TUMBUHAN PAKU
Tumbuhan paku (atau paku-pakuan, Pteridophyta atau Filicophyta), yakni satu divisio flora yang telah mempunyai sistem pembuluh sejati (kormus) tetapi tidak menghasilkan biji untuk reproduksinya. Alih-alih biji, kelompok flora ini masih memakai spora sebagai alat perbanyakan generatifnya, sama mirip lumut dan fungi.
Tumbuhan paku tersebar di seluruh kepingan dunia, kecuali daerah bersalju infinit dan daerah kering (gurun). Total spesies yang diketahui hampir 10.000 (diperkirakan 3000 di antaranya tumbuh di Indonesia), sebagian besar tumbuh di daerah tropika lembap yang lembab. Tumbuhan ini cenderung tidak tahan dengan kondisi air yang terbatas, mungkin mengikuti sikap moyangnya di zaman Karbon, yang juga dikenal sebagai masa keemasan flora paku alasannya yakni merajai hutan-hutan di bumi. Serasah hutan flora pada zaman ini yang memfosil kini ditambang orang sebagai batu bara.
Morfologi
Bentuk flora paku bermacam-macam, ada yang berupa pohon (paku pohon, biasanya tidak bercabang), epifit, mengapung di air, hidrofit, tetapi biasanya berupa terna dengan rizoma yang menjalar di tanah atau humus dan ental (bahasa Inggris frond) yang menyangga daun dengan ukuran yang bervariasi (sampai 6 m). Ental yang masih muda selalu menggulung (seperti gagang biola) dan menjadi satu ciri khas flora paku. Daun pakis hampir selalu daun majemuk. Sering dijumpai flora paku mendominasi vegetasi suatu tempat sehingga membentuk belukar yang luas dan menekan flora yang lain.
Daur hidup (metagenesis)
Daur hidup flora paku mengenal pergiliran keturunan, yang terdiri dari dua fase utama:gametofit dan sporofit. Tumbuhan paku yang gampang kita lihat merupakan bentuk fase sporofit alasannya yakni menghasilkan spora. Bentuk generasi fase gametofit dinamakan protalus (prothallus) atau protalium (prothallium), yang berwujud flora kecil berupa lembaran berwarna hijau, mirip lumut hati, tidak berakar (tetapi mempunyai rizoid sebagai penggantinya), tidak berbatang, tidak berdaun. Prothallium tumbuh dari spora yang jatuh di tempat yang lembab. Dari prothallium berkembang anteridium (antheridium, organ penghasil spermatozoid atau sel kelamin jantan) dan arkegonium (archegonium, organ penghasil ovum atau sel telur). Pembuahan mutlak memerlukan dukungan air sebagai media spermatozoid berpindah menuju archegonium. Ovum yang terbuahi berubah menjadi zigot, yang pada gilirannya tumbuh menjadi flora paku baru.
Tumbuhan berbiji (Spermatophyta) juga mempunyai daur mirip ini tetapi telah berevolusi lebih jauh sehingga tahap gametofit tidak mandiri. Spora yang dihasilkan eksklusif tumbuh menjadi benang sari atau kantung embrio.
Klasifikasi
Secara tradisional, Pteridophyta meliputi semua kormofita berspora, kecuali lumut hati, lumut tanduk, dan tumbuhan lumut. Selain paku sejati (kelas Filicinae), termasuk di dalamnya paku ekor kuda (Equisetinae), rane dan paku kawat (Lycopodiinae), Psilotum (Psilotinae), serta Isoetes (Isoetinae). Sampai kini pun ilmu yang mempelajari kelompok-kelompok ini disebut pteridologi dan ahlinya disebut pteridolog.
Smith et al. (2006)[1] mengajukan revisi yang cukup berpengaruh berdasarkan data morfologi dan molekular. Berdasarkan pembagian terstruktur mengenai terbaru ini, Lycophyta (rane, paku kawat, dan Isoetes) merupakan flora berpembuluh yang pertama kali terpisah dari yang lain, sedangkan paku-pakuan serta flora berbiji berada pada kelompok lain. Selanjutnya terlihat bahwa semua kormofita berspora yang tersisa tergabung dalam satu kelompok besar, yang layak dikatakan sebagai anggota divisio flora paku (Pteridophyta). Dari hasil revisi ini juga terlihat bahwa sejumlah paku-pakuan yang dulu dianggap sebagai paku primitif (seperti Psilotum) ternyata lebih bersahabat berkerabat dengan paku tunjuk langit (Helminthostachys), sementara paku ekor kuda (Equisetum') sama dekatnya dengan paku sejati terhadap Marattia.
Dengan demikian, berdasarkan pembagian terstruktur mengenai gres ini, flora paku sanggup dikelompokkan sebagai berikut.
