Sunday, July 1, 2018

√ Perkembangan Masyarakat Indonesia Pada Periode Kolonial

Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial √ Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial

Usaha bangsa Barat untuk mendapat benua gres dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang ingin mendapat rempah-rempah. Bartholomeu Dias (1492) dan Vasco da Gama (1498) berkebangsaan Portugis berlayar menyusuri pantai barat Benua Afrika kesudahannya tiba di Kalkuta, India. Kemudian mereka membangun kantor dagang di Kalkuta dan berdagang di Asia Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke Maluku sedangkan Spanyol masuk ke Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.

Columbus, orang Italia berhasil mengarungi samudra dari timur ke barat yang kemudian hingga di Amerika. Perjalanan Columbus diikuti oleh Ferdinand de Magelhaens seorang pelaut Spanyol (1519) yang berkeliling dunia ke arah barat melalui ujung Amerika Selatan mengarungi Pasifik, yang kemudian hingga di Filipina. Akan tetapi, ia tewas terbunuh oleh penduduk orisinil Filipina. Pelayaran dilanjutkan oleh anak buahnya, Pigafetta yang berlayar melalui Maluku untuk mencari rempah-rampah. Pigafetta tiba kembali di Spanyol pada tahun 1522. Magelhaens menandakan bahwa bumi ini bulat.

Selanjutnya para pedagang Belanda memanfaatkan penemuan-penemuan di atas untuk ikut juga mencari rempah-rempah ke Indonesia. Alasan Belanda mencari dunia gres lantaran kesulitan mendapat rempah-rempah dari Laut Tengah sehingga berupaya mencari sendiri rempah-rempah ke dunia Timur (Indonesia). Pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelis de Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di sana dan kawasan sekitarnya untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, lantaran kekerasan dan kurang menghormati rakyat maka diusir dari Banten. Kemudian pada tahun 1598, pedagang Belanda tiba kembali ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van Heemkerck tiba di Banten dan diterima Sultan Banten Abdulmufakir dengan baik. Sejak ketika itulah ada kekerabatan perdagangan dengan pihak Belanda sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia.

Namun, tujuan dagang tersebut kemudian berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan sewenang-wenang, melaksanakan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi, dan ekspansi kekuasaan. Untuk semakin gampang mencari kekayaan serta mengurangi persaingan dagang antarpedagang Belanda serta memperkuat persaingan dengan pedagangan Barat lainnya, dibentuklah VOC.

Inskripsi
Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia ialah untuk:
  • berdagang rempah-rempah untuk kekayaan (gold),
  • mencari kejayaan (glory), dan
  • menyebarkan agama (gospel).

A. Kebijakan Pemerintah Kolonial di Indonesia

1. Indonesia pada masa VOC

Setelah bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan ekonomi di Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan oleh Johan van Olden Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda. Alasan pendirian VOC ialah adanya persaingan di antara pedagang Belanda sendiri, adanya ancaman dari komisi dagang lain, menyerupai (EIC) Inggris, dan sanggup memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapat keleluasaan usaha di Indonesia, VOC mempunyai hak oktroi, yaitu hak istimewa.
Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial √ Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial

Inskripsi
Hak oktroi VOC meliputi:
  • hak monopoli perdagangan,
  • hak mempunyai tentara,
  • hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Indonesia,
  • hak mencetak uang,
  • hak untuk mengumumkan perang, dan
  • hak mendirikan benteng.

Akan tetapi, VOC harus tetap tunduk kepada pemerintah di Negara Belanda. Adapun tujuan mendirikan VOC ialah menghindari persaingan dagang antarpenguasa Belanda, mendapat laba yang sebesar-besarnya, dan bersaing dengan bangsa lain.

Di samping itu, VOC juga melaksanakan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda. Pada ketika itu, produksi rempah-rempah di Maluku meningkat hingga kelebihan produksi. Untuk itu, VOC mendapat hak eksterpasi, yakni hak untuk menebang flora rempah-rempah yang dianggap kelebihan jumlahnya dengan tujuan untuk menstabilkan harga (harga rempah-rempah tetap tinggi).

VOC juga mendapat hak memungut pajak yang disebut:
  • Verplichte Leverantie, yaitu kewajiban bagi raja pribumi untuk membayar pajak hasil bumi kepada Belanda;
  • Contingenten, yaitu pajak sewa tanah yang harus dibayar rakyat dengan hasil bumi.

Pengurus VOC semula hanya 60 orang, tetapi dianggap terlalu banyak sehingga diadakan pemilihan pengurus dan hanya tinggal 17 orang yang diambil dari beberapa kota. Mereka yang terpilih menjadi pengurus disebut Dewan 17 (De Heeren Seventien atau Tuan-Tuan 17) dan ketika VOC banyak urusannya maka Dewan 17 mengangkat Gubernur Jenderal (Raad van Indie) Pieter Both pada tahun 1610. Ia ialah Gubernur Jenderal VOC yang pertama di Indonesia.

Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-rempah di Ambon dalam insiden Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu memakai Batigslot Politiek (politik mencari untung, 1602 – 1799) dengan memegang monopoli Belanda di Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia.

VOC bisa menguasai Indonesia pada masa itu disebabkan oleh:
  • VOC ialah organisasi dagang yang tertib dan para pengurusnya bekerja keras sehingga maju dengan pesat,
  • banyak kerajaan di Indonesia yang gampang dikuasai VOC lantaran politik berkelahi domba,
  • para pedagang di Nusantara belum mempunyai kesatuan dan persatuan yang kuat.

Ada beberapa bukti politik memecah-belah VOC yang berhasil menguasai kerajaan Nusantara:
  • VOC berhasil membantu Sultan Haji dalam merebut Banten dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa.
  • Dalam permusuhan antara Aru Palaka (Raja Bone) dan Hasanuddin (Sultan Makassar), VOC membantu Aru Palaka sehingga terjadilah Perjanjian Bongaya yang menimbulkan Makassar jatuh ke tangan VOC.
  • VOC berhasil memecah belah Mataram menjadi tiga: kasunanan, kesultanan, dan mangkunegaran.

Perjalanan kongsi dagang VOC usang kelamaan mengalami kemunduran, bahkan VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal berikut:
  • Perang-perang yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke negeri Belanda. VOC tidak berpengaruh lagi membiayai perang-perang tersebut.
  • Kekayaan menimbulkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat. Untuk lebih memperkaya diri, mereka melaksanakan tindak korupsi. Merajalelalah korupsi di Indonesia maupun di negeri Belanda.
  • Terjadinya jual beli jabatan. Seorang VOC yang ingin pulang ke negerinya lantaran sudah terlampau kaya atau pensiun sanggup menjual jabatannya kepada orang lain dengan harga tinggi. Hal ini akan menjadi sistem suap yang merajalela.
  • Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir. Pemerintah yang kekurangan biaya untuk membiayai pemerintahannya dan perang terpaksa menjual tanah-tanah yang luas kepada orang-orang partikelir dengan hak pertuanan.
  • Kekurangan biaya tersebut tidak sanggup ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.
  • Pada selesai era ke-18, VOC tidak bisa lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa lainnya (Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara sehingga monopoli VOC hancur.

Keberadaan VOC sudah tidak sanggup dipertahankan lagi sehingga harta milik dan utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di Indonesia (1800 – 1907).

2. Indonesia pada masa penjajahan Belanda I

Tahun 1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf bentukan Napoleon Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan Prancis). Napoleon Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi wali negeri Belanda dan negeri Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk Holland. Untuk mengurusi Indonesia, Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di Indonesia (1808 – 1811).

Tugas utama Daendels ialah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris sehingga pusat perhatian Daendels ditujukan kepada pertahanan dan keamanan. Adapun langkah-langkah yang ditempuh Daendels sebagai berikut:
  • Membentuk tentara adonan yang terdiri atas orang-orang Bugis, Makassar, Bali, Madura, dan Ambon.
  • Menjadikan kota Batavia sebagai benteng pertahanan.
  • Membuat galangan beserta kapalnya di Surabaya.
  • Membangun pelabuhan Cirebon, Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Tanjung Merak.
  • Membangun jalan raya dari Anyer hingga Panarukan sepanjang 1000 km. Pembangunan jalan ini menimbulkan ribuan orang mati lantaran kelelahan, siksaan, kelaparan, dan penyakit. Daendels tidak pernah mau menghiraukan penderitaan rakyat sehingga ia mendapat julukan jenderal guntur.

Untuk memperoleh dana, Daendels menjual tanah-tanah kepada orang-orang swasta. Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai bermunculan di sekitar Batavia, Bogor, Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan sebagainya. Bahkan, rumahnya sendiri di Bogor dijual kepada pemerintah, tetapi rumah itu tetap ditempatinya sebagai rumah tinggalnya. Tindakan dan kekejaman Daendels tersebut menimbulkan raja-raja Banten dan Mataram memusuhinya.

Untuk menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya pembaharuan tersebut, Daendels kembali menjual tanah negara beserta isinya kepada swasta, sehingga timbullah sistem tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja daerah, contohnya di sekitar Batavia dan Probolinggo.

Kekejaman Daendels tersebut terdengar hingga ke Prancis. Akhirnya, beliau dipanggil pulang lantaran dianggap memerintah secara autokrasi dan Indonesia diperintah oleh Jansens.

3. Indonesia pada masa penjajahan Inggris

Keberhasilan Inggris mengalahkan Prancis di Eropa menimbulkan kekuasaan Belanda atas Indonesia bergeser ke tangan Inggris. Untuk itulah ditandatangani Kapitulasi Tuntang (1811) yang isinya Belanda menyerahkan Indonesia ke tangan Inggris dari tangan Jansens kepada Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan Gubernur Jenderal Inggris untuk Indonesia. Oleh lantaran itu, beralihlah Indonesia dari tangan Belanda ke tangan Inggris.

Adapun langkah-langkah yang diambil Raffles adalah
  • membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan,
  • para bupati dijadikan pegawai negeri,
  • melaksanakan perdagangan bebas,
  • melaksanakan land rente (pajak sewa tanah) dan Raffles menjual tanah kepada swasta,
  • menghapuskan perbudakan,
  • kekuasaan para raja dikurangi, Di Yogyakarta, Pangeran Notokusumo diangkat sebagai Paku Alam (1813). Akibatnya, Mataram Yogyakarta pecah menjadi dua, yakni Kasultanan Yogyakarta di bawah HB III dan Paku Alaman di bawah Paku Alam I.

Pada tanggal 13 Agustus 1814, di Eropa ditandatangani Perjanjian London oleh Inggris dan Belanda yang isinya Belanda memperoleh kembali sebagian besar kawasan koloninya, termasuk Indonesia. Oleh lantaran itu pada tahun 1816, Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda kembali berkuasa di Indonesia.

4. Indonesia pada masa penjajahan Belanda II

Dengan Perjanjian London, Belanda memperoleh kembali jajahannya atas Indonesia. Kemudian Belanda membentuk Komisaris Jenderal yang akan melaksanakan kembali kekuasaan di Indonesia yang beranggotakan Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Namun oleh Inggris, ada wilayah Indonesia yang tidak dikembalikan kepada Belanda, yakni kawasan Sumatra dan sekitarnya.

Pada bulan Maret 1816, Raffles menyerahkan kekuasaannya kepada John Fendall. Setelah itu, Raffles segera menuju Singapura dan membangun kota Singapura (1819). Singapura dijadikan pusat pertahanan Inggris hingga Perang Dunia II. Sementara itu, bekas wilayah kekuasaan Raffles diserahkan oleh John Fendall kepada Komisaris Jenderal pada tanggal 19 Agustus 1816. Dengan demikian, Indonesia sepenuhnya menjadi kawasan kekuasaan Belanda dan diberi nama Nederlands Indie (Hindia Belanda).

Kehadiran Belanda kembali ke Indonesia banyak ditentang oleh rakyat dan raja-raja kawasan alasannya pada masa kemudian kekuasaan raja banyak dikurangi. Belanda juga pernah melaksanakan monopoli dagang yang merugikan rakyat sehingga mengakibatkan rasa antipati rakyat terhadap Belanda. Kebencian ini kemudian mengakibatkan gerakan anti penjajahan Belanda menyerupai perlawanan Thomas Matulessi, Perang Diponegoro, dan Perang Padri.

a. Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang gres untuk Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi kiprah untuk meningkatkan produksi flora ekspor, menyerupai tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan kayu manis. Dalam hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa.

Adapun hal-hal yang mendorong Van den Bosch melaksanakan tanam paksa, antara lain, Belanda membutuhkan banyak dana untuk membiayai peperangan, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Indonesia. Akibatnya, kas negara Belanda kosong. Sementara itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan Belgia (1830 – 1839) yang juga menelan banyak biaya.

Tujuan diadakannya tanam paksa ialah untuk mendapat laba yang sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar utangutang negara. Adapun pokok-pokok aturan tanam paksa sebagai berikut.
  • Seperlima tanah penduduk wajib ditanami flora yang laris dalam perdagangan internasional/Eropa.
  • Tanah yang ditanami bebas pajak.
  • Pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam flora perdagangan dihentikan melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
  • Hasil flora perdagangan diserahkan kepada pemerintah dan bila harga yang ditaksir melebihi pajak, kelebihan itu milik rakyat dan diberikan cultuur procenten (hadiah lantaran menyerahkan lebih). Akibatnya, rakyat saling berlomba untuk mendapatkannya.
  • Kegagalan tanaman/panen menjadi tanggung jawab pemerintah.

Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang berakibat membawa kesengsaraan rakyat. Bentuk penyelewengan tersebut, misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda (kerja rodi), kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan eksploitasi ke- kayaan Indonesia yang dilakukan Belanda.

Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut biar tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama trend tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi membangun jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani pajak yang berat, sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk membayar pajak. Akibatnya, rakyat tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga kelaparan terjadi di mana-mana, menyerupai Cirebon, Demak, dan Grobogan.

Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa laba yang besar. Praktik tanam paksa bisa menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus membayar utang-utang akhir banyak perang.

