BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pemikiran politik islam terdapat banyak sekali macam jenisnya, salah satunya pemikiran politik khawarij, syi’ah, dan muktazilah. Dalam bentuk pemikiran tersebut terdapat banyak sistem-sistem pemerintahan yang digunakan secara berbeda. Adapun Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah.Masing – masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.Pada awalnya kelompok ini yaitu para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah. Sedangkan dalam pemikiran politik syi’ah yang mempunyai teori imamah dalam pemikiran politiknya.
Pemikiran politik ini sangat kuat dalam negara karna politik ini yaitu suatu tata negara yang mengatur pemimpin di negara tersebut beserta anggota-anggota yang lainnya. Suatu hal yang perlu menerima catatan dalam dunia pepolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin negara Madinah merupakan sebuah arahan gotong royong keberadaan sebuah negara sangatlah penting. Namun satu hal lagi mengenai piagam Madinah yang menjadi sebuah konstitusi di abad kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama negara. Dengan banyak sekali macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya sanggup mengetahui pandangan-pandangan masing- masing kelompok sehingga sanggup menemukan apa inti dari pemikiran banyak sekali kelompok ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran politik khawarij
Khawarij merupakan kelompok islam yang dikenal sangat ekstrem dalam pandangan teologi dan politik nya. Khawarij muncul sebagai sebuah kelompok politik sehabis berakhirnya perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang berakhir dengan arbitrase. Pada awalnya khawarij yaitu pengikut Ali yang setia, tetapi kemudian mereka memisahkan diri dari kelompok Ali sehabis tidak puas dengan kebijakan politik Ali yang mendapatkan arbitrase atau tahkim. Bahkan, khawarij juga karenanya membunuh Ali.[1]
Suatu hal yang asing kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk mendapatkan tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) karenanya mengangkat Abu Musa al – Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, berdasarkan kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali supaya bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat.Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, perilaku keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit mendapatkan perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa perilaku ekstrim ini pula yang menciptakan kelompok ini terpecah – pecah menjadi beberapa kelompok.
Pada perkembangan nya, khawarij merupakan politik yang pembicaraan- pembicaraannya terbatas pada duduk kasus kekhalifahan. Mereka menggambarkan prinsip-prinsip ekstrem. Teoti mereka perihal kekhalifahan merupakan teori kepemimpinan masyarakat muslim(imamah) sanggup berlaku bagi setiap orang arab. Jika khalifah sepatutnya dipilih, maka dia seharusnya tidak turun tahta dan tidak melepaskan hak nya dalam hal apapun juga. Meskipun demikian, kalau dia tidak bersifat adil, dia seharusnya dipecat atau bahkan dibunuh kalau keadaan memaksa.
Prinsip-prinsip yang disepakati oleh aliran khawarij yaitu
Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya kalau berdasarkan pemilihan yang benar – benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi.Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at , serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan.Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi eksekusi yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah.Alasannya, apabila seorang khalifh melaksanakan penyelewengan dan melanggar syari’at akan gampang untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.
Ketiga, yang bersal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diharapkan kalau masyarakat sanggup menuntaskan duduk kasus – duduk kasus mereka.Jadi pengangkatan seorang imam berdasarkan mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersift kebolehan.Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa yaitu kafir.Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapan merupakan dosa, kalau pendapat itu bertentangan dengan kebenaran.Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al – Zubair, dan para tokoh sahabt lainnya, yang terang tentu semua itu beropini yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.
Intisari pandangan-pandangan politik mereka yaitu sebagai berikut :
1. Menunjuk dan memutuskan seorang imam (menegakkan suatu negara) berdasarkan mereka yaitu wajib berdasarkan syariat.
2. Pemilihan umum diserahkan kepada umat dan imam tidak sah, kecuali dengan pemilihan umat.
3. Umat sanggup menentukan seorang dari kalangan kaum muslimin yang dianggap paling baik dan paling mempunyai keahlian tanpa terikat dengan persyaratan apakah ia seorang suku quraisy atau bukan, atau apakah ia seorang arab atau seorang ajam.
