan lebih lanjut dalam penggalan wacana Aspek Hukum Pendidikan) telah diperkenalkan, dan sekolah telah menerapkan beberapa acara untuk mengurangi bullying dan perbedaan ras.
Menanggapi duduk masalah cowok secara umum, sekolah-sekolah kini mempe-kerjakan lebih banyak konselor, pekerja sosial dan lainnya, serta tenaga pelayanan sosial, daripada yang mereka lakukan di awal dekade. Sekolah menengah di perkotaan, misalnya, menggunakan jasa khusus seperti personil bimbingan konseling, psikolog, pekerja keamanan, perawat, petugas pengawas, dan koordinator rumah-sekolah. Banyak spesialis membantu pelaksanaan acara yang menargetkan alkohol dan penyalahgunaan narkoba, sec remaja, putus sekolah, bunuh diri, hubungan antar kelompok, dan keterampilan untuk menjadi orangtua.
Selain itu, banyak sekolah yang bekerja sama dengan forum lain dalam mengoperasikan klinik berbasis sekolah dan/atau dalam memberikan pelayanan terkoordinasi yang membantu siswa dan keluarga siswa untuk mendapatkan pemberian yang bekerjasama dengan duduk masalah kesehatan mental dan fisik, persiapan untuk pekerjaan, dan duduk masalah lainnya yang mengganggu kinerja siswa di sekolah. Ribuan sekolah juga menerapkan program untuk meningkatkan disiplin seluruh sekolah, mengajar siswa tentang keterampilan resolusi konflik, berbagi prosedur peer-mediasi, dan pengendalian kegiatan geng. Bab selanjutnya dari buku ini memberikan informasi tambahan pada upaya meningkatkan iklim dan lingkungan sekolah.
BAB IV
KESIMPULAN, REKOMENDASI, DAN IMPLIKASI
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka sanggup ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berbagai macam institusi sosial membantu mewariskan budaya ke anak dan remaja. Agen sosialisasi yang terjadi pada anak di lingkungan keluarga, sahabat sebaya, sekolah, dan bahkan pada media massa. Setiap distributor mempunyai ciri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
2. Sosialisasi kuat sangat kuat terhadap gender, pandangan bagaimana seharusnya anak pria dan perempuan bersikap. Peran gender sangat berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain dan anak-anak disosialisasikan didalamnya pada waktu tertentu dari penguatan selektif pada prestasi dan kemampuan dengan gender yang berbeda.
3. Dalam masyarakat berteknologi modern, cowok terpaksa menunda masa remaja mereka untuk jangka waktu yang disebut masa remaja. Alasan utamanya yaitu bahwa masyarakat modern tidak lagi mempunyai kebutuhan ekonomi atas kaum muda dalam kelompok usia ini. Satu akhir yang disayangkan yaitu bahwa cowok telah menjadi lebih terisolasi dari kehidupan masyarakat. Isolasi ini telah meningkatkan duduk masalah yang berpusat pada pemuda, ibarat penggunaan narkoba, minuman beralkohol, bunuh diri, kehamilan, kenakalan remaja. Pada dikala yang sama, isolasi cowok menghamnat upaya sekolah dan forum sosial lainnya mempersiapkan cowok menuju kehidupan dewasa.
4.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Untuk pemerintah, biar meningkatkan taraf hidup masyarakat, menjauhkan masyarakat dari tekanan kemiskinan yang terjadi pada mereka.
2. Untuk orang tua, perlu memperhatikan anak sesuai dengan psikologi perkembangannya dengan penuh kasih sayang biar anak terhindar dari masalah-masalah yang mungkin timbul.
3. Untuk pendidik, biar memberikan pemahaman yang baik pada siswa wacana bersosialisasi yang baik dengan keluarga, teman, di lingkungan sekolah, dan media massa yang dikala ini tengah merajalela di kalangan mereka.
4. Untuk anak dan remaja, biar sanggup menyaring informasi yang didapat dari media sosial. Memilah mana yang baik dan mana informasi yang tidak baik bagi mereka
4.3. Implikasi
Pembahasan ini memberikan implikasi bahwa budaya yang terjadi di lingkungan anak dan remaja mengalami perubahan yang cepat sehingga kuat pula pada perkembangan psikologi mereka. Budaya dan tren sosial mensugesti tingkah laris dan ilham yang dibawa oleh siswa ke dalam kelas. Selain itu, hal tersebut juga kuat pada cara anak dan remaja dalam bersosialisasi di lingkungannya ibarat keluarga, sahabat sebaya, masyarakat dan media massa.
Perubahan budaya yang terjadi, mengakibatkan dampak postif dan negatif. Dampak positifnya, anak dan remaja dituntut untuk bersifat mandiri, pengetahuan lebih gampang didapat melalui media umum sehingga anak dan remaja berwawasan luas karena pengetahuan yang didapat tidak hanya dari sekolah. Dampak negatif dari ini yaitu munculnya beberapa duduk masalah yang timbul ibarat kenakalan remaja, obat terlarang dan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Fungsi Pendidikan. Jakarta: Depdiknas
Effendi, R. & Malihah, E. 2011. Panduan Kuliah Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi (PLSBT). Bandung: CV. Maulana Media Grafika.
Kasan, T. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarya: Studia Press.
Omstein. Levin. Gutek. 2011. Foundations of Education. Canada: Cengange Learning.
Solihin, A. 2016. Agen-agen Sosialisasi. [Online]. Tersedia: aciknadzirah.blogspot.com/search?q=agen-agen-sosialisasi
Sunarto, K. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Undang Undang No. 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional