Anda harus melaksanakan investasi jika ingin mencapai tujuan keuangan. Dana pendidikan anak dan dana pensiun, misalnya, hanya mungkin diwujudkan dengan cara investasi. Ironisnya, banyak yang belum paham.
Malah, melaksanakan cara investasi yang salah, yang justru merugikan kesehatan keuangan. Bagaimana memperbaiki dan mencari cara investasi terbaik?
Ada banyak pilihan dan peluang. Mau menaruh di emas, logam mulia, saham, reksadana, properti, ori, bisnis sendiri atau yang lain. Ini ialah tempat, produk atau jenis instrumen yang sanggup dipakai untuk berbagi uang. Apa yang paling cocok dan terbaik?
Tapi, sebelum membahas bagaimana caranya, saya ingin menjelaskan lebih dulu, kenapa kita perlu berinvestasi. Lho, bukankah alasan untuk berinvestasi itu sudah sangat jelas. Bagi sebagian orang mungkin, tapi bagi banyak orang nyatanya tidak.
Investasi ternyata bukan pilihan sebagian besar kelas menengah di kota – kota besar Indonesia . Dari riset sikap berinvestasi ditemukan bahwa Dana tunai ialah aset keuangan yang paling banyak dipegang. Bukan emas, bukan reksadana, bukan properti, bukan saham, bukan obligasi, tapi uang tunai – apakah di tabungan atau dibawah bantal.
Dana tunai terang cara investasi yang salah alasannya ialah manfaatnya kecil sekali malah mungkin minus (kok bisa, bukannya bunga itu niscaya ya), meskipun risikonya mendekati nol.
Tulisan ini ingin mengingatkan dan memperlihatkan cara investasi yang salah dan bagaimana memperbaikinya, biar keuangan keluarga menjadi lebih baik dan lebih sehat.
Kenapa Investasi
Ada inflasi, yang merupakan indikator kenaikkan harga barang, yang ketika ini mencapai 6% setahun. Kita semua mencicipi imbas keganasan ‘binatang’ yang satu ini. Parkir kendaraan beroda empat dulu Rp 1 ribu kini menjadi Rp 2 ribu. Itu inflasi.
Inflasi tinggi menciptakan hidup lebih sulit. Makanya, pemerintah dan Bank Indonesia berupaya melalui banyak sekali kebijakan untuk mengendalikan laju inflasi.
Menempatkan uang di tabungan bunganya 2 sd 3% setahun. Artinya, uang di tabungan sudah niscaya tidak cukup menutupi kenaikkan biaya hidup (6% inflasi vs. 2% bunga).
Menurut survei, kenaikkan biaya pendidikan lebih tinggi lagi, mencapai 15% sd 20% setahun. Itu artinya, tabungan yang bunganya jauh dibawah itu, tidak akan cukup untuk mempersiapkan biaya sekolah (selengkapnya baca disini )
Jika bersikukuh tetap menempatkan dana di tabungan, ada dua kemungkinan: pertama, harus menambah jumlah simpanan secara berlipat ganda biar jumlahnya mencukupi biaya sekolah anak; kedua, menurunkan sasaran biaya sekolah menyesuaikan dengan hasil tabungan yang kecil.
Lho, bukankah tabungan itu aman? Ada jaminan pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Betul, kondusif secara absolut, tetapi secara relatif tidak.
Uang di tabungan atau tunai kehilangan daya belinya seiring waktu. Dulu 100 ribu sanggup mampu 10 kg beras, kini hanya sanggup mampu 5 kg beras. Kehilangan tersebut berlangsung perlahan, kerap tanpa disadari, menyerupai silent killer.
Berdasarkan analisa Bloomberg, penempatan di deposito merugikan nasabah sebesar 1.5% per tahun alasannya ialah bunga deposito lebih rendah dari inflasi. Diperkirakan “setiap Rp 1 juta uang tunai yang disimpan, maka Rp 7,000 akan terbuang sia-sia setiap bulan”.