Adapun tokoh-tokoh kaum humanis anti tanam paksa sebagai berikut.
  • Eduard Douwes Dekker yang memprotes pelaksanaan tanam paksa melalui tulisannya berjudul Max Havelaar. Dalam goresan pena tersebut, ia memakai nama samaran Multatuli, artinya saya yang menderita.
  • Baron van Hoevell, ia seorang pendeta di Batavia yang berjuang biar tanam paksa dihapuskan. Usahanya mendapat pemberian Menteri Keuangan Torbecke.
  • Fransen van de Pute, ia seorang anggota Majelis Rendah yang mengusulkan tanam paksa dihapuskan.
  • Van Deventer, pada tahun 1899, menulis artikel berjudul Een Eereschuld (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids. Artikel tersebut berisi, antara lain, Trilogi Van Deventer yang meliputi edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Edukasi artinya mendirikan sekolah-sekolah bagi pribumi dan kesudahannya akan melahirkan kaum cerdik pintar yang memelopori pergerakan nasional Indonesia. Irigasi artinya mengairi sawah-sawah, namun pada praktiknya yang diairi hanya perkebunan milik Belanda. Transmigrasi artinya memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, contohnya Sumatra. Namun praktiknya menjelma emigrasi, yaitu memindahkan penduduk Indonesia ke Suriname untuk kepentingan perkebunan Belanda.

Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement) pada tahun 1854 ihwal pembatalan perbudakan. Namun pada praktiknya, perbudakan gres dihapuskan pada tanggal 1 Januari 1860. Selanjutnya, pada tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Keuangan (Comptabiliteits Wet) yang mewajibkan anggaran belanja Hindia Belanda disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, ada pengawasan dari Badan Legislatif di Nederland. Kemudian pada tahun 1870 dikeluarkan UU Gula (Suiker Wet) dan UU Tanah (Agrarische Wet). Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.

b. Kolonial Liberal
Setelah tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda melaksanakan politik kolonial liberal di Indonesia dengan memperlihatkan kebebasan pada pengusaha swasta untuk menanamkan modal di Indonesia. Namun, pelaksanaannya tetap menyengsarakan rakyat lantaran kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan kolonial Belanda. Belanda tetap melaksanakan cara-cara menguasai bangsa Indonesia dengan perjanjian, perang, dan pemecah belah.

Pelaksanaan politik kolonial liberal sering disebut Politik Pintu Terbuka (Opendeur Politiek), yaitu membuka modal swasta abnormal untuk ditanamkan di Indonesia. Dengan politik tersebut, Indonesia sebagai tempat untuk mendapat materi mentah, mendapat tenaga yang murah, tempat pemasaran barang produk Eropa serta tempat penanaman modal asing. Modal swasta Belanda serta modal bangsa Barat lainnya masuk ke Indonesia dan ditanamkan ke dalam pertanian dan perkebunan sehingga perkebunan tebu dan tembakau berkembang pesat.

Pembukaan kawasan perkebunan di luar Jawa menyerupai di Sumatra menjadi semakin luas, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Oleh lantaran itu, muncullah sistem kontrak (kuli kontrak). Untuk menjamin biar para kuli tidak melarikan diri sebelum habis kontraknya, dikeluarkanlah peraturan Koeli Ordonnantie yang berisi ancaman eksekusi bagi para pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan.

Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata banyak mendatangkan penderitaan bagi rakyat terutama buruh alasannya upah yang mereka terima tidak menyerupai yang tertera dalam kontrak. Akibatnya, banyak buruh yang melarikan diri, terutama dari Deli, Sumatra Utara.

Dari kenyataan di atas terang Belanda tetap masih melaksanakan usaha menindas bangsa Indonesia. Hal ini sanggup kita lihat pada hal-hal berikut.
  • Kegiatan ekonomi baik perdagangan atau perkebunan tetap dimonopoli Belanda walaupun dilaksanakan oleh kaum swasta Belanda sehingga tetap membawa kesengsaraan rakyat Indonesia.
  • Belanda melaksanakan politik mencari untung sendiri dengan mendirikan kongsi angkatan bahari Belanda (KLM) dan angkatan udara (KPM).
  • Lewat perjanjian dan perang untuk menindas segala bentuk perlawanan terhadap Belanda.
  • Banyak campur tangan di kalangan istana biar gampang memengaruhi para penguasa kerajaan.

Selanjutnya pada awal era ke-20, dari pihak Belanda mulai muncul perilaku agak lunak, bahkan pada tahun 1918, Van Limburg Stirum memperlihatkan "Janji November" yang isinya bahwa sesudah Perang Dunia I, Indonesia akan diberi kemerdekaan. Untuk itu kemudian dibuat Volksraad (Dewan Rakyat) yang merupakan alat keikutsertaan bangsa Indonesia dalam memilih nasibnya.

B. Perkembangan Sistem Pemerintahan, Struktur Birokrasi, dan Sistem Hukum pada Masa Kolonial

1. Sistem pemerintahan kolonial

Pemerintahan kolonial Belanda diawali dengan dibentuknya forum dagang VOC yang mempunyai pengurus terdiri atas tujuh belas orang yang disebut De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas). Lembaga ini berpusat di negeri Belanda. Sebagai pelaksana harian di Indonesia, Dewan Tujuh Belas mengangkat gubernur jenderal yang didampingi Dewan Hindia. Dewan Hindia (Ideler) ini beranggotakan sembilan orang yang sebagian menjabat gubernur di kawasan menyerupai Banten, Cirebon, dan Surabaya. Gubernur jenderal bersama Dewan Hindia mengemudikan pemerintahan VOC di Indonesia yang kekuasaannya tidak terbatas. Selain gubernur jenderal, diangkat pula seorang administrator jenderal yang bertugas mengurusi perniagaan serta mengurus perkapalan.

Setelah VOC runtuh, Indonesia diperintah oleh Deandels, seorang yang pintar tetapi diktator. Ia membagi Pulau Jawa menjadi sembilan karisidenan yang dikepalai oleh seorang perfect. Ia juga mendirikan pengawas keuangan (Algemene Rekenkamer). Sikap adikara Daendels menimbulkan banyak peperangan dengan raja-raja kawasan serta keburukan pemerintahannya, sehingga ditarik kembali pulang ke negeri Belanda.

Selanjutnya, Indonesia jatuh ke tangan Inggris di bawah Raffles yang mempunyai kepribadian yang simpati dan liberalis. Dalam menjalankan pemerintahannya di Indonesia, Raffles didampingi oleh tubuh penasihat (advisory council). Adapun tindakan yang diambilnya adalah:
  • membagi Pulau Jawa menjadi 16 karesidenan, setiap karesidenan dibagi dalam distrik, setiap distrik terdapat divisi (kecamatan);
  • mengubah sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang bercorak Barat;
  • para penguasa pribumi dan para bupati dijadikan pegawai kolonial dan digaji.

2. Struktur birokrasi kolonial

Dalam rangka politik Pax Nederlandica, Belanda banyak memakai tenaga pribumi yang bisa mengerjakan manajemen pemerintahan, yang mempunyai keterampilan dan latihan kerja yang memadai dalam banyak sekali jenis kegiatan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pribumi yang mempunyai kemampuan dan keterampilan maka didirikan sekolah untuk mendapat pendidikan yang terampil dan berpengetahuan, biar nanti sanggup dipekerjakan pada kantor-kantor milik pemerintah kolonial.

Pusat pemerintahan Belanda di Batavia membutuhkan banyak tenaga untuk melaksanakan kiprah guna mengikat kekerabatan dengan daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu, adanya ekspansi kekerabatan antara pemerintah kolonial di Batavia dengan negeri induknya, serta dengan daerah-daerah di seluruh Nusantara, menuntut adanya desentralisasi hubungan. Pemikiran yang demikian kesudahannya mendorong dibentuknya Volksraad pada tahun 1918 dengan tujuan biar kekerabatan dengan rakyat Indonesia semakin lebih baik.

3. Sistem hukum

Pada tahun 1838, di negeri Belanda telah diundangkan aturan dagang dan aturan perdata. Hal ini terdorong oleh adanya acara perdagangan hasil bumi orang-orang Belanda dengan mediator pedagang Cina. Politik aturan pemerintahan kolonial Belanda sanggup diperlihatkan dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling yang menyangkut aturan orang-orang Indonesia. Dalam pasal tersebut diatur bahwa aturan perdata dan dagang serta aturan program perdata dan pidana harus dimasukkan dalam kitab Undang-Undang. Golongan bangsa Eropa harus menganut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda, sedangkan golongan bangsa Indonesia dan timur abnormal sanggup dikenakan ketentuan aturan orang Eropa apabila dikehendaki.

Pada tahun 1855 sebagian dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah memuat aturan kekayaan, begitu juga aturan dagang bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda dalam membentuk kitab undang-undang bagi orang Indonesia maka aturan tabiat selalu menjadi materi pertimbangan hukum.

Menurut peraturan pemerintah kolonial 1854 dan peraturan Hindia Belanda 1925, bidang aturan dan peradilan Hindia Belanda dibagi atas dua bagian, yaitu pengadilan gubernemen dan pengadilan pribumi. Pengadilan gubernemen dilaksanakan oleh pemerintah kolonial melalui pegawai pemerintahan sesuai dengan aturan hukum, sedangkan pengadilan pribumi dilaksanakan berdasarkan aturan tabiat yang pada umumnya tidak tertulis.

Pada tahun 1819 didirikan Hoog Gerechtschof (Mahkamah Agung), yang kemudian mempunyai kekuasaan untuk mengawasi pengadilan di Jawa. Pada tahun 1869 berdasarkan keputusan raja, para pegawai pamong praja dibebaskan dari pengadilan pribumi. Pada tahun 1918 berlaku aturan pidana Hindia Belanda yang didasarkan pada kitab UndangUndang untuk pengadilan bagi orang Eropa dan pribumi tidak ada perbedaan hukum.

C. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda

1. Perlawanan Kapitan Pattimura (1817)

Tindakan Belanda yang sewenang-wenang dan monopolinya yang merugikan menimbulkan Pattimura berkewajiban membebaskan rakyat Saparua Maluku. Residen Van den Berg menolak membayar harga bahtera berdasarkan kesepakatan. Hal ini berakibat menambah kemarahan rakyat. Pattimura yang juga dikenal dengan nama Thomas Matulessi menyerbu benteng Duurstede dan berhasil menguasainya dan residen Van den Berg terbunuh. Penggantinya ialah Letkol Groot yang berpolitik licik serta berusaha memecah belah.

Banyak pemimpin yang ditangkapnya sehingga kekuatan semakin lemah. Maka dalam pertempuran selanjutnya, Pattimura beserta kawan-kawannya tertangkap dan pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dijatuhi eksekusi mati dengan cara digantung di benteng New Victoria. Perjuangannya dibantu Christina Martha Tiahahu.

2. Perlawanan Padri (1821 – 1837)

Gerakan padri didirikan oleh tiga orang ulama, yakni Haji Miskin, Haji Piambang, dan Haji Sumanik sepulang dari Tanah Suci. Ketiga ulama tersebut sangat kecewa melihat kebiasaan masyarakat Minangkabau yang telah sangat jauh dari aliran Islam. Usaha mereka untuk memengaruhi masyarakat mendapat perlawanan keras kaum tabiat hingga timbullah peperangan. Berikut sebab-sebab timbulnya perang.
  • Adanya perbedaan pendapat antara kaum ulama/padri dengan kaum adat. Kaum ulama terpengaruh gerakan wahabi menghendaki aliran agama Islam berdasarkan alquran dan Hadis.
  • Kaum ulama ingin memberantas kebiasan jelek yang dilakukan kaum adat, menyerupai berjodi, menyabung ayam, dan mabuk.
  • Perebutan imbas antara kaum tabiat dan kaum ulama.

Pertempuran semula terjadi pada tahun 1825 di Minangkabau antara kaum tabiat dan kaum ulama. Kaum ulama dipimpin oleh Imam Bonjol. Kaum tabiat kemudian minta pemberian Belanda. Namun Belanda sedang terdesak, akhir perang menghadapi Pangeran Diponegoro. Maka, Belanda mengajak berunding saja dan mengakui batas wilayah kekuasaan kaum padri.

Sesudah tahun 1830, Belanda mengobarkan perang antara kaum tabiat melawan kaum padri, dalam hal ini Belanda membantu kaum adat. Semula pertempuran itu terjadi, tetapi sesudah kaum tabiat sadar akan ancaman Belanda, mereka bergabung dengan kaum padri melawan Belanda semenjak tahun 1832. Belanda di bawah Van den Bosch memakai Sistem Benteng Stelsel dan dikirimlah pemberian di bawah pimpinan Sentot Ali Basa Prawirodirjo yang kemudian memihak kepada kaum padri. Sentotpun dibuang ke Cianjur. Kemudian Belanda menyerang kota Bonjol dan mengadakan Perjanjian Plakat Panjang (1833), yang isinya:
  • penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak atau kerja rodi,
  • Belanda akan menjadi penengah bila timbul perselisihan antarpenduduk,
  • perdagangan dilakukan hanya dengan Belanda, dan
  • penduduk boleh mengatur pemerintahan sendiri.

Dengan siasat Benteng Stelsel, Belanda mengepung benteng Bonjol pada tanggal 25 Oktober 1937 sehingga Imam Bonjol tertangkap dan dibuang ke Cianjur. Pada tahun 1854, Imam Bonjol wafat di Manado.

3. Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825 – 1830)

Sejak awal era ke-18 Belanda memperluas kawasan kekuasaannya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah Mataram pada tahun 1812. Pengaruh Belanda mulai menyebar di kalangan istana dan mengancam kehidupan agama Islam. Sebagai salah seorang pemimpin negara dan pemuka agama, Pangeran Diponegoro tergerak untuk melaksanakan perlawanan.
a. Sebab-sebab umum
  • Rakyat menderita akhir pemerasan Belanda dengan menarik pajak.
  • Kaum aristokrat merasa dikurangi haknya, misalnya, dihentikan menyewakan tanahnya.
  • Adanya campur tangan Belanda di istana, contohnya dalam pengangkatan sultan, mengubah tata cara istana, sajian sirih dihapus, dan orang Belanda duduk sejajar dengan sultan.

b. Sebab-sebab khusus
Pembuatan jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro tanpa seizin di Tegalrejo dianggap merupakan penghinaan sehingga Pangeran Diponegoro mengangkat senjata pada tanggal 20 Juli 1825.

c. Jalannya perang
Pembantu-pembantu Pangeran Diponegoro ialah Kiai Mojo, Sentot Ali Basa Prawirodirjo, dan Pangeran Mangkubumi. Pusat pergerakan ialah di Selarong. Sistem yang dipergunakannya ialah perang gerilya dan perang sabil.

Pangeran Diponegoro juga dianggap penyelamat negara dan seorang pemimpin yang besar sehingga mendapat julukan "Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirulmukmin Syayidin Panotogomo Kalifatulah Tanah Jawa". Pada ketika itu, Belanda dipimpin Jenderal De Kock yang mempergunakan cara:
  • siasat Benteng Stelsel, di setiap kawasan yang dikuasai didirikan benteng yang mempersempit gerilya Pangeran Diponegoro sehingga pasukannya terpecah-pecah;
  • mengangkat kembali Sultan Sepuh biar tidak dibenci oleh rakyat Mataram;
  • mempergunakan politik devide et impera.

Melihat sistem Belanda yang cukup berbahaya ini, Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Plered, Dekso, dan Pangasih. Daerah Pacitan dan Purwodadi juga berhasil dipertahankan. Serdadu Belanda terus digempur oleh pasukan Diponegoro sehingga 2.000 orang tentara Belanda tewas. Pada tahun 1828 – 1830 Pangeran Diponegoro menghadapi kesulitan-kesulitan berikut.
  • Tahun 1838 Kiai Mojo mengadakan negosiasi dengan Belanda di Mangi, tetapi gagal. Kiai Mojo ditangkap dan diasingkan ke Minahasa dan tahun 1849 wafat kemudian dimakamkan di Tondano.
  • Tahun 1839 Pangeran Mangkubumi mengalah lantaran sudah tua.
  • Tahun 1829 Sentot Prawirodirjo mengadakan negosiasi dengan Belanda. Ia bersedia menyerah, asalkan menjadi pemimpin pasukan.
  • Tahun 1830 Pangeran Dipokusumo menyerahkan putra Pangeran Diponegoro.

Kenyataan tersebut tidak melemahkan Pangeran Diponegoro. Ia terus berjuang, bahkan Belanda hingga mengeluarkan sayembara: Apabila ada yang berhasil menyerahkan Pangeran Diponegoro akan mendapat uang 20.000 ringgit. Namun, tidak ada yang bersedia.

Akhirnya Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830 dan dibawa ke Batavia dengan kapal "Pollaz", terus diasingkan ke Manado. Pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar dan kesudahannya wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Perang Diponegoro yang panjang membawa akhir sebagai berikut.
  • Wilayah Mataram Yogyakarta dan Surakarta menjadi sempit, PB VI yang ikut melawan Belanda kesudahannya dibunuh di Ambon (1830).
  • Belanda memperoleh kawasan Surakarta – Yogyakarta sebagai kawasan yang diperas kekayaannya.
  • Adanya sebagian cukai yang dihapus untuk mengurangi kerusuhan.

4. Perlawanan Aceh (1873 – 1904)

Perang Aceh meletus pada tahun 1873 ketika terjadi kontradiksi kepentingan politik dan ekonomi antara Kesultanan Aceh dan pemerintah kolonial Belanda. Belanda sudah mempunyai cita-cita untuk menguasai Aceh semenjak tahun 1824, ketika itu Aceh populer sebagai penghasil separuh persediaan lada di dunia. Kesempatan diperoleh ketika Inggris membiarkan Belanda menguasai Aceh daripada jatuh ke tangan Amerika Serikat atau Prancis.

a. Sebab-sebab umum
  • Belanda melaksanakan Pax Nederlandica.
  • Aceh merupakan kawasan yang strategis bagi pelayaran dan perdagangan yang menolak campur tangan Belanda.
  • Inggris tidak akan menghalangi bila Belanda memperluas kawasan ke Sumatra.

b. Sebab khusus
Aceh menolak terhadap penguasaan Belanda atas Sumatra, walaupun secara sepihak Belanda telah mengeluarkan Traktat Sumatra (1871) (yang memberi hak Belanda sanggup berkuasa di Sumatra). Untuk menghadapinya, Aceh erat dengan Turki dan Amerika Serikat.

Di Aceh terdapat dua kelompok pemimpin rakyat.
  • Golongan aristokrat yang berjiwa nasionalis (golongan teuku): Teuku Umar, Dawotsyah, Panglima Polim, Muda Bae'et, dan Teuku Leungbata.
  • Golongan ulama (golongan tengku) dipimpin Tengku Tjik Di Tiro.

c. Jalannya perang
1) Masa permulaan (1873 – 1884)
Belanda menyerang di bawah Kohler, tetapi Kohler sendiri tewas sehingga Belanda menarik pasukannya. Pimpinan pasukan diganti oleh Van Swietten yang berusaha membentuk pasukan jalan kaki (infateri), pasukan berkuda (kavaleri), dan pembangunan militer (genie). Semangat rakyat Aceh tidak kendor, bahkan Jenderal Van der Heyden tertembak sehingga buta (jenderal buta).

2) Masa konsentrasi stelsel (1884 – 1896)
Pada masa ini, Tengku Tjik Di Tiro gugur. Karena itu, Teuku Umar mengubah cara dengan berpura-pura mengalah kepada Belanda (tahun 1893). Belanda memberi penghargaan berupa uang $18.000, 800 senjata, 250 tentara, dan Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Hal itu hanya merupakan siasat saja, Teuku Umar kembali menyerang Belanda bersama istrinya Tjoet Nja'Dien. Belanda merasa sulit menundukkan Aceh sehingga memanggil Dr. C. Snouck Hurgronje untuk meneliti budaya Aceh. Tersusunlah buku yang berjudul De Atjeher.

3) Masa selesai perlawanan (1896 – 1904)
Pada tahun 1899 di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Perjuangannya dilanjutkan Tjoet Nja' Dien yang terus bergerilya. Karena Aceh sudah tidak berdaya, Belanda mengeluarkan Plakat Pendek yang isinya:
  • Aceh mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra,
  • Aceh tidak akan berafiliasi dengan negara asing, dan
  • Aceh akan menaati perintah Belanda.

5. Perlawanan Sisingamangaraja XII dari Tapanuli (1878 – 1907)

Sisingamangaraja XII melawan Belanda di kawasan Tapanuli di tepi Danau Toba. Penyebab perlawanan ini ialah kawasan Batak diperkecil oleh Belanda. Belanda melaksanakan Pax Nederlandica. Tahun 1878 Sisingamangaraja XII menyerang Belanda di Tarutung (tahun 1894). Belanda menyerang dan mengkremasi kawasan pusat kerajaan Tapanuli (1907). Sisingamangaraja XII gugur bersama putra-putrinya sehingga berakhirlah perjuangannya.

6. Perlawanan Banjar oleh Pangeran Antasari (1859 – 1863)

Pertempuran ini terjadi lantaran Belanda banyak campur tangan di istana, banyak perkebunan yang dikuasai Belanda, Belanda berusaha menguasai Kalimantan, dan disingkirkannya pewaris takhta, Pangeran Hidayatullah, membawa kemarahan rakyat yang terus berusaha melawan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Namun perlawanan ini tidak berlangsung lama, perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang berjulukan Muhamad Seman.

7. Perlawanan Patih Jelantik dari Bali

Patih Jelantik ialah patih Kerajaan Buleleng yang melawan Belanda. Sebab-sebab perlawanan sebagai berikut:
  • Hukum tawan karang ialah hak Raja Bali yang akan dihapus Belanda.
  • Raja harus melindungi perdagangan Belanda di Bali.
  • Belanda diizinkan mengibarkan bendera di Bali.

Adanya aturan-aturan yang ditetapkan Belanda tersebut menciptakan Raja Bali merasa diinjak-injak kekuasaannya oleh Belanda. Maka, dikobarkanlah perang anti-Belanda. Jalannya perang sebagai berikut.
a. Perang Buleleng 1846
Ini terjadi lantaran Raja Buleleng merampas kapal Belanda sehingga terjadi pertempuran dan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Kemudian raja menyingkir ke benteng Jagaraga bersama Patih Jelantik.

b. Perang Jagaraga 1848
Dalam pertempuran ini, Patih Jelantik bertahan di benteng tersebut. Tetapi, kesudahannya ada salah satu belahan yang berhasil dikuasai Belanda, namun Patih Jelantik tetap bertahan.

c. Perang Jagaraga II
Belanda dipimpin Michiels menyerang Kerajaan Klungkung. Jembrana, dan Buleleng sehingga benteng Jagaraga berhasil direbut Belanda. Para raja lari ke kawasan selatan. Raja Karangasem dan Raja Buleleng kesudahannya mengobarkan perang puputan. Kerajaan Tabanan mengadakan pertempuran tahun 1906 yang disebut Balikan Wongaya. Akhirnya, Bali dikuasai Belanda.

Sumber: bse.kemdikbud.go.id

Perkembangan Masyarakat Indonesia pada Masa Kolonial
MARKIJAR: MARi KIta belaJAR


Sumber http://www.markijar.com/