Wednesday, August 9, 2017

√ Hadist Perihal Lingkungan

PELESTARIAN LINGKUNGAN

A.    Pendahuluan
Alam semesta merupakan karunia yang paling besar terhadap manusia, untuk itu Allah swt. menuruh insan untuk memanfaatkannya dengan baik dan terus harusber-syukur kepadanya. Akan tetapi pada kenyataannya lain, malahan terjadi kerusakan disana-sini tanggapan perbuatan orang-orang munafiq.
Rasulullah saw. menyuruh untuk menanam kembali apa yang rusak dari hutan yang telah ditebang dan dirusak. Rasulullah sendiri memuji perbuatan ini dengan salah satu perbuatan yang terpuji.
Didalam al-Qur’an dijelaskan bahwa alam dunia ini akan rusak disebabkan oleh tangan orang-orang yang munafiq. Mereka sangat seraka dalam mengeksploitasi kekayaan alam, mereka tidak mempedulikan wacana akibatnya.Sekarang sudah banyak kerusakan didarat, dilaut, dan diudara. Akibatnya banyak tragedi yang terjadi sana-sini, mirip banjir, gempa, gunung meletus, angina putting beliung, dan ada lagi yang sangat mengkhawatirkan yaitu issu akan terjadinya pemanasan global.
Sekarang hutan banyak yang rusak karena banyaknya penebang liar dan tidak adanya lagi penghijauan kembali. Dalam hal ini Rasulullah saw. sangat tidak menyukai, malahan Rasulullah saw. melarang dengan haditsnya yang diriwayatkan oleh beberapa sahabatnya. Untuk itu didalam pembahasan yang sedikit ini saya akan mencoba menjelaskan apa yang telah disampaikan oleh hadits Rasulullah saw.

B.  Pembahasan Hadits Rasulullah saw. wacana Lingkungan
Adapun mengenai hadits Rasulullah saw.tentang peduli lingkungan ini banyak sekali, salah satu diantaranya sebagai berikut :

1.     Larangan Menelantarkan Lahan
حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ, فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.
Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada mempunyai tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka kalau ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)
Selain dari hadits diatas, ada juga bersumber dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazd sebagai berikut :
حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Artinya: Hadis Abu Hurairah r.a dimanan ia berkata : “Rasullah saw. Bersabda : ”Barangsiapa yang memilliki tanah, maka maka hendaknya ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaaranya, kemudian apabila ia enggan, maka hendaknya ia memelihara tanahnya itu.”
Antara kedua tersebut terdapat persamaan, yaitu masing-masing ditakhrijkan oleh Imam Bukhori.Sedangkan perbedaannya yaitu sumber hadits tersebut dari Jabir yang diletakkan dalam kitab Al-Hibbah yang satunya bersumber dari Abu Hurairah dan diletakkan dalam kitab Al-Muzara’ah.
Dari ungkapan Nabi S.a.w. dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian biar insan jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berkhasiat untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya membuat kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan.Allah S.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut mirip diungkapkan dalam firman-Nya:
“ Dia-lah Allah, yang menimbulkan segala yang ada di bumi untuk kau semua.” (Qs. Al-Baqoroh : 29)
Dalam hadits dari Jabir di atas menjelaskan bahwa sebagian para sobat Nabi S.a.w. memanfaatkan lahan yang mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani.Mereka menatapkan sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat, maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang pada dasarnya mengajak sobat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya. Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat wacana kebolehannya.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqoha tidak membolehkan menyewakan tanah. Mereka beralasan dengan hadits Rafi’ bin Khuday yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Muzara’ah :
اَنَّ النَّبِى ص.م. نَهَى عَنْ كَرَاءِ الْمَزَارَعِ. (رواه البخارى)
Bahwasanya Nabi S.a.w. melarang menyewakan lahan “ (HR. Bukhori)
Sedangkan jumhur ulama membolehkan, tetapi imbalan sewanya haruslah dengan uang (dirham atau dinar) selain itu tidak boleh.Ada lagi yang beropini boleh dengan semua barang, kecuali makanan termasuk yang ada dalam lahan itu. Berbagai pendapat yang lain mirip yang dikemukakan Ibnu Rusyd bahwa dihentikan menyewakan tanah itu karena ada kesamaran didalamnya. Sebab kemungkinan tumbuhan yang diusahakan di atas tanah sewaan itu akan tertimpa bencana, baik karena kebakaran atau banjir. Dan akhirnya si penyewa harus membayar sewa tanpa memperoleh manfaat apapun daripadanya.
Terkait dengan hadits diatas, disini Rasulullah saw. juga bersabda dalam kitab Al-Lu’lu’ wal Marjantentang menyerahkan tanah kepada orang untuk dikerjakan kemudian menawarkan sebagian hasilnya :
حَدِيْثُ ابْنُ عُمَرَ رضى الله عنه, اَنَّ النَّبِىَ ص.م. عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ, فَكَانَ يُعْطِى اَزْوَاجَهُ مِائَةَوِسْقٍ: ثَمَانُوْنَ وِسْقَ تَمْرٍ, وَعِشْرُوْنَ وِسْقَ شَعِيْرٍ : فَقَسَمَ عُمَرُ خَيْبَرَ فَخَيَّرَ اَزْوَاجَ النَّبِىِّ ص.م. اَنْ يُقْطِعَ لَهُنَّ مِنَ الْمَاءِ وَالاَرْضِ اَوْ يُمْضِىَ لَهُنَّ فَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الاَرْضَ وَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الوَسْقَ, وَكَانَتْ عَائِشَةُ اخْتَارَتِ الاَرْضَ. (اخرجه البخارى)
Ibnu Umar r.a. berkata : Nabi S.a.w. menyerahkan sawah ladang dan tegal di khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi S.a.w. memberi istri-istrinya seratus wasaq (1 wasaq=60 sha’. 1 sha’ =4 mud atau 2 ½ Kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya’er (jawawut). Kemudian dimasa Umar r.a. membebaskan kepada istri-istri Nabi S.a.w. untuk menentukan apakah minta tanahnya atau tetap minta kepingan wasaq itu, maka diantara mereka ada yang menentukan tanah dan ada yang minta kepingan hasilnya berupa wasaq.”(HR. Bukhori)

