Dr Marthin Luther King Jr mengubah dunia melalui 2 kata: ‘Believe’ dan ‘Dream’. Bagaimana mungkin keyakinan dan keinginan seorang individu sanggup diterima menjadi kesadaran kolektif pada skala planet?
Di kantor sentra perusahaan farmasi Johnson & Johnson (J&J) di New Jersey ada dinding yang bertuliskan ‘Our Credo’ atau ‘Falsafah Kami’. Tulisan itu terdiri dari empat paragrap. Masing-masing paragrap memberikan perihal tanggungjawab mereka kepada pihak yang berbeda-beda. Urutan paragrap merefleksikan prioritas. Dinding ini usianya sudah 74 tahun, dibentuk sendiri oleh Robert Wood Johnson pada 1943.
Paragrap pertama menyebutkan bahwa tanggungjawab prioritas mereka yakni kepada dokter, perawat, pasien, ayah-ibu, dan semua pengguna produk. Tanggungjawab itu dalam bentuk penyediaan produk kualitas tinggi, mereduksi biaya biar harga terjangkau, serta melayani dengan segera dan akurat. Ini yakni prioritas utama perusahaan mereka.
Prioritas kedua dan ketiga yakni tanggungjawab kepada karyawan dan komunitas. Paragrap terakhir yakni tanggungjawab kepada pemegang saham dengan cara membuat keuntungan.
Falsafah empat paragrap ini yakni jiwa yang menggerakkan tiap roda JJ&J dalam menjalankan usaha dan memecahkan problem atau tantangan yang muncul. Termasuk cara mereka merespon bencana.

Tahun 1982 di Chicago, 7 orang tewas sesudah mengonsumsi Tylenol, obat peringan rasa sakit best-seller milik J&J. Polisi menemukan beberapa obat yang sudah dicampur racun Potassium Sianida di dalam botol obat Tylenol. Saat itu botol obat belum disegel ibarat kini sehingga bisa dibuka-tutup oleh siapapun sebelum dijual. Dalam kegentingan, sebuah surat gelap tiba ke markas J&J. Dikirimkan oleh seseorang yang mengaku sebagai pelaku dan meminta tebusan $ 1 juta untuk menghentikan aksinya. Belakangan diketahui surat itu dikirimkan oleh laki-laki berjulukan James William Lewis.
J&J dihadapkan pada beberapa pilihan sangat sulit yang sama-sama berisiko tinggi. Tak diketahui botol obat mana saja yang sudah disabotase. Bila 31 juta botol Tylenol ditarik dari pasar (recall) mereka akan mengeluarkan biaya penarikan $ 100 juta dan estimasi kerugian miliaran dolar. Saat itu recall juga belum dikenal dalam industri. Tapi bila tidak di-recall entah berapa orang lagi yang bisa jadi korban lantaran pelaku belum tertangkap. Lagipula tahun 1982 belum ada medsos, sebaran informasi tidak terjadi ibarat sekarang.
Lalu, bagaimana cara J&J menentukan opsi berat dalam krisis besar ini?
Mereka kembali ke ‘Our Credo’: dokter, pasien dan konsumen yakni prioritas paling pertama.
Maka J&J melaksanakan recall 31 juta botol Tylenol yang merupakan produk dengan donasi 20% pada keseluruhan profit perusahaan dengan penguasaan pasar $ 1,2 miliar atau 37% pada pasar analgesik. Harga saham J&J pribadi jatuh 17,2% senilai $ 1 miliar. Pendapatan terjun bebas 35%. Penguasaan market share terguling ke 4%. Rugi sangat masif dan tidak terperinci kapan keadaan bakal membaik.
Perlu waktu 10 ahad bagi J&J untuk meluncurkan ulang Tylenol ke pasar. Kali ini botol Tylenol dilengkapi dengan penemuan gres berupa tiga segel. Segel pertama yakni plastik yang menyegel seluruh botol. Segel kedua kepala botol tersegel pada lehernya. Segel ketiga yakni temper seal atau kertas aluminium epilog ekspresi botol. Kaprikornus bila botol pernah dibuka sebelum dijual niscaya diketahui. Sejak ketika itu tiga segel tersebut menjadi pengaman standar wajib dalam industri obat. J&J juga memberi diskon 25% pada harga Tylenol yang diluncurkan ulang.