B. Pemikiran politik Syi’ah
Di kalangan semua kelompok syi’ah hampir tidak di kenal istilah pemisahan agama dan politik atau negara., baik dalam tataran konseptual, maupun praktik politik. Setiap bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan ritual politik. Pada dasar nya islam bersifat religius sebab status yang di peroleh Muhammad sebagai Rasulullah yang ditunjuk dan dikirim oleh Allah untuk memberikan risalah- Nya kepada insan bersifat politis sebab lingkungan dan keadaan daerah dia timbul dan tumbuh.
Jika politik di artikan sebagai suatu bentuk usaha atau perlawanan aktif terhadap suatu tatanan yang dinilai tidak adil, maka dari itu sanggup aja syiah lebih politis dibandingkan sunni. Syi’ah memang lahir sebab faktor politis dalam arti kekuasaan yaitu menyangkut duduk kasus siapa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin umat islam dan syiah ini disebut Syi’ah Imamiyah. Karena secara umum dikuasai pengikut Syi’ah yang menjadi sumber dari cabang- cabang syi’ah yaitu imam dua belas yang disebut juga kaum imamiyah.[2]
Tujuan politik utama kebanyakan kelompok syi’ah yaitu mempunyai pemimpin sejati yang di akui dan dipatuhi. Kelompok syi’ah yang paling aktif melaksanakan perlawanan yaitu Zaidiyah, yang berkomitmen pada pemberontakan bersenjata (khuruj).
Paradigma pemikiran syi’ah imamiyah perihal imamah adalah imamah bukan urusan yang bersifat umum yang diserahkan kepada umat, menentukan orang untuk memegang jabatan itu berdasarkan kehendak mereka. Sebab duduk kasus imamah termasuk rukun agama dan kaidah islam.[3] Selain itu pemikiran politik dan teologi imamiyah dipusatkan pada status imam, cirri, dan fungsinya. Dalam setiap zaman harus ada imam, kita mungkin kita tidak tahu dimana ia berada, tetapi ia niscaya ada disuatu tempat.
Menurut iman yang diciptakan oleh Ja’far al-Shiddiq dan muridnya Hisyam ibn al-Ahkam, imam yaitu pewaris (washi) Nabi, yang juga mewarisi perannya. Ia mempunyai kekuasaan advokasi. Ia yaitu pengejawantahan berkesinambungan dari wahyu ilahi. Kualitas moral dan intelektual nya di jamin oleh tuhan. Imam yaitu bukti Tuhan (hujjah), ia yaitu pilar semesta “gerbang” untuk mencapai tuhan.
Dengan posisi yang demikian itu, imam mempunyai kekuasaan dan peranan penting dalam penetapan aturan dan undang- undang, yaitu :
· Pertama, Nabi SAW telah menitipkan rahasia-rahasia syariat kepada para imam sebagai washi. Sebab berdasarkan keyakinan kaum syi’ah, Nabi tidak menjelaskan seluruh syari’at yang ada, melainkan sebagian saja yang menjadi tuntutan di zamannya.
· Kedua, diyakini oleh penganut syi’ah apa yang di ucapkan oleh para washi merupakan Syari’at islam untuk menyempurnakan risalah kenabian Muhammad SAW. ucapan mereka dibidang agama merupakan hukum, sama dengan perkataan Nabi, sebab kalimat aturan itu merupakan titipan Nabi kepada mereka.
· Ketiga, para imam mempunyai wewenang untuk mengkhususkan nash-nash yang bersifat umum, dan memberi batasan (qayid) nash-nash yang bersifat mutlak.
Kategori imam berdasarkan kaum syi’ah yaitu :
1. Harus mashum (terpelihara) dari berbuat salah, lupa, dan maksiat. Menurut Al-Syarif al-Murtadha seorang imam wajib ‘ishmah (terpelihara dari dosa) mengingat kedudukannya sebagai pembuat dan pelaksana aturan dan undang-undang. Jika tidak ‘ishmah maka ia akan melaksanakan kesalahan dalam urusan agama.
2. Seorang imam boleh menciptakan hal yang luar biasa dari adat kebiasaan mereka sebut mukjizat yang terjadi terjadi pada nabi-nabi Allah.
3. Seorang imam harus mempunyai ilmu yang mencakup setiap sesuatu yang bekerjasama dengan syari’at. Pengetahuan yang luas itu bukan melalui proses berguru dan ijtihad, tapi merupakan ilmu ladunni, yaitu kemakrifatan yang dilimpahkan Allah kepada para imam.
4. Imam yaitu pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestariannya supaya terhindar dari penyelewengan.
Itulah doktrin-doktrin pokok syi’ah imamiyah. Pengikutnya kini ini banyak terdapat terutama di Iran, Irak, Pakistan dan India. Kepemimpinan imam yaitu pemegang kekuasaan spiritual (otoritas keagamaan) dan kekuasaan politik sekaligus. Walaupun terjadi kegaiban pada diri imam kedua belas( imam mahdi), politik syi’ah tidak berarti berhenti. Kepemimpinan imam yang mistik itu dilaksanakan oleh faqih.
Tidak menyerupai kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi.Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah memutuskan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam.Nabi hanya memutuskan sifat – sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau.Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimn dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak sanggup lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali semenjak insiden tahkim (arbitrase).Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah menciptakan iman untuk menyeimbangi hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.
Berkembangnya iman Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. imam – imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik.Mereka lebih menawarkan sosoknya yang mempunyai integritas dan kesalehan yang tinggi.Merek tidak mempunyai pengalaman mudah dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil.Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai – nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka membuatkan iman kema’shuman imam.
2. Sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai insan suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali yaitu penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri.
3. pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al – Mahdi al – Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.
Dari sekian banyak kelompok ditubuh syiah, terdapat tiga aliran yaitu :
a. Moderat, umumnya memandang Ali sebagai insan biasa, sanggup mendapatkan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
b. Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.
c. Diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak menyerupai nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.
Nama masing- masing imam dalam kelompok syi’ah yaitu :
- Kelompok zaidiyah : Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.
- Kelompok Isma’iliyah atau sabi’yah : Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Isma’il ibn Ali.
- Kelompok Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al – Baqir, Ja’far al – Shadiq, Musa al – Kadzim, Ali al–Ridho, Muhammad al–Taqi’, Ali al–Hadi, Hasan al – Askari, Muhammad al–Mahdi.
C. Pemikiran politik muktazilah
Aliran Muktazilah yaitu aliran pemikiran islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan yang sangat penting. Aliran Muktazilah ahir kurang lebih pada permulaan kedua Hijriah di kota Basrah, sentra ilmu dan peradaban islam kala itu, daerah perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan majemuk agama.
Orang yang hendak mengetahui filsafat islam yang sesungguhnya dan yang bekerjasama dengan agama dan sejarah pemikiran islam haruslah menggali buku-buku yang dikarang orang-orang Muktazilah, bukan yang dikarang oleh orang-orang yang lazim disebut filosof-filosof islam, menyerupai Ibnu Sina dan lain-lain.
1. Asal-usul nama Muktazilah
Nama Muktazilah bukan ciptaan orang-orang Muktazilah sendiri, tetapi diberikan oleh orang-orang lain. Orang-orang Muktazilah menamakan dirinya “ahli keadilan dan keesaan” (ahlul adl wat tauhid). Nama Muktazilah diberikan karena:
a. Orang-orang Muktazilah menyalahi pendapat sebagian besar umat, sebab mereka (orang-orang Muktazilah) menyampaikan bahwa orang fasik, yaitu orang yang melaksanakan dosa besar, tidak mukmin tidak pula kafir.
b. Wasil bin Ata’, pendiri aliran Muktazilah, berbeda pendapat dengan gurunya, yaitu Hasan Basri, dalam soal tersebut diatas, yang karenanya ia memisahkan diri dari pelajaran yang diadakan gurunya dan bangkit sendiri, kemudian menerima pengikut banyak. Kemudian Hasan Basri berkata: “Wasil telah memisahkan diri dari kami”. Sejak dikala itu maka Wasil dan teman-temannya disebut “golongan yang memisahkan diri” (muktazilah).
