Thursday, January 5, 2017

Mengapa Anda Takkan Menang Melawan Gojek

“Ada jalan yang tak boleh dilalui. Ada kota yang tak boleh dikepung. Ada pasukan yang tak boleh diserang”Sun Tzu


Kecuali anda gemar melaksanakan hal sia-sia, maka lupakanlah untuk bersaing dan melawan Gojek. Ini spesies raksasa jenis gres yang hanya mungkin dilawan raksasa spesies gres lainnya ibarat Grab atau Didi. Kalau anda tahu kenapa anda tidak membuat Facebook, Google, Instagram, atau Twitter baru, gunakanlah alasan yang sama untuk tidak membuat Gojek baru.





Hal tersebut tidak hanya berlaku pada layanan transportasi online. Tapi hampir semua layanan on-demand yang duduk kasus utamanya ialah jarak sekawasan. Kaprikornus termasuk bila anda ingin membuat Gofood baru, lupakan.


Gojek hanya mungkin dilawan dengan teknologi dan business model baru. Itu pun ‘Mungkin’. Karena apapun yang anda buat, Gojek juga bisa membuatnya. Karena Gojek ialah perusahaan teknologi. Kompetensi mereka ialah melaksanakan rekayasa dan mencipta. Kalaupun hanya anda yang bisa membuatnya, anda akan segera ‘dinetralkan’ oleh Gojek.




Disclaimer: penulis tak mempunyai afiliasi apapun dengan perusahaan Gojek, baik secara bisnis maupun personal. Tulisan ini dibentuk atas kehendak pribadi penulis.




BARRIER TO ENTRY


Tech startup ialah cerita modern. Seorang anak muda rajkel bermodal satu laptop mengubah dunia dan jadi kaya raya dalam sekejap. Yang dibayangkan ialah uang investasi dari venture capital (VC) bertebaran dimana-mana — yang untuk mendapatkannya semudah menggosok Lampu Aladin.


Tidak semudah itu, Ferguso…


 maka lupakanlah untuk bersaing dan melawan  Mengapa Anda Takkan Menang Melawan Gojek


Setiap perusahaan teknologi mapan manapun sadar dengan hal ini: disruption is one click away. Disrupsi itu hanya berjarak satu klik. Apapun yang mereka buat juga bisa dibentuk dan dikembangkan orang lain. Mayoritas dari mereka dulu awalnya juga tiba mendisrupsi status quo dan menumbangkan incumbent. Seperti Google mendisrupsi Yahoo, Facebook mendisrupsi MySpace, Android kepada Symbian, atau Gojek kepada perusahaan taksi.


Perusahaan teknologi sadar akan bahaya yang tiba dari teknologi gres yang mungkin hadir. Sementara mereka perlu memastikan bisnis mereka berjalan secara berkelanjutan biar bisa membuat keuntungan lebih usang dan lebih banyak. Karena itu mereka perlu taktik bertahan dan membuat penghalang biar pemain gres tidak masuk atau tak menjadi bahaya serius. Biasa disebut sebagai Barrier to Entry. Yang untuk ini tidak mungkin bila hanya ditumpukan pada aspek teknologi semata.


Teknologi yang hebat dan telah mereka berkembang sedemikian canggihnya, tentu juga barrier to entry. Namun barrier paling besar dan paling tidak disadari orang luar ialah business model. Karena ia tidak kasat mata. Business model ialah konstruksi inti kompleks yang menjadi pondasi sebuah perusahaan untuk hidup, bertahan, dan berkembang dalam sebuah pasar. Ia melingkupi aspek proses, strategi, target, segmentasi, aktivitas, infrastruktur, kultur, pendapatan, pemodalan dsb.


Tidak ada satu perusahaan pun di muka bumi ini yang bisa menemukan business model yang solid sekali jadi. Rata-rata perusahaan mapan telah mencoba 3-4 kali business model sebelum menemukan satu yang pas. Pencarian atas business model yang cocok ini butuh waktu dan uang. Yang tidak sebentar dan tidak sedikit. Dalam prosesnya akan banyak uang ‘terbakar’. Karena kita tidak sedang menjalankan perusahaan di ruang hampa. Di pasar kita tak hanya harus berhadapan dengan konsumen, tapi juga kompetitor, distributor, partner, hingga regulator.


Celakanya lagi, business model tidak berlaku selamanya. Ia harus adaptif pada sikap pasar dan konsumen yang sangat dinamis. Perusahaan yang lebih usang berada di dalam pasar akan mempunyai pengetahuan lebih dalam dan lebih banyak pada sikap pasarnya. Yang dengan itu mereka cenderung bisa lebih cepat beradaptasi. Atau, mereka justru memanfaatkan sikap pasar untuk membangun barrier to entry.


