Online marketplace membuka peluang ekonomi bagi pelaku perjuangan dimanapun. Pelaku UKM didorong untuk ikut berjualan secara online di marketplace untuk meningkatkan performa usaha. Tapi tidak banyak yang membahas soal ganas, brutal, dan berdarah-darahnya pasar digital ini.
Apakah marketplace cocok untuk UKM? Tidak!
Lalu apa solusi bagi UKM? Teruslah membaca.
Kalau anda ke pasar untuk membeli seikat sayur bayam yang dijajakan oleh 10 penjual sayur dengan harga berbeda, penjual manakah yang akan anda pilih? Kemungkinan besar anda akan membeli dari penjual dengan harga termurah.
Itulah sikap natural pada sebuah pasar: konsumen tiba ke sebuah daerah dimana jumlah penjual lebih banyak dibanding jumlah komoditas dan mencari harga yang paling menguntungkan bagi mereka.
Harga paling menguntungkan ini bisa kita kembalikan ke prinsip ekonomi: orang akan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Ini prinsip yang berlaku umum dan mendasar, tidak bisa dilawan. Kalau kita dihadapkan pada barang yang sama dan penjual serta harga yang berbeda, hampir tidak mungkin kita akan menentukan harga yang lebih tinggi.
Informasi sangat krusial dalam sebuah pasar. Misal, dari 10 penjual bayam itu 9 di antaranya berkumpul di satu kluster. Tapi ada 1 lagi penjual lagi yang kiosnya terletak di pojok agak jauh. Padahal bayam di 1 penjual ini lebih murah dibanding 9 lainnya. Tapi si 1 penjual tadi tidak mendapat penjualan yang baik alasannya yaitu informasi yang tidak simetris (asimetris).
Makin simetris informasi dalam sebuah pasar, maka daya tawar (bargaining power) penjual akan makin rendah terhadap pembeli. Begitu pula sebaliknya bila informasi asimetris.
Online marketplace ibarat Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Lazada, Shopee, yaitu pasar kasatmata yang canggih dan brutal. Orang tiba untuk mencari sebuah komoditas atau barang, bukan ke toko/merchant kesayangannya. Kalaupun ia ‘mendarat’ (landing) di halaman produk toko langganannya, ia punya keleluasaan sangat tinggi untuk pribadi membandingkan harga produk sejenis di toko lainnya. Bahkan ada beberapa marketplace yang dengan kejamnya merekomendasikan produk lain yang sejenis dengan harga lebih murah saat seorang konsumen sedang landing di laman produk sebuah merchant.
Di marketplace informasi begitu simetris, terperinci dan terang. Untuk mencari harga termurah kita hanya perlu mengurutkan dengan sekali klik.
Yang paling brutal yaitu saat penjual (seller) dari negara lain yang punya keunggulan dalam efisiensi produksi, rantai pasokan (supply chain) dan logistik, ikut berdagang di daerah yang sama. Efisiensi ini membuat mereka mempunyai cost leadership sehingga bisa memperlihatkan harga yang lebih rendah dibanding lainnya.
Dari 3 hal di atas, kita bisa mengambil 3 kesimpulan. Pertama, bagi pengelola marketplace loyalitas konsumen kepada merchant itu tidak penting. Kedua, daya tawar buyer terhadap seller terus ditingkatkan lewat informasi yang sangat simetris. Ketiga, menghadap-hadapkan seller dengan cost leadership terhadap seller lain.
Konsumen untung, tentu saja. Tapi bagi sebuah negara yang tak hanya jadi ingin bangsa konsumen, hal ini berbahaya. Terutama saat negara kita belum mempunyai sistem dan infrastruktur yang komplet untuk mendukung cost leadership para pelaku usaha, terlebih lagi UKM.
COST LEADERSHIP DAN PRODUK HOMOGEN
Pada FB live webinar 2 ahad kemudian saya membahas perihal taktik Porter. Dalam taktik itu disebutkan keunggulan perjuangan tiba dari 3 hal: biaya, diferensiasi, dan pasar ceruk. Cost leadership yaitu keunggulan pertama. Cost leadership yaitu keunggulan yang lahir alasannya yaitu kita mempunyai efisiensi tinggi pada keseluruhan operasi perjuangan dari hulu hingga hilir. Dari pengadaan, produksi, hingga distribusi. Hasilnya yaitu harga yang rendah. Produsen memang mendapat keuntungan yang kecil, tapi volume penjualannya besar.
Cost leadership sangat efektif dipakai pada produk-produk yang homogen atau bersubstitusi sempurna, dan didistribusikan pada sebuah pasar yang informasinya simetris dimana konsumen mempunyai bargaining power yang tinggi. Strategi ini juga ditujukan pada segmen konsumen yang sensitif pada harga dan lebih mementingkan fungsi.
Anda jual popok bayi brand A harga Rp 20.000 di sebuah marketplace. Seller B juga menjual popok brand A harga Rp 15.000 di daerah yang sama. Anda terperinci kalah. Seller B bisa menjual lebih rendah kemungkinan alasannya yaitu ia distributor, agen, atau grosir yang mendapat harga lebih rendah dari pemasok. Sementara anda sebagai retail tak bisa menyaingi harga itu. Popok brand A anda dan seller B sebagai produk yang sama bisa pribadi saling menggantikan. Bahkan mungkin dengan popok brand B atau C yang perbedaannya tidak terlalu penting sehingga bersubtitusi sempurna.
Homogenitas atau keseragaman ini tak hanya terjadi pada produk bermerk. Karena konsumen yang mementingkan harga melihat homogenitas itu juga pada fungsi. Selama fungsinya sama dan bisa memecahkan problem yang sama, maka barang itu dianggap homogen. Fitur-fitur pada barang yang tidak signifikan pada fungsinya untuk memecahkan sebuah problem atau memenuhi sebuah kebutuhan, cenderung tidak dipertimbangkan.
Lihatlah kategori aksesoris HP atau komputer di marketplace. Banyak sekali barang tidak bermerk dengan harga murah yang mencatatkan penjualan tinggi.
Pada produk custom atau musiman, produsen mesti mempunyai keunggulan dalam supply chain dan produksi. Misal untuk membuat aksesoris HP, mereka harus punya susukan ke pemasok bijih plastik/fiber, mesin pencetak, aluminium, hingga materi baku kemasan. China terperinci punya keunggulan ini semua dimana materi baku hanya didistribusikan antar provinsi, kota, atau distrik, harga tenaga kerja yang murah, hingga dispensasi ekspor. Sehingga mereka bisa mempunyai cost leadership dibanding seller di luar China. Pelaku UKM kita tak punya cost leadership ibarat ini.
Masalah lainnya adalah: saat pelaku UKM masuk ke marketplace, mereka kehilangan nilai diferensiasi yang ada pada perjuangan offline.
Misal anda punya toko asesoris HP di sebuah kecamatan. Tidak ada toko HP lain dalam radius 3 km. Berarti keunggulan anda (berdasarkan taktik Porter) lahir alasannya yaitu diferensiasi letak, bukan cost leadership. Diferensiasi letak anda ini akan segera lenyap saat masuk ke marketplace.
DIKOPI SECARA INSTANT
Pada taktik Porter, keunggulan ketiga yaitu fokus pada pasar ceruk. Tapi marketplace kita juga daerah yang jelek untuk bermain di pasar ceruk/niche. Informasi yang sangat simetris membuat kesuksesan anda (yang terlihat dari jumlah penjualan) bisa dengan cepat dibajak pihak lain. Bukan hanya produk yang serupa, tapi juga hingga mengkopi barang tersebut dan menjualnya dengan harga lebih murah.
Anggaplah anda membuat sebuah produk kreatif berupa jilbab dengan desain unik. Lalu anda menghasilkan 200 penjualan di marketplace. Seller lain, terutama mereka yang punya modal lebih besar dan cost leadership, dengan gampang mengkopi desain anda ini dan menjualnya lebih murah.
Sudah terlalu banyak keluhan seller lokal di marketplace yang mempunyai produk kreatif dan berhasil dalam penjualan, tiba-tiba muncul seller lain dari China dengan produk sama persis dengan harga lebih murah. Seller lokal hanya bisa misuh-misuh alasannya yaitu tak punya paten pada desainnya dan di negeri ini tidak gampang pula mengurus paten.
SOCIAL PROOF BERHARGA TINGGI
Salah satu nilai penting bagi seller di marketplace yaitu social proof dalam bentuk jumlah produk terjual, jumlah transaksi, rating, dan ulasan. Social proof atau kesaksian ini bisa mengungkit daya saing terhadap seller lain yang harga produknya lebih murah. Ibarat di pasar, orang cenderung tiba ke kios yang ramai.
