Wednesday, August 9, 2017

√ Laporan Pendahuluan / Lp Gagal Ginjal Kronik (Ggk) Atau Chronic Kidney Disease (Ckd) Lengkap, Download Dalam Bentuk Pdf Dan Ms.Word

Selamat tiba di bangsal sehat, Salam sobat - sobat sejawat sekalian. pada kesempatan kali ini, masih ihwal laporan pendahuluan / LP. yaitu admin akan mencoba membagikan Laporan pendahuluan Chronic Kidney Deases (CKD) atau gagal ginjal kronik.

bagi sobat - sobat sejawat yang lagi membutuhkan laporan pendahuluan Chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK), untuk pembuatan kiprah praktek, profesi, atau pun kiprah makalah keperawatan untuk keperluan kuliah ataupun kerja. disini kami bagikan laporan pendahuluan gagal ginjal kronik (GGK) / chronic kidney disease (CKD) dalam bentuk file PDF dan Ms.Word.

untuk mend0wnl0ad Laporan pendahuluan / LP CKD atau GGK dalam betuk pdf dan ms. word silahkan klik dibawah ini :
dan untuk melihat laporan pendahuluan / LP Chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK) yang kami bagikan silahkan lihat dibawah ini :

Laporan Pendahuluan Chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK)


Pengertian

Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap selesai (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, mengakibatkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).

Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak bisa mengangkut sampah metabolic tubuh atau melaksanakan fungsi regulernya. Suatu materi yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akhir gangguan ekskresi renal dan mengakibatkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur selesai yang umum dari aneka macam penyakit traktus urinarius dan ginjal (Saifudin, 2010).

Gagal ginjal akut ialah sindrom klinis dimana ginjal tidak lagi mengsekresi produk-produk limbah metabolisme. Biasanya lantaran hiperfusi ginjal sindrom ini biasa berakibat azotemia (uremia), yaitu akumulasi produk limbah nitrogen dalam darah dan aliguria dimana haluaran urine kurang dari 400 ml / 24 jam (Tambayong, 2000).

Menurut levinsky dan Alexander (1976), gagal ginjal akut terjadi akhir penyebab-penyebab yang berbeda. Ternyata 43% dari 2200 perkara gagal ginjal akut berafiliasi dengan stress berat atau tindakan bedah 26% dengan aneka macam kondisi medic 13%, pada kehamilan dan 9% disebabkan nefrotoksin penyebab GGA dibagi dalam katagori renal, renal dan pasca renal

Gagal ginjal akut dikenal dengan Acute Renal Fallure (ARF) ialah sekumpulan tanda-tanda yang menjadikan disfungsi ginjal secara mendadak (Nursalam, 2006).

Gagal ginjal akut (GGA) ialah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akhir kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi yang kasatmata dan cepat serta terjadinya azotemia.

Gagal Ginjal Akut ialah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun yang mengakibatkan penimbunan limbah metabolik di dalam darah (misalnya urea).


Klasifikasi

berdasarkan The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007) pembagian terstruktur mengenai CKD atau GGK dibagi menjadi 5 pembagian terstruktur mengenai yaitu risk, injuri, failure, losse dan end stage. untuk lebih terperinci lihat tabel.

Tabel Klasifikasi GGA berdasarkan The Acute Dialysis Quality Initiations Group (Roesli R, 2007).

Kategori
Peningkatan Kadar Serum Cr
Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
Kriteria Urine Output
Risk
>1,5 kali nilai dasar
>25% nilai dasar
<0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury
>2,0 kali nilai dasar
>50% nilai dasar
<0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure
>3,0 kali nilai dasar
>75% nilai dasar
<0,3 mL/kg/jam, >24 jam
Loss
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4
Minggu
End stage
Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan


Etiologi

Sampai dikala ini para praktisi klinik masih membagi etiologi gagal ginjal akut dengan tiga kategori mencakup :

a. Prarenal

Kondisi prarenal ialah problem anutan darah akhir hipoperpusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomeruls. Gagal ginjal akut Prerenal merupakan kelainan fungsional, tanpa adanya kelainan histologik atau morfologik pada nefron. Namun bila hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan menimbulkan terjadinya nekrosis tubulat akut (NTA). Kondisi ini mencakup hal-hal sebagai berikut :
  • Hipovolemik (perdarahan postpartum, luka bakar, kehilangan cairan dari gastrointestinal pankreatitis, pemakaian diuretik yang berlebih)
  • Fasodilatasi (sepsis atau anafilaksis)
  • Penurunan curah jantung (disaritmia, infark miokard, gagal jantung, syok kardioenik dn emboli paru)
  • Obstruksi pembuluh darah ginjal bilateral (emboli, trombosis)
b. Renal

Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akhir kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan sanggup terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal pribadi terganggu. Dapat pula terjadi lantaran hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga menjadikan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal Prosesnya sanggup berlangsung cepat dan mendadak, atau sanggup juga berlangsung perlahan–lahan dan alhasil mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini sanggup merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian mengakibatkan nekrosis jaringan ginjal. Beberapa penyebab kelainan ini ialah :
  • Koagulasi intravaskuler, menyerupai pada sindrom hemolitik uremik, renjatan sepsis dan renjatan hemoragik.
  • Glomerulopati (akut) menyerupai glomerulonefritis akut pasca sreptococcus, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
  • Penyakit neoplastik akut menyerupai leukemia, limfoma, dan tumor lain yang pribadi menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
  • Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akhir renjatan dan iskemia lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik), hemoglobinuria dan mioglobinuria.
  • Pielonefritis akut (jarang mengakibatkan gagal ginjal akut) tapi umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai komplikasi kelainan struktural mengakibatkan kehilangan faal ginjal secara progresif.
  • Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
c. Pascarenal / Postrenal

GGA pascarenal ialah suatu keadaan dimana pembentukan urin cukup, namun alirannya dalam jalan masuk kemih terhambat. Etiologi pascarenal terutama obstruksi anutan urine pada belahan distal ginjal, ciri unik ginjal pasca renal ialah terjadinya anuria, yang tidak terjadi pada gagal renal atau pre-renal. Kondisi yang umum ialah sebagai berikut :
  • Obstruksi muara vesika urinaria: hipertropi prostat< karsinoma
  • Obstruksi ureter bilateral oleh obstruksi watu jalan masuk kemih, bekuan darah atau sumbatan dari tumor (Tambayong, 2000).

Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan. Gagal ginjal akut azotemia sanggup saja terjadi dikala keluaran urine lebih dari 400 ml/24 jam.

a. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.

b. Stadium oliguria

Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang dibutuhkan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh ialah 400 ml. Oliguria timbul dalam waktu 24-48 jam sehabis stress berat dan disertai azotemia. Pada bayi, bawah umur berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala-gejala uremia (pusing, muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang), hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis metabolik.

c. Stadium diuresis

Periode diuresis, pasien memperlihatkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan adanya kehilangan cairan tubuh selama tahap ini, kalau terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
  1. Stadium GGA dimulai bila keluaran urine lebih dari 400 ml/hari
  2. Berlangsung 2-3 minggu
  3. Pengeluaran urine harian jarang melebihi 4 liter, asalkan pasien tidak mengalami hidrasi yang berlebih
  4. Tingginya kadar urea darah
  5. Kemungkinan menderita kekurangan kalium, natrium dan air
  6. Selama stadium dini dieresis, kadar BUN mungkin meningkat terus

d. Stadium penyembuhan

Stadium penyembuhan GGA berlangsung hingga satu tahun, dan selama itu anemia dan kemampuan pemekatan ginjal bertahap membaik. Nilai laboratorium akan kembali normal.

Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu:
  1. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
  2. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
  3. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
  4. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
  5. Tremor tangan.
  6. Kulit dari membran mukosa kering akhir dehidrasi.
  7. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan adakala sanggup dijumpai adanya pneumonia uremik.
  8. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
  9. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, sanggup mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
  10. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
  11. Pada perkara yang tiba terlambat tanda-tanda komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu tanda-tanda kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan kesadaran menurun hingga koma.

Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi hingga ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban materi yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya lantaran jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih terperinci dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun hingga 15 ml/menit atau lebih rendah itu.

Fungsi renal menurun, produk selesai metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, akan semakin berat.

1. Gangguan Klirens Ginjal

Banyak problem muncul pada gagal ginjal sebagai akhir dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang mengakibatkan penurunan klirens substansi darah yang sebetulnya dibersihkan oleh ginjal

Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) sanggup dideteksi dengan mendapat urin 24-jam untuk investigasi klirens kreatinin. Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi lantaran substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi menyerupai steroid.

2. Retensi Cairan dan Ureum

Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga sanggup terjadi akhir aktivasi aksis rennin angiotensin dan kolaborasi keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare mengakibatkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.

3. Asidosis

Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akhir ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi

4. Anemia

Sebagai akhir dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akhir status uremik pasien, terutama dari jalan masuk gastrointestinal. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina dan sesak napas.

5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat

Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis ialah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh mempunyai kekerabatan saling timbal balik, kalau salah satunya meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum mengakibatkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan menjadikan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal menurun.

6. Penyakit Tulang Uremik

Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.

Fathway 
Fathway Chronic kidney disease (CKD) atau gagal ginjal kronik (GGK)
Untuk mend0wnl0ad pathway GGK / CKD doc, DISINI

Komplikasi

komplikasi yang sanggup ditimbulkan chronic kidney diases ialah sebagai berikut :
  1. Hiperkalemia akhir penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet berlebih.
  2. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akhir retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
  3. Hipertensi akhir retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-angiotensin-aldosteron
  4. Anemia akhir penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akhir iritasi toksin dna kehilangan drah selama hemodialisa
  5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akhir retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
  6. Asidosis metabolic
  7. Osteodistropi ginjal
  8. Sepsis
  9. neuropati perifer
  10. hiperuremia

Pemeriksaan Penunjang
  • Darah: ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas
  • Urin: ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
  • Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
  • Gangguan keseimbangan asam basa: asidosis metabolik.
  • Gangguan keseimbangan elektrolit: hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia, hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
  • Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal rusak.
  • Warna urine: kotor, sedimen kecoklatan menandakan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
  • Berat jenis urine: kurang dari 1,020 menandakan penyakit ginjal, contoh: glomerulonefritis, piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada 1,010 menandakan kerusakan ginjal berat.
  • PH Urine: lebih dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal kronik.
  • Osmolaritas urine: kurang dari 350 mOsm/kg menandakan kerusakan ginjal, dan ratio urine/serum sering.
  • Klierens kreatinin urine: mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menandakan peningkatan bermakna.
  • Natrium Urine: Biasanya menurun tetapi sanggup lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak bisa mengabsorbsi natrium.
  • Bikarbonat urine: Meningkat bila ada asidosis metabolik.
  • SDM urine: mungkin ada lantaran infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
  • Protein: protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menandakan kerusakan glomerulus bila SDM dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menandakan infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
  • Warna tambahan: Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA. Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.

Pemeriksaan Diagnostik
  • Elektrokardiogram (EKG), Perubahan yang terjadi berafiliasi dengan ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
  • Kajian foto toraks dan abdomen, Perubahan yang terjadi berafiliasi dengan retensi cairan.
  • Osmolalitas serum, Lebih dari 285 mOsm/kg
  • Pelogram Retrograd, Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
  • Ultrasonografi Ginjal, Untuk memilih ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada jalan masuk perkemihan belahan atas
  • Endoskopi Ginjal, Nefroskopi,Untuk memilih pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
  • Arteriogram Ginjal,Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular

Penatalakasanaan

a. Penatalaksanaan secara umum adalah:

Kelainan dan tatalaksana penyebab.
  1. Kelainan praginjal. Dilakukan klinis mencakup faktor penggagas keseimbangan cairan, dan status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi, diberikan diuretik, dipertimbngkan santunan inotropik dan dopamin.
  2. Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis mencakup apakah kandung kemih penuh, ada pembesaran prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan mengambil materi pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
  3. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya

b. Penatalaksanaan gagal ginjal
  1. Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan harus tetap diawasi.
  2. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui pemanis tinggi kalori atau hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, santunan kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
  3. Pemberian manitol atau furosemid kalau dalam keadaan hidrasi yang adekuat terjadi oliguria.
  4. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi jalan masuk napas dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih sanggup disingkirkan.
  5. Mencegah dan memperbaiki perdarahan jalan masuk cerna. Feses diperiksa untuk adanya perdarahan dan sanggup dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
  6. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda hingga ureum tinggi, hiperkalemia, atau terjadi kelebihan cairan. Ureum dilarang melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik digunakan di ruang intensif, sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
  7. Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN dan nilai kreatinin.
  8. Penanganan Hiperkalemia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan problem utama pada gagal ginjal akut; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh lantaran itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian investigasi kadar elektrolit serum (nilai kalium >5.5 mEq/L; SI: 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium sanggup dikurangi dengan santunan ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema.

Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian

a. Pengkajian Anamnesis

Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas penanggung jawab, identitas klien yang mencakup nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, serta diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut sanggup menyerang laki-laki maupun perempuan dari rentang usia manapun, khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius, terluka serta usia sampaumur dan pada umumnya lanjut usia. Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni mencakup nama, umur, pekerjaan, kekerabatan dengan si penderita.

b. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Keluhan utama yang sering ialah terjadi penurunan produksi miksi.

2. RiwayatPenyakit Sekarang

Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa usang keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dengan predisposisi penyebab, menyerupai pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar luas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah, serta adanya riwayat stress berat pribadi pada ginjal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji adanya riwayat penyakit watu jalan masuk kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji ihwal riwayat pemakaian obat-obatan masa kemudian dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tanyakan adanya riwayat penyakit ginjal dalam keluarga.

c. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum dan TTV

Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan hingga berat.

2. Pemeriksaan Pola Fungsi

a) B1 (Breathing).

Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan anyir urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.

b) B2 (Blood).

Pada kondisi azotemia berat, dikala perawat melaksanakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut merupakan kondisi yang tidak sanggup dielakkan sebagai akhir dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari jalan masuk G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada investigasi tekanan darah sering didapatkan adanya peningkatan.

c) B3 (Brain).

Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, imbas sekunder akhir gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.

d) B4 (Bladder).


Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan urine output 
<400 bertahap="" br="" didapatkan="" disertai="" diuresis="" filtrasi="" gelap.="" glomerulus.="" hari="" jumlah="" lebih="" menjadi="" menunjukkan="" ml="" pada="" pekat="" pemeriksaan="" peningkatan="" perbaikan="" periode="" perubahan="" secara="" sedangkan="" tanda="" terjadi="" urine="" warna="" yang="">
e) B5 (Bowel).

Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.

f) B6 (Bone).

Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum imbas sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi.

d. Pemeriksaan Diagnostik

1. Laboratorium

Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan memperlihatkan adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1 .020="" ginjal="" menunjukkan="" penyakit="" ph="" urine="">7.00 memperlihatkan ISK, NTA, dan GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg memperlihatkan kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
<1 .020="" ginjal="" menunjukkan="" penyakit="" ph="" urine="">

Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme 
(pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak bisa mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, mengakibatkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia mengakibatkan disritmia dan henti jantung.

Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak sanggup emngeliminasi muatan metabolik menyerupai substansi jenis asam yang dibuat oleh proses metabolik normal. Selain itu, prosedur bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.

e. Penatalaksanaan Medis

Tujuan penatalaksanaan ialah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Dialisis. Dialisis sanggup dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, menyerupai hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki kecacatan biokimia, mengakibatkan cairan, protein, dan natrium sanggup dikonsumsi secara bebas; menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
  2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium sanggup dikurangi dengan santunan ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di jalan masuk intenstinal.
  3. Terapi cairan
  4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
  5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis

Diagnosa Keperawatan
  1. Defisit volume cairan berafiliasi dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.
  2. Pola nafas nafas tidak efektif berafiliasi dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru imbas sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik.
  3. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari kecacatan elektrolit dan uremia.
  4. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal imbas sekunder dari asidosis metabolik
  5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal imbas sekunder dari hiperkalemi

Intervensi Dan Rasional

Diagnosa. 1

Defisit volume cairan berafiliasi dengan fase diuresis dari gagal ginjal akut.

Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan defisit volume cairan sanggup teratasi

Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran muosa lembab, turgor kulit normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat, BUN/kreatinin menurun.

Intervensi:

1. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine output)


R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status cairan Penurunan volume cairan menjadikan menurunnya produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine 
<600 br="" hari="" hipovolemik.="" karena="" merupakan="" ml="" syok="" tanda-tanda="" terjadinya="">
2. Kaji keadaan edema

R: Edema menandakan perpindahan cairan lantaran peningkatan permeabilitas sehingga gampang ditensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal, sehingga berat tubuh sanggup meningkat 4,5 kg

3. Kontrol intake dan output per 24 jam.

R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan kelebihan resiko cairan.

4. Timbang berat tubuh tiap hari.

R: Penimbangan berat tubuh setiap hari membantu memilih keseimbangan dan masukan cairan yang tepat.

5. Beritahu keluarga biar klien sanggup membatasi minum.

R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sember ditambah asumsi yang tidak nampak. Pasien dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.

6. Penatalaksanaan santunan obat anti diuretik.

R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris, menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine adekuat. Misalnya : Furosemide.

7. Kolaborasi investigasi laboratorium fungsi ginjal.

R: Hasil dari investigasi fungsi ginjal sanggup memperlihatkan citra sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.

Diagnosa. 2

Pola nafas nafas tidak efektif berafiliasi dengan penurunan pH pada ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru imbas sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik.

Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi perubahan pola nafas

Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit

Intervensi:

1. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.

R: Hasil dari investigasi fungsi ginjal sanggup memperlihatkan citra sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic.

2. Monitor ketat TTV.

R: Perubahan TTV akan memperlihatkan dampak pada risiko asidosis yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melaksanakan koreksi asidosis.

3. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.

R: Posisi fowler akan meningkatkan perluasan paru optimal istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan darah.

4. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, menjadikan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output. 
5. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.

R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan ini.

