Friday, June 29, 2018

√ Pendudukan Jepang

Dalam Perang Dunia II, sebagian wilayah negara Belanda sudah dikuasai Jerman. Selanjutnya, pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda mengalah tanpa syarat kepada Jepang, termasuk juga penyerahan hak atas tanah jajahan Belanda di Indonesia. Hal ini tentunya juga berdampak atau kuat terhadap pergerakan-pergerakan yang ada, sehingga muncullah organisasi-organisasi dan reaksi kaum pergerakan nasional Indonesia. Bagaimana awal kedatangan Jepang di Indonesia? Apakah dampak yang ditimbulkannya? Bagaimana reaksi kaum pergerakan nasional Indonesia? Berikut akan dijelaskan satu per satu.

 sebagian wilayah negara Belanda sudah dikuasai Jerman √ Pendudukan Jepang
Jepang

A. Kedatangan Jepang di Indonesia

Pada tahun 1936, Sutarjo Kartohadikusumo, ketua Persatuan Pegawai Bestuur (Pamong Praja) Bumi Putera, mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan Petisi Sutarjo. Isi petisi tersebut ialah meminta diadakannya konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyusun planning pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia meskipun masih dalam lingkungan kekuasaan Belanda. Pelaksanaan pemerintahan dijalankan dalam waktu 10 tahun atau sesuai dengan hasil konferensi. Pada tahun berikutnya, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) merumuskan anjuran dalam slogan Indonesia Berparlemen. Kedua anjuran tersebut ternyata ditolak oleh pemerintah Belanda.

Bulan Agustus 1940, dalam Perang Dunia II, sebagian wilayah negara Belanda sudah dikuasai Jerman. Sebagai jajahan Belanda, Indonesia dinyatakan berada dalam keadaan perang. Saat itulah GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia memakai aturan tata negara dalam masa genting (Nood Staatsrecht). Isi resolusi tersebut yakni mengubah Volksraad menjadi dewan legislatif sejati yang anggotanya dipilih dari rakyat dan mengubah fungsi kepala-kepala departemen menjadi menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Resolusi tersebut dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Ratu Wilhelmina, dan Kabinet Belanda yang pada ketika itu berada di London.

Setelah melalui usaha yang sangat gigih, karenanya pemerintah kolonial Belanda berjanji akan membentuk komisi yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan ihwal perubahan ketatanegaraan yang diinginkan oleh bangsa Indonesia. Pada tanggal 14 September 1940 dibuat Commissie tot Berstudeering van Staatsrechtelijke Hervormingen (Komisi untuk Menyelidiki dan Mempelajari Perubahan-Perubahan Ketatanegaraan). Komisi ini dikenal dengan nama Komisi Visman, diketuai oleh Dr. F.H. Visman. Pembentukan komisi ini tidak mendapat sambutan dari anggota-anggota Volksraad, bahkan anggota GAPI terang-terangan menyatakan tidak setuju. Ketidaksetujuan di kalangan kaum pergerakan disebabkan berdasarkan pengalaman, komisi-komisi yang dibuat Belanda (contohnya, komisi sejenis pada tahun 1918) tidak akan membawa hasil yang menguntungkan bagi Indonesia.

Pada ketika yang bersamaan, Jepang telah menduduki wilayah beberapa negara di Asia Tenggara. Kedudukan Belanda di Indonesia pun terancam. Dengan kampanye 3A, kedudukan Jepang di Asia makin kuat. Sementara itu, tindakan pemerintah kolonial Belanda yang keras kepala semakin meyakinkan kaum pergerakan nasional bahwa selama Belanda berkuasa, bangsa Indonesia tidak akan pernah memperoleh kemerdekaannya. Akibatnya, kampanye Jepang yang mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia mendapat simpati yang besar dari rakyat Indonesia.