Reputasi atau social proof ini bahwasanya keunggulan diferensiasi, bukan cost leadership. Karena meski harganya lebih mahal sedikit, tapi reputasi bisa mengatakan rasa aman. Konsumen rela membayar lebih demi rasa kondusif tersebut. Namun reputasi tidak dibangun dalam 1-2 hari. Lama. Dan butuh biaya.
Misal seller yang mengandalkan reputasi dari jumlah produk terjual. Tidak mungkin bisa terjual banyak bila harganya tidak rendah atau bahkan yang paling rendah. Untuk membuat harga rendah itu ia harus punya cost leadership. Mungkin seller itu pemain besar yang modalnya tentu saja besar. Atau bila ia cuma pemain kecil, maka ia memangkas keuntungan habis-habisan biar harga produk serendah mungkin. Sementara sebagai UKM ia perlu keuntungan yang cukup biar bisa berkembang.
Jumlah transaksi dan produk yang terjual sampa ia bisa membuat socal proof selain perlu biaya juga tidak didapat dalam waktu singkat. Mungkin bisa tahunan. Dalam rentang waktu itu sebuah UKM degan modal dan sumberdaya terbatas serta berada dalam ekosistem pasar yang ganas, ia selalu berada dalam posisi yang rentan.
BENTENG TERAKHIR UKM
Terus terang, saya tidak melihat online marketplace sebagai saluran distribusi yang menguntungkan bagi UKM dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Orang tiba ke marketplace untuk membandingkan harga. Titik. Marketplace yaitu pasar dengan persaingan tepat dimana UKM bermodal kecil akan takluk oleh mereka yang punya keunggulan modal dan biaya.
Namun tetap penting bagi UKM untuk menghadirkan (enabling) bisnisnya secara online untuk meningkatkan jangkauan atau skalabilitas dengan biaya (cost to duplicate) yang relatif rendah.
UKM sebaiknya meninggalkan persaingan di area harga dan tabrak murah. Karena dilihat dari bentuk usahanya, sulit bagi UKM punya cost leadership. Mereka yang tabrak harga akan selalu rentan terhadap pelaku perjuangan lain yang bermodal besar dan punya cost leadership yang akan dengan gampang melaksanakan harga predator.
Lalu apa keunggulan yang bisa diupayakan oleh UKM?
Lupakan produk homogen. Keunggulan paling berkelanjutan yaitu diferensiasi dan ceruk (strategi kedua dan ketiga Porter).
Diferensiasi tidak hanya terletak pada produk. Tapi juga bagaimana kita memasarkannya, mendistribusikannya, melayani penjualannya, purna-jual, hingga membangun loyalitas. Diferensiasi juga menyasar segmen yang tidak terlalu sensitif pada harga.
Dalam mendiferensiasikan usaha, ingatlah pada 1 hal: orang harus rela membayar lebih atas perbedaan tersebut. Diferensiasi setidaknya terletak pada 3 komponen: cara produk memecahkan masalah, makna/estetika, dan cara kita mengikat diri dengan konsumen.
Pada diferensiasi produk, ingatlah bahwa hakikat produk yaitu sebuah sarana/alat untuk memecahkan problem atau memenuhi sebuah kebutuhan. Orang tidak serta-merta membeli produk hanya alasannya yaitu kita membuat atau menjualnya. Orang membeli produk alasannya yaitu ada problem yang terpecahkan melalui produk itu. Tiap produk memperlihatkan cara pemecahan problem yang berbeda. Temukan sebuah problem atau kebutuhan. Pastikan problem atau kebutuhan itu penting bagi konsumen. Buatlah sebuah produk yang bisa memecahkan problem itu dengan cara yang berbeda dan orang rela membayar atas solusi tersebut.
Bila kita bermain di lapangan diferensiasi, konsumen tak hanya membeli alasannya yaitu fungsi. Tapi juga punya ekspektasi lebih besar. Produk harus bisa melahirkan makna, keindahan, dan segala hal bernilai yang tak tampak (intangible). Orang tidak membeli iPhone hanya sebagai sebuah alat yang bisa dipakai untuk menelepon, SMS, atau mengakses internet. Kalau hanya untuk itu, ponsel Android di bawah Rp 1 juta juga banyak. Pengguna iPhone rela keluar uang banyak untuk mencicipi hal-hal yang tidak terlihat.