Jadi, anda mungkin bisa membuat aplikasi yang mengatakan layanan ibarat Gojek. Di Envato bahkan tersedia banyak app template Ionic untuk bisnis ride hailing berharga di bawah $ 100. Tapi anda takkan bisa mereplikasi business model Gojek.


UNFAIR ADVANTAGE


Setiap bisnis tidak bertarung dengan udara kosong. Seketika berada di dalam pasar mereka akan selalu dalam posisi terancam oleh pesaing. Baik incumbent maupun pemain baru. Sehingga mereka harus membuat sebuah kondisi dimana persaingan menjadi ‘tidak adil’. Biasa disebut Unfair Advantage. Keunggulan yang membuat persaingan tidak adil dan kesannya lebih gampang dimenangkan. Ibaratnya, petinju kelas berat punya unfair advantage melawan petinju kelas bulu ketika berlaga di ring yang sama.


Nah, unfair advantage inilah yang membuat anda takkan menang melawan Gojek. Berikut ialah beberapanya.


STANDAR INDUSTRI


Hanya orang non-digital industry yang bilang gampang membuat aplikasi sebagus Gojek. Aplikasi ibarat Gojek sudah masuk kategori Super App. Ia dibentuk dan dikembangkan dalam waktu tidak singkat, mengeluarkan uang triliunan, dibentuk oleh ratusan pahlawan teknologi dari banyak sekali negara dan bergaji mahal, berdiri di atas infrastruktur terbaik dunia, serta dikembangkan terus-menerus.


 maka lupakanlah untuk bersaing dan melawan  Mengapa Anda Takkan Menang Melawan Gojek


Dengan pengguna aktif lebih dari 20 juta orang dan merk yang dominan, aplikasi Gojek telah telah diterima oleh pasar sebagai standar teknologi yang berlaku pada industri ride hailing.



Konsumen akan sangat sulit mendapatkan aplikasi lain yang tidak mengatakan keandalan dan pengalaman dengan standar Gojek. Dan ini standar yang sudah sangat tinggi sekali. Untuk memenuhi standar ini anda harus mengeluarkan uang yang mungkin hampir sama banyaknya.


Lihatlah bab komentar pada aplikasi-aplikasi gres ride hailing di Playstore. Anda akan menemukan banyak rating 1 dan komentar bernada: “Sering crash. Susah registrasi, tampilan jelek,” dll.


Bagus-buruk itu selalu relatif terhadap pembanding. Repotnya, pembanding anda ialah standar tinggi yang sudah berlaku di pasar yang diciptakan oleh Gojek, Grab, atau Uber.


Mungkin anda akan bilang bahwa tidak ada teknologi atau app yang bisa eksklusif tepat atau berjalan baik di masa awal. Sungguh benar. Tapi mulai dari sini anda akan berhadapan pada setidaknya 2 duduk kasus baru.


Pertama, untuk membenahi dan membuatkan app biar bisa memenuhi standar industri itu anda butuh lebih banyak uang. Mulai dari menambah developer yang gajinya lebih tinggi, menyewa infrastruktur lebih andal, hingga membayar tool. Anda juga perlu waktu. Seiring jalannya waktu itu uang akan terus terbakar sebagai operating dan production cost. Dengan uang pas-pasan sulit bagi anda memenuhi ini.


Kedua, incumbent tidak sedang tidur dan diam. Mereka juga melaksanakan apa yang anda lakukan. Namun dengan ukuran dan uang jauh lebih besar. Agar app mereka makin super dan standar industri naik ke level lebih tinggi. Ibaratnya, dikala anda berjalan 50 km/jam, mereka ngebut 250 km/jam.


MODAL DALAM KOMPLEKSITAS BISNIS INTERMEDIASI


Gojek tidak sekadar ‘bisnis aplikasi’ atau ‘bikin aplikasi’. Produk aplikasi Gojek, sebagaimana produk lain di dunia ini, ‘hanya’ alat membuat nilai. Nilai tersebut yang diantarkan lewat business model.


Gojek atau ride hailing ialah bisnis intermediasi. Ia memerantarai supply (penawaran) dan demand (permintaan). Di sisi supply ada driver, di sisi demand ada penumpang.



