Konflik Aceh - Setelah Perang Dingin kita banyak menyaksikan aneka macam konflik yang terjadi di dalam sebuah Negara, menyerupai halnya pada Yugolslavia, Kroasia, Macedonia, Bosnia dan Indonesia. Konflik yang terjadi di Indonesia salah satunya yaitu konflik Aceh dimana dalam konflik tersebut telah memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban materi.
Konflik atau Pemberontakan di Aceh antara tahun 1976 hingga tahun 2005 dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hal tersebut untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia. Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan GAM, merupakan organisasi separatisme yang telah berdiri di Aceh semenjak tahun 1976. Tujuan didirikannya GAM yaitu untuk mengupayakan Aceh sanggup lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menciptakan negara kesatuan sendiri. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF).
Latar belakang Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Secara umum Latar belakang Konflik di aceh yang paling terang yaitu Perbedaan budaya antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia. Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam manajemen pada masa Presiden Soeharto (Orde Baru) sangat tidak disukai di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh tidak menyukai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mempromosikan satu "budaya Indonesia". Kemudian lokasi provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia mengakibatkan anggapan yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti dan memperhatikan problem yang dimiliki Aceh serta tidak bersimpati pada kebutuhan dan susila istiadat di Aceh yang berbeda.
Selain itu, Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto dan aneka macam permasalahan lainnya akhirnya mendorong tokoh Aceh Hasan di Tiro (Teungku Hasan Muhammad di Tiro) untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan memproklamasikan kemerdekaan Aceh. Permasalahan utama yang dianggap melatarbelakangi hal ini yaitu budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan makin banyaknya jumlah transmigran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh serta Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam yang diambil dari Aceh.
Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini beropini bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam tanah Aceh. Untuk mendapatkan proteksi dari masyarakat, kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan di Tiro kemudian menciptakan gagasan anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak sesudah pemerintah orde gres meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara pada awal 1970an.
Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh proteksi yang tiba dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum terselesaikan secara tuntas di zaman orde lama. beberapaTokoh DI/TII yang gagal melaksanakan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dengan memperlihatkan proteksi terhadap GAM, nantinya Aceh sanggup memperoleh kemerdekaannya.
Kemungkinan Penyebab Pemberontakan GAM berdasarkan Beberapa Pihak
Menurut Edward Aspinall
Akademis dari Universitas Nasional Australia Edward Aspinall beropini bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia mengakibatkan munculnya separatisme Aceh. Hal tersebut alasannya yaitu Aceh memainkan peranan penting pada revolusi dan perang kemerdekaan melawan Belanda sebagai balasannya diduga aceh telah mendapatkan akad dari Presiden Soekarno ketika kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan aturan Islam (atau syariah) sesudah perang kemerdekaan Indonesia.
Jalannya Konfil / Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka
Pada awalnya, GAM yaitu sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan di Tiro dilakukan secara belakang layar disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks proklamasi GAM ini terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah, pemerintahan orde gres mengetahui wacana pergerakan bawah tanah di Aceh.
Banyak pemimpin GAM merupakan perjaka dan profesional berpendidikan yang merupakan anggota kelas ekonomi menengah dan golongan kaya masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM, yang dibuat oleh Di Tiro di Aceh antara tahun 1976-1979, beranggotakan beberapa tokoh sebagai berikut:
- Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung
- Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
- Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
- Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
- Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
- Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri
- Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
- Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
- Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan
- Amir Ishak: Menteri Komunikasi
- Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun NGL yaitu operator ladang gas Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada ketika itu jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM sangatlah terbatas. Meskipun sudah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh namun hal tersebut tidak mengundang partisipasi aktif massa untuk mendukung GAM. Dalam ratifikasi Hasan di Tiro sendiri, pada awalnya hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung alasannya yaitu loyalitas pribadi kepada keluarga Hasan di Tiro, sementara sisanya bergabung alasannya yaitu faktor kekecewaan pada pemerintah pusat.
Pada simpulan tahun 1979, tindakan pemfokusan yang dilakukan militer Indonesia telah memukul telak GAM, para komandan GAM banyak yang berakhir di dibunuh, pengasingan, atau dipenjara. pengikut GAM lantas tercerai berai, bersembunyi dan melarikan diri. Para pemimpinnya menyerupai Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM) dan Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM) sudah kabur ke luar negeri dan kabinet GAM tang resmi tidak lagi menjalankan fungsinya.
Meskipun tidak mendapatkan proteksi yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih berangasan ini menciptakan pemerintah Indonesia bertindak represif. Periode antara tahun 1989-1998 kemudian dikenal sebagai kala Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah Pemberlakuan DOM di Aceh ini meskipun secara seni manajemen sukses menghancurkan kekuatan gerilya GAM, namun telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh dan rakyat Aceh merasa terasing dari Republik Indonesia.
Karena merasa terasing dari Republik Indonesia sesudah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian mendukung dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden B.J. Habibie pada simpulan kala 1998 sesudah kejatuhan Soeharto, ketika itu Jakarta dilanda kerusuhan dan terjadi ketidak stabilan pemerintahan dan politik di indonesia.
Turunnya Soeharto dari dingklik kepresidenan, menunjukan berakhirnya kala orde baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak kala presiden B.J. Habibie hingga dengan presiden Megawati telah mengupayakan aneka macam kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak berjalan secara efektif.
