Thursday, August 10, 2017

√ Makna Sunnah

SUNNAH
1.      Pengertian Sunnah
Kata “sunnah”( سنه ) berasal dari bahasa Arab yang terbentuk dari kata سن،يسن. Secara bahasa yang artinya jalan atau cara. Sedangkan sunnah berdasarkan istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut :
a.       Menurut ulama hadis (Muhadditsin)
Diantara ulama hadis ada yang mendefinisikan dengan ungkapan sebagai berikut:
اقوال النبي صلى الله عليه و سلم ق أفعاله و أ حواله
Segala perkataan Nabi SAW, perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.[1]
b.      Menurut ulama Fikih (Fuqaha):
ما ثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم من غير افتراض و لا وجوب فهي عندهم صفة شرعية للفعل المطلوب طلبا غير جازم ولا يعاقب على تركه
Sesuatu ketetapan yang tiba dari Rasulullah SAW dan tidak termasuk kategori fardlu dan wajib, maka ia berdasarkan mereka yaitu sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannnya.
Menurut ulama Fikih, sunnah dilihat dari segi hukum, yaitu sesuatu yang datang   dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya, menyerupai shalat sunna, puasa sunnah dan lain-lain.
c.       Menurut ulama Ushul Fikih (Ushuliyun):
كل ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم مما ليس قرانامن أقوال أو أفعال أو تقريرات مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي
Segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang bukan dari al-Qur’an, baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan ratifikasi yang patut dijadikan dalil aturan syara’.[2]
Sunnah berdasarkan Ushul Fikih hanya perbuatan yang sanggup dijadikan dasar aturan islam. Jika suatu Perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar aturan menyerupai makan, minum, tidur, dan lain-lain maka perbuatan sehari-hari tersebut tidak disebut sunnah.
Sedangkam berdasarkan Abu Zahra, sunnah mengandung arti:
أقوال النبي و أفعاله و تقريراته
Artinya:  “Perkataa, perbuatan, dan ratifikasi Nabi”
            Dengan demikian apa yang tiba dari Nabi berupa perkataa, perbuatan dan ratifikasi Nabi terhadap suatu kejadian sanggup dikatakan sunnah.[3]
2.      Pembagian Sunah
a.      Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam bebagai kondisi yang didengar oleh sobat dan disamapaikannya kepada orang lain. Contoh sobat mendengar bahwa Nabi berkata:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya: “Tidak boleh berbuat kesusahan dan dilarang membalas dengan kesusahan juga”.
Dilihat dari jumlahnya sunah qauliyah paling banyak dibanding sunah fi’iyah dan taqririyah.
b.      Sunah Fi’liyah
Sunah fi’liyah yaitu semua perbuatan dan tingkah laris Nabi yang dilakukan dan diperhatikan oleh sobat Nabi semuanya disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi sanggup beraneka ragam bentuknya. Hal ini, sanggup dilihat dari kedudukan Nabi sebagai insan biasa dan sebagai utusan Allah.
Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan oleh insan pada umumnya menyerupai cara makan, minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot, dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan budpekerti Nabi sebagai insan biasa.
Kedua, perbuatan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya. Seperti Nabi wajib shalat Dhuha, tahajjud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tudaklah wajib. Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya dilarang dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan klarifikasi aturan yang terkandung dalam al-Qur’an, menyerupai tata cara shalat, puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan itu berdampak pada pembentukan aturan bukan hanya bagi Nabi tetapi juga bagi umatnya. Hal ini diperkuat oleh beberapa hadis Nabi:
رواه البخاري ...صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya: “ Shalatlah kau semua sebagaimana kau melihat saya shalat.”
 (HR. Bukhari)
خذوا عني منا سككم         رواه مسلم
            Artinya: “Ambillah dariku perihal cara-caraku dalam beribadah haji.” (HR. Muslim)
3.      Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah yaitu perilaku nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya berupa perbuatan dan ucapan dan sahabat. Sikap Nabi itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, tidak menunujukan gejala mengingkari atau menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu sehingga dengan adanya ikrar Nabi perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan Nabi yang hukumnya boleh dilakukan. Contoh, dikala nabi mendiamkan orang yang memakan hewan dhab (sebangsa biawak). Dengan perilaku membisu Nabi itu berarati boleh hukumnya meamakan daging tersebut. Karena seandainya haram pasti Nabi tidak diam, pasti dia melarangnya. Contoh lain, dikala Nabi menepuk dada Muadz bin jabal sesudah diutus oleh Nabi ke negri yaman yang pertanda bahwa nabi membenarkan semua yang dikatakan  oleh Muadz bin jabal seraya berkata “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan dukungan kepada utusan Rasul-Nya”.[4]



[1] An-Nawawi, Tadrib Ar-Rawi, hlm. 5.
[2] Ahmad Umar Muhammad, As-Sunnah  An-Nabawiyyah...hlm. 17
[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Damaskus: Daar al-Fikr,tt), hlm. 105.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,tt), hlm. 37.


Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com