6. Berikan bikarbonat.

R: Kolaborasi santunan bikarbonat. Jika penyebab problem ialah masukkan klorida, maka pengobatannya ialah ditujukan pada menghilangkan sumber klorida.

7. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.

R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik ialah meningkatkan pH sistemik hingga ke batas yagn kondusif dan menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan monitoring perubahan dari analisis gas darah berkhasiat untuk menghindari komplikasi yang tidak diharapkan

Dianosa. 3

Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari kecacatan elektrolit dan uremia.

Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan kejang berulang tidak terjadi

Kriteria: klien tidak mengalami kejang

Intervensi:

1. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.

R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien berisiko. Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia

2. Kaji stimulus kejang.

R: Stimulus kejang pada tetanus ialah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.

3. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi

R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan ihwal perlunya masukan kalsium diet yang adekuat; kalau dikonsumsi dalam diet, pemanis kalsium harus dipertimbangkan.

4. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.

R: Alkohol dan kafein dalam takaran yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan ekskresi kalsium urine

5. Garam kalsium parenteral

R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium klorida, dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini tidak sering digunakan lantaran cairan tersebut l ebih mengiritasi dan sanggup mengakibatkan peluruhan jaringan kalau dibiarkan menginfiltrasi

6. Tingkatan masukan diet kalsium.

R: Tingkatan masukan diet kalsium hingga setidaknya 1.000 hingga 1.500 mg/hari pada orang sampaumur sangat dianjurkan (produk dari susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar)

7. Monitor investigasi EKG dan laboratorium kalsium serum.

R: Menilai keberhasilan intervensi

Diagnosa.4

Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal imbas sekunder dari asidosis metabolic

Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan otak sanggup tercapai secara optimal

Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri kepala, mual kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis seperti: lemas , agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas sanggup terjadi hingga alhasil timbul koma, kejang.

Intervensi: 
1. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.

R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.

2. Monitor tanda-tanda vital menyerupai TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-hati pada hipertensi sistolik.

R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik yang sanggup berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan mengakibatkan kerusakan vaskular serebral yang sanggup dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu sanggup menggambarkan pejralanan infeksi.

3. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di kawasan tidur. 
R: Aktivitas ini sanggup meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi sanggup melindungi diri dari imbas valsava.

4. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan

R: Batuk dan mengejan sanggup meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi perdarahan ulang.

5. Monitor kalium serum

R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi sanggup terjadi pada kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.

Diagnosa. 5

Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal imbas sekunder dari hiperkalemi

Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi aritmia.

Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS 456, tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak mengalami defisit neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.

Intervensi:

1. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor hiperkalemi.

R: Banyak faktor yang mengakibatkan hiperkalemia dan penanganan diadaptasi dengan faktor penyebab.

2. Beri diet rendah kalium

R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari termausk kopi, cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga mengandung kalium yang cukup besar. Sebaliknya, masakan dengan kandungan kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer, gula dan madu. 



<600 br="" hari="" hipovolemik.="" karena="" merupakan="" ml="" syok="" tanda-tanda="" terjadinya="">
3. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.

R: Adanya perubahan TTV secara cepat sanggup menjadi penggagas aritmia pada klien hipokalemi.

4. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi

R: Asidosis dan kerusakan jaringan menyerupai pada luka talenta atau cedera remuk, sanggup mengakibatkan perpindahan kalium dari ICF ke ECF, dan masih ada hal-hal lain yang sanggup mengakibatkan hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium berlebihan latrogenik.

5. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung kalium

R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia ialah mengenali keadaan klinis yang sanggup menimbulkan hiperkalemia lantaran hiperkalemia ialah akhir yang bisa diperkirakan pada banyak penyakit dan santunan obat-obatan. Selain itu, juga harus diperhatikan biar tidak terjadi santunan infus larutan IV yang mengandung kalium dengan kecepatan tinggi.

6. Pemberian kalsium glukonat.

R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit.

7. Pemberian glukosa 10%.

R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan memindahkan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan sanggup bertahan beberapa jam.

8. Pemberian natrum bikarbonat.

R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan perpindahan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit dan sanggup bertahan beberapa jam.


Daftar Pustaka

  1. Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Salemba Medika
  2. Muttaqin, Arif, Kumala Sari. 2011. Askep Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
  3. Price, S. A & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
  4. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC
  5. Doenges, Marilyn. E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
  6. NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC.
  7. Suddart, Brunner. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC
  8. Nursalam, Dr. Nurs M. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
  9. Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
  10. Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Praktis dan Terpercaya untuk Menegakkan Diagnosis dan Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut.
  11. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD
  12. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions, Diagnosis, Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
  13. Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com