2.     Penanaman Pohon (reboisasi) Langkah Terpuji
حَدِيْثُ اَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ: مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ اَوْيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ اَوْاِنْسَانٌ اَوْبَهِيْمَةٌ اِلاَّكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. (اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)
Hadits dari Anas r.a. dia berkata: Rosulullah S.a.w. bersabda : Seseorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, kemudian tiba burung atau insan atau binatang memakan sebagian daripadanya, melainkan apa yang dimakan itu merupakan sedekahnya “. (HR. Imam Bukhori)
Pada dasarnya Allah swt.telah melarang kepada insan biar tidak merusak hutan, hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 11 :
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَتُفْسِدُوْا فِى الاَرْضِ…
“Dan apabila dikatakan kepada mereka : Janganlah kau membuat kerusakan dimuka bumi“
Dan ada lagi dalam surat Al-Baqarah ayat 204-205:

204. Dan di antara insan ada orang yang ucapannya wacana kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia yaitu penantang yang paling keras.
205. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan[130]. (QS. 2 : 204-205).

[130] Ungkapan ini yaitu menyerupai dari orang-orang yang berusaha menggoncangkan kepercayaan orang-orang mukmin dan selalu Mengadakan pengacauan.

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafiq dan tindakannya di muka bumi ini.Informasi yang disampaikan Al-Qur’an bahwa sebagian dari manusia, kata-kata dan ucapannya wacana kehidupan dunia menarik sekali, sehingga banyak yang terpedaya.Ia pandai dan pandai menyusun kata-kata dengan gaya yang menawan. Orang munafiq mirip inilah yang selalu merusak bumi.Tanam-tanaman dan hutan-hutan menjadi rusak, lingkungan dicemari, buah-buahan dan binatang ternak dibinasakan.Apalagi kalau mereka sedang berkuasa, dimana-mana mereka berbuat sesuka hatinya.Gambaran ayat ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41-42 :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di maritim disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supay Allah mencicipi kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, biar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu yaitu orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”(QS. 30: 41-42)
Pada ayat ini sudah terperinci bahwa Allah telah memperingatkan wacana kerusakan yang terjadi di alam dunia ini, baik di darat, maritim maupun udara yaitu tanggapan ulah perbuatan insan itu sendiri.Kerusakan di darat mirip rusaknya hutan, hilangnya mata air, tertimbunnya danau-danau penyimpan air, lenyapnya daerah-daerah peresap air hujan dan sebagainya.Kerusakan di maritim mirip pendangkalan pantai, menghilangkan tempat-tempat sarang ikan, pencemaran air maritim karena tumpahan minyak, dan lain sebagainya. Allah memperingatkan itu, karena imbas negatifnya akan dirasakan insan itu sendiri.
Tidak sepantasnyalah alam ini dirusak karena ini merupakan salah satu karunia Tuhan, untuk itu seharusnyalah insan harus memperbaiki dan memanfaatkannya, hal ini sebagaimana firman Allah swt.dalam surat Al-An’am ayat 141-142 yang artinya:

“ Dan dialah yang menimbulkan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang majemuk buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang majemuk itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kau berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.Dan di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih.makanlah dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kau mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang aktual bagimu.” (QS. 6 : 141-142)
Dekade terakhir ini, pemerintah Indonesia terus melancarkan agenda penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik melalui media visual, maupun audio-visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan, dan tertempel di mobil-mobil dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan agenda tersebut. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan, pemerintahnya telah mencanangkan agenda penghijauan dengan tema"South Sulawesi Go Green"(Sulawesi Selatan Menuju Penghijauan). Sebagian orang menyangka bahwa agenda penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapat pahala di sisi Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung agenda tersebut.Kita mungkin masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari Nabi Saw.beliau bersabda:
"Jika seorang insan meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya". [HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah(4199)]
Perhatikan, satu diantara kasus yang tak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun ia telah meninggal dunia yaitu SEDEKAH JARIYAH, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang. Para jago ilmu menyatakan bahwa sedekah jariyah mempunyai banyak macam dan jalannya, mirip membuat sumur umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tumbuhan pangan, dan lainnya.Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tumbuhan yang kita tanam merupakan sedekah dan amal jariyah bagi kita -walau telah meninggal- selama tumbuhan itu tumbuh atau berketurunan.
Al-Imam Ibnu Baththol -rahimahullah- berkata: "Ini memperlihatkan bahwa sedekah untuk semua jenis binatang dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala".[Lihat Syarh Ibnu Baththol (11/473)]
Seorang muslim yang menanam tumbuhan tak akan pernah rugi di sisi Allah -Azza wa Jalla-, alasannya yaitu tumbuhan tersebut akan dirasakan keuntungannya oleh insan dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam kemudian diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapat pahala, alasannya yaitu tumbuhan yang diambil tersebut berkembang menjadi sedekah bagi kita.
Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi insan di dunia dan untuk membantu kemaslahatan alam abadi manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim mempunyai banyak manfaat, mirip pohon itu bisa menjadi naungan bagi insan dan binatang yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibentuk menjadi aneka macam macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya pengikisan dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak lagi manfaat tumbuhan dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini. Jika demikian banyak manfaat dari REBOISASI, maka tak heran kalau agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya.