Pada tahun 1999 ketika terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif hal tersebut memperlihatkan kesempatan bagi GAM untuk melancarkan pemberontakan kembali di Aceh, namun kali ini dengan proteksi yang besar dari masyarakat Aceh. Sebenarnya pada tahun 1999 diumumkan penarikan pasukan, namun alasannya yaitu situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian mengakibatkan pengiriman ulang tentara dalam jumlah yang besar ke Aceh. pada pertengahan 2002 GAM dikatakan telah menguasai 70 persen pedesaan di penjuru Aceh.
Memburuknya kondisi keamanan di Aceh mengakibatkan tindakan pengamanan keras dilakukan pada tahun 2001-2002. Pemerintah Megawati pada tahun 2003 juga meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat diberlakukan di Provinsi Aceh. Pada November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama 6 bulan alasannya yaitu GAM belum sanggup dihancurkan sepenuhnya. Menurut laporan Human Rights Watch akhir dari di adakannya darurat militer di Aceh mengakibatkan sekitar 100.000 orang mengungsi pada 7 bulan pertama darurat militer dan beberapa pelanggaran HAM.
Konflik ini bergotong-royong masih berlangsung pada simpulan 2004, namu ketika itu tiba-tiba tragedi Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan memporakporandakan segala infrastruktur di provinsi Aceh, sehingga secara tidak pribadi musibah terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh.
Kesepakatan tenang dan pilkada pertama di Aceh
Setelah tragedi Tsunami dahsyat meluluhlantahkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menekankan kebutuhan yang sama untuk menuntaskan konflik tak berkesudahan ini. Upaya-upaya perdamaian yang sebelumnya telah gagal tetapi alasannya yaitu beberapa alasan termasuk faktor tragedi tsunami, perdamaian akhirnya terjadi pada tahun 2005 sesudah 29 tahun konflik berkepanjangan.
Perundingan perdamaian kemudian difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia). Perundingan ini menghasilkan kesepakatan tenang yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian maka terciptalah kesepakatan bahwa dilakukannya pelucutan senjata GAM dan Aceh akan mendapatkan otonomi khusus di bawah Republik Indonesia kemudian tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara non-Aceh). Sebagai cuilan dari perjanjian tersebut, Uni Eropa menerjunkan 300 pemantau yang tergabung dalam Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission). Misi mereka selesai pada tanggal 15 Desember 2006, sesudah suksesnya pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.
Beberapa kemungkinan faktor resolusi tenang di Aceh
Melemahnya posisi militer GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. International Crisis Group (ICG) melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius.
GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di daerah perkotaan hilang sepenuhnya. Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon semoga mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya sanggup dilaksanakan jikalau ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah. Sebelumnya, ketika GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe (subdistrik) mempunyai otonomi komando yang besar sehingga bisa melancarkan aksi militer dengan kemauannya sendiri.
Menurut Komandan Jenderal ABRI ketika itu (Endriartono Sutarto), pasukan keamanan Indonesia telah mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang. Meski banyak yang mewaspadai keakuratan jumlah tersebut, namun dominan pemantau setuju bahwa tekanan militer yang gres terhadap GAM pasca penerapan darurat militer telah memperlihatkan pukulan telak dan kerugian besar bagi GAM.
Kerusakan akhir tsunami di Banda Aceh |
Bencana Alam Tsunami
Posisi pemerintah sangat terang disini. Wapres M. Jusuf Kalla, beberapa hari sesudah tsunami dengan terang mengumumkan bahwa perdamaian harus segera dilakukan. Bagi Jusuf Kalla, sangat tidak mungkin membangun puing-puing reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan GAM masih bersebrangan. bencana Tsunami yang dahsyat juga menelan ratusan ribu korban jiwa dari kedua belah pihak sehingga gencatan senjata dan perjanjian tenang merupakan kebutuhan bersama untuk membangun Aceh.
Baca Juga : 15 Tempat Bersejarah di Indonesia yang Wajib Kamu Ketahui
Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004, dan Keseriusan nya dalam Resolusi Damai
Kemenangan pemilu presiden 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk melaksanakan perundingan untuk mencapai perdamaian. Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prakarsa upaya tenang konflik Aceh yang berakhir dengan perjanjian resmi.
Sejak dari simpulan Januari hingga Juli 2005, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sangat serius melaksanakan Perjanjian tenang dan mulai melaksanakan beberapa babak pembicaraan informal dengan pihak GAM untuk melaksanakan perundingan sebagai cara tenang guna menuntaskan konflik di Aceh. Pembicaaan informal ini difasilitasi oleh CMI yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari (mantan pesiden Finlandia). Dimana pembicaraan / perjanjian tenang tersebut dikemudian hari dikenal dengan nama perjanjian Helsinki.
Sekian klarifikasi artikel mengenai Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka), semoga artikel diatas sanggup bermanfaat bagi teman maupun untuk sekedar menambah wawasan dan pengetahuan teman mengenai Latar belakang Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Jalannya Konfil / Pemberontakan GAM, Kemungkinan Penyebab Pemberontakan GAM berdasarkan Beberapa Pihak, Kesepakatan tenang dan pilkada pertama di Aceh dan Beberapa kemungkinan faktor resolusi tenang di Aceh, Akhir Kata Terimakasih atas kunjungannya.
Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka)
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR