Saturday, August 12, 2017

√ Politik Di Negara-Negara Islam

1.      HUBUNGAN ISLAM,NEGARA DAN POLITIK
Relasi antara islam dan politik di Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Relasi ini ditandai dengan asal mulanya islam masuk di nusantara, sekitar kala 7 M. Dalam perjalanan awal ini, islam berinteraksi dengan sosio kultural yang ada mirip hinduisme dan animisme.
Dibalik semua itu islam bisa menancapkan pengaruhnya dalam sejarah indonesia. Sehingga beberapa kala kemudian islam malah menjadi pencetus untuk perkembangan politik di indonesia. Buktinya, perlawanan menghadapi kolonial belanda untuk memperoleh kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajah, dimotori oleh pergerakan-pergerakan islam baik yang bersifat lokal tradisional maupun nasional modernis.
Fenomena politik islam kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas negara, walaupun pada alhasil islam harus berkompromi dalam proses pembangunan identitas bangsa tersebut. Namun, kompromi ini dikemudian hari menjadi boomerang bagi islam politik, mirip yang terjadi pada masa rezim orde gres bahkan indentitas islam politik semakin tidak terang di masa orde reformasi.
Hubungan yang erat antara agama dan politik yang telah merupakan satu ciri dari sejarah perkembangan Islam, lebih banyak dari pada tidak, agak tidak sanggup diterima oleh kaum terpelajar Islam yang menerima pendidikan Barat modern, yang sudah biasa memandang soal-soal kepercayaan dan kehidupan mudah sebagai dua bidang yang satu terpisah dari yang lainnya. Sebaliknya, yakni tidak mungkin untuk memperoleh satu evaluasi yang sempurna perihal Islam, tanpa mencurahkan perhatian yang penuh kepada kasus ini. Siapa saja yang sudah mengenal ajaran-ajaran Islam, walaupun dangkal, akan megetahui bahwa ajaran-ajaran itu bukan saja melukiskan korelasi insan dengan Tuhan, tetapi juga meletakkan satu rangka dasar tertentu bagi kelakuan sosial yang harus diterima dan dijalankan sebagai akhir dari korelasi itu.
Dibalik semua itu islam bisa menancapkan pengaruhnya dalam sejarah indonesia. Sehingga beberapa kala kemudian islam malah menjadi pencetus untuk perkembangan politik di indonesia. Buktinya, perlawanan menghadapi kolonial belanda untuk memperoleh kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajah, dimotori oleh pergerakan-pergerakan islam baik yang bersifat lokal tradisional maupun nasional modernis.
Fenomena politik islam kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas negara, walaupun pada alhasil islam harus berkompromi dalam proses pembangunan identitas bangsa tersebut. Namun, kompromi ini dikemudian hari menjadi boomerang bagi islam politik, mirip yang terjadi pada masa rezim orde gres bahkan indentitas islam politik semakin tidak terang di masa orde reformasi.
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Politik Islam ialah kegiatan politik sebagian umat Islam yang menimbulkan Islam sebagai pola nilai dan basis solidaritas berkelompok.
sistem politik yakni suatu konsepsi yang berisikan antara lain, ketentuan-ketentuan perihal siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa wewenang melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab tersebut.[1]
dalam anutan Islam terdapat sistem politik yang bisa memunculkan suatu sistem yang baku dan sanggup dijadikan patokan pengambilan format kenegaraan bagi umat Islam.
Alquran sebagai kitab suci umat Islam, di dalamnya terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi insan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan perihal kedudukan insan di bumi dan perihal prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan mirip prinsip-prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan pada pemimpin, keadilan, persamaan, dan kebebasan beragama.[2]  Tetapi baik Quran maupun Sunnah Rasul tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat Islam. Nabi wafat tanpa memperlihatkan petunjuk perihal bagaimana seharusnya umat Islam menentukan siapa pemimpin atau kepala negara mereka, perihal bagaimana mengatur korelasi kekuasaan antara kepala negara dan rakyat, perihal batas kekuasaan, dan masa jabatan kepala negara, dan perihal sanggup atau tidaknya kepala negara dibebaskan dari jabatannya.
Sistem politik yang baku itu bahwasanya tidak ada dalam Islam,Islam hanya memperlihatkan prinsip-prinsip dan tata nilai bagi setiap Muslim dalam menjalankan suatu negara dan pemerintahan.
Di kalangan umat Islam hingga kini terdapat tiga aliran perihal korelasi antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama, berpendirian bahwa Islam yakni agama yang paripurna dalam arti lengkap dengan segala macam petunjuk bagi semua aspek kehidupan manusia, termasuk sistem pemerintahan, dengan merujuk kepada pola politik al-Khulafa’ ar-Rasyidin sebagai modelnya. . Aliran kedua berpendirian bahwa agama Islam yakni sama halnya dengan agama-agama lain yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad yakni nabi biasa mirip halnya nabi-nabi sebelumnya, dengan kiprah tunggal mengajak insan kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur tanpa misi untuk mendirikan negara. aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam yakni suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam yakni agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur antara korelasi insan dengan Maha Penciptanya.
Pemikiran-pemikiran cendikiawan muslim berkaitan dengan kasus politik dan ketatanegaraan mirip al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah dan sebagainya, secara umum sanggup digolongkan menjadi dua kelompok: pertama, idealisasi dalam pemikiran politik, dan kedua, terbatas pada pemahaman terhadap situasi dan kondisi tersebut.[14] Pemikiran dalam bentuk pertama, hanya al-farabi yang masuk dalam kelompok ini. Gagasan politiknya ini sama sekali tidak mungkin dilaksanakan secara utuh, meskipun pada bagian-bagian tertentu dari pemikirannya sanggup digambarkan secara realistis dan sanggup dilaksanakan.
Kami, beropini bahwa idealisasi al-Farabi tidak berorientasi kepada Islam melainkan lebih kepada fikiran-fikiran Yunani, sebagaimana ia menyebut bahwa pemimpin yang ideal yakni Nabi dan sesudah itu filosof, lantaran berdasarkan al-Farabi, kepala atau pemimpin yang tertinggi itu merupakan wakil dari alasannya yakni yang pertama yakni Tuhan. Dalam konsep Negara Utama-nya, ia menghendaki terwujudnya kebahagiaan bersama, material, spriritual, dan berdasarkan ketuhanan.[3]
 Pemikiran yang terbatas pada pemahaman terhadap situasi dan kondisi merupakan pemikiran yang memang sempurna unuk diterapkan pada masa kini ini. Di mana umat Muslim telah tersebar di banyak sekali penjuru bumi yang masing-masing mempunyai situasi dan kondisi politik dan kenegaaan yang berbeda dengan tempat atau negara umat Muslim ditempat yang lain.
Bila kita ingin melihat lebih cermat perihal korelasi islam dan politik dimana saja didunia islam,kita sedapat mungkin sanggup melepaskan diri kita dari kungkungan pandangan sempit dan terbatas yang boleh jadi menutup visi kita untuk mengetahui duduk kasus yang lebih besar dan fundamental.Ada dua istilah kunci untuk membantu melihat duduk kasus ini dengan cara yang lebih jernih. Istilah pertamaialah islam sejarah(historic islam), yaitu islam sebagaimana yang telah di fahami dan diterjemahkan kedalam konteks sejaraholeh umat islam terhadap tantangan sejarah yang serba kompleks dalam bidang sosio-politik dan kultural yang tiba silih berganti.istilah kunci kedua islam cita-cita(ideal islam),yaitu islam sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam alqur’an dan sunnah yang otentik,islam cita-cita, betapapun interprestasi setiap muslim belum tentu selalu sejalan tentangnya,mengandung pandangan dunia seorang muslim yang dibuat oleh wahyu.pandangan dunia ini belum lagi dirumuskan secara tuntas dan sistematis pada masa modern ini.

2.      POLITIK ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

Pemikiran perihal Islam dan tata negara di Indonesia belum berkembang jauh mirip di negara-negara muslim lainnya. Memang partai-partai politik Islam sudah mulai bermunculan semenjak zaman penjajahan. Tetapi pada waktu itu, perhatian partai-partai Islam terpusatkan pada usaha pembebasan Indonesia dari penjajahan. Sehingga sanggup dikatakan bahwa pada zaman penjajahan pada hakikatnya partai-partai Islam Indonesia itu merupakan partai-partai nasionalis, sama mirip partai-partai politik yang lain, dengan satu perbedaan bahwa keanggotaan partai-partai Islam hanya terdiri dari orang-orang yang beragama Islam saja.[4]
Berkaitan dengan Pancasila, sebagaimana halnya Natsir, Munawir memperlihatkan penguatan kepada kita dengan menyampaikan bahwa konsep negara Pancasila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan tata nilai yang telah diamanatkan oleh Alquran. Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama merupakan dasar pertama yang paling sanggup diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganut banyak sekali agama. Sementara itu bagi umat Islam sendiri, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa berarti tauhid dan sudah sesuai dengan anutan Islam. Selain itu, berdasarkan Munawir, pengembangan dan pengamalan Islam di Indonesia hampir sama maju dan semaraknya bila dibandingkan dengan negara-negara Islam yang ada.
Ketika menjabat Menteri Agama, Munawir menghimbau semoga negara Repoblik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini diterima sebagai target final dari aspirasi politik umat Islam dan bukannya sebagai watu loncatan ke arah sasarn-sasaran lain. Alasan Munawir, dalam konsep negara pancasila Islam memang tidak dinyatakan sebagai agama negara , tetapi dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dasar negara, terang merupakan hal yang sanggup diterima oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganut banyak sekali agama. Munawir beropini bahwa Piagam Madinah yang sanggup disebandingkan dengan Pancasila itu, mencerminkan kebebasan beragama dan ta‘awun, tapi tanpa penegasan resmi ditengah kemajemukan maasyarakat.[5]
Menurut Nurcholis Madjid, kaitan antara Islam dan politik di Indonesia menyerupai suatu perjalanan yang sentimentil. Sebab di dalamnya berkecamuk antara harapan dan kekhawatiran. Karena itu, berdasarkan Madjid, kita harus hati-hati, tapi sekaligus juga menghindari ketakutan untuk melangkah.[6]
Ada beberapa pilihan perspektif yang bisa dipakai untuk meneropong fenomena Islam dalam perpolitikan Indonesia. Pertama, perspektif historis. Fakta memperlihatkan adanya dinamika korelasi Islam dan politik di Indonesia. Dari satu era pemerintahan ke era pemerintahan selanjutnya, muncul fenomena yang berbeda terkait korelasi dua varian tersebut. Masing-masing era menampilakan corak yang berbeda, mempunyai kekhasan, dan mencerminkan kondisinya masing-masing. Yaitu, mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi.
Kedua, sudut pandang formulasi pemikiran perihal korelasi Islam dan politik. Di Indonesia tumbuh bermacam-macam corak pemikiran perihal bagaimana idealnya korelasi antara Islam dan politik. Masing-masing mempunyai argumentasi serta dasar konsepsi yang berbeda-beda. Muncul banyak sekali Islam yang disematkan pada masing-masing corak pemikiran tersebut: Islam moderat, Islam substansial, Islam liberal, Islam progresif, Islam formal, Islam fundamental, dan aneka pengistilahan yang lainnya. Semua lahir dalam konteks korelasi keislaman dengan keindonesiaan.
Ketiga, sudut pandang lain yang bisa dipakai yakni dari pihak pemerintah sebagai pelaku. Setiap kekuasaan mempunyai cara berbeda dalam merespon Islam sebagai sebuah realitas. Pendekatan satu pemerintahan dengan yang lainnya tidak sama dalam menghadapi varian Islam. Soekarno dan Soeharto misalnya, mempunyai taktik dan pendekatan yang berbeda dalam menempatkan Islam di hadapan pusaran kekuasaannya, atau menempatkan kekuasaannya didepan realitas keislaman. Kita bisa karakter Soeharto yang sangat berbeda dengan Soekarno. Presiden pertama Indonesia ini mempunyai mega-visi perihal bagaimana Islam bisa disinergikan dengan realitas keindonesiaan. Hingga kita mengenal istilah yang sangat popular NASAKOM.
Sementara Soeharto, era kekuasaannya diwarnai dengan dua style berbeda dalam menghadapi Islam. Pada masa awal kekuasannya, Soeharto dikenal sangat represif terhadap Islam sebagai kekuatan politik. Namun pada era final pemerintahannya, corak kepemimpinan dan kebijakan Soeharto justru dinilai dekat dengan nuansa keislaman. Soeharto dianggap lebih “hijau”.
Demikian juga dengan beberapa pemerintahan di era reformasi. B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai corak respon yang berbeda terhadap Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan ideologi politik, pragmatisme politik, kekuatan politik, dan beberapa faktor lainnya.
Di Indonesia, korelasi Islam dan politik hadir dalam wajah yang beragam. Menariknya, terjadi semacam “simbiosis mutualistik”, meskipun tidak dalam pengertian yang ketat, antara pemerintah dengan kelompok muslim sendiri. Saat Soeharto menerapkan taktik politik akomodatif terhadap Islam, ini direspon dengan munculnya corak Islam yang sejalan dengan garis politik tersebut. Ada kecocokan kepentingan antar keduanya, soal apa yang penting untuk dicapai pada kondisi yang dihadapi dikala itu. Hingga tercapai sinergi gosip dan konsep “Islam dan pembangunan”, salah satu contohnya.  Dalam batas tertentu, ada faktor “pragmatisme” di sini, yang melahirkan cara merepson yang berbeda-beda pada tiap kondisi dan era.
Di era reformasi juga muncul fenomena menarik. Yaitu fenomena “Poros Tengah”. Fenomena tersebut memperlihatkan bentuk lain dari korelasi Islam dan politik dalam konteks keindonesiaan. Dan era reformasi menghadirkan sebuah kondisi yang khas dan berbeda dari era pemerintahan sebelumnya. Sehingga corak korelasi antar dua varian tersebut juga special. Pada era reformasi juga mencuat wacana perihal pemimpin wanita dalam perspektif Islam. Ini terkait dengan kenaikan Megawati sebagai Presiden.
Sebuah ungkapan yang populer dalam sejarah ialah bahwa “masa kini yakni produk dari masa lampau” dengan kata lain perihal masa kemudian itu banyak di tentukan oleh hasil rekontruksi para sejarawan yaang tidak lepas dari subjektivitas mereka.yang di tuntut dari setiap rekonstruksi masa lampau ialah semoga kita melakukannya dengan jujur dan diatas fakta yang sanggup di pertanggung jawabkan.

3.      SISTEM POLITIK DI NEGARA-NEGARA LAINNYA
A.    IRAN

Sistem politik di Iran berasaskan konstitusi yang dinamakan "Qanun-e Asasi" (Undang-undang Dasar). Pemimpin Agung Iran bertanggung jawab terhadap "kebijakan-kebijakan umum Republik Islam Iran". Ia juga merupakan ketua pasukan bersenjata dan tubuh intelijen Iran dan mempunyai kuasa mutlak untuk menyatakan perang. Ketua kehakiman, stasiun radio dan rangkaian televisi, ketua polisi dan tentara dan enam dari dua belas anggota Majelis Wali Iran juga dilantik oleh Pemimpin Agung. Majelis Ahli bertanggung jawab menentukan dan juga memecat Pemimpin Agung atas justifikasi kelayakan dan popularitas individu itu. Majelis ini juga bertanggung jawab memantau tugasan Pemimpin Agung.

Orang kedua terpenting dalam Republik Islam Iran yakni presiden. Setiap presiden dipilih melalui pemilihan umum dan akan memerintah Iran selama empat tahun. Setiap calon presiden mesti menerima persetujuan dari Majelis Wali Iran sebelum pemilu dilaksanakan semoga mereka 'serasi' dengan gagasan negara Islam. Tanggung jawab presiden yakni memastikan konstitusi negara diikuti dan juga mempraktikkan kekuasaan eksekutif. Tetapi presiden tidak berkuasa atas perkara-perkara yang di bawah kekuasaan Pemimpin Agung.
Presiden melantik dan mengepalai Kabinet Iran, dan berkuasa menciptakan keputusan mengenai manajemen negara. Terdapat delapan wakil presiden dan dua puluh satu menteri yang ikut serta membantu presiden dalam administrasi, dan mereka semua mesti menerima persetujuan tubuh perundangan. Tidak mirip negara-negara lain, cabang direktur tidak mempunyai kekuasaan dalam pasukan bersenjata, tetapi presiden Iran berkuasa melantik Menteri Pertahanan dan Intelijen dan harus menerima persetujuan Pemimpin Agung dan tubuh perundangan.

B.     ARAB SAUDI
Arab Saudi ialah negara dengan bentuk negara monarki absolut. Sistem pemerintahan Arab Saudi yaitu negara Islam yang berdasarkan syariah Islam dan Al Qur’an. Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan konstitusi Arab Saudi. Pada tahun 1992 ditetapkan Basic Law of Government yang mengatur sistem pemerintahan, hak dan kewajiban pemerintah serta warga negara.
Arab Saudi dipimpin oleh seorang raja yang dipilih berdasarkan garis keturununan atau orang yang diberi kekuasaan pribadi oleh raja. Hal ini berdasarkan pasal 5 Basic Law of Government yang menyatakan kekuasaan kerajaan diwariskan kepada anak dan cucu yang paling bisa dari pendiri Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud, dimana raja merangkap perdana menteri dan anglima tinggi angkatan bersenjata Arab Saudi. Pada tanggal 20 Oktober 2006 Raja Abdullah telah mengamandemen pasal ini dengan mengeluarkan UU yang membentuk forum suksesi kerajaan (Allegiance Institution) terdiri dari para anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud. Dalam ketentuan baru, raja tidak lagi memilki hak penuh dalam menentukan Putera Mahkota. Raja sanggup menominasikan calon Putera Mahkota. Namun, Komite Suksesi akan menentukan melalui pemungutan suara. Selain itu, bila Raja atau Putera Mahkota berhalangan tetap, Komite Suksesi akan membentuk Dewan Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang beranggotakan lima orang. Ketentuan ini gres akan berlaku sesudah Putera Mahkota Pangeran Sultan naik tahta. Berikut nama-nama raja yang pernah memerintah Arab Saudi:
1. Raja Abdul Aziz (Ibnu Saud), pendiri kerajaan Arab Saudi: 1932 – 1953
2. Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz : 1953 – 1964 (kekuasaannya diambil alih oleh saudaranya, Putera Mahkota Faisal)
3. Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz : 1964 – 1975 (dibunuh oleh keponakannya, Faisal bin Musa’id bin Abdul Aziz)
4. Raja Khalid, putra Raja Abdul Aziz : 1975 – 1982 (meninggal lantaran serangan jantung)
5. Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz : 1982 – 2005 (meninggal lantaran sakit usia tua)
6. Raja Abdullah, putra Raja Abdul Aziz : 2005-sekarang.

Ayat 1 dalam Undang-undang ini menyebutkan bahwa: "Kerajaan Arab Saudi yakni Negara Arab Islam, mempunyai kedaulatan penuh, Islam sebagai agama resmi, undang-undang dasarnya Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu Alaihi Wa Sallam, bahasa resmi Bahasa Arab, dan ibukotanya Riyadh". Dan ayat 5 menyebutkan bahwa sistem pemerintahan di Arab Saudi yakni Kerajaan atau Monarki. Sedang ayat-ayat lainnya menyebutkan perihal sendi-sendi yang menjadi landasan bagi sistem pemerintahan di Arab Saudi, lingkungan resmi yang mengaturnya, unsur-unsur mendasar masyarakat Saudi, prinsip-prinsip ekonomi umum yang dilaksanakan Kerajaan, jaminan negara terhadap kebebasan dan kehormatan atas kepemilikan khusus, pemberian atas hak-hak asasi insan sesuai dengan hukum-hukum Syariat Islam.


C.    MAROKO
Maroko merupakan kerajaan konstitusional dengan parlemen yang dipilih oleh rakyat dalam sebuah pemilihan umum. Raja Maroko dengan kekuasaan direktur sanggup membubarkan pemerintah dan mengerahkan pasukan militer. Partai oposisi dibenarkan secara hukum, dan beberapa di antaranya berdiri dalam beberapa tahun terakhir.
Sistem politik Maroko berada dalam kerangka kerja parlementer kerajaan konstitusional, dimana Perdana Menteri menjadi kepala pemerintahan yang dibuat oleh sejumlah partai (multi-partai). Kekuasaan direktur dimiliki oleh pemerintah. Sementara kekuasaan legislatif dibagi bersama antara Pemerintah dan dua kamar di parlemen, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Maroko dan Dewan Konsuler.
Hal lain yang penting dalam sistem politik Maroko yakni penegasan yang ada di dalam Konstitusi Maroko bahwa Maroko yakni sebuah Kerajaaan dengan Parlemen dan Pengadilan yang independen.
Konstitusi memperlihatkan kekuasaan yang besar kepada Raja. Di sisi lain Raja juga mempunyai dua kiprah penting, sebagai pemimpin politik sekuler dan Pemimpin Keyakinan sebagai keturunan pribadi dari Nabi Muhammad SAW.
Raja memimpin Dewan Menteri dan menunjuk Perdana Menteri mengikuti hasil pemilihan legislatif. Dengan rekomendasi Perdana Menteri, Raja menunjuk anggota pemerintahan atau kabinet.
Di dalam Konstitusi juga disebutkan bahwa Raja sanggup memberhentikan menteri kapan saja. Juga disebutkan bahwa Raja sanggup membubarkan Parlemen sesudah melaksanakan konsultasi dengan pimpinan kedua kamar di Parlemen, menunda Konstitusi, menggelar pemilihan umum baru, atau menerbitkan dekrit. Namun hal itu gres sekali terjadi, yakni pada tahun 1965.
Raja juga bertindak sebagai panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
Raja Hassan II berkuasa menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1961. Setelah memerintah Maroko selama 38 tahun, Raja Hassan meninggal dunia di tahun 1999. Kekuasaannya pun dilanjutkan oleh Raja Muhammad V yang disumpah pada bulan Juli 1999.
Dalam pemilihan umum yang digelar tahun 1998, pemerintahan koalisi dipimpin Abderrahmane Youssoufi yang merupakan ketua kubu oposisi sosialis. Kabinet yang dibentuknya pun terdiri dari mayoritas anggota partai oposisi.
Pemerintahan Youssoufi' yakni pemerintahan pertama di Maroko yang diisi oleh tokoh-tokoh oposisi dan juga merupakan pemerintahan pertama yang dibuat dari koalisi sosialis, kelompok kiri-tengah, dan nasionalis, dan dilibatkan dalam pemerintahan hingga Oktober 2002.
Itu juga merupakan pertama kalinya dalam sistem politik Arab modern dimana kelompok oposisi sanggup memimpin.
D.    YORDANIA