Menabung tidak akan membawa Anda jadi kaya. Miskin iya. Bukan instrumen yang menguntungkan sebenarnya. Tapi sikap masyarakat justru bertolak belakang.
Investasi Salah
Saya merujuk pada studi Manulife Investor Sentiment Index 2013 – 2014. Ini survei rutin yang dilakukan Manulife, perusahaan asuransi asal Canada berusia 100 tahun lebih, untuk melihat sikap berinvestasi kelas menengah.
Survei dilakukan di tiga kota besar, Jakarta, Surabaya dan Medan, terhadap segmen kelas menengah keatas berumur diatas 25 tahun dan merupakan pengambil keputusan utama soal keuangan dalam rumah tangga. Total jumlah responden sekitar 500-an, yang diwawancara secara tatap muka.
Hasilnya yang penting ialah sebagai berikut:
#1 Dana Tunai – Paling Banyak Dipilih
Meskipun jumlah kelas menengah di Indonesia meningkat tajam, sikap cara investasi mereka tidak lebih baik.
Hasil survei memperlihatkan masyarakat menempatkan lebih banyak didominasi uangnya di dana tunai atau tabungan. Sekitar 37% (2013) hingga 42% (2012) dari asset dialokasikan ke dana tunai atau tabungan. Tabungan atau deposito menjadi kawasan favorit menyimpan uang.
Porsi kepemilikan investasi, menyerupai properti, emas, unit link, justru jauh dibawah dana tunai. Yang paling menyedihkan ialah Reksadana, yang porsinya hanya 1%.
Seperti klarifikasi sebelumnya, memegang dana tunai atau tabungan itu rugi, alasannya ialah bunganya yang super rendah dan digerogoti inflasi. Karena itu, jumlah aset dalam dana tunai seharusnya dalam jumlah terbatas. Porsi terbesar selayaknya di instrumen investasi.
Rendahnya kepemilikan Reksadana menciptakan miris. Karena Reksadana ialah instrumen keuangan yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan keuangan, menyerupai dana pensiun dan dana pendidikan (penjelasan lengkapnya disini). Cukup mulai dengan Rp 100 ribu rupiah per bulan sudah sanggup ikut berinvestasi di instrumen return tinggi (caranya disini). Nyatanya, produk ini belum dimanfaatkan oleh masyarakat.
Yang juga mengejutkan, separuh lebih responden masih menganggap belum cukup memegang dana tunai. Mereka beropini porsi uang tunai di tabungan atau deposito masih harus ditingkatkan.
#2 Dana Tunai untuk Investasi Jangka Panjang
Apa tujuan memegang dana tunai di tabungan? Secara teori perencana keuangan, tujuannya untuk kebutuhan jangka pendek, yaitu keperluan sehari – hari dan biaya tidak terduga atau dana darurat. Tapi, bukan untuk tujuan keuangan jangka panjang, yang sebaiknya dicapai dengan investasi alasannya ialah risikonya lebih optimal.
Survei menemukan sikap yang sebaliknya.
Ketika ditanya tujuannya terungkap bahwa sebagian besar dana tunai, sekitar 82%, justru dipakai untuk tujuan jangka panjang. Misalnya, pensiun, pendidikan anak, pembelian rumah dan investasi.
Hanya 18% dana tunai untuk tujuan jangka pendek, yaitu keperluan sehari- hari dan dana darurat keluarga.
Ini bukan sikap keuangan yang efisien. Karena dengan laba yang rendah (bahkan dibawah inflasi), menaruh uang di tabungan sudah niscaya tidak sanggup mencapai tujuan keuangan jangka panjang. Di samping itu, menyimpan dalam waktu panjang menciptakan akumulasi kerugian laba makin membengkak.
Dari dua point #1 dan #2, kita sanggup melihat bahwa (1) masyarakat terlalu banyak memegang dana tunai atau tabungan dan (2) dana tunai sebagian besar dipakai bukan untuk tujuan keuangan yang tepat. Tapi kenapa menentukan cara investasi menyerupai itu?
#3 Kenapa Pilih Dana Tunai
Kenapa pilih tidak berinvestasi dan malah pilih menyimpan dana tunai?
Dari hasil survei, sanggup disimpulkan bahwa masyarakat mencari rasa aman. Tidak ingin uangnya hilang atau berkurang, maunya kondusif dan menguntungkan, sehingga menyimpan uang di tabungan, dianggap pilihan terbaik.
Tapi apakah betul kondusif dan menguntungkan?
Tampaknya bagi masyarakat, jumlah uang yang utuh, tidak berkurang, dianggap bagus. Padahal, nilai uang dilihat dari daya belinya, bukan jumlahnya secara absolut. Jumlahnya boleh banyak, boleh utuh, tapi kalau daya belinya merosot, percuma, nilainya menjadi tidak berarti.
Jadi jangan heran Indonesia termasuk salah satu negara dengan financial literacy terendah di Asia. Jauh dibelakang Singapore dan Malaysia.
Investasi Terbaik
Melihat temuan riset ini, saya jadi berpikir bahwa banyak masyarakat yang sikap cara investasinya masih belum tepat. Jadi, sebelum sibuk berkutat mencari bagaimana taktik investasi yang terbaik, saran saya lihat dulu cara investasi Anda.
Paling tidak, ada dua hal yang perlu dievaluasi:
Pertama, berapa besar porsi dana tunai dari asset. Hitung uang yang disimpan di tabungan, mesin ATM, deposito atau di laci rumah dan berapa porsinya dari kekayaan. Jumlahnya dilarang lebih dari 20% asset.
Kedua, penilaian berapa besar kebutuhan dana tunai Anda. Dana tunai seharusnya dipakai untuk keperluan sehari – hari dan dana darurat. Target tujuan jangka panjang, menyerupai dana pensiun, dana pendidikan (diatas 5 tahun) tidak menggunakan dana tunai atau tabungan alasannya ialah niscaya tidak akan berhasil.
Setelah melaksanakan penilaian dua poin diatas, Anda harus segera berpikir untuk melaksanakan investasi. Uang diluar dana tunai (setelah dihitung jumlahnya yang tepat) harus dipertimbangkan untuk masuk ke investasi. Karena investasi memperlihatkan laba diatas inflasi.
Saya ambil pola ialah Reksadana. Ada banyak sekali macam jenis Reksadana, tapi yang paling terang ialah return-nya diatas inflasi. Anda sanggup lihat di grafik bagaimana return Reksadana per tahun dibandingkan inflasi. Paling tinggi ialah Reksadana saham, kemudian diikuti oleh campuran, pendapatan tetap dan pasar uang. Selengkapnya soal cara investasi Reksadana – baca disini.
Kesimpulan
Awalnya, saya ingin menulis soal bagaimana strategi, tips dan trik berinvestasi yang sehat. Tapi, ternyata menulis topik itu percuma, selama cara investasi yang dilakukan bukan yang terbaik. Buktinya, lebih banyak didominasi lebih menentukan memegang dana tunai dibandingkan menempatkan di instrumen investasi. Memegang uang tunai secara berlebihan terang cara investasi yang salah.
Investasi harus dilakukan untuk mewujudkan keinginan keuangan Anda. Tingginya hantu inflasi menciptakan menabung bukan pilihan lagi. Meskipun menabung terlihat kondusif dan menguntungkan (karena adanya jaminan pemerintah), kenyataannya tidak, alasannya ialah ada risiko lain, yang ironisnya kerap tidak disadari, yaitu hasil menabung tidak cukup untuk mewujudkan tujuan keuangan Anda.
Bagaimana memulai cara investasi terbaik? Mudah. Tak kenal maka tak sayang. Anda harus mulai dengan mempelajarinya. Ada banyak sekali materi – materi mengenai investasi yang sanggup dibaca dan direnungkan di blog Duwitmu.com ini. Silahkan baca disini untuk mulai.
GRATIS e-book Panduan Reksadana Dasar
Sumber https://duwitmu.com