Benarkah pulau Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah SAW semasa hidup, serta telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction” yang di seminarkan November 2011 lalu.
Syed Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 ialah seorang cendekiawan dan filsuf muslim ketika ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis banyak sekali buku di bidang aliran dan peradaban Islam, khususnya perihal sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.
Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap al-Attas, sanggup dipakai para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk hingga pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para sobat untuk berdakwah di suatu tempat berjulukan Samudra, yang akan terjadi tidak usang lagi di kemudian hari. Hikayat Raja-raja Pasai antara lain menyebutkan sebagai berikut:
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sobat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi:
“Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (sediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kau bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu”
Dasarnya tentu sangat berpengaruh baik secara teologis maupun secara antropologis. Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf As-singkili yang terkenal dengan nama Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala ialah sekian diantara ulama besar Aceh yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan, sekian diantara Wali Songo mempunyai garis kekerabatan pendidikan atau lulusan (alumni) yang mencar ilmu di Samudera Pasai sebagai sentra peradaban Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang mempunyai kekerabatan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di Tanah Jawa.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang dipakai bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Masyarakat Arab menyebutnya dengan nama tersebut sebab materi produk tersebut tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (cinnamomum camphora) dan juga sebab “menutupi” bau mayat sebelum dikubur. Produk kapur barus yang terbaik ialah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut (pasai) dan dari laporan perihal apa yang telah mereka lihat dan dengar perihal tempat-tempat yang telah mereka singgahi. Perlu di ketahui, bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatera" sendiri berasal dari kata "Samudera" Pasai.
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di tempat Selat Melaka pada jalur kekerabatan bahari yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada kala ke XIII sudah terkenal sebagai sentra perdagangan di tempat itu.
Kembali berdasarkan Al-Attas, ia menyebutkan, ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam karakter Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat sebab tidak banyak dari mereka yang pintar membaca goresan pena Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya sanggup dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak sanggup diterima sebagai sumber sejarah yang tepat dan benar.
Keempat, sebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara menciptakan para ilmuwan Barat hanya memakai sumber, kajian dan goresan pena dari luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam banyak sekali sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Prof. Dr. Abdul Rahman Tang, dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences di International Islamic University Malaysia, selaku pembanding menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut ialah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut sanggup valid jikalau telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melaksanakan proses ini terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai tersebut.
Muslim China warga Malaysia ini mempertanyakan perihal hadits ini dan mengkhwatirkan implikasinya terhadap aliran masyarakat Nusantara. Menurutnya, al-Attas melaksanakan inductive methode of reasoning secara tidak konstruktif. Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam program bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta.
Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui bahari tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan banyak sekali teori dan pendapat perihal kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang dipakai untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di selesai makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society” berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh lebih berkesempatan mendapat keuntungan dagang dan politik. Dia juga menyimpulan adanya kekerabatan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang satu menunjukkan tunjangan dan dukungan materiil, dan pihak kedua menunjukkan kebebasan dan proteksi kepada pihak pertama. Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga aristokrat dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut imbas hingga menghimpun kekuataan.
Menurut catatan M. Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka ialah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga menyerupai tersebut di atas, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).
Nama Samudera dan Pasai sudah terkenal disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri menyerupai Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada kala ke 13 dan ke-14 Masehi. Dan perihal asal undangan nama kerajaan ini ada banyak sekali pendapat.
Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan berdasarkan logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak kala ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah tiba berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia pengarang buku ACEH SEPANJANG ABAD yang berkecimpung dengan penelitiannya perihal kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia", berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang terkenal dipakai pada pertengahan kala ke VIII M menyerupai terdapat dalam laporan-laporan Cina, ialah identik atau menyerupai sekali dengan Pase atau Pasai.
Pendapat ini ialah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab perihal Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah semenjak kala ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam. (*/Azzans)
Referensi:
Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, Malaysia
http://id.wikipedia.org/wiki/ Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas
hidayatullah.com, Benarkah Nusantara telah dikenal di jaman Nabi
Syed Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 ialah seorang cendekiawan dan filsuf muslim ketika ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis banyak sekali buku di bidang aliran dan peradaban Islam, khususnya perihal sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.
Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap al-Attas, sanggup dipakai para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk hingga pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para sobat untuk berdakwah di suatu tempat berjulukan Samudra, yang akan terjadi tidak usang lagi di kemudian hari. Hikayat Raja-raja Pasai antara lain menyebutkan sebagai berikut:
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sobat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi:
“Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (sediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kau bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu”
Dasarnya tentu sangat berpengaruh baik secara teologis maupun secara antropologis. Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf As-singkili yang terkenal dengan nama Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala ialah sekian diantara ulama besar Aceh yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan, sekian diantara Wali Songo mempunyai garis kekerabatan pendidikan atau lulusan (alumni) yang mencar ilmu di Samudera Pasai sebagai sentra peradaban Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang mempunyai kekerabatan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di Tanah Jawa.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang dipakai bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Masyarakat Arab menyebutnya dengan nama tersebut sebab materi produk tersebut tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (cinnamomum camphora) dan juga sebab “menutupi” bau mayat sebelum dikubur. Produk kapur barus yang terbaik ialah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai barat Sumatra.
Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut (pasai) dan dari laporan perihal apa yang telah mereka lihat dan dengar perihal tempat-tempat yang telah mereka singgahi. Perlu di ketahui, bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatera" sendiri berasal dari kata "Samudera" Pasai.
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di tempat Selat Melaka pada jalur kekerabatan bahari yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada kala ke XIII sudah terkenal sebagai sentra perdagangan di tempat itu.
Kembali berdasarkan Al-Attas, ia menyebutkan, ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam karakter Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat sebab tidak banyak dari mereka yang pintar membaca goresan pena Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya sanggup dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak sanggup diterima sebagai sumber sejarah yang tepat dan benar.
Keempat, sebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara menciptakan para ilmuwan Barat hanya memakai sumber, kajian dan goresan pena dari luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam banyak sekali sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Prof. Dr. Abdul Rahman Tang, dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences di International Islamic University Malaysia, selaku pembanding menyatakan kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam buku tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut ialah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut sanggup valid jikalau telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melaksanakan proses ini terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai tersebut.
Muslim China warga Malaysia ini mempertanyakan perihal hadits ini dan mengkhwatirkan implikasinya terhadap aliran masyarakat Nusantara. Menurutnya, al-Attas melaksanakan inductive methode of reasoning secara tidak konstruktif. Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam program bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta.
Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui bahari tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan banyak sekali teori dan pendapat perihal kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang dipakai untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di selesai makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society” berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh lebih berkesempatan mendapat keuntungan dagang dan politik. Dia juga menyimpulan adanya kekerabatan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang satu menunjukkan tunjangan dan dukungan materiil, dan pihak kedua menunjukkan kebebasan dan proteksi kepada pihak pertama. Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga aristokrat dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut imbas hingga menghimpun kekuataan.
Menurut catatan M. Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka ialah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga menyerupai tersebut di atas, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).
Nama Samudera dan Pasai sudah terkenal disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri menyerupai Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada kala ke 13 dan ke-14 Masehi. Dan perihal asal undangan nama kerajaan ini ada banyak sekali pendapat.
Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan berdasarkan logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak kala ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah tiba berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia pengarang buku ACEH SEPANJANG ABAD yang berkecimpung dengan penelitiannya perihal kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia", berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang terkenal dipakai pada pertengahan kala ke VIII M menyerupai terdapat dalam laporan-laporan Cina, ialah identik atau menyerupai sekali dengan Pase atau Pasai.
Pendapat ini ialah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab perihal Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah semenjak kala ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam. (*/Azzans)
Referensi:
Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, Malaysia
http://id.wikipedia.org/wiki/
hidayatullah.com, Benarkah Nusantara telah dikenal di jaman Nabi