Hanya perlu kurang dari 1 tahun bagi J&J untuk meningkatkan market share Tylenol dari 7% kembali ke 37%. J&J menjadi hero lantaran menyelamatkan nyawa banyak orang, meredam krisis dalam industri farmasi, serta menetapkan standar gres dalam pengamanan obat. Meski itu harus dibayar dengan harga sangat mahal dan pertaruhan besar.
AMAL DAN NIAT
Kisah J&J di atas yang mendemonstrasikan cara menanggulangi krisis memperlihatkan kepada kita perihal pentingnya falsafah yang menjadi pondasi pada sebuah kelompok manusia, termasuk perusahaan. Falsafah itu yakni jiwa yang menuntun bagaimana seluruh aktivitas dijalankan dan keputusan diambil. Falsafah yakni contoh bagaimana kita memprioritaskan dan memperlakukan setiap sumberdaya yang kita miliki, sumberdaya eksternal, konsumen, pemegang saham, dan para pemangku kepentingan. Seringkali para pihak ini tidak selalu bisa dimenangkan bersamaan. Maka kita harus kembali kepada prioritas utama pada falsafah yang kita bangun semenjak awal.
Saya bukan orang relijius. Namun berdasarkan saya, bagi seorang muslim falsafah ini ibarat mirip lima Rukun Islam. Ada urutannya, tiap urutan memperlihatkan prioritas. Percuma naik haji (rukun ke-5) jikalau tidak yakin kepada Allah (rukun ke-1).
Dalam pembentukan falsafah usaha, penting bagi kita untuk kembali pada niatan awal mendirikan usaha. Niat menentukan tujuan dan cara kita menjalankan usaha. Kata Nabi: “Innamal A’malu Binniyat’. Amal perbuatan itu tergantung niat.
Setiap usaha didirikan dengan niat berbeda-beda. Ada yang diciptakan biar jadi makin kaya, sebagai akomodasi politik, untuk sekedar menafkahi kebutuhan dasar keluarga, hingga untuk membantu orang lain. Tiap perusahaan tetap harus mempunyai kemampuan ekonomi dengan membuat laba. Tanpa laba, apapun niat awal mendirikan usaha tidak akan berkelanjutan. Selama uang masih bisa dipertukarkan dengan barang dan jasa, selama itu pula uang penting. Tapi, tidak semua insan atau perusahaan meletakkan uang sebagai prioritas terpenting atau tujuan utama.
MEMULAI DARI WHY
Dalam buku fenomenalnya berjudul Start With Why, Simon Sinek mengajak kita kembali pada niat dan tujuan (purpose). Setiap orang mempunyai WHY-nya masing-masing. ‘Why’ kita yakni tujuan, sebab, dan kepercayaan yang menginspirasi serta menuntun diri kita dan orang-orang di sekitar kita. ‘Why’ yakni inti dari golden circle yang merupakan pondasi dari setiap tindakan individu maupun kelompok.
Kita tahu apa (WHAT) yang kita lakukan. Tahu bagaimana (HOW) cara melakukannya. Tapi, apakah kita tahu mengapa (WHY) kita melaksanakan apa yang kita lakukan sekarang?
Mengapa perusahaan kita harus ada?
Mengapa orang harus membeli produk kita?
Mengapa orang harus peduli pada perusahaan kita?
Memang tidak gampang mengidentifikasi antara What, How dan Why dimana ketiganya mungkin tercampur dalam benak kita. Misal produk kita yakni camilan manis cokelat. Kita sampaikan bahwa camilan manis kita lezat dan murah — ini WHAT. Kue kita terbuat dari cokelat pilihan dari Swiss yang diolah bersih — ini HOW. Tapi mengapa (WHY) camilan manis kita harus ada? Mengapa kita membuat camilan manis ini? Mengapa orang harus peduli dan membeli?
