PENDAHULUAN
Landasan filosofis pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik, adapun alasannya antara lain: Pertama, lantaran pendidikan bersifat normatif, maka dalam rangka pendidikan dibutuhkan perkiraan yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain sanggup bersumber dari filsafat. Landasan filosofis pendidikan yang bersifat preskriptif dan normatif akan memperlihatkan petunjuk ihwal apa yang seharusnya di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan secara holistik sanggup diwujudkan melalui pendekatan filosofis. Ada banyak sekali aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dsb. Namun demikian, bangsa Indonesia bahu-membahu mempunyai filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang menurut Pancasila.
Sehubungan dengan hal ini banyak sekali aliran filsafat pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas banyak sekali aliran filsafat pendidikan akan sanggup membantu Anda untuk tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain. Di samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, kita pun sanggup mengambil pesan yang tersirat dari banyak sekali aliran filsafat pendidikan lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis pendidikan kita. Dengan memahami landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep ihwal pendidikan yang akan menjadikan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
Pandangan klasik ihwal pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang sanggup menjalankan tiga fungi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga tersebut memperlihatkan pengerian bahwa pandidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan demikian pendidikan sanggup menjadihelper bagi umat manusia.
Landasan Pendidikan marupakan salah satu kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan. Adapun cakupan landasan pendidkan adalah: landasan hukum, landasan filsafat, landasan sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan ekonomi. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai landasan filsafat.
Terdapat banyak alasan untuk mempelajari filsafat pendidikan, khususnya apabila ada pertanyaan rasional yang seyogyanya tidak sanggup dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu pendidikan. Pakar dan praktisi pendidikan memandang filsafat yang membahas konsep dan praktik pendidikan secara komprehensif sebagai serpihan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Terlebih lagi, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang melaju sangat pesat, pendidikan harus diberi penemuan biar tidak ketinggalan perkembangan serta mempunyai arah tujuan yang jelas. Di sinilah perlunya konstruksi filosofis yang bisa melandasi teori dan praktek pendidikan untuk mencapai keberhasilan substantif.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis telah merumuskan persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini yakni sebagai berikut.
1. Bagaimana kiprah filsafat sebagai landasan dari pendidikan?
2. Bagaimanakah aliran filsafat yang diterapkan dalam dunia pendidikan?
3. Bagaimana implikasi dari penggunaan landasan filosofis ini terhadap pelaksanaan pendidikan?
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan peranan filsafat dalam dunia pendidikan
2. Menjabarkan banyak sekali aliran filsafat yang diterapkan dalam dunia pendidikan
3. Mengidentifikasi implikasi dari penggunaaan banyak sekali filsafat dalam pelaksanaan pendidikan
Manfaat yang diharapkan sanggup diambil dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1. Menjadi materi tumpuan untuk menambah khasanah keilmuwan mengenai filsafat sebagai landasan pendidikan
2. Menjadi solusi alternatif untuk menyebarkan pembelajaran yang diubahsuaikan dengan aliran filsafat yang dianut.
BAB II
PEMBAHASAN
Landasan filosofis yaitu landasan yang menurut atau bersifat filsafat (falsafah). Kata filsafat (philosophy) bersumber dari bahasa Yunani, philien berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan. Cinta berarti hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Makara filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati (Soetriono dan Hanafi, 2007: 20).
Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandangan dalam filsafat pendidikan, menyangkut keyakinan terhadap hakekat manusia, keyakinan ihwal sumber nilai, hakekat pengetahuan, dan ihwal kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal hingga dikala ini yaitu Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Ekstensialisme, Post Modernisme dan Pancasila.
Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat lantaran filsafat mencoba merumuskan gambaran ihwal insan dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Rumusan ihwal harkat dan martabat insan beserta masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraaan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan merupakan tanggapan secara kritis dan fundamental banyak sekali pertanyaan pokok sekitar pendidikan, mirip apa mengapa, kemana, dan bagaimana, dan sebagainya dari pendidikan itu. Kejelasan banyak sekali hal itu sangat perlu untuk menjadi landasan banyak sekali keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Hal itu sangat penting lantaran hasil pendidikan itu akan segera tampak, sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatanya meskipun alhasil belum sanggup dipastikan.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat yaitu kebenaran ilmu yang sifatnya relative. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang biasa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es, kita hanya bisa melihat yang diatas permukaaan bahari saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami hingga kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis. Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistimologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut:
1. Metafisika ialah filsafat yang meninjau ihwal hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitanya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu:
a. Manusia pada hakekatnyanya yaitu spiritual. Yang ada yaitu jiwa atau roh, yang lain yaitu semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan yaitu untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik, dan beberapa Realis.
b. Manusia yaitu organism materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksperimentalis, Pragmatis, dan beberapa realisme. Pendidikan yaitu untuk hidup, Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan insan menjadi menyenangkan.
2. Epistemologi ialah filsafat yang membahas ihwal pengetahuan dan kebenaran, Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
a. Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi
b. Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
c. Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.
d. Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman.
e. Pengalaman yan terkontrol untuk mendapat pengetahuan secara ilmiah.
3. Logika ialah filsafat yang membahas ihwal cara insan berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika di harapkan insan bisa berpikir dengan mengemukakan pendapatnya secara sempurna dan benar.
4. Etika ialah filsafat yang menguraikan ihwal sikap manusia mengenai nilai dan norma masyarakat serta anutan agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan alasannya tujuan pendidikan untuk menyebarkan sikap manusia, anatara lain afeksi akseptor didik. (Pidarta, 1997: 77-78).
Berikut ini merupakan tabel mengenai hubungan filsafat dengan pendidikan.
Tabel 2.1 Hubungan Filsafat dengan Pendidikan
Subdivisi Filsafat | Hubungan terhadap Pendidikan |
Metafisika: Apa yang nyata? | Pengetahuan paling berharga: kurikulum |
Epistemologi: Apa yang menjadi dasar dari pengetahuan? | Bagaimana insan mengajar & belajar: metode-metode pembelajaran |
Aksiologi: Apa yang dimaksud dengan moral dan kebenaran? (Etika) Apa yang dimaksud dengan indah dan bagus? (Estetika) | Tingkah laku, karakter, kesopanan, apresiasi, dan ekspresi |
Logika: Bagaimana insan melaksanakan penalaran | Bagaimana insan mengatur struktur kuliah, pelajaran dan satuan-satuannya. |
Dalam filsafat terdapat empat teori kebenaran yaitu:
1. Koheren yaitu, sesuatu akan benar bila konsisten dengan kebenaran umum
2. Koresponden, sesuatu akan benar bila ia sempurna dengan fakta yang dijelaskan.
3. Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya ber manfaat bagi kehidupan.
4. Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
Kajian yang dilakukan oleh banyak sekali cabang filsafat diatas, akan besar pengaruhnya terhadap pendidikan, lantaran prinsip-prinsip dan kebenaran– kebenaran hasil kajian tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan. Peranan filsafat dalam pendidikan tersebut berkaitan dengan hasil kajian antara lain tentang:
1. Keberadaan dan kedudukan insan sebagai makluk di dunia ini, mirip yang disimpulkan sebagai zoon politicon, homo sapiens, animal educandum dan sebagainya.
2. Masyarakat dan kebudayaanya.
3. Keterbatasan insan sebagai makluk hidup yang banyak menghadapi tantangan.
4. Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat pendidikan.
Aliran filosofis pendidikan yang akan dibahas pada makalah ini mencakup aliran idealism, realisme, pragmatisme, eksistensialisme, post-modernisme dan Pancasila. Berikut yaitu klarifikasi setiap aliran tersebut.
1. Idealisme
Paham idealisme merupaan salah satu filsafat barat tertua, pelopornya mencakup Plato (428-347 SM) yang mengajarkan filsafat di Yunani kuno ibu kota Athena, kemudian Georg W.F Hegel (1770-1831), seorang profesor Universitas, mengajarkan kepada murid-muridnya ihwal sejarah filsafat dimana dalam sejarah insan berlangsung ide-ide pemikiran yang absolut, atau ketuhanan. Di Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson (1803-1882) dan Henry David Thoreau (1817-1862) menyebarkan versi Amerika dari idealisme yaitu kebenaran di alam. Agama-agama di Asia mirip agama Hindu dan Budha juga berdasar pada idealis pandangan dunia spiritual. Paham idealisme dipandang dari 4 sudut pandang yaitu:
a. Metafisika, idealis merupakan suatu keyakinan akan dunia spiritual, dunia yang nonmaterial yaitu nyata. Mereka melihat dunia sebagai ciptaan dari suatu pemikiran besar yang menyeluruh, pikiran mutlak atau ketuhanan
b. Epistemologi, idealis merupakan keyakinan bahwa ide-ide yang membuat kenyataan selalu ada dalam pikiran yang absolut, atau ketuhanan. Ketika insan mengetahui ihwal sesuatu, itu berarti insan telah mencapai pemahaman yang sadar dari satu atau lebih dari ide-ide tersebut.
c. Aksiologi, idealis merupakan keyakinan akan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang ada dalam urutan keberlakukan dan nilai-nilai budaya manusia.
d. Logika, idealis didasarkan pada hubungan keseluruhan antara pikiran mutlak dan individu. wangsit atau prinsip tertentu berasal dari bagian-bagian dari keseluruhan yang lebih umum. Guru Idealis akan memakai logika deduktif untuk mengatur pelajaran yang dimulai dengan prinsip-prinsip umum atau aturan dan memakai kasus-kasus tertentu atau aplikasi tertentu.
Implikasi pada pendidikan
Guru idealis memandang pengetahuan sebagai kebenaran spiritual yang universal, menurut kepada kenyataan dan merefleksikan kebenaran. Sekolah sebagai instritusi intelektual yang merujuk kepada pencarian kebenaran. Dalam filosofi idealism, semua siswa berhak dan berkesempatan untuk mengikuti kurikulum yang sama. Fokus kurikulum dalam pandangan idealism yaitu gagasan yang mengakar kepada kebudayaan. Dalam praktiknya, guru idealis banyak memakai obrolan Socrates dengan memperlihatkan pertanyaan terbimbing kepada siswa yang menstimulasi kesadaran dan budi budi siswa. Hal ini menjadi tantangan bagi guru untuk menghadirkan pertanyaan stimulus yang mengarahkan kepada pembuktian ilmu pengetahuan dan penyamaan persepsi ihwal semesta. Dalam system asesmen, guru banyak memakai soal-soal dengan standar intelektual yang tinggi yang diharapkan bisa menyebarkan kemampuan intelektual siswa. Tujuan pembelajaran bagi idealis yaitu untuk mengintegrasikan pengetahuan transdisipliner dan hal ini difasilitasi dengan pengadaan soal yang menunjang Higher Order Thinking Skills. Untuk sumber belajar, penggunaan internet sanggup memfasilitasi proses pembelajaran. Para idealis menganggap filosofi dan theologi sebagai hierarki teratas dalam ilmu pengetahuan.
2. Realisme
Paham realisme dipelopori oleh filosof Yunani kuno Aristoteles (384-322 SM), seorang mahasiswa dari Plato. Realisme meninjau ihwal kenyataan yang berada di luar pikiran atau tujuan seseorang, tidak tersembunyi atau internal untuk pikiran seseorang. Realisme ilmiah menegaskan kenyataan yang ada secara independen untuk mengetahui bahwa metode ilmiah yaitu cara terbaik untuk mendapat gambaran yang akurat ihwal apa dan bagaimana cara kerja dari dunia ini dimana untuk menjelaskan hal tersebut harus memakai temuan ilmiah dengan membangun teori-teori.
Aliran Realisme menegaskan bahwa (1) keberadaan dunia nyata dan benda tidak dibentuk oleh manusia, (2) pikiran insan sanggup mengetahui ihwal dunia nyata, dan (3) pengetahuan tersebut yaitu panduan yang sanggup dipercaya dalam sikap sosial.
Paham realisme dipandang dari beberapa sudut pandang yaitu:
a. Metafisika, Realisme mengandung makna percaya pada dunia material yang independen dan eksternal. Semua benda terdiri dari materi. Dimana materi tersebut diatur sebagai kebutuhan pada bentuk atau struktur benda tertentu.
b. Epistemologi, realisme melibatkan dua tahap terkaitsensasi dan abstraksi dimana pengetahuan mempersepsikan objek atau stimulus yang tiba dan menyimpan informasi dalam memori. Seperti warna, ukuran, berat, bau, atau suara.
c. Aksiologi, untuk realis, aturan-aturan tertentu harus mengatur sikap kecerdasan rasional. Aristoteles mendefinisikan insan sebagai hewan rasional. Oleh lantaran itu, insan harus bertindak secara rasional, yang berarti dalam membuat keputusan harus menurut pengetahuan.
d. Logika, untuk realis, seorang guru sanggup memakai logika deduktif dan induktif.
Implikasi pada pendidikan
Sumber pengetahuan dalam pandangan realisme yaitu segala sesuatu objek yang ada di kehidupan. Sekolah menjadi sarana penyedia pengetahuan bagi siswa dan penyelenggaraannya mengacu pada tujuan hidup. Pendidikan formal berisi pembelajaran dari pengetahuan yang terorganisasi dan terklasifikasi dalam mata pelajaran. Realis memandang pendidikan bersifat humanistis dan berkenaan dengan disiplin keilmiahan.
Fokus pendidikan bagi realis yaitu pembelajaran yang mengakomodasi kognitif dan mengarahkan kepada penguasaan konsep pada setiap mata pelajaran. Guru dituntut untuk menjadi andal bidang pelajaran dan mengarahkan wangsit siswa ihwal dunia yang sesuai realita. Tantangan guru yaitu penguatan kemampuan mengajar dan penguasaan konsep pengetahuan. Variasi metode lebih mengarah kepada penyediaan konten dengan konteks yang bervariasi. Bantuan teknologi sangat dibutuhkan dalam membantu pengembangan penguasaan konsep. Sebagai contoh, pada pembelajaran Hukum Newton ihwal Gerak disajikan konteks sejarah penemuan konsep dan kontribusinya dalam kehidupan. Dalam prosesnya guru menambahkan gambaran via demonstrasi, diskusi dan generalisasi dari hasil diskusi dengan siswa.
3. Pragmatisme
Aliran progresivisme lahir di Amerika, final kala 19 menjelang awal kala 20. Mula-mula, istilah ini bersifat sosiologi guna menyebut gerakan sosial politik di amerika, ketika proses indrustrialisasi dan urbanisasi menjadi tanda-tanda yang begitu masif. Aliran pragmatisme menekankan kebutuhan untuk menguji validitas atau daya kerja ide-ide seseorang. pencetus pragmatisme ini yaitu Charles S. Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), George Herbert Mead (1863-1931), dan John Dewey (1859-1952). Peirce menekankan penggunaan metode ilmiah untuk memvalidasi ide-ide empiris, bukan probabilitas, atau apa yang mungkin terjadi dalam kepastian. secara statistik, insan sanggup merumuskan informasi, hipotesis ihwal kemungkinan yang sanggup terjadi. James menerapkan filsafat pragmatisme dengan psikologi, agama, dan pendidikan. Mead menekankan bahwa belum dewasa berkembang dan berguru melalui pengalaman mereka di lingkungan. Dewey mengaplikasikan aliran pragmatisme yaitu eksperimen dalam pendidikan. Paham pragmatisme dipandang dari beberapa sudut pandang yaitu:
a. Metafisika dan Epistemologi, pragmatisme menolak metafisika, tetapi fokus secara epsitemologi yaitu bagaimana insan membentuk suatu pengetahuan dalam menghadapi perubahan dunia secara terus menerus.
b. Aksiologi dan Logika, aksiologi pragmatis bersifat sangat situasional dan relatif berbudaya. Suatu perubahan secara terus menerus mengandung arti sebagai nilai-nilai yang tidak menyeluruh dan keberadaannya tidak sebagai penegasan idealis dan realis, tetapi perubahan waktu, tempat, dan keadaan.
Dalam gerakan pendidikan ini, sekolah-sekolah menjadi ruang yang benar-benar bebas gejala-gejala indoktrinisasi dan praktik-praktik otoritatif. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi kegunaan pragtis, dengan kata lain paham ini menyatakan yang berfaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia. Aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan tradisional.
Implikasi pada Pendidikan
Kebutuhan akan validitas & keberfungsian wangsit
dalam pendidikan difasilitasi oleh metode ilmiah dalam ranah persoalan personal, social dan intelektual. Pendidikan pada pandangan pragmatisme dipandang sebagai ajang untuk menambah pengalaman berguru insan untuk menunjang pertumbuhan insan yang optimum. Kegiatan berguru diarahkan kepada proses berpikir dan berguru melalui problem solving dan pengalaman. Focus pembelajaran dititikberatkan pada proses konstruksi, penggunaan dan pengetesan gagasan. Pembelajaran diarahkan kepada pembahasan interdisipliner yang terdepartementalisasi kepada penemuan solusi dari banyak sekali sumber dan aplikasi dari bermacam-macam macam variasi informasi. Kecenderungan pembelajaran yang bersifat kolaboratif dimana siswa membagi minat dan persoalan mereka. Penekanan pada problem solving dengan menerapkan metode ilmiah yang bertumpu kepada aplikasi permasalahan yang ada pada kehidupan di masyarakat.
dalam pendidikan difasilitasi oleh metode ilmiah dalam ranah persoalan personal, social dan intelektual. Pendidikan pada pandangan pragmatisme dipandang sebagai ajang untuk menambah pengalaman berguru insan untuk menunjang pertumbuhan insan yang optimum. Kegiatan berguru diarahkan kepada proses berpikir dan berguru melalui problem solving dan pengalaman. Focus pembelajaran dititikberatkan pada proses konstruksi, penggunaan dan pengetesan gagasan. Pembelajaran diarahkan kepada pembahasan interdisipliner yang terdepartementalisasi kepada penemuan solusi dari banyak sekali sumber dan aplikasi dari bermacam-macam macam variasi informasi. Kecenderungan pembelajaran yang bersifat kolaboratif dimana siswa membagi minat dan persoalan mereka. Penekanan pada problem solving dengan menerapkan metode ilmiah yang bertumpu kepada aplikasi permasalahan yang ada pada kehidupan di masyarakat.
Pembelajaran sanggup dilakukan dengan beberapa langkah mirip menghadirkan konteks gosip pada kehidupan, menetapkan focus masalah, membiarkan siswa untuk memimpin sendiri riset interdisipliner yang ada, menemukan informasi dari banyak sekali sumber, memprediksi solusi yang memungkinkan terhadap permasalahan yang ada, dan melaksanakan pemecahan persoalan dengan mufakat.
4. Ekstensialisme
Pelopor aliran eksistensialisme yaitu Jean-Paul Sartre (1905-1980) yang menyatakan keberadaan mendahului esensi. Sartre menegaskan kiprah imajinasi insan sebagai salah satu jalan untuk mengetahui dan merasakan. Eksistensialisme lebih mengarah kepada proses berfilsafat daripada suatu filsafat yang sistematis. Eksistensialisme mewakili perasaan keputusasaan dan pengharapan yang ditujukan kepada kiprah hidup manusia. Suatu pendidikan eksistensialis mendorong insan secara mendalam dalam mengenal, berkomitmen, dan bersuara.
Eksistensialisme termasuk filsafat pendatang baru. Eksistensialisasi selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupaya untuk biar insan menjadi dirinya, mengalami individualitas. Eksistensi berarti berdiri sebagai diri sendiri. Aliran eksistensialisme terbagi dua sifat, yaitu teistik (bertuhan)dan atteistik. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptis.
Eksistensi membuat yang ada dan bersosok terang bentuknya, bisa berada, eksis. Oleh eksistensi, dingklik sanggup berada di tempat. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan yaitu inti eksistensialisme.
Implikasi pada Pendidikan
Aliran eksistensialisme dalam prosesnya menitikberatkan obrolan kelas yang memunculkan kesadaran siswa dalam menentukan konsep diri via pilihan yang signifikan. Siswa disini dibebaskan untuk memperlihatkan performanya mengenai kekuatan, keinginan, dan membuat pilihan.
5. Post-modernisme
Postmodernisme membahas ihwal era modern dari sejarah yang telah berakhir dan dikala ini insan hidup dalam era postmodern. Pelopor aliran postmodernisme yaitu Friedrich Nietzche (1844-1900) dan Martin Heidegger (1899-1976). Nietzche tidak memandang postmodernisme secara metafisika mengenai kebenaran yang menyeluruh, ia memberi saran untuk mengubah kepercayaan terhadap mitos dengan hal yang gres tetapi kedudukannya sama. Rumusan suatu filsafat disebut fenomenologi, Heidegger menegaskan bahwa insan membangun kebenaran secara subjektif terhadap realita menurut intuisi, persepsi, dan refleksi sebagai interaksi mereka dengan fenomena.
Implikasi pada Pendidikan
Sekolah pada aliran post-modernisme dianggap sebagai area kritik demokratis dan social mengubah dominansi dari suatu grup.