Dalam rangka menguasai Indonesia, Jepang menyerang markas-markas Belanda di Tarakan, Sumatra, dan Jawa. Pada tanggal 8 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten, atas nama Angkatan Perang Sekutu di Indonesia, mengalah tanpa syarat kepada pimpinan tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Penyerahan tanpa syarat tersebut ditandai dengan persetujuan Kalijati yang diadakan di Subang, Jawa Barat. Isi persetujuan tersebut yakni penyerahan hak atas tanah jajahan Belanda di Indonesia kepada pemerintahan pendudukan Jepang. Artinya, bangsa Indonesia memasuki periode penjajahan yang baru.

Meski kedatangannya, menyerupai juga Belanda, yakni untuk tujuan menjajah, Jepang diterima dan disambut lebih baik oleh bangsa Indonesia. Berikut alasan yang melatarbelakangi perbedaan perilaku tersebut.
  • Jepang menyatakan bahwa kedatangannya di Indonesia tidak untuk menjajah, bahkan bermaksud untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
  • Jepang melaksanakan propaganda melalui Gerakan 3A (Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, dan Jepang pemimpin Asia).
  • Jepang mengaku sebagai saudara renta bangsa Indonesia yang tiba dengan maksud hendak membebaskan rakyat Indonesia.
  • Adanya semboyan Hakoo Ichiu, yakni dunia dalam satu keluarga dan Jepang yakni pemimpin keluarga tersebut yang berusaha membuat kemakmuran bersama.

Pemimpin-pemimpin pergerakan pun mau bekerja sama dengan Jepang. Contohnya, Moh. Hatta dan Ir. Soekarno. Meski keduanya populer sebagai tokoh nonkooperatif yang gigih, namun mau bekerja sama dengan Jepang. Pertimbangannya, menyerupai diungkapkan dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindi Adams, yakni bahwa ketika itu Jepang sedang dalam keadaan kuat, sedangkan Indonesia sedang dalam keadaan lemah. Untuk itu, Indonesia membutuhkan santunan Jepang semoga sanggup mencapai cita-cita.

B. Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

Pendudukan Jepang di Indonesia dibagi dalam tiga wilayah.
  • Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-25 (Tentara Keduapuluhlima), wilayah kekuasaannya meliputi Sumatra dengan sentra pemerintahan di Bukittinggi.
  • Pemerintahan Militer Angkatan Darat ke-16 (Tentara Keenambelas), wilayah kekuasaannya meliputi Jawa dan Madura dengan sentra pemerintahan di Jakarta.
  • Pemerintahan Militer Angkatan Laut II (Armada Selatan Kedua), wilayah kekuasaannya meliputi Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku dengan sentra pemerintahan di Makassar.

Pemerintahan pendudukan militer di Jawa sifatnya hanya sementara, sesuai dengan Osamu Seirei Nomor 1 Pasal 1 yang dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942 oleh Panglima Tentara Keenambelas. Undang-undang tersebut menjadi pokok dari peraturan-peraturan ketatanegaraan pada masa pendudukan Jepang. Jabatan gubernur jenderal di zaman Hindia Belanda dihapuskan. Segala kekuasaan yang dahulu dipegang gubernur jenderal kini dipegang oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Undang-undang tersebut juga mengisyaratkan bahwa pemerintahan pendudukan Jepang berkeinginan untuk terus memakai pegawanegeri pemerintah sipil yang usang beserta para pegawainya. Hal ini dimaksudkan semoga pemerintahan sanggup terus berjalan dan kekacauan sanggup dicegah. Adapun pimpinan sentra tetap dipegang tentara Jepang.

Susunan pemerintahan militer Jepang sebagai berikut.
  • Gunshireikan (panglima tentara), kemudian disebut Saiko Shikikan (panglima tertinggi), merupakan pucuk pimpinan.
  • Gunseikan (kepala pemerintahan militer), dirangkap oleh kepala staf tentara.

Gunshireikan bertugas menetapkan peraturan yang dikeluarkan oleh Gunseikan. Peraturan itu disebut Osamu Kanrei. Peraturan-peraturan tersebut diumumkan dalam Kan Po (berita pemerintahan), sebuah penerbitan resmi yang dikeluarkan oleh Gunseikanbu. Gunseikanbu yakni staf pemerintahan militer sentra yang terdiri dari lima bu (departemen): Sumabu (Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan), Kotsubu (Departemen Lalu Lintas), dan Shihobu (Departemen Kehakiman).

Koordinator pemerintahan militer setempat disebut gunseibu. Pusat-pusat koordinator militer tersebut berada di Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur). Selain itu, dibuat pula dua kawasan istimewa (koci), yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Untuk setiap gunseibu ditempatkan beberapa komandan militer setempat. Mereka bertugas memulihkan ketertiban dan keamanan, menanamkan kekuasaan, dan membentuk pemerintahan setempat. Mereka juga diberi wewenang untuk memecat para pegawai yang berkebangsaan Belanda. Akan tetapi, usaha untuk membentuk pemerintahan setempat ternyata tidak berjalan lancar.

Jepang masih sangat kekurangan tenaga pemerintah. Jepang telah berusaha mengirimkan tenaga yang dibutuhkan, namun tidak hingga ke tujuan lantaran kapal yang mengangkut tenaga-tenaga pemerintahan tersebut karam sesudah terkena serangan torpedo sekutu. Akhirnya, Jepang terpaksa mengangkat pegawai-pegawai dari bangsa Indonesia asli. Hal ini memberi laba bagi pihak Indonesia lantaran memperoleh pengalaman dalam bidang pemerintahan.

Menurut Undang-Undang No. 27 ihwal Perubahan Tata Pemerintahan Daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura (kecuali kedua koci, Surakarta dan Yogyakarta) dibagi atas enam wilayah pemerintahan.
  • Syu (karesidenan), dipimpin oleh seorang syuco.
  • Syi (kotapraja), dipimpin oleh seorang syico.
  • Ken (kabupaten), dipimpin oleh seorang kenco.
  • Gun (kawedanan atau distrik), dipimpin oleh seorang gunco.
  • Son (kecamatan), dipimpin oleh seorang sonco.
  • Ku (kelurahan atau desa), dipimpin oleh seorang kuco.

Dalam menjalankan pemerintahan, syucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis Pemusyawaratan Cokan) yang terdiri dari tiga bu (bagian), yaitu Naiseibu (bagian pemerintahan umum), Keizaibu (bagian ekonomi), dan Keisatsubu (bagian kepolisian).

Para syucokan secara resmi dilantik oleh gunseikan pada bulan September 1942. Pelantikan ini merupakan awal dari pelaksanaan organisasi pemerintahan kawasan dan menyingkirkan pegawai-pegawai Indonesia yang pernah menduduki kedudukan tinggi pada masa pemerintahan sementara. Pemerintahan militer di Sumatra yang berada di bawah Panglima Tentara Keduapuluhlima membentuk sepuluh karesidenan (syu) yang terdiri dari bungsyu (subkaresidenan), gun, dan son. Kesepuluh syu tersebut yakni Aceh, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bangka Bilitan (Belitung). Jabatan syucokan dipegang oleh orang Jepang.

Selain pemerintahan militer (gunsei) angkatan darat, Armada Selatan Kedua juga membentuk suatu pemerintahan yang disebut Minseibu. Pemerintahan ini terdapat di tiga tempat, yaitu Kalimantan, Sulawesi, dan Seram. Daerah bawahannya meliputi syu, ken, bunken (subkabupaten), gun, dan son. Seperti di Pulau Jawa dan Sumatra, tidak usang sesudah pendaratan tentara Jepang, orang-orang Indonesia mendapat jabatan-jabatan tinggi. Namun, sesudah bulan Agustus 1942, jabatanjabatan yang disediakan untuk orang Indonesia hanya terbatas hingga gunco dan sanco, sedangkan jabatan wali kota untuk Makassar, Manado, Banjarmasin, dan Pontianak dipegang oleh orang Jepang.