Setiap usaha yang sukses yang kita kenal mempunyai satu kesamaan: WHY yang berpengaruh dan menjadi jiwa yang kokoh bagi mereka. Golden circle memperlihatkan bahwa setiap tindakan harus dimulai dari intinya: WHY-HOW-WHAT. Bukan sebaliknya.
Inilah WHY milik Facebook: “To bring the world closer together”.
WHY pada Apple: “Everything we do we believe in challenging status quo. We believe in thinking differently.”
‘Why’ tersebut yakni niat dan purpose mengapa usaha mereka didirikan dan harus ada. ‘Why’ yang menjadi jiwa yang menggerakkan usaha dan contoh tiap keputusan yang diambil. ‘Why’ yang terus mereka komunikasikan dan orientasikan kepada pihak internal dan eksternal.
RUGI BESAR DEMI WHY
Kemarin, 13 Januari 2018, Mark Zuckerberg mengumumkan bahwa Facebook telah memperbaharui algoritma mereka pada news feed. Kali ini news feed akan membatasi tampilnya konten non-personal ibarat berita, iklan, maupun informasi dari akun-akun non-personal (publisher). Konten personal yang membagikan tautan isu sepertinya juga akan dibatasi. Singkatnya, konten media dan iklan akan dibatasi kemunculannya. Yang diprioritaskan yakni konten-konten personal biar pengguna individu makin terhubung secara lebih intim dan otentik. Pengguna individu menang, pengguna bisnis dan media kalah.
Pembatasan ruang bagi publisher ini akan menjadikan makin mahalnya tarif iklan di FB. Banyak yang berteori ini yakni taktik FB menaikkan pendapatan lewat peningkatan harga iklan. Tapi berdasarkan saya tidak, lantaran dengan algoritma gres FB akan kehilangan banyak pengiklan berbujet kecil dan menurunnya popularitas FB di kalangan publisher sebagai media pemasaran. Ini keputusan yang akan membuat FB kehilangan banyak uang. Keyakinan yang sama juga ada di pasar yang ditunjukkan dengan jatuhnya harga saham FB 4,4%.

Kita bisa berspekulasi melalui aneka macam perspektif atas motivasi diambilnya keputusan ini: taktik bisnis untuk meningkatkan keuntungan, atau benar-benar untuk meningkatkan kualitas konten, keintiman pengguna, dan memberantas konten negatif ibarat yang diumumkan Zuckerberg?
Saya lebih percaya yang kedua lantaran memandang FB sebagai perusahaan dengan WHY yang sangat kuat. Melihat bagaimana perusahaan ini dijalankan, serta cara hidup dan falsafah founder/CEO-nya, saya yakin “To bring the world closer together” dijadikan contoh dalam mengambil keputusan algoritma gres ini. Bukannya ‘To bring the money closer to FB’.
“Kami tidak membangun layanan (Facebook) untuk menghasilkan uang. Kami menghasilkan uang untuk membangun layanan yang lebih baik lagi.” (Mark Zuckerberg)
Sebenarnya FB juga menghadapi krisis yang ibarat dengan J&J pada level yang berbeda. FB dituduh menjadi alat propaganda, wadah perekrutan dan orientasi para ekstremis, daerah disebarkannya ideologi jahat, serta media dimana permusuhan disebarluaskan. FB dituntut untuk bertanggungjawab mengatasi sikap merusak yang terjadi ‘di dalam rumahnya’ yang memberikan dampak serius secara global. Seperti yang dilakukan J&J, FB mengambil tanggungjawab itu meski harus menderita kehilangan uang sangat banyak.
UANG BUKAN TUJUAN
Kita mungkin aneh dengan konsep ibarat ini: rela rugi banyak demi tanggungjawab kepada konsumen atau masyarakat. Kita merasa janggal dengan gagasan mengorbankan harta atau kekayaan demi untuk kebaikan orang lain yang bahwasanya tanggungjawab itu bisa saja kita kesampingkan. Kita merasa aneh dan janggal lantaran berangkat dari niat dan Why yang berbeda. Atau lantaran kita menganggap bahwa uang yakni satu-satunya Why yang masuk akal.
Mengapa uang tidak menjadi Why pada semua orang atau perusahaan?
Faktanya, uang hanyalah salah satu satu hasil/result dari apa yang kita kerjakan dan bernilai bagi orang lain (kombinasi Why, How, What). Uang bahwasanya tidak pernah menjadi purpose/tujuan, lantaran kita selalu menukarkan uang untuk tujuan yang lain.
Uang yakni hasil jangka pendek sebagai insentif atas keputusan jangka pendek pula.
Kita punya uang 1 gudang, kemudian apa? Bahkan dimakan pun tidak bisa. Ia harus ditukarkan kepada sesuatu yang kita butuhkan untuk mencapai sebuah tujuan. Uang yakni instrumen alat tukar yang diharapkan biar perusahaan sanggup menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan demi mencapai tujuan yang sesungguhnya. Mencari uang dengan tujuan mendapat uang yang lebih banyak lagi terdengar ibarat ular yang menelan buntutnya sendiri.
Arkademi yang saya dirikan mempunyai WHY yang tegas: “Mendemokrasikan pembelajan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa Indonesia.”
Arkademi tidak saya dirikan untuk membuat diri saya kaya. Saya bukan orang kaya dan tak punya keinginan jadi kaya raya. Tapi saya tak perlu menunggu jadi kaya dulu biar bisa membantu orang lain dan bangsa ini. Sampai kini biaya yang saya keluarkan untuk membangun dan mengoperasikan Arkademi totalnya hanya Rp 700 ribu. Ribu, bukan juta. Total, bukan per bulan. Tak ada biaya pemanis apapun hingga setahun ke depan bila dijalankan dengan kondisi yang ada sekarang.
Agar Arkademi bisa hingga ke WHY-nya, ia harus punya kemampuan ekonomi yang direfleksikan melalui model bisnis. Arkademi harus bisa menghasilkan uang biar bisa ditukarkan untuk memenuhi kebutuhannya dalam mewujudkan “Meningkatkan kualitas dan daya saing bangsa Indonesia” secara lebih luas dan lebih baik. Bukan supaya kaya dan bisa kawin lagi.
I BELIEVE…
Di isu terkini panas tahun 1963, 250.000 orang berkumpul di alun-alun Washington DC untuk mendengarkan Dr Marthin Luther King berpidato. Tak ada undangan, apalagi notifikasi lewat ponsel. Orang tiba berbondong-bondong dari jauh bukan untuk mendengarkan perihal bagaimana cara mengubah Amerika. Tapi mereka tiba dengan satu tujuan: merekonstruksi kembali keyakinan dan mimpi bersama sebagai sebuah bangsa.
“I belive… I believe… I believe…”.

King percaya bahwa ada 2 aturan di dunia ini: aturan insan dan aturan Tuhan. Tuhan membuat insan dengan setara, sedangkan insan melalui hukumnya membuat kelas dan kasta.
Sebuah keyakinan dari seorang individu yang bisa mengubah dunia ini. Dr King menyampaikan “I have a dream”. Bukan “I have a plan.” King bukan orator ulung satu-satunya di Amerika, bukan pula p0juang tunggal kulit gelap dalam usaha kesetaraan HAM. Namun King memberikan pijakan awal yang gres dalam merekonstruksi kehidupan sosial Amerika melalui keinginan (Dream) dan apa yang ia yakini (Believe). Impian dan keyakinan yang kemudian diterima sebagai kesadaran kolektif Amerika hingga sekarang. Itulah WHY milik Dr King.
Setiap perusahaan fenomenal yakni mereka yang bisa membangkitkan kesadaran dan kepercayaan kolektif pada sebuah WHY yang superior.
Temukan WHY anda. Tempa dan orientasikan selalu pada diri sendiri, keluarga, rekan sejawat, tim, dan karyawan anda. Yakinkan pada diri sendiri dan orang di sekitar bahwa anda melaksanakan apa yang anda kerjakan berawal dari niat baik dan sesuatu yang lebih besar ketimbang diri anda sendiri. Yakinlah bahwa Tuhan akan selalu menolong orang yang berniat baik dan percaya.
Hidup tanpa keyakinan, falsafah, dan tujuan yakni hidup yang paling gelap.
Selamat hari Senin! (*)
Sumber aciknadzirah.blogspot.com