Berikut ini disajikan matriks aliran filsafat dan implikasinya dalam pendidikan.
Tabel 2.2 Filsafat – filsafat dalam Pendidikan
Filsafat | Metafisika | Epistemologi | Aksiologi | Implikasi dalam pendidikan | Pelopor |
Idealisme | Realita sebagai spiritual atau mental dan berubah | Pengetahuan yang berasal dari ide-ide tersembunyi seseorang | Nilai-nilai yaitu menyeluruh, absolut, dan ada. | Kurikulum mata pelajaran menekankan budaya yang besar dan ide-ide cemerlang | Emerson Froebel Hegel Plato |
Realisme | Realita merupakan objektif dan eksis secara independen tetapi sanggup diketahui | Pengetahuan terdiri dari konseptualisasi yang menurut sensasi dan abstraksi | Nilai-nilai yaitu menyeluruh, absolut, dan ada menurut aturan alam secara menyeluruh | Kurikulum mata pelajaran menekankan kemanusiaan dan disiplin sains | Aquinas Aristoteles Broudy Maritain Pestalozzi |
Pragmatisme | Menolak metafisika, menegaskan bahwa kepercayaan terhadap realita didasarkan pada pengalaman, interaksi dengan lingkungan, dan perubahan secara konstan | Pengetahuan berasal dari pengalaman, ide-ide dengan memakai metode sains. | Nilai-nilai bersifat situasional dan relatif. | Instruksi yang didasarkan pada pemecahan persoalan yang didasarkan pada metode sains | Childs Dewey James Peirce |
Eksistensialisme | Realita bersifat subjektif dengan keberadaan mendahului esensi | Pengetahuan berasal dari bunyi individu | Nilai-nilai dipilih secara bebas oleh manusia. | Percakapan di dalam kelas merangsang kesadaran bahwa setiap orang membuat suatu konsep sendiri melalui bunyi signifikan. | Kiekergaard Sartre Marcel Morris |
Postmodernisme | Menolak realita sebagai pembentukan sejarah dipakai untuk dominasi sosial ekonomi | Menyusun kembali teks untuk menemukan kembali keasliannya dan dipakai oleh kelompok dan kelas dominan | Menekankan nilai-nilai kelompok pinggiran | Sekolah yaitu daerah kritik demokratis dan perubahan social untuk memberdayakan kelompok dominan | Derrida Foucault |
Pancasila | Segala sesuatu berasal dari Tuhan sebagai pencipta | Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, pemikiran dan penghayatan | Diatur oleh nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan, kepentingan umum dan hati nurani | Pendekatan dengan mengutamakan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan penghayatan. | Ki Hajar Dewantara |
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai filsafat dan banyak sekali alirannya dalam dunia pendidikan, maka sanggup disimpulkan sebagai berikut.
1. Filsafat pendidikan merupakan tanggapan secara kritis dan fundamental banyak sekali pertanyaan pokok sekitar pendidikan, mirip apa mengapa, kemana, dan bagaimana, dan sebagainya dari pendidikan itu. Kejelasan banyak sekali hal itu sangat perlu untuk menjadi landasan banyak sekali keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatanya meskipun alhasil belum sanggup dipastikan.
2. Aliran filsafat yang diterapkan dalam dunia pendidikan diantaranya yaitu aliran idealism, realisme, pragmatism, ekstensialisme, post-modernisme, dan pancasila.
3. Implikasi pelaksanaan pendidikan dari pandangan filosofis ini mengarah kepada pemilihan kurikulum, penggunaan metode, pendekatan dan model pembelajaran dan peranan antara pendidik juga akseptor didik yang diubahsuaikan dengan karakteristik pendidikan di lapangan.
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.
1. Menyajikan pembahasan dari permasalahan yang lebih spesifik dan mendetail mengenai aplikasi aliran filosofis dalam praktik di lapangan dengan memanfaatkan sejumlah informasi yang ada.
2. Mengaplikasikan aliran filosofis yang telah dipaparkan dengan pembiasaan karakteristik kelas dan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ornstein, A. C., Levine, D. U., Gutek, G. L., & Vocke, D. E. (2011). Foundation of Education, 11th Edition. Wadsworth: Cengage Learning.
Pidarta, M. (1997). Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Soetriono, & Hanafi, R. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi Ofset.