3.     Harmonitas Manusia, Hewan dan Tumbuhan
Manusia, harus bisa menjaga harmonitas segi tiga keseimbangan ekologi: dirinya (manusia), binatang dan tumbuhan. Manusia, mirip disinggung sebelumnya, yaitu wakil Allah (khalīfah) di permukaan bumi (QS. 2: 30). Karena sebagai khalīfah, maka dia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnnya, sebagai pengganti Allah dalam memelihara keseimbangan ekologi. Dia harus memahami fitrahnya yang mengerti maslahat dan kebutuhannya (QS. 67: 14).Dengan nalar yang diciptakan oleh Allah untuknya, dia bisa membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan serta teknologi, supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melakukan tugasnya tersebut (Qs. 7: 74).
Dengan bekal itu semua, insan harus tampil sebagai sosok yang ‘ramah lingkungan’. Dalam Islam, khalīfah yaitu ‘manusia hijau’. Yaitu sosok yang benar-benar melindungi dan memelihara lingkungan hidupnya.Dalam hal ini, konsep ihsān sanggup dijadikan sebagai landasan normatif-teologis dalam membuat harmonitas insan dan lingkungan hidup.
Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa ihsān yaitu “engkau menyembah Allah seperti engkau melihat-Nya.Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia-dalam ibadahmu-sedang melihatmu.”Ihsān disini sanggup diartikan sebagai perilaku ramah (baik), yang berarti melindungi dan memelihara dengan baik.Di sini, konteks ihsān dalam ibadah.Pemeliharaan lingkungan sanggup menjadi ibadah, karena memelihara lingkungan yang diberikan oleh Allah kepada manusia.Ketika lingkungan dipelihara dan dijaga dengan baik, maka dia menjadi ibadah di hadapan Allah.
Orang yang tidak mengerti konsep ini, akan merusak lingkungannya. Maka banyak terjadi penggundulan hutan besar-besaran, buang sampah sembarangan, dll.Akhirnya, pengikisan terjadi dimana-mana.Sungai-sungai banyak yang meluap dan merusak pemukiman masyarakat.Pada gilirannya, lingkungan tak lagi dekat dengan manusia.Ini tanggapan dari menjauhkan Allah dari ranah dan lini kehidupan.
Konsep ihsān yang kedua yaitu dalam QS. 4: 36. Dimana ihsān di sini dimaknai dengan memperhatikan, menyayangi, merawat, dan menghormati.Dalam konteks ini, Islam menuntut insan biar memperhatikan, menyayangi, merawat dan menghormati lingkungan.Dua konsep ihsān tersebut pada realitanya memang diharapkan oleh insan dalam konteks interaksi dengan lingkungan. Karena, memang, kita wajib memperlakukan lingkungan dengan cara melindungi dan menjaganya. Bukan malah kita remehkan, lalaikan, serta musnahkan.Jika ini yang berlaku, yang terjadi yaitu kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana.Itu semua, kata Allah, karena ulah tangan-tangan jahil manusia.Padahal, itu semua bukan azab mutlak, melainkan peringatan biar insan mencicipi hasil perbuatan jahilnya.Karena Allah berharap manusia-manusia jahil terhadap lingkungannya sanggup kembali lagi (Qs. 30: 41).Di samping itu, ihsān sejatinya yaitu perbuatan baik yang tanpa batas.Artinya, perhatian terhadap segala sesuatu, baik hidup maupun mati, yaitu tanpa perhitungan alias tak terhingga.Karena prinsip untuk bersikap lemah lembut berlaku bagi setiap elemen lingkungan, baik makhluk hidup maupun makhluk mati, serta yang berakal maupun yang tidak berakal. Dengan kata lain: prinsip untuk bersikap ihsān ini meliputi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk mati.

C.   Kesimpulan
Untuk memudahkan dalam makalah yang sederhana ini, berikut kami tampilkan sebuah kesimpulan sebagai berikut :
1.      Hadist Jabir bin Abdullah r.a. ini merupakan larangan menelantarkan lahan, karena hal ini termasuk perbuatan yang tidak bermanfaat.
2.      Dalam menelantarkan lahan, Rosulullah S.a.w. menyarankan untuk memanfaatkan dan mengupah orang lain untuk mengelolahnya.
3.      Reboisasi yaitu merupakan salah satu perbuatan yang terpuji.
4.      Allah S.w.t. menggambarkan kerusakan alam merupakan tanggapan dari ulah insan itu sendiri.
5.      Alam di dunia ini rusak diakibatkan ulah dari perbuatan insan yang munafiq.











DAFTAR PUSTAKA

·         Fuad Abdul Baqi, Muhammad. 1996. Al-Lu’lu’ wal Marjan. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
·         Kelompok Ilmuan MKDK Hadits IAIN Raden Fatah Palembang. 2002. MKDK Hadits. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
·         Matsna. Mohammad. 2002. Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas Satu. Semarang: Karya Toha Putra.
·         Kelompok Ilmuan MKDK Hadits IAIN Raden Fatah Palembang. MKDK Hadits. (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2002), cet. I, hlm. 110-111.
·         Moh. Matsna, Qur’an Hadits Madrasah Aliyah Kelas Satu, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hlm. 102-115.



Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com