Monday, January 9, 2017

Mental Gratisan Dalam Masa Keberlimpahan

Melawan mental gratisan sama dengan menentang ‘hukum alam’. Ini soal prinsip ekonomi paling tua: orang akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Termasuk anda. Iya, anda.


Kita mungkin sering menyindir atau jengkel kepada orang lain yang maunya selalu gratisan. Kita menganggap orang-orang ibarat inilah yang membuat produk kita susah laku. Tapi sadarkah anda, orang-orang bermental gratisan tadi tiap hari menghabiskan sejumlah uang (yang tidak sedikit) untuk membeli banyak sekali produk. Beli BBM, pulsa, makanan, kopi, sabun, angkutan, bayar parkir, dll.


Ketika berhadapan dengan penjual lain, mereka bersedia keluar uang. Setiap hari, dalam jumlah tidak kecil. Tapi ketika berhadapan dengan kita, mereka menolak kecuali diberi gratis.


Siapa yang salah?


Kita. Bukan mereka. Bukan orang-orang yang bermental gratisan itu.


ERA KEBERLIMPAHAN


Tahukah anda, semua teknologi yang ada di ponsel anda ketika ini 25 tahun yang kemudian harganya $ 1 juta atau Rp 14 miliar. Ponsel anda yakni perangkat yang mempunyai campuran teknologi mahal: GPS, gyroscope, video, TV, kamera, telepon, kamus, dll. Tapi dunia berubah. Yang dulu Rp 14 miliar kini jadi Rp 1 juta. Semua ini terjadi alasannya yakni pertumbuhan eksponensial (exponential growth).


Peter Diamandis menyebutkan exponential growth itu terjadi melalui 6 tahap:



  1. Digitalization (digilitasi): perubahan dari analog ke digital.

  2. Deception (muslihat): perusahaan besar meremehkan perusahaan rintisan kecil yang tiba-tiba saja bisa melejit.

  3. Disruption (disrupsi): terguncangnya kemapanan.

  4. Dematerialization (dematerialisasi): produk tak lagi berbentuk fisik.

  5. Demonetization (demonetisasi): biaya turun drastis, jumlah menjadi berlimpah, harga terjun bebas.

  6. Democratization (demokratisasi): keberlimpahan yang mencapai puncak sehingga membuat sharing economy atau free economy.


 


Kita sudah menikmatinya sekarang. Mengirim surat kini gratis dengan email. Berikirim pesan atau menelepon dulu bayar dengan pulsa, kini gratis lewat Whatsapp. Mendengar lagu gres harus beli kaset, kini tinggal nonton di Youtube. Membaca isu dulu harus beli koran, kini gratis dimana-mana.



Kalau dituding bermental gratisan, anda mungkin tersinggung. Tapi jikalau disuruh bayar layanan-layanan di atas itu, niscaya anda juga tidak mau. Melawan keberlimpahan ibarat melawan takdir. Sia-sia saja.



Tapi ada kabar baiknya: orang tetap suka membeli.


KEBERLIMPAHAN INFORMASI


Kalau anda menganggap sebagai pihak paling sial alasannya yakni orang-orang bermental gratisan, derita itu tak ada apa-apanya dibanding bisnis koran. Ini bukan goresan pena soal bisnis media. Tapi simaklah dongeng di bawah untuk membantu anda memahami apa yang sedang terjadi.


Saya 14 tahun berkarier di industri koran yang tahun kemudian saya tinggalkan. Saya tidak percaya lagi model bisnis koran bisa berkelanjutan. Menurut saya industri koran akan mati paling lambat 15 tahun lagi. Ini yakni rentang masa ketika generasi pembaca koran sudah wafat atau tidak punya daya beli lagi alasannya yakni pensiun.


Koran mati alasannya yakni isu sudah menjadi komoditas gratis yang sangat berlimpah. Gratis itu muncul alasannya yakni bisnis isu bisa dilakukan dengan model bisnis baru. Berita tak lagi dijual alasannya yakni pemasukan berasal dari iklan (digital). Makin banyak yang melihat iklan, makin besar pula pendapatan. Agar makin banyak yang melihat iklan, isu gratis dibentuk sebanyak-banyaknya dan disebarkan seluas-luasnya. Lahirlah keberlimpahan.


Celakanya, yang melaksanakan ini bukan hanya entitas perusahaan, tapi juga individu. Motifnya bahkan bukan ekonomi, tapi legalisasi sosial. Orang menulis dan mengabarkan beritanya sendiri lewat banyak sekali kanal media umum atau platform digital lain ibarat blog atau Youtube.



Hukum ekonomi: ketika penawaran berlimpah, harga turun. Ketika yang berlimpah itu gratis, isu makin kehilangan harga.



Orang koran masih yakin bahwa isu mereka punya sesuatu yang bernilai sehingga konsumen rela menebus nilai tersebut itu dengan sejumlah harga. Standar jurnalistik misalnya. Nilai itu dianggap sebagai celah antara isu berbayar dan isu gratis, dimana koran bisa mengambil keuntungan dari celah tersebut.


Tapi muncul tiga duduk masalah pada celah nilai tersebut.


Pertama, celah itu makin usang kian menyempit alasannya yakni penyedia isu gratis juga makin meningkatkan standar jurnalistiknya. Akhirnya, hampir tidak ada perbedaan kualitas antara isu gratis dan isu berbayar.


Kedua, nilai yang makin tidak relevan. Koran menganggap kualitas jurnalistiknya sebagai aset yang bisa dikapitalisasi. Tapi, apakah benar isu dengan ‘standar emas’ jurnalistik itu merupakan nilai yang diharapkan orang banyak dan membuat mereka rela menebusnya dengan uang? Sementara sebuah isu hoax dari situs abal-abal bisa dibaca puluhan hingga ratusan ribu orang dalam waktu singkat.


Koran mungkin mencibir standar isu perusahaan media online yang dianggap ‘bukan jurnalistik’. Di ketika yang sama, keuangan koran hancur lebur, dan media online punya begitu banyak uang bahkan untuk ‘dibakar’.


Ketiga, menurunnya pertumbuhan pasar yang mengisi celah tersebut. Koran tentu saja masih ada yang beli. Tapi pembelinya sudah makin renta dan kian tidak berdaya beli alasannya yakni pensiun. Sementara para pembeli masa depan yang masih muda belia tidak mengisi celah tersebut.






Melawan mental gratisan sama dengan menentang  Mental Gratisan dalam Era Keberlimpahan



MENCIPTAKAN CELAH


Perhatikan paradoks di bawah ini.


Sebuah aplikasi gratis digunakan 1 juta orang. Aplikasi yang ibarat dihargai Rp 100 ribu digunakan 1.000 orang.


Anda mungkin menanggap bila produk kita ingin digunakan banyak orang, maka ia harus gratis. Sayangnya tidak.


Ada aplikasi berharga Rp 1 juta digunakan 1 juta orang. Aplikasi yang ibarat digratiskan tapi cuma digunakan 1.000 orang.


Sampai sini anda bingung harus gratis atau berbayar. Karena hal yang sama juga terjadi pada banyak sekali jenis produk atau komoditas. Mulai dari seminar, e-book, kursus online, dsb.


Membuat produk berbayar pada prinsipnya yakni membuat produk diferensiasi. Yakni produk yang mempunyai perbedaan dengan produk sejenis. Perbedaan itulah yang akan membuat celah antara produk berbayar anda dengan produk lain yang gratis. Makin besar celah tersebut, makin baik. Pelajari lebih lanjut cara membuat produk diferensiasi pada artikel di Arkademi ini: Membuat Produk Diferensiasi Berharga Tinggi.


Dalam membuat perbedaan itu, inilah pertanyaan dasar yang harus anda jawab:



  • Apa yang membuat produk anda berbeda dengan yang gratis?

  • Apakah perbedaan tersebut mampu menuntaskan duduk masalah penting dan memenuhi kebutuhan yang konkret bagi konsumen, serta mempunyai dampak riil bagi mereka?

  • Apakah konsumen bersedia menebus perbedaan tersebut dengan sejumlah uang?

  • Apakah perbedaan tersebut ditawarkan ke orang yang tepat?


Yang perlu diingat yakni produk berbayar (yang berada di antara banyak produk gratis) harus menekankan nilai di luar fungsi.


Saya akan beri teladan apa yang terjadi di Arkademi.


Arkademi memakai Mailchimp sebagai layanan email marketing. Mailchimp bisa dibilang sebagai pemain teratas dalam industri ini. Layanan ini gratis, tapi hanya hingga 2.000 alamat email. Lebih dari itu harus membayar $30 atau Rp 418.000/bulan. Sangat mahal buat Arkademi yang belum punya uang. Ada juga penyedia lain yang menunjukkan harga Rp 200.000/bulan. Tetap mahal. Sementara list email Arkademi sudah lebih dari 2.000.


Fungsi yang diharapkan oleh Arkademi yakni mengirimkan email massal ke 2.000 lebih pengguna, otomatisasi, analytic, dan segmentasi. Sementara dua layanan di atas menyediakan banyak sekali fitur ibarat template, integrasi platform, landing page, dll. Fungsi yang belum diharapkan Arkademi.