2. Suasana lahirnya Muktazilah
Sejak islam meluas, banyaklah bangsa-bangsa yang masuk islam untuk hidup dibawah naungannya. Akan tetapi tidak semuanya memeluk dengan segala keikhlasan. Ketidak ikhlasan ini terutama dimulai semenjak zaman Muawiyah, sebab mereka telah memonopoli segala kekuasaan pada bangsa Arab sendiri. Tindakan ini menyebabkan kebencian terhadap bangsa Arab dan impian menghancurkan islam dari dalam, sumber keagungan dan krekuatan mereka.
Di antara musuh-musuh islam dari dalam ialah golongan Rafidah, yaitu golongan Syi’ah ekstrim yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang jauh ssama sekali dari aliran islam, menyerupai kepercayaan agama Mani dan golongan skeptik yang pada waktu itu tersebar luas di kota-kota Kufah dan Basrah, juga golongan tasawuf inkarnasi termasuk musuh islam.
Dalam keadaan demikian itu muncullah golongan Muktazilah yang berkembang dengan pesatnya seingga mepunyai sistem/metode dan pendapat-pendapatnya sendiri. Meskipun banyak golongan-golongan yang ditentang Muktazilah namun mereka sendiri sering terpengaruh oleh golongan-golongan tersebut, sebab pendapat dan pikiran selalu bekerja, baik terhadap lawan maupun kawan, baik menerim atau membantah bahkan sering masuk kepada lawannya tanpa dikehendaki atau disengaja.
Orang-orang Muktazilah dengan giatnya mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya dan ajaran-ajaran islam.
3. Ajaran-ajaran Muktazilah
Menurut Al-Bagdadi dalam kitabnya, Al-farqu bainal Firaq, aliran Muktazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua di antaranya dianggap telah keluar dari Islam. Meskipun terpecah-pecah, namun semuanya masih tergabung dalam kelima pokok aliran mereka, yaitu:
a. Tauhid (pengesaan).
b. Al-Adl (keadilan).
c. Wa’d wal Waid (janji dan ancaman).
d. Al-Manzilah baina Manzilatain (tempat diantara dua tempat).
Masing-masing dari kelima aliran tersebut akan dijelaskan.
a. Tauhid
Tauhid yaitu dasar islam pertamam dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Muktazilah, tetapi sebab mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka populer sebagai jago tauhid.
b. Al-Adl
Dasar keadilan (al-adl) ialah meletakan pertanggung tanggapan insan atas segala perbuatannya. Golongan muktazilah menafsirkan keadilan tersebut sebagai berikut:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak mencipta perbuatan manusia; manusia sanggup mengerjakan perintah-perintah-Nya, sebab qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri mereka. Ia tidak memerintah kecuali apa yang dikehendaki-Nya dan tidak melarang kecuali apa yang dilarang-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarang-Nya.”
c. Wa’d Wal Waid (janji dan ancaman)
Prinsip ini yaitu kelanjutan prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Muktazilah yakin bahwa akad dewa akan memeberikan pahala dan ancaman-ancaman-Nya, akan menjatuhkan siksa atau neraka niscaya dilaksanakan, sebab Tuhan sydah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula.
d. Al-Manzilah baina al-Manzilatain
Prinsip ini sangat penting karenanya Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari hasan basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang berdosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak juga kafir, tetapi fasik. Kaprikornus kefasikan yaitu suatu hal yang bangkit sendiri diantara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik dibawah orang mukmin dan di atas orang kafir.
e. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak bekerjasama dengan taklif dan lapangan fiqih dari pada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat Qur’an yang memuat prinsip-prinsip ini, anatara lain surat Ali Imran ayat 104 dan surat Lukman ayat 17.
4. Filsafat Aliran Muktazilah
Golongan Muktazilah benar-benar merupakan jago pikir islam pertama yang berusaha membentuk suatu sistem filsafat yang lengkap, mencakup ketuhanan fisika, ilmu jiwa, etika, dan politik. Apa yang akan kita singgung disini hanyalah mengenai duduk kasus politik.
Politik
Golongan muktazilah mengemukakan pendapatnya dalam beberapa soal politik dan insiden politik yang terjadi dalam sejarah islam. Pendapat-pendapat tersebut menandakan corak kebebasan dan keberanian mereka dalam berfikir, menganalisa, dan mengkrirtik.
Mereka tidak segan-segan mengkritik sahabat Nabi dan para tabiin, memuji atau mencelanya, Mereka membenarkan atau menyalahkan. Mereka tidak menyerupai golongan-golongan lainnya yang menganggap sahabat bahkan tabiin juga higienis suci yang tidak boleh diganggu-gugat. Sahabat-sahabat sendiri saling mengkritik, bahkan saling malaknati. Mereka sebagai insan tentu ada segi-segi kebaikkannya dan segi-segi keburukannya, bahkan diantara mereka ada yang berbuat maksiat.
5. Tokoh-tokoh Muktazilah
Tokoh-tokoh Muktazilah banyak sekali. Tetapi sebaian saja yang disebutkan, yaitu yang nampak terang peranannya dalam perkembangan aliran Muktazilah, diantaranya:
Wasil bin Ata’ Al-Ghazali (80-131H/699M)
Ia yaitu pendiri aliran Muktazilah dan yang meletakan ajaran-ajaran yang lima menjadi dasar semua golongan Muktazilah.
Abul al-Huzail al-Allaf (135-226/753-840)
Ia menjadi pemimpin aliran muktazilah Basrah. Ia mempelajari buku-buku Yunani dan banyak terpengaruh dengan buku-buku itu. Karena daialah aliran Muktazilah mengalami kepesatan.
Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
Dia yaitu murid Abu Huzail al-Allaf, orang-orang terkemuka lancar bicara, banayak mendalami filsafat dan banyak karangannya.
6. Kemunduran Golongan Muktazilah
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan muktazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, karenanya mencapai kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya sebab perbuatan mereka sendiri. Mereka hendak membela, memperjuangkan kebebasan berpikir akan tetapi mereka memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak tindakan ketika Al-Makmun menjadi khalifah di mana mereka sanggup memaksakan pendapat dan keyakinan mereka kepada golongan-golongan lain dengan memakai kekuasaan Al-Makmun, yang menjadikan timbulnya “Peristiwa Qur’an”.
BAB III
KESIMPULAN
§ Khawarij merupakan kelompok islam yang dikenal sangat ekstrem dalam pandangan teologi dan politik nya. Khawarij muncul sebagai sebuah kelompok politik sehabis berakhirnya perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang berakhir dengan arbitrase. Pada awalnya khawarij yaitu pengikut Ali yang setia, tetapi kemudian mereka memisahkan diri dari kelompok Ali sehabis tidak puas dengan kebijakan politik Ali yang mendapatkan arbitrase atau tahkim. Bahkan, khawarij juga karenanya membunuh Ali.
§ Di kalangan semua kelompok syi’ah hampir tidak di kenal istilah pemisahan agama dan politik atau negara., baik dalam tataran konseptual, maupun praktik politik. Setiap bentuk ritual keagamaan selalu dikaitkan dengan ritual politik. Pada dasar nya islam bersifat religius sebab status yang di peroleh Muhammad sebagai Rasulullah yang ditunjuk dan dikirim oleh Allah untuk memberikan risalah- Nya kepada insan bersifat politis sebab lingkungan dan keadaan daerah dia timbul dan tumbuh.
§ Aliran Muktazilah yaitu aliran pemikiran islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan yang sangat penting. Aliran Muktazilah ahir kurang lebih pada permulaan kedua Hijriah di kota Basrah, sentra ilmu dan peradaban islam kala itu, daerah perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan majemuk agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Abdullah dan Ariestyawati, mariana. 2006. Pemikiran politik islam dari masa Nabi sampai
kini. Jakarta : PT. Serambi ilmu semesta
Ibnu, syarif dan zada, khamami. 2008. Fiqh siyasah iman dan pemikiran islam. Jakarta :
Erlangga.
Pulungan, J.Suyuti. Dr. M.A. 1999. Fiqih siyasah ajaran,sejarah dan pemikiran. Jakarta :
PT. Raja Grafindo persada.
Rais, Muhammad Dhiauddin. 2001. Teori politik islam. Jakarta : Gema insane press.
Hanafi, Ahmad. 2010.Teoligi islam (ilmu kalam). Jakarta : bulan bintang.
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com