Ini model bisnis yang sangat kompleks alasannya ialah berada di dua sisi pasar. Menghadapi satu jenis pasar saja susah, apalagi dua. Belum lagi cara menyeimbangkan dua sisi ini. Harus ada nilai yang atraktif untuk menarik dan mempertahankan dua sisi pasar ini di dikala si intermediator (Gojek) harus bisa membuat keuntungan.


Atraktifitas itu tak bisa serta-merta ditawarkan lewat app yang hebat. Karena orang tidak serta-merta tiba hanya alasannya ialah kita membuat app yang bagus. Karena Gojek ialah layanan on-demand yang berdampak eksklusif pada ekonomi penggunanya, maka atraktifitas itu diciptakan lewat keuntungan ekonomi bagi dua sisi pasar.


Anda tak hanya harus bergerilya di lapangan mencari driver. Tapi juga harus meyakinkan calon driver bahwa anda bisa mengatakan keuntungan ekonomi yang menarik — tarif tinggi. Sementara, anda juga harus mencari penumpang dan mengatakan keuntungan yang sama atraktifnya — tarif rendah.


Konsep ini tidak mungkin bergulir secara alami: mahal di sisi supply, murah di sisi demand. Tidak bakal ketemu. Seperti orang main jungkat-jungkit. Tak mungkin keduanya berada di sisi atas. Karenanya Gojek mengintervensinya dengan cara memberi insentif kepada dua belah sisi. Bonus kepada driver dan diskon kepada penumpang. Atraktifitas ini dibutuhkan biar mereka bisa mengakuisisi pasar dan membuat loyalitas. Seiring waktu ketika loyalitas sudah terbentuk, insentif ini dilepas perlahan untuk membuat keseimbangan baru. Dan tentunya membuat keuntungan bagi bisnis Gojek.


Anda bisa bayangkan berapa besar uang yang dibakar untuk membuat keseimbangan dan atraktifitas itu.


Saya sering mendengar konsep dari pelaku bisnis ride hailing gres yang mencoba menjadi pesaing Gojek: “Memberikan tarif lebih tinggi kepada driver.”


Kalau tarif ke driver tinggi, bagaimana caranya tarif bisa murah atau atraktif ke penumpang? Mungkin ini taktik awal untuk memikat calon driver untuk meningkatkan supply. Karena di bisnis intermediasi supply harus jadi prioritas. Namun, ketika supply tercukupi, bagaimana cara biar supply itu menarik bagi pemilik demand?


Yang paling mungkin ialah si perusahaan mengintervensinya dengan memberi diskon kepada penumpang. Selisih yang timbul dari diskon akan ditanggung perusahaan. Makin banyak yang menggunkan layanan maka biaya yang timbul akhir menanggung diskon akan meningkat secara eksponensial. Yang alasannya ialah itu dibutuhkan modal sangat besar.


Tapi, bukankah ini cara yang sama yang dilakukan Gojek, Grab, atau Uber di masa-masa awal dulu?


Jadi konsep tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Bahwa kini Gojek melepaskan secara sedikit demi sedikit insentif kepada dua sisi pasar dan mengambil komisi, itu ialah keniscayaan. Walau bagaimanapun perusahaan harus bisa membuat keuntungan. Karena hanya dari keuntungan perusahaan bisa berkembang secara berkelanjutan. Kecuali anda sedang menjalankan yayasan.


Ada juga yang berjanji “Tidak mengambil komisi dari driver.” Kaprikornus komisi (akan) diambil dari mana? Mengambil komisi dari penumpang akan membuat tidak atraktif di sisi demand. Atau mungkin revenue stream bukan dari komisi. Lalu dari mana? Apakah revenue model tersebut sudah tervalidasi dan bisa diandalkan untuk profitabilitas dan keberlanjutan?


Atraktifitas dan loyalitas bagi konsumen negara berkembang Asia itu cuma 3 hal: gratis, diskon, bonus. Itu saja diputar terus-menerus. Dalam proses pemutarannya itu ada uang dalam jumlah sedikit yang mesti dibakar.


Mampukah anda atau investor anda menyediakan uang tersebut dalam iklim kompetisi yang diisi oleh pemain lebih banyak didominasi yang uangnya tidak berseri?









 maka lupakanlah untuk bersaing dan melawan  Mengapa Anda Takkan Menang Melawan Gojek





EKOSISTEM DAN SKALABILITAS


Bahkan ketika anda berpikir untuk membuat bisnis on-demand yang mencoba memecahkan duduk kasus jarak, sebaiknya jangan.



Segala layanan on-demand yang duduk kasus utamanya ialah jarak pada satu tempat kota, cepat atau lambat akan dimasuki dan dikuasai Gojek.


