Sunday, July 8, 2018

√ Merinding .. !!Kisah Kasatmata : Marbot Masjid Atta’Awun - Cisarua Puncak Bogor.

*Merinding .. !!*
*Kisah Nyata :  Marbot Masjid Atta’awun - Cisarua Puncak Bogor.*
.
Cerita ini kasatmata yang mengisahkan dua sahabat yg terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini cerdik sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal yakni sahabat yg biasa2 saja. Namun keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal.
.
Setelah terpisah cukup lama, keduanya bertemu. Bertemu di daerah yg istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yg cantik, yg mempunyai view pegunungan dengan kebun teh yg terhampar hijau di bawahnya. Mesjid tersebut yakni mesjid At-Ta’awun yang berada di puncak Bogor.
Adalah Zaenal, sudah bermetamorfosis menjadi seorang manager kelas menengah. Necis. Parlente. Tapi tetap menjaga kesalehannya.
Ia punya kebiasaan. Setiap keluar kota, ia sempatkan singgah di masjid di kota yg ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur masih sanggup waktu yg diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga sebagai tambahan.
Seperti biasa, ia datang di Puncak Pas, Bogor. Ia mencari masjid. Ia pinggirkan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yg ia temukan.
.
Di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak punya, tapi pintarnya minta ampun.
.
Zaenal tidak menyangka bila berpuluh tahun lalu ia menemukan Ahmad sebagai merbot masjid..!
“Maaf,” katanya menegor sang merbot. “Kamu Ahmad kan? Ahmad mitra Sekolah Menengah Pertama aku dulu?”.
Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu keduanya berpelukan, Ahmad berucap
“Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dlm keadaan menggunakan dasi. Lengan yg digulungnya untuk persiapan wudhu, mengakibatkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.
.
Zaenal menaruh iba. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel. Khas merbot sekali. Celana digulung, dan peci didongakkan sehingga jidatnya yg lebar terlihat jelas.
“Mad… Ini kartu nama saya…”.
Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wuah, bener-bener keren.”
“Mad, nanti habis aku shalat, kita ngobrol ya. Maaf, kalau kau berminat, di kantor aku ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”.
Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun menuntaskan pekerjaan bersih2 dulu… Silahkan ya. Yang nyaman”.
Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir. Mengapa Ahmad yg pintar, lalu harus terlempar darik kehidupan normal. Ya, meskipun tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah, pikirannya tidak bisa membenarkan.
Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang-orang yang bahwasanya mempunyai bakat dan kecerdasan, namun miskin.
.
Air wudhu membasahi wajahnya…
Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang sedang bersih-bersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di perkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”.
Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zaenal. Sama-sama shalat sunnah sepertinya.
Setelah menuntaskan shalatnya Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad…”, gumamnya.
Zaenal menuntaskan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.
“Pak,” tiba2 anak muda yg shalat di belakangnya menegur.
“Iya Mas..?”
“Pak, Bapak kenal emangnya sama bapak Insinyur Haji Ahmad…?”
“Insinyur Haji Ahmad…?”
“Ya, insinyur Haji Ahmad…”
“Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”
“Itu, yang barusan ngobrol sama Bapak…”
“Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan aku dulu di SMP. Emangnya udah haji dia?”
“Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelum ia bangkit ini masjid…”.
.
Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup menampar hatinya Zaenal… Dari dulu sudah haji… Dari sebelum ia bangkit masjid ini…
Anak muda ini lalu menambahkan, “Beliau orang andal Pak. Tawadhu’. Saya lah yg merbot orisinil masjid ini. Saya karyawannya beliau. Beliau yang bangkit masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya sendiri. Beliau biayai sendiri pembangunan masjid indah ini, sebagai masjid transit mereka yg mau shalat. Bapak lihat hotel indah di sebelah sana? … Itu semua milik beliau… Tapi ia lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya, aneh. Yaitu senangnya menggantikan posisi saya. Karena bunyi aku bagus, kadang aku disuruh mengaji saja dan azan…”.
Zaenal tertegun, entah apa yang ada di hati dan di pikiran Zaenal ketika itu
.
*****
Ada pelajaran dari dongeng pertemuan Zaenal dan Ahmad. Jika Ahmad itu yakni kita, mungkin begitu bertemu mitra usang yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita yang sebenarnya.
.
Dan bila lalu mitra usang kita ini menyangka kita merbot masjid, maka kita akan menyangkal dan lalu menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah mitra kita bahwa kita inilah pewakaf dan yang membangun masjid ini.
Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji Ahmad bukannya kita. Semoga ia selamat dari rusaknya nilai amal, lantaran ia tetap damai dan tidak risih dengan evaluasi manusia. Haji Ahmad merasa tidak perlu menjelaskan apa-apa. Dan lalu Allah yg memberitahu siapa dia sebenarnya…
.
*"Al mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi”* Orang yang nrimo itu yakni orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, menyerupai ia menyembunyikan keburukan-keburukan dirinya. [Ya’qub YahimaHullah, dalam kitab Tazkiyatun Nafs].
.
Jangan Lupa Klik -SHARE- Bagikan ke teman2 biar jadi renungan inspiratif pagi kita buat kaum muslimin-muslimat nusantara.
��


Sumber http://es-saga.blogspot.com