Secara politik penambahan penduduk bangsa Palestina membawa dampak ganda terhadap kerajaan Yordania. Di satu pihak, ketidak puasan dan kekecewaan para penguasa terhadap keadaan mereka tidak saja ditujukan kepad Israel, Amerika dan Inggris tetapi juga kepada pemerintah Yordania. Akibatnya tumbuh oposisi etrhadap pemerintahan Yordania. 
Oposisi ini tebagi kedalam sejumlah kelompok. Beberapa diantaranya mengikuti para tokoh terkemuka dan yang lainnya mencari ide dalam ideology.
Sulaiman Pasha Nabulsi, mantan menteri cabinet dan duta besar untuk London yang menetapkan korelasi dengan kelompok penguasa sekitar tahun 1950, muncul sebagai tokoh terkemuka dalam apa yang dinamakan dengan front nasional dan partai sosialis nasional. Kedua organisasi sayap kiri ini menetang keras pemerintah Yordania. Kedalam daftar oposisi serta kelompoknya sanggup ditambahkan beberapa partai antar arab yang menyerukan revolusiterhadap system yang berlaku di Yordania.
Dengan berjalannya waktu, kelomopk oposisi ini kemudian menjadi penting. Kelompok palestina, baik yang setia maupun yang menentang pemerintah meningkatkan pengaruhnya terhadap politik dan pemerintah. Parlemen yang didominasi oleh oposisi ini pada bulan Mei 1951 menolka anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Karena mosi tidak percaya sehingga hal ini merupakan babak abru dalam sejarah politik Yordania, kemudian raja membubarkan parlemen.
Raja husein sepertinya berhasrat mengadakan rekonsiliasi politik. Langkah pertamanya ialah mengganti perdana menteri Taufik Abul Huda. Posisinya digantikan oleh Fauzi Al-Mulki yang kemudian menentukan pemimpin liberal, Anwar Al-Khatib, sebagai menteri ekonomi dan pembangunan.
Raja Husein membubarkan parlemen dan berjanji akan menyelenggarakan pemilu gres pada bulan April. Kemudian Komite Nasional yang gres terbentuk, berupa koalisi partai dan kelompok nasionalis dan sayap kiri. Bersidang di kota Amman guna mengatur taktik bagi pemilu yang mendatang. Agendanya berisi usul semoga Mesir, Arab Saudi, dan Suriah gotong royong membantu keuangan Negara Yordania untuk menggantikan subsidi Inggris sehingga Yordania bebas dari dominasi dari Inggris. Tokoh utama dalam komite ialah Sulaiman Na Bulsi yang dengan optimis menyatakan bahwa dengan pemilu bebas, pasti oposisi akan meraih 20 $ suara.
Dalam periode antar perang yang berkuasa yakni Taufik Pasha Abul Huda di bawah pengawasan pemerintah Inggris. Amandemen diterima pada tahun 1938 untuk Undang-Undang Dasar dan pada tahun 1941 untuk perjanjian dengan Inggris yang mengubah sedikit pola politik dan pemerintahankendali Inggris.
Perang dunia ke duatidak meluas ke transyordania, jaid hanya kuat secara tidak langusng terhadap pemerintahan Raja Emir Abdullah. Peristiwa yang penting ialah partisipasi legiun arab dalam kampanye Irak dan Suriah, sementara itu Amman menjadi tempat berlinfung bagi pengungsi Irak yang melarikan diri dari Baghdad selama perebutan kekuasaan Rasihd Ali. Posisi internasional Transyordania atau Yordania antara tahun 1921 dan pada tahun 1945 kurang menonjol lantaran kelemahan negaranya dan kebergantungannya pada Negara Inggris. Secara politis, Transyordania dan ambisi Raja Abdullah merupakan kekuatan cadangan Inggris untuk masa mendatang, tetapi Inggris tidak hanya ingin memanfaatkan dalam periode antar perang ini lantaran ingin menjaga status quo.
Dalam perjalanan system politiknya, Negara Yordania telah melewati beberapa fase yagn cukup kuat terhadap keberlangsungannya Negara itu. Hal nii sanggup kita lihat pada system pemerintahan Yordania pada dikala ini dimana Negara Yordania merupakan Negara yang mempunyai system politik yang kuat dalam pengembangan keberlangsungan kenegaraan terutama bagi warga negaranya atau masarakat.

