Tuesday, March 27, 2018

√ Radiolaria, Si Kecil Penyebab Duduk Masalah Besar Pada Tektonik Bantimala

Radiolaria merupakan plankton atau makhluk renik (bisa binatang, bisa juga tumbuhan) yang hidup di air. Radiolaria yakni plankton yang disebut immotile atau tidak bisa bergerak sendiri, mereka berpindah kesana-kemari tergantung arus air yang membawanya. Radiolaria umumnya berukuran antara 50-100 µm (kisaran sehelai rambut manusia) dan diketahui sudah menjelajah lautan semenjak 530 juta tahun yang kemudian (zaman Kambrium).

Akibat rentang waktu yang sangat usang tersebut, radiolaria telah berevolusi dengan banyak sekali penampilan yang mengagumkan. Dengan menumpang di lantai samudra, radiolaria mengarungi belahan Bumi hingga terdampar di tepian benua. Fosil radiolaria dikenal sebagai penunjuk untuk mengenali lingkungan pengendapan maritim dalam. Hal tersebut bukan berarti radiolaria hidup di maritim dalam, tetapi cangkang radiolaria yang telah mati jatuh hingga ke dasar samudra.


Sesuai dengan judul postingan diatas, anda mungkin akan bertanya apa hubungannya radiolaria dengan tektonik bantimala?? dan mengapa hingga radiolaria yang notabennya sebagai makhluk renik bisa membawa perdebatan sengit dikalangan para jago geologi ihwal tektonik bantimala??. Jawabannya hanya 1, Radiolaria yang merupakan penyusun utama batuan rijang di bantimala (Rijang Radiolaria Bantimala) mengaburkan dogma model stratigrafi lempeng samudera yang selama ini dianut oleh pakar-pakar geologi diseluruh dunia.

Mengacu kepada teori tektonik lempeng seharusnya rijang radiolaria menumpang di atas lava bantal, atau jikalau lava bantalnya tidak tersingkap, maka rijang ini biasanya menumpang di atas batuan ofiolit yang lain (seperti peridotit, gabro, atau diabas). Mengapa bisa begitu?, alasannya begitulah susunan batuan lempeng samudera, dibagian atas akan ada rijang radiolaria, yang biasanya berteman dengan batuan endapan maritim dalam (seperti serpih silikaan atau batugamping merah), yang duduk di atas kerak dan mantel penggalan atas di bawah samudra. Kerak dan mantel penggalan atas memiliki susunan berturut-turut dari atas ke bawah yakni sebagai berikut: lava basal membantal, retas intrusif diabas/dolerit, gabro berlapis, gabro kumulatif, dan paling bawah peridotit. Susunan menyerupai inilah yang biasa disebut dengan OPS (Oceanic Plate Stratigraphy). Susunan OPS tentu saja tidak harus selengkap itu, tetapi pastinya urutan stratigrafinya dibagian atas seharusnya dihuni oleh rijang radiolaria dan paling bawah dihuni oleh peridotit.

Lalu bagaimana dengan di Bantimala?, kita ketahui bersama bahwa stratigrafi bantimala disusun atas batuan-batuan yang berturut-turut umurnya yakni sebagai berikut: batupasir Jurassic Paremba, peridotit terserpentinisasi, ekologit dan sekis biru, breksi sekis, rijang radiolaria yang berselingan dengan batupasir asal benua. Kaprikornus disini tidak ditemukan rijang radiolaria masif yang duduk di atas lava bantal.

 Radiolaria merupakan plankton atau makhluk renik  √ Radiolaria, Si Kecil Penyebab Masalah Besar Pada Tektonik Bantimala
Radiolaria dan fitur tektonik Bantimala.

Di Bantimala, rijang radiolaria terlihat berselingan dengan batupasir asal tepi benua, dan di dalam batupasir tersebut terdapat pula rombakan-rombakan batuan metamorf (sekis mika). Bagaimana mungkin rijang yang lingkungan pengendapannya di maritim dalam bisa terbentuk secara berlapis-lapis dengan perselingan batupasir yang relatif berbutir bergairah (penciri lingkungan maritim menengah-dangkal)??. Melalui goresan pena ini Geologinesia mencoba memperlihatkan opini yang dirangkum dari banyak sekali sumber, benar atau tidaknya tergantung anda yang menilainya. Diharapkan dengan lebih banyaknya inovasi fitur tektonik yang tersingkap di Bantimala akan lebih memperlihatkan titik terang. Mari kita mulai !!.

Menurut teori tektonik lempeng, lempeng benua dan lempeng samudra yakni kulit-kulit Bumi yang bersifat mobile, saling bergerak relatif satu terhadap yang lain. Lempeng samudra berperan layaknya "conveyor" yang membawa rijang di atasnya dan bergerak menuju benua. Dalam perjalannya, biasanya ada penumpang gres yaitu partikel yang membentuk lapisan batulumpur (mudstone).

Kehadiran batulumpur di atas lapisan rijang sebagai menandakan sesaat lagi mereka akan hingga di tepi benua. Di atas batulumpur biasanya hinggap lapisan batupasir yang bahan-bahannya berasal dari tepi benua. Akan tetapi, ketika terjadi pertemuan lempeng samudra dan lempeng benua akan menjadikan terjadi kekacauan alasannya menghasilkan dua kelompok batuan, yaitu batuan dari lempeng samudra dan lempeng benua yang saling mendorong dan berebut untuk saling bersalaman. Akibat perebutan tersebut terjadilah campur-aduk banyak sekali macam batuan sehingga terbentuklah apa yang dinamakan batuan bancuh (mélange) yang membingungkan kita, batuan mana berasal dari mana dan dari zaman yang mana.


Tidak ditemukannya rijang radiolaria masif di Bantimala yang duduk diatas lava bantal ataupun batuan kerak samudra mengindikasikan bahwa rijang yang ada di bantimala bukan merupakan rijang yang harusnya berada pada seri OPS, tetapi terbentuk setelah terjadinya pertemuan antara lempeng samudra dan benua tadi. Hal ini dibuktikan dengan adanya batupasir Jurassic Paremba yang sudah bukan merupakan batuan pembentuk kerak samudra tetapi bisa berada di lapisan paling bawah pada tatanan Stratigrafi Bantimala.

Ditemukannya batuan peridotit dan batuan metamorf (eklogit & sekis biru) dengan protolith asal kerak samudera diatas batupasir Jurassic Paremba tersebut bekerjsama hanya mengindikasikan ciri kompleks batuan bancuh. Ini berarti bahwa ada 1 (satu) tragedi tektonik lagi yang mengalih tempatkan batuan bancuh hingga bisa berada diatas batupasir Jurassic Paremba. Pengalih tempatan ini kemungkinan besar hingga ke penggalan atas tepian benua yang ditendai dengan adanya perselingan rijang radiolaria dengan batupasir yang berbutir kasar.


Batupasir yang relatif berbutir bergairah mengindikasikan lingkungan yang relatif menengah-dangkal. Pertanyaan lain yang akan muncul yakni bagaimana bisa radiolaria yang merupakan penunjuk lingkungan maritim dalam sanggup berada di maritim menengah-dangkal?, bagaimana dengan teori Carbonate Compensation Depth (CCD) yang menyebutkan bahwa pada kedalaman antara 3000 hingga 4000 m terjadi laju pelarutan partikel materi karbonat yang lebih cepat daripada laju pengendapannya??. CCD menjelaskann bahwa laju pelarutan karbonat akan lebih tinggi di maritim dalam dibanding di maritim dangkal alasannya tingkat tingkat konsentrasi CO2 di maritim dalam jauh lebih besar. Kita ketahui bahwa CO2 bisa mengurai karbonat yang merupakan penyusun badan dari radiolaria. Kaprikornus adakah kemungkinan terjadinya peningkatan konsentrasi CO2 di lingkungan maritim bantimala (baik di maritim dalam-dangkal) pada masa setelah pengalihtempatan batuan bancuh??. Disinilah tantangan para jago untuk membuktikannya. Akhir kata, selamat kepada Radiolaria, si kecil yang menciptakan dilema besar. Salam.

Referensi: 1) Tulisan Awang H. Satyana (2014) "Rijang Radiolaria Bantimala", 2) Tulisan Munasri (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI) "Plankton Radiolaria", 3) tatanan Tektonik Bantimala dari banyak sekali sumber.

Sumber http://www.geologinesia.com