Dalam bidang ekonomi, Jepang membuat kebijakan-kebijakan yang pada pada dasarnya terpusat pada tujuan mengumpulkan materi mentah untuk industri perang. Ada dua tahap perencanaan untuk mewujudkan tujuan tersebut, yaitu tahap penguasaan dan tahap menyusun kembali struktur.

Pada tahap penguasaan, Jepang mengambil alih pabrik-pabrik gula milik Belanda untuk dikelola oleh pihak swasta Jepang, misalnya, Meiji Seilyo Kaisya dan Okinawa Seilo Kaisya. Adapun dalam tahap restrukturisasi (menyusun kembali struktur), Jepang membuat kebijakankebijakan berikut.
  • Sistem autarki, yakni rakyat dan pemerintah kawasan wajib memenuhi kebutuhan sendiri untuk menunjang kepentingan perang Jepang.
  • Sistem tonarigumi, yakni dibuat organisasi rukun tetangga yang terdiri atas 10 - 20 KK untuk mengumpulkan setoran kepada Jepang.
  • Jepang memonopoli hasil perkebunan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1942 yang dikeluarkan oleh Gunseikan.
  • Adanya pengerahan tenaga untuk kebutuhan perang.

Pengaruh Jepang dalam bidang pendidikan dan kebudayaan di Indonesia sebagai berikut:
  • Bahasa Belanda dihentikan digunakan. Sebagai gantinya, bahasa Jepang dan bahasa Indonesia wajib dipakai di sekolah-sekolah dan kantor-kantor. Selain itu, Jepang juga mengajarkan penggunaan karakter Kanji, Hiragana, dan Katakana.
  • Untuk menyebarkan bidang budaya, diterbitkan koran berbahasa Jepang dan dibuka kursus bahasa Jepang.
  • Rakyat diwajibkan mengikuti tradisi menghormat matahari dengan seikeirei atau menghadap ke timur pada setiap pagi ketika matahari terbit.
  • Pada tanggal 1 April 1943 didirikan Pusat Kebudayaan Keiman Bunka Shidosko.

Sebagai usaha penunjang kebutuhan perang, Jepang memberlakukan mobilitas sosial yang meliputi:
  • pelaksanaan kinrohoshi atau latihan kerja paksa,
  • pelaksanaan romusa atau kerja paksa tanpa bayar selamanya, dan
  • pembentukan tonarigumi atau organisasi rukun tetangga.

Untuk membangun mentalitas, ditanamkan seiskin atau semangat serta bhusido atau jalan ksatria yang berani mati, rela berkorban, siap menghadapi bahaya, dan menjunjung tinggi keperwiraan. Bentuk-bentuk organisasi kemiliteran yang dibuat Jepang sebagai berikut.
  • Seinendan, yaitu barisan perjaka yang berumur 14 – 22 tahun.
  • Iosyi Seinendan, yaitu barisan cadangan atau seinendan putri.
  • Bakutai, yaitu pasukan berani mati.
  • Keibodan, yaitu barisan bantu polisi yang anggota- nya berusia 23 – 35 tahun. Barisan ini di Sumatra disebut Bogodan dan di Kalimantan disebut Borneo Konon Hokokudan.
  • Hisbullah, yaitu barisan semimiliter untuk orang Islam.
  • Heiho, yaitu pembantu prajurit Jepang yang anggotanya berusia 18– 25 tahun.
  • Jawa Sentotai, yaitu barisan benteng usaha Jawa.
  • Suisyintai, yaitu barisan pelopor.
  • Peta atau Pembela Tanah Air, yaitu tentara kawasan yang dibuat oleh Kumakichi Harada berdasarkan Osamu Serei No. 44 tanggal 23 Oktober 1943.
  • Gokutokai, yaitu korps pelajar yang dibuat pada bulan Desember 1944.
  • Fujinkai, yaitu himpunan perempuan yang dibuat pada tanggal 23 Agustus 1943.