E.     MESIR
Kekuasaan di Mesir diatur dengan sistem semipresidensial multipartai. Secara teoritis, kekuasaan direktur dibagi antara presiden dan perdana menteri namun dalam prakteknya kekuasaan terpusat pada presiden, yang selama ini dipilih dalam pemilu dengan kandidat tunggal. Mesir juga mengadakan pemilu parlemen multipartai.
Pada final Februari 2005, Presiden Mubarak mengumumkan perubahan aturan pemilihan presiden menuju ke pemilu multikandidat. Untuk pertama kalinya semenjak 1952, rakyat Mesir menerima kesempatan untuk menentukan pemimpin dari daftar banyak sekali kandidat. Namun, aturan yang gres juga menerapkan banyak sekali batasan sehingga banyak sekali tokoh, mirip Ayman Nour, tidak bisa bersaing dalam pemilihan dan Mubarak pun kembali menang dalam pemilu.
Pada final Januari 2011 rakyat Mesir menuntut Presiden yang kini Berkuasa Hosni Mubarak untuk meletakan jabatannya. Hingga 18 hari agresi demonstrasi besar-besaran menuntut Presiden Hosni Mubarak mundur, alhasil pada tanggal 11 Februari 2011 Hosni Mubarak resmi mengundurkan diri. Pengunduran diri Hosni Mubarak ini disambut baik oleh rakyatnya, dan disambut baik oleh dunia Internasional.