Setelah browsing kesana-kemari, saya menemukan satu penyedia layanan email marketing yang gratis hingga 5.000 alamat email. Benar-benar gratis (saya tidak sebutkan namanya supaya tidak merugikan pihak penyedia layanan serupa yang berbayar). Semua fungsi dasar yang Arkademi diharapkan disediakan di sini, bahkan fitur-fitur lain. Lalu apa alasan saya harus membayar sesuatu yang bisa didapatkan secara gratis dan menunjukkan manfaat yang sama?


Dari masalah ini kita bisa mencar ilmu beberapa hal.


Pertama, Mailchip tetap penyedia layanan yang baik. Tapi bukan untuk Arkademi yang gres membutuhkan fungsi dasar dan belum punya uang. Artinya, Arkademi bukanlah segmen konsumen yang sempurna untuk layanan berbayar Mailchimp. Baik dari profil kebutuhan maupun profil kemampuan finansial.


Kedua, fungsi dasar layanan email marketing yang disediakan Mailchimp bisa digantikan dengan cepat oleh penyedia lain yang menunjukkan layanan gratis. Artinya, bila yang kita sediakan sekadar fungsi dasar, maka produk kita mempunyai homogenitas (kesamaan/kemiripan) dengan penyedia lain. Setiap yang homogen akan dengan gampang bersubstitusi (bertukar).


KELANGKAAN YANG BERNILAI


Mengapa secangkir kopi sachet seharga Rp 1.000 dijual Rp 15.000 di dalam pesawat terbang?


Karena langka. Karena anda tidak akan mendapati warung kopi sedang terbang di luar jendela.


Semua pelaku perjuangan bermimpi bisa membuat kelangkaan itu. Dengan kelangkaan mereka bisa menetapkan keuntungan ‘semaunya’. Bahkan menjadi pemain tunggal. Di masa keberlimpahan membuat kelangkaan sangat sulit. Benteng terakhir kesuksesan produk dalam masa keberlimpahan yakni nilai diferensiasi yang begitu berpengaruh hingga melahirkan kelangkaan.



Bagus saja tidak cukup. Yang ‘bagus’ bisa direplikasi. Tapi tidak dengan yang langka. Kelangkaan mendudukkan sebuah produk di kawasan yang terpisah dengan produk lain. Sebagai yang satu-satunya.



Tarif mengundang penyanyi Lady Gaga yakni $ 90 juta atau Rp 1,2 triliun. Padahal banyak penyanyi lain yang juga cantik dan jauh lebih murah. Zaskia Gotik misalnya. Tapi Lady Gaga tetap Lady Gaga. Ia tak tergantikan. Satu-satunya.


Jadi, tanyakan pada diri anda sendiri: di zaman yang serba berlimpah ini, apakah produk anda yakni Lady Gaga, atau penyanyi dangdut electone yang disoraki hanya satu malam?


***


Ide paling konyol yakni inspirasi yang harus paling diantisipasi.


Era keberlimpahan membuat hampir segala sesuatunya jadi sangat cepat tersaturasi atau padat. Cepat jadi medioker — biasa-biasa saja, tidak istimewa. Laku hari ini, tutup 6 bulan kemudian. Terkenal hari ini, dilupakan bulan depan.



Ini bukan zaman yang menguntungkan bagi para pengekor alasannya yakni siklus berputar sangat cepat.



Silakan tebak, hingga kapan Es Kepal Milo akan ramai dibeli. Reza Nurhilman (ini bukan saudara saya) sudah berhasil membeli beberapa kendaraan beroda empat glamor berkat bisnis keripik Maicih yang ia dirikan. Tapi kini cahayanya tidak seterang dulu. Membuat para pengekor yang mencoba mereplikasi bisnis Maicih jadi gigit jari. Pemain bola yang baik tahu cara menggiring bola. Pemain bola yang ahli tahu kemana bola akan menuju.


Cemaslah ketika yang lain berpesta. Berpestalah ketika yang lain cemas. Pengekor yakni mereka yang gampang terpengaruhi pada pesta. Padalah pesta itu yakni awal keberlimpahan.


Rekayasakan nilai unik anda, perlebar celah antara produk anda dengan yang lain, ambil posisi persaingan yang tidak riuh, jadilah otentik, dan ciptakan kelangkaan. Selanjutnya, berdoalah untuk keberlimpahan rezeki dan kasih sayang Tuhan. (*)






Sumber aciknadzirah.blogspot.com