Jabatan-jabatan militer yang sanggup diperoleh sesudah seseorang menamatkan pendidikan yakni sebagai berikut.
  • Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, menyerupai pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hukum.
  • Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan mereka yang telah bekerja, namun belum mencapai pangkat yang tinggi, menyerupai guru dan juru tulis.
  • Shodanco (komandan peleton), umumnya dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
  • Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan perjaka yang lulus sekolah dasar.
  • Giyuhei (prajurit sukarela), dipilih dari kalangan perjaka yang masih setingkat sekolah dasar.
 sebagian wilayah negara Belanda sudah dikuasai Jerman √ Pendudukan Jepang
Tentara PETA sedang latihan di Bogor pada tahun 1944

 sebagian wilayah negara Belanda sudah dikuasai Jerman √ Pendudukan Jepang
Bendera yang dipakai batalion PETA

Calon perwira Peta mendapat latihan pertama kali di Bogor. Setelah mendapat latihan-latihan tersebut, tentara Peta ditempatkan di daidan-daidan (batalyon) yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali. Semuanya berjumlah 66 daidan. Dalam perkembangannya, banyak anggota Peta yang merasa kecewa terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Mulai tahun 1944 terjadi pemberontakan-pemberontakan, yang terbesar yakni pemberontakan Peta Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 14 Februari 1945 yang diikuti oleh sekitar separuh dari seluruh anggota daidan. Sayangnya, pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi tersebut sanggup ditumpas Jepang.

C. Organisasi Pergerakan Zaman Jepang

Selama masa pendudukan Jepang, bangsa Indonesia dihentikan membentuk organisasi sendiri. Akan tetapi, Jepang sendiri membentuk organisasi-organisasi bagi rakyat Indonesia dengan maksud dipersiapkan untuk membantu Jepang. Organisasi-organisasi ini pada karenanya berbalik melawan Jepang.

1. Gerakan Tiga A

Gerakan Tiga A merupakan organisasi propaganda untuk kepentingan perang Jepang. Organisasi ini berdiri pada bulan April 1942. Pimpinannya yakni Mr. Sjamsuddin. Tujuan berdirinya Gerakan Tiga A yakni semoga rakyat dengan sukarela menyumbangkan tenaga bagi perang Jepang. Semboyannya yakni Nippon cahaya Asia, Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia. Untuk menunjang gerakan ini, dibuat Barisan Pemuda Asia Raya yang dipimpin Sukarjo Wiryopranoto. Adapun untuk menyebarluaskan propaganda, diterbitkan surat kabar Asia Raya.

Setelah kedok organisasi ini diketahui, rakyat kehilangan simpati dan meninggalkan organisasi tersebut. Pada tanggal 20 November 1942, organisasi ini dibubarkan.

2. Putera (Pusat Tenaga Rakyat)

Pada tanggal 9 Maret 1943, diumumkan lahirnya gerakan gres yang disebut Pusat Tenaga Rakyat atau Putera. Pemimpinnya yakni empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansyur. Tujuan Putera berdasarkan versi Ir. Soekarno yakni untuk membangun dan menghidupkan segala sesuatu yang telah dirobohkan oleh imperialisme Belanda. Adapun tujuan bagi Jepang yakni untuk memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia dalam rangka membantu usaha perangnya. Oleh lantaran itu, telah digariskan sebelas macam acara yang harus dilakukan sebagaimana tercantum dalam peraturan dasarnya. Di antaranya yang terpenting yakni memengaruhi rakyat supaya kuat rasa tanggung jawabnya untuk menghapuskan dampak Amerika, Inggris, dan Belanda, mengambil pecahan dalam mempertahankan Asia Raya, memperkuat rasa persaudaraan antara Indonesia dan Jepang, serta mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang. Di samping itu, Putera juga mempunyai kiprah di bidang sosial-ekonomi.