Paku kawat
Tumbuhan paku kawat juga disebut dengan Lycophyta yakni divisi dari anggota Pteridophyta (tumbuhan paku).Kelas Lycopodiinae mempunyai daun yang serupa rambut atau sisik dan duduk daunnya tersebar dan kecil-kecil. Paku ini juga mempunyai batang yang mirip kawat. Karena itulah paku ini sering disebut sebagai paku kawat. Pada beberapa jenis, daunnya mempunyai lidah-lidah (ligula), daunnya yang amat banyak tersusun rapat berdasarkan garis spiral. [1]. Sporangium pada Lycopodiinae tersusun dalam strobilus dan dibuat diujung cabang. Contohnya Lycopodium dan Selaginella. [2]
Paku ekor kuda
Nama paku ekor kuda merujuk pada segolongan kecil tumbuhan (sekitar 20 spesies) yang umumnya herba kecil dan semua masuk dalam genus Equisetum (dari equus yang berarti "kuda" dan setum yang berarti "rambut tebal" dalam bahasa Latin). Anggota-anggotanya sanggup dijumpai di seluruh dunia kecuali Antartika. Di daerah Malesia (Indonesia termasuk di dalamnya) hanya dijumpai satu spesies saja, E. debile Roxb. (Melayu: rumput betung, Sunda: "tataropongan", Jawa: "petongan"). Kalangan taksonomi masih memperdebatkan apakah ekor kuda merupakan divisio tersendiri, Equisetophyta (atau Sphenophyta), atau suatu kelas dari Pteridophyta, Equisetopsida (atau Sphenopsida). Hasil analisis molekular mengatakan kedekatan hubungan dengan Marattiopsida.
Semua anggota paku ekor kuda bersifat tahunan, terna berukuran kecil (tinggi 0.2-1.5 m), meskipun beberapa anggotanya (hidup di Amerika Tropik) ada yang sanggup tumbuh mencapai 6-8 m (E. giganteum dan E. myriochaetum).
Batang flora ini berwarna hijau, beruas-ruas, berlubang di tengahnya, berperan sebagai organ fotosintetik menggantikan daun. Batangnya sanggup bercabang. Cabang duduk mengitari batang utama. Batang ini banyak mengandung silika. Ada kelompok yang batangnya bercabang-cabang dalam posisi berkarang dan ada yang bercabang tunggal. Daun pada semua anggota flora ini tidak berkembang baik, hanya ibarat sisik yang duduk berkarang menutupi ruas. Spora tersimpan pada struktur berbentuk gada yang disebut strobilus (jamak strobili) yang terletak pada ujung batang (apical). Pada banyak spesies (misalnya E. arvense), batang penyangga strobilus tidak bercabang dan tidak berfotosintesis (tidak berwarna hijau) serta hanya muncul segera sesudah demam isu salju berakhir. Jenis-jenis lain tidak mempunyai perbedaan ini (batang steril mirip dengan batang pendukung strobilus), contohnya E. palustre dan E. debile.
Spora yang dihasilkan paku ekor kuda umumnya hanya satu macam (homospor) meskipun spora yang lebih kecil pada E. arvense tumbuh menjadi protalium jantan. Spora keluar dari sporangium yang tersusun pada strobilus. Sporanya berbeda dengan spora paku-pakuan alasannya yakni mempunyai empat "rambut" yang disebut elater. Elater berfungsi sebagai pegas untuk membantu pemencaran spora.
Paku ekor kuda menyukai tanah yang basah, baik berpasir maupun berlempung, beberapa bahkan tumbuh di air (batang yang berongga membantu pembiasaan pada lingkungan ini). E.arvense sanggup tumbuh menjadi gulma di ladang alasannya yakni rimpangnya yang sangat dalam dan menyebar luas di tanah. Herbisida pun sering tidak berhasil mematikannya. Di Indonesia, rumput betung (E. debile) dipakai sebagai sikat untuk mencuci dan adonan obat.
Pada masa lalu, kira-kira pada zaman Karbonifer, paku ekor kuda purba dan kerabatnya (Calamites, dari divisio yang sama, kini sudah punah) mendominasi hutan-hutan di bumi. Beberapa spesies sanggup tumbuh sangat besar, mencapai 30 m, mirip ditunjukkan pada fosil-fosil yang ditemukan pada deposit batu bara. Batu bara dianggap sebagai sisa-sisa serasah dari hutan purba ini yang telah membatu.
Marattiaceae merupakan salah satu suku anggota tumbuhan paku (Pteridophyta) dan satu-satunya wakil kelas Marattiopsida, bangsa Marattiales, yang masih lestari. Suku ini meliputi empat genera, yang kebanyakan hidup di daerah tropika.