F.     TURKI
Sistem politik Turki sebelum sistem politik demokrasi ala barat yang diterapkan di Turki dikala ini, bahwasanya Turki telah menganut sistem politik islam. Yang mana dalam sejarahnya sistem politik ini pernah berjaya yaitu pada masa kekhalifahan Utsmani. Dalam sistem politik Islam pemilihan khalifah harus terpenuhi syarat legal dan keutamaannya yaitu beragama islam, baligh, berakal sehat, merdeka; ketika dilakukan pemilihan dan dipilih di bai’at; ada Mahkamah Mazhalim untuk menghilangkan kejahatan yang terjadi maksudnya kejahatan yang melanggar syariat Islam; dalam pemilihan anggota majelis Ummat dipilih lewat pemilu (Majelis Ummat mewakili umat dalam memperlihatkan pendapat ,sebagai tumpuan khalifah untuk meminta masukan atau pendapat yang terkait dengan kebijakan); Majelis Ummat mempunyai hak syura (musyawarah) dan mempunyai kewajiban muhasabah (mengontrol & mengoreksi khalifah); dan masih banyak yang lainnya.

Sebelumnya, Turki yakni sebuah negara yang diagungkan oleh negara-negara berpenduduk muslim di dunia lantaran merupakan sentra peradaban Islam, tiba-tiba kini menjadi negara yang sangat anti terhadap simbol-simbol yang terkait dengan islam. Turki yakni sebuah negara berpenduduk mayoritas muslim yang pernah memimpin dunia islam selama 700 tahun, yaitu semenjak permulaan kala ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Utsmani pada awal kala ke-20. Sungguh mengherankan apabila kini Turki menjadi negara yang menganut sistem politik demokrasi ala barat, sistem ini membawa nilai-nilai sekularisme.

Mustafa Kemal Ataturk mendirikan Republik Turki apada tahun 1923. Republik tersebut mengacu pada nilai-nilai barat atau sekularisme, maka ia yang juga merupakan presiden pertama dalam pemerintahan Republik Turki menjalankan sistem politik demokrasi ala barat. Modernisasi yang dilakukan Kemal yang mengkiblat ke Barat, contohnya ia mengganti penggunaan aksara Arab menjadi aksara Latin, poligami dilarang, wanita diberi kebebasan yang sama dengan laki-laki, larangan menggunakan jilbab, abolisi sistem khalifah, penutupan sekolah-sekolah islam tradisional, pembubaran pengadilan agama, penghapuusan tarikat, melarang pemakaian epilog kepala khas dinasti Utsmani bagi pria dan lain-lain.

Untuk menjaga sistem politik demokrasi ala barat maka pemerintah Kemal menggunakan militer untuk menumpas hal-hal yang terkait dengan islam itu sendiri.
Ketika terjadi peralihan Turki ke sistem multi-partai pada tahun 1946, militer tetap lebih banyak didominasi menjaga sistem politik demokrasi ala barat dan nilai-nilai sekulerisme. Banyak partai-partai yang ada di Turki contohnya AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi), Partai Refah, Partai Rakyat Republik, Partai Demokrat, Partai Fadilah, Partai Saadat dan masih banyak yang lain. Selama ini setiap terjadi kemenangan partai politik yang berbasis Islam selalu diikuti dengan upaya perebutan kekuasaan dan pembubaran partai politik.