Konsumen hanya membeli dari orang yang mereka sukai. Bila marketplace bukanlah daerah yang tepat untuk membuat bonding (keterikatan) dan loyalitas, maka kita mesti menciptakannya di saluran-saluran lain. Baik media sosial, Whatsapp, atau email. Berikan layanan terbaik, tangkas, solutif, menghargai, dan banyak bersabar menghadapi konsumen.
Mulailah dari ceruk. Penuhi kebutuhan segmen konsumen yang spesifik. Jangan mengambil pasar besar di masa awal. Makin besar pasar, makin sulit anda memahami kebutuhan dan sikap konsumennya. Pasar yang besar juga perlu sumberdaya dan upaya yang tinggi untuk menjangkaunya, serta persaingan yang berdarah-darah.
Ciptakan limitasi pada sisi saluran distribusi. Misalnya anda hanya menjual di website sendiri, medsos, atau saluran lain. Mulailah dari yang sederhana, contohnya medsos atau website gratis. Dengan demikian anda akan mendapat calon konsumen berkualitas tinggi — yang tiba dan melaksanakan respon hanya pada produk anda. Dengan kata lain, bila samudera masih terlalu ganas untuk anda taklukkan, ciptakanlah kolam anda sendiri.
Terapkan 3 prinsip (Amazon) ini: konsumen selalu yang utama, terus berinovasi, dan bersabar. Usaha kita ada alasannya yaitu konsumen, jangan dibalik. Selalu pahami perilaku, kebutuhan, dan ekspektasi mereka. Konsumen selalu berubah, sehingga jangan berpikir bahwa produk kita yaitu sesuatu yang final. Lincahlah dalam beradaptasi. Karena itu jangan pernah berhenti berinovasi untuk memenuhi kebutuhan dan memuaskan sikap tersebut. Ketiga, bersabarlah.
Contoh paling terperinci atas 4 taktik di atas yaitu Dagadu, produsen kaos kreatif orisinil Jogja. Kaos mereka diduplikat dan dijajakan secara terbuka. Namun kreativitas mereka masih tidak terkalahkan. Dagadu menjaga kualitas materi dan sablon serta mengatakan pelayanan lebih baik dibanding penjaja kaos bajakan pinggir Malioboro. Mereka membatasi saluran distribusi hanya di 3 tempat.
Meski dibajak besar-besaran, toh Dagadu tidak jadi bangkrut. Malah berkembang lebih baik. Karena Dagadu tidak memposisikan diri pada pasar harga/cost leadership, tapi pada diferensiasi dengan pasar yang khusus.
KEUNGGULAN UKM YANG SEBENARNYA
Beberapa waktu kemudian saya pernah menulis artikel berjudul ‘Usaha Rintisan Menjual Pendirinya’. Di sana saya menekankan bahwa produk gres yang memperlihatkan diferensiasi tidak serta-merta akan diadopsi atau dibeli oleh konsumen. Lebih jelek lagi, sesuatu yang gres itu sekaligus sesuatu yang belum teruji dan terbukti. Perlu kepercayaan, pengorbanan, dan pertaruhan tidak kecil di sisi konsumen untuk membeli produk baru.
Kepercayaan itu tidak terletak pada produk, tapi pada pembuatnya. Pada kita sendiri sebagai pemilik usaha. Pada reputasi yang kita bangkit sekian lama.
Sementara, kelak bila produk gres itu pun terbukti berhasil, ia tidak lantas bebas dari ancaman. Akan muncul produk-produk gres yang memecahkan problem yang sama secara lebih unggul, ancaman pembajakan, bahkan produk yang sama dengan model bisnis berbeda.
Dengan demikian kekuatan sebuah perjuangan bahwasanya tidak pernah terletak pada produk, harga, atau daerah distribusinya. Semua itu hanya taktik yang diciptakan oleh para insan yang ada di belakangnya.
Marketplace hanyalah daerah distribusi. Produk hanya alat menghadirkan solusi. Harga hanya cara bertukar nilai. Modal hanya penunjang awal. Peluang hanyalah momen yang akan tiba dan pergi.
Keunggulan UKM dan semua bisnis hanya terletak pada satu hal: manusianya. (*)
Sumber aciknadzirah.blogspot.com