Jadi, Putera dibuat untuk membujuk para kaum nasionalis sekuler dan golongan intelektual semoga mengerahkan tenaga dan pikirannya guna membantu Jepang dalam rangka menyukseskan Perang Asia Timur Raya. Organisasi Putera tersusun dari pemimpin sentra dan pemimpin daerah. Pemimpin sentra terdiri dari pejabat pecahan usaha budaya dan pejabat pecahan propaganda.

Akan tetapi, organisasi Putera di kawasan semakin hari semakin mundur. Hal ini disebabkan, antara lain,
  • keadaan sosial masyarakat di kawasan ternyata masih terbelakang, termasuk dalam bidang pendidikan, sehingga kurang maju dan dinamis;
  • keadaan ekonomi masyarakat yang kurang bisa berakibat mereka tidak sanggup membiayai gerakan tersebut.

Dalam perkembangannya, Putera lebih banyak dimanfaatkan untuk usaha dan kepentingan bangsa Indonesia. Mengetahui hal ini, Jepang membubarkan Putera dan mementingkan pembentukan organisasi baru, yaitu Jawa Hokokai.

3. Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa (Jawa Hokokai)

Jepang mendirikan Jawa Hokokai pada tanggal 1 Januari 1944. Organisasi ini diperintah eksklusif oleh kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan). Latar belakang dibentuknya Jawa Hokokai yakni Jepang menyadari bahwa Putera lebih bermanfaat bagi pihak Indonesia daripada bagi pihak Jepang. Oleh lantaran itu, Jepang merancang pembentukan organisasi gres yang meliputi semua golongan masyarakat, termasuk golongan Cina dan Arab. Berdirinya Jawa Hokokai diumumkan oleh Panglima Tentara Keenambelas, Jenderal Kumakichi Harada.

Sebelum mendirikan Jawa Hokokai, pemerintah pendudukan Jepang lebih dahulu meminta pendapat empat serangkai. Alasan yang diajukan yakni semakin hebatnya Perang Asia Timur Raya sehingga Jepang perlu membentuk organisasi gres untuk lebih menggiatkan dan mempersatukan segala kekuatan rakyat. Dasar organisasi ini yakni pengorbanan dalam hokoseiskin (semangat kebaktian) yang meliputi pengorbanan diri, mempertebal rasa persaudaraan, dan melaksanakan sesuatu dengan bakti.

Secara tegas, Jawa Hokokai dinyatakan sebagai organisasi resmi pemerintah. Jika pucuk pimpinan Putera diserahkan kepada golongan nasionalis Indonesia, kepemimpinan Jawa Hokokai pada tingkat sentra dipegang eksklusif oleh Gunseikan. Adapun pimpinan kawasan diserahkan kepada pejabat setempat mulai dari Shucokan hingga Kuco. Kegiatankegiatan Jawa Hokokai sebagaimana digariskan dalam anggaran dasarnya sebagai berikut.
  • Melaksanakan segala sesuatu dengan faktual dan tulus untuk menyumbangkan segenap tenaga kepada pemerintah Jepang.
  • Memimpin rakyat untuk menyumbangkan segenap tenaga berdasarkan semangat persaudaraan antara segenap bangsa.
  • Memperkukuh pembelaan tanah air.

Anggota Jawa Hokokai yakni bangsa Indonesia yang berusia minimal 14 tahun, bangsa Jepang yang menjadi pegawai negeri, dan orang-orang dari aneka macam kelompok profesi. Jawa Hokokai merupakan pelaksana utama usaha pengerahan barang-barang dan padi. Pada tahun 1945, semua acara pemerintah dalam bidang pergerakan dilaksanakan oleh Jawa Hokokai sehingga organisasi ini harus melaksanakan kiprah dengan faktual dan menjadi alat bagi kepentingan Jepang.

4. Cuo Sangi In (Badan Pertimbangan Pusat)

Ketika pemerintahan Jepang berada di tangan Perdana Menteri Toyo, Jepang pernah memberi komitmen merdeka kepada Filipina dan Burma, namun tidak melaksanakan hal yang sama kepada Indonesia. Oleh lantaran itu, kaum nasionalis Indonesia protes. Menanggapi protes tersebut, PM Toyo kemudian membuat kebijakan berikut.
  • Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In).
  • Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan (Shu Sangi Kai) atau daerah.
  • Tokoh-tokoh Indonesia diangkat menjadi penasihat aneka macam departemen.
  • Pengangkatan orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan organisasi resmi lainnya.

Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pada tanggal 5 September 1943, Kumakichi Harada mengeluarkan Osamu Serei No. 36 dan 37 Tahun 1943 ihwal pembentukan Cuo Sangi In dan Shu Sangi Kai. Cuo Sangi In yang berada di bawah pengawasan Saiko Shikikan (Pemerintahan Tentara Keenambelas) bertugas menjawab pertanyaan Saiko Shikikan dalam hal politik dan pemerintah. Cuo Sangi In juga berhak mengajukan ajakan kepada Saiko Shikikan. Rapat-rapat Cuo Sangi In membahas pengembangan pemerintah militer, mempertinggi derajat rakyat, penanganan pendidikan dan penerangan, problem ekonomi dan industri, kemakmuran dan santunan sosial, serta kesehatan.

Keanggotaan Cuo Sangi In terdiri atas 43 orang, yaitu 23 orang diangkat oleh Saiko Shikikan, 18 orang dipilih oleh anggota Shu Sangi Kai, dan dua orang anggota yang diusulkan dari kawasan Surakarta dan Yogyakarta. Anggota Cuo Sangi In dilantik pada tanggal 17 Oktober 1943 dengan ketua Ir. Soerkarno, serta wakilnya dua orang, yaitu M.A.A. Kusumo Utoyo dan Dr. Boentaran Martoatmodjo. Cuo Sangi In dibuat dengan tujuan semoga ada perwakilan, baik bagi pihak Jepang maupun pihak Indonesia. Namun, semoga tidak dimanfaatkan untuk usaha bangsa Indonesia, Cuo Sangi In mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Jepang.

Dilihat dari segi usaha bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan, keberadaan Cuo Sangi In memang tidak berarti banyak. Akan tetapi, keberadaan forum ini berkhasiat bagi pertambahan wawasan pengalaman kaum nasionalis Indonesia.

5. Majelis Islam A'laa Indonesia (MIAI)

MIAI merupakan organisasi yang berdiri pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya yakni K. H. Mas Mansyur dan kawan-kawan. Organisasi ini tetap diizinkan berdiri pada masa pendudukan Jepang alasannya merupakan gerakan anti-Barat dan hanya bergerak dalam bidang amal (sebagai baitulmal) serta penyelenggaraan hari-hari besar Islam saja. Meskipun demikian, pengaruhnya yang besar mengakibatkan Jepang merasa perlu untuk membatasi ruang gerak MIAI.

Pada awal pendudukan, Jepang membentuk Bagian Pengajaran dan Agama yang dipimpin oleh Kolonel Horie. Ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemuka agama di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut, Horie meminta semoga umat Islam tidak melaksanakan kegiatankegiatan yang bersifat politik. Permintaan ini disetujui oleh akseptor pertemuan tersebut yang kemudian membuat pernyataan perilaku di tamat pertemuan. Pada tamat Desember 1942, hasil pertemuan di Surabaya itu ditingkatkan dengan mengundang 32 orang kiai di seluruh Jawa Timur untuk menghadap Letnan Jenderal Imamura dan Gunseikan, Mayor Jenderal Okasaki. Dalam pertemuan tersebut, Gunseikan menyatakan bahwa Jepang akan tetap menghargai Islam dan akan mengikutsertakan golongan Islam dalam pemerintahan.

Pemerintah militer Jepang menentukan MIAI sebagai satu-satunya wadah bagi organisasi adonan golongan Islam. Akan tetapi, organisasi ini gres diakui oleh Jepang sesudah mengubah anggaran dasarnya, khususnya mengenai asas dan tujuannya. Pada asas dan tujuan MIAI ditambahkan kalimat: "... turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan membangun masyarakat gres untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon."

Sebagai organisasi tunggal golongan Islam, MIAI mendapat simpati yang luar biasa dari kalangan umat Islam sehingga organisasi ini berkembang semakin maju. Melihat perkembangan ini, Jepang mulai merasa curiga. Tokoh-tokoh MIAI di aneka macam kawasan mulai diawasi. Untuk mengantisipasi semoga gerakan para pemuka agama Islam tidak menjurus pada acara yang berbahaya bagi Jepang, diadakan pembinaan para kiai. Para kiai yang menjadi akseptor pembinaan tersebut dipilih berdasarkan syarat-syarat mempunyai dampak yang luas di lingkungannya dan mempunyai tabiat yang baik. Pelatihan tersebut berlangsung di Balai Urusan Agama di Jakarta selama satu bulan.

Namun, keterbatasan acara MIAI justru dirasakan kurang memuaskan bagi Jepang sendiri. Pada bulan Oktober 1943, MIAI secara resmi dibubarkan dan diganti dengan organisasi baru, yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Organisasi ini disahkan oleh Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Susunan kepengurusan Masyumi yakni ketua pengurus besar dipegang oleh K.H. Hasyim Asy'ari, wakil dari Muhammadiyah yakni K.H. Mas Mansur, K.H. Farid Ma'ruf, K.H. Mukti, K.H. Hasyim, dan Kartosudarmo. Adapun wakil dari NU yakni K.H. Nachrowi, Zainul Arifin, dan K.H. Mochtar.

D. Reaksi Kaum Pergerakan Nasional terhadap Jepang

Kaum pergerakan dan kaum intelek nasional karenanya sadar bahwa Jepang ternyata jauh lebih berbahaya bagi bangsa Indonesia lantaran kekejaman dan penindasannya terhadap rakyat. Sejak awal tahun 1944, rasa simpati terhadap Jepang mulai hilang dan berganti dengan kebencian. Muncullah gerakan-gerakan perlawanan terhadap Jepang, menyerupai Gerakan 3A, Putera, dan Peta.

Salah satu pola pemberontakan bangsa Indonesia yang terbesar terhadap Jepang yakni pemberontakan Peta Blitar tanggal 4 Februari 1945. Pemberontakan yang dipimpin Supriyadi ini sangat mengejutkan Jepang. Banyak tentara Jepang yang terbunuh. Untuk menghadapinya, Jepang mengepung kedudukan Supriyadi. Terjadilah tembak menembak yang membawa banyak korban bagi kedua belah pihak. Dalam pertempuran tersebut, Supriyadi menghilang. Peristiwa ini diabadikan sebagai hari Peta.

Setelah perlawanan tersebut, muncul perlawanan-perlawanan lainnya dari aneka macam daerah, menyerupai perlawanan rakyat Aceh dan perlawanan rakyat Sukamanah, Tasikmalaya. Adapun dari kalangan intelektual, muncul organisasi-organisasi bawah tanah yang menyebarluaskan pandangan anti-Jepang. Mereka menanamkan bahwa bagaimanapun, Jepang tetap yakni juga penjajah menyerupai halnya Belanda. Bangsa Indonesia berdasarkan mereka, hanya akan sejahtera jikalau telah sepenuhnya merdeka. Tokoh gerakan ini yakni Sjahrir dan Amir Sjarifuddin.

Sumber : bse.kemdikbud.go.id

Pendudukan Jepang
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR


Sumber http://www.markijar.com/