G.    PAKISTAN
Pakistan merupakan negara federal dengan sistem parlemen yang terdiri dari 4 provinsi dan 4 tempat federal.
Pakistan mempunyai empat wilayah federal ( Balochitan, Nort-West Frontier Province (NWFP), Punjab dan Sindh), Territorial Utama (IslSecara umum ada dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan Parlementer dan sistem pemerintahan Presidensil. Selain itu ada pula sistem pemerintahan semi presidensil yang menggabungkan keduanya.
Salah satu negara yang berada di Asia Selatan yaitu Pakistan memulai masa kemerdekaannya dengan sisterm pemerintahan parlementer mirip dengan sistem pemerintahan di Inggris. Penerapan sistem parlementer ini didasarkan atas Undang-Undang Dasar yang berlaku selama 2 tahun.
Pakistan (Islamic Republic of Pakistan) yakni negara yang merdeka pada tanggal 14 agustus 1947. Sebelumnya Negara ini bergabung dengan India kemudian pada 14 agustus 1947, Pakistan memisahkan diri dari India dan mengungumkan kemerdekaannya. Pada kala ke-8 agama Islam masuk ke anak benua India dan sebagian dari wilayah Pakistan sekarang, selama masa penjajahan Ingris pada final kala ke-18, dulu dikuasai oleh kaum muslimin. Bersamaan dengan bangkitnya usaha rakyat India melawan penjajahan Inggris, pada tahun 1906 terbentuk partai “Liga Muslim” yang diketuai Muhammad Ali Jinah dan bertujuan untuk membentuk pemerintahan islami. Negara Muslim terbentuk semenjak pemerintahan pertama yaitu di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan.
Partai ini kemudian secara sedikit demi sedikit bisa menarik kekuatan kaum muslim dan alhasil terbentuklah negara Pakistan. Awalnya Pakistan terdiri dari dua wilayah yang terpisah, yaitu timur dan barat india. Namun, lantaran ketidakpuasan rakyat Pakistan Selatan atas pemerintahan pusat, alhasil Pakistan Selatan memisahkan diri dan membentuk negara Bangladesh pada tahun 1971. Pakistan hingga tahun 1970 membentuk pemerintahan militer dan kemudian berubah bentuk menjadi Republik Islam Pakistan. Pakistan mempunyai luas wilayah lebih dari 803 ribu kilometer persegi dan berbatasan dengan Iran, India, Afganistan dan China.
Sejak 1947 hingga 1956, pakistan menjadi lebih banyak didominasi di Common Wealth of Nation. Negara republikpun dideklarasikan pada tahun 1956 dan kekuasaan di alihkan pada Ayub Khan (1958 – 1969), yang menjabat menjadi presiden dikala kondisi yang tidak stabil. Pada dikala perang kedua dengan Moja (1965) yang memimpin yakni Yahya Khan (1969 – 1971) dan dalam perang itu kurang lebih 500.000 orang mati di Pakistan Timur.
Di bawah Jenderal Ayub Khan dimulailah suatu sistem pemerintahan presidensil dengan tubuh esekutif yang kuat. Penerapan sistem presidensil tersebut, didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1962 yang berlaku hingga tahun 1969. berdasarkan Undang-Undang Dasar tersebut, tubuh direktur terdiri atas presiden yang beragama islam beserta materi-materi. Para menteri yakni pembantu presiden yang tidak boleh merangkap anggota legislatif. Presiden mempunyai wewenang untuk menjatuhkan veto atas rancangan UU yang telah diterima oleh tubuh legislatif. Namun veto sanggup dibatalkan , kalau rancangan UU tersebut diterima oleh mayoritas 2/3 suara.
Presiden menjalankan pemerintahan bersama dengan perdana menteri. Ada pembagian kiprah antara presiden yang mngelola urusan luar negeri dan perdana menteri yang meamabad) dan tiga area federasi suku (Federally Administered Tribal Areas, Azad Kashmir dan area Northern.
Setiap provinsi mempunyai sistem pemerintahan yang sama, dan setiap provinsi mempunyai kepala pemerintahan masing masing yang sanggup dipilih secara pribadi dalam sebuah rapat provinsi dan nantinya sanggup menjadi perdana menteri. Permerintah tiap provinsi ditetapkan oleh Presiden.
Sistem presidensil merupakan sistem pemerintahan di mana kepala pemeriintahan dipegang oleh presiden (yang merupakan kekuasaan nominal) dan memegang kekuasaan politik. Presiden sebagai kepala direktur tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislatif). Presiden dipilih bukan oleh parlemen, tetapi dipilih secara pribadi oleh pemilih (rakyat), presiden bukan merupakan penggalan parlemen, ia tidak sanggup diberhentikan dari jabatannya oleh parlemen,dan presiden tidak sanggup membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Namun apabila presiden membubarkan tubuh legislatif, presiden juga harus mengundurkan diri dalam waktu empat bulan dan mengadakan pemilihan umum baru. Sistem presidensil disebut juga dengan istilah “The Presidensial Type of Government” atau Non Parliamentary System”.
Dalam keadaan darurat, presiden berhak mengeluarkan ordinansi yang harus diajukan pada parlemen kalau melanggar Undang-Undang Dasar dalam hal berkelakuan buruk, dengan ¾ jumlah bunyi legislatif. Sistem pemerintahan presidensil di Pakistan hanya berlasung 1962 – 1969, kini negera tersebut kembali ke sistem parlementer kabinet.





[1] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata negara, Edisi 5, (Jakarta, UI-Press, 1993) h. 2-3
[2] Prinsip perihal musyawarah terdapat dalam QS. Ali Imran:159, QS. as-Syura:38; ketaatan pada pemimpin, QS. an-Nisa:59; prinsip keadilan, QS an-Nahl:90, QS. an-Nisa:58; prinsip persamaan, QS. al-Hujurat:13; dan prinsip kebebasan beragama, QS. al-Baqarah:256, QS. Yunus:99, QS. Ali Imran:64

[3] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 130






















[4] Sjadzali, Islam dan., h. 189

[5] M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, h. 209

[6] Nurcholish Madjid, 1999, h. 3

Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com