Bukalah aplikasi Gojek dan Golife. Lihat ada berapa diversifikasi produk yang mereka miliki yang mayoritas memecahkan duduk kasus jarak. Gofood, Gosend, Goclean, Goauto, Gofix, Goshop, Golaundry, Goglam, Gotix, hingga Gomassage. Jelas lini produk Gojek ini jadi pesaing dan bahaya pemain eksisting pada niche (ceruk) tersebut. Misalnya Click ‘n Clean, Ahlijasa, Sejasa, dll.


Competitive advantage Gojek ialah mereka mempunyai ekosistem pengguna yang sangat besar: 25 juta lebih dan tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu kemampuan memberi insentif dan layanan lain yang terintegrasi, khususnya Gopay. Dengan 25 juta user dan terus berkembang, Gojek dengan relatif leluasa memperkenalkan lini produk gres on-demand berbasis transportasi.


Inilah mengapa Gojek menyebut aplikasinya sebagai ‘Satu Aplikasi untuk Segala Kebutuhan.’ Mereka punya misi untuk menjadi enabler bagi semua kebutuhan on-demand.


Sifat teknologi ialah kemampuannya pada skalabilitas. Termasuk pengembangannya yang tak terbatas. Artinya, bila anda membuat aplikasi layanan berbasis jarak yang belum Gojek buat dan ternyata berhasil memikat pasar, percayalah, Gojek akan membuat yang serupa. Ketika anda bersusah payah mendistribusikan layanan anda ke pasar, Gojek sudah punya 25 juta lebih user dan uang segudang yang siap dibakar.


DINETRALKAN


Mengapa Facebook membeli Whatsapp dan Instagram? Mengapa Google membeli Waze dan Nest? Mengapa Microsoft membeli Github? Mengapa Gojek membeli Midtrans?


Mungkin anda menganggapnya untuk sekadar menambahkan kekayaan usaha. Namun bergotong-royong juga sebagai taktik menetralkan bahaya potensial.



Kesalahan pertama anda ialah menganggap Gojek akan membisu begitu layanan serupa milik anda masuk ke pasar. Tidak ada kompetisi yang dijalani dengan cara duduk manis. Mereka tidak akan diam. Mereka akan merespon. Secara tampak maupun tidak tampak. Sampai anda ‘ternetralkan’ (neutralized).


Tahun kemudian Gojek mengakuisisi Midtrans ketika mereka mulai garang dengan Gopay. Bisa dibilang Midtrans ialah pemain fintech layanan payment gateway nomor 1 di Indonesia. Jelas Midtrans ialah bahaya potensial bagi Gopay. Mengakuisisi market yang sudah dikuasai Midtrans juga menjadi pekerjaan tidak gampang bagi Gopay. Termasuk juga penguasaan dan pengalaman pada teknologi fintech. Sehingga Gojek ‘melawan’ Midtrans memakai sesuatu yang ‘tak bisa ditolak’. Terjadilah akuisisi itu.


Tapi jangan ge-er dulu bahwa produk dan bisnis anda akan diakuisisi Gojek. Setiap bahaya ada levelnya. Tiap level membutuhkan effort berbeda. Jangan buru-buru berpikir produk anda berada pada level ‘Ultimate Risk’ yang oleh kesannya harus direspon dengan proposal akuisisi. Bisa saja anda ialah bahaya pada level yang ‘akan mati dengan sendirinya’. Atau misalnya, cukup mengatakan benefit yang lebih baik kepada para driver anda biar mereka berpindah kapal. Yang dengan itu anda akan menjadi ‘netral’.


MONOPOLI


“Tak ada perusahaan yang bisa membuat profit yang baik dalam kompetisi tepat jangka panjang. Monopoli ialah syarat bagi setiap bisnis untuk besar”Peter Thiel


Kutipan itu sebaiknya ditanam baik-baik dalam benak pelaku tech startup. Karena dunia teknologi tak memberi tempat kepada pemain ke tiga.


Percayalah, setiap perjuangan menginginkan monopoli. Karena persaingan dalam jangka panjang itu buruk: melelahkan, mengeluarkan biaya, dan membuat ketidakpastian.


Lihatlah sekeliling kita.


Siapa yang bisa menyaingi Google di industri mesin pencari


Siapa tentangan Facebook di media sosial?


Siapa pemain ketiga di pasar online map yang bisa melawan Google Map dan Waze?


Siapa menyaingi Youtube?


Siapa pemain kedua yang membuntuti Instagram?


Siapa pesaing Gojek dan Grab?


Siapa yang menandingi Traveloka?


Marketplace mana yang berjarak erat dengan Tokopedia dan Bukalapak?



Dalam market yang matang, bila kita tak menjadi yang pertama atau kedua, kita hanya akan menerima sekadar remah roti. Lalu mati.


Bahkan tak sedikit pemain pertama yang sengaja membiarkan pemain kedua hidup biar tak terjerat regulasi anti-monopoli. Bila pun ada yang ketiga, biasanya sekarat digebuk oleh yang pertama dan kedua. Seperti Uber di Indonesia.


Monopoli di zaman kemudian ialah privilage yang bisa didapatkan lewat kedekatan dengan pihak tertentu. Misalnya berkolusi dengan regulator. Saat ini, khususnya dalam digital industry, monopoli bisa diciptakan. Sifat skala hemat pada teknologi, khususnya teknologi informasi, bisa membuat kompetitor tergulung dengan cepat dan makin jauh tertinggal. Sifat lain yang mendukung terciptanya monopoli ialah pengaruh jaringan yang bisa diciptakan serta hak intelektual.


PELUANG YANG TERSEDIA


Kalau kita merujuk pada sejarah para wirausahawan sukses, mereka cenderung ialah kelompok first mover dalam sebuah industri yang masih sangat muda atau bahkan belum terbentuk sama sekali. Mereka mengambil peluang yang tak tampak, atau tak bersedia diambil orang lain alasannya ialah tak memberi kepastian. Padahal kewirausahaan ialah kesediaan mengambil peluang di dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian.


Orang bau tanah sering menasihati: “Sudahlah, yang pasti pasti saja.”


Masalahnya, bila sesuatu itu pasti maka bukan hanya anda yang berada di situ. Tapi orang banyak, bahkan pemain besar. Hal ini sama dengan industri ride hailing. Anda mungkin berpikir membuat Gojek selanjutnya alasannya ialah inspirasi dan marketnya sudah tervalidasi. Sudah pasti. Sementara yang menvalidasi inspirasi dan membentuk market dalam industri tersebut ialah pemain awal, yakni Gojek. Saat anda memulai, market sudah padat dan dikuasai pemain dominan.


Yang mungkin tidak anda sadari ialah para first mover dan pemain lebih banyak didominasi telah membuat penghalang sangat kokoh pada pasar yang sudah pasti ini. Anda mungkin gres menyadarinya ketika sudah nyemplung dan sadar bahwa anda tak sedang berkompetisi di ruang hampa.


Jadi, bila anda ingin membuat Gojek baru, lupakan.


Seperti yang saya ajarkan di kelas Panduan Teknis Memulai dan Mengembangkan Usaha, peluang itu tak semata-mata muncul dari kebutuhan produk subtitusi (pengganti). Tapi juga kebutuhan aksesori (pelengkap). Menciptakan produk subtitusi ini perlu upaya besar dan taktik canggih. Karena anda hendak mendobrak status quo dan menumbangkan incumbent. Dua hal ini urusan sangat berat. Untuk mengubah sikap konsumen (status quo) dan menghadapi incumbent perlu modal tidak sedikit, upaya tidak kecil, dan waktu tidak sebentar.



Bisnis yang mungkin mensubstitusi Gojek ialah yang mempunyai teknologi dan business model yang disruptif. Contohnya anda membuat alat teleportasi atau kendaraan otonom. Atau menerapkan blockchain sebagai business model. Kalau business modelnya masih mirip-mirip, sebaiknya lupakan niat mensubtitusi Gojek.


Namun menyediakan produk aksesori relatif lebih mudah. Saat ini misalnya, banyak pelaku perjuangan kecil-menengah yang untung besar dari membuat jaket dan helm gojek, holder ponsel di sepeda motor, hingga bengkel. Atau ibarat Midtrans, Kartuku, Mapan, dan Promogo yang diakuisisi oleh Gojek. Mereka membuat dan membuatkan produk yang sanggup memberi nilai tambah atau relevan dengan bisnis Gojek — meski pada awalnya mereka tak mendirikan perjuangan untuk melengkapi Gojek.


***


Gojek bukanlah sebuah sekadar nama — yang mungkin terdengar lucu dikala diucapkan. Mereka sudah bermetamorfosis menjadi sebuah perusahaan multinasional bervaluasi $ 9 miliar atau Rp 130 triliun. Uang mereka tak berseri. Di dalamnya bekerja ratusan orang-orang pintar di bidang teknologi dan bisnis yang digaji sangat mahal. Mereka memasang para pelobi di pemerintahan dan parlemen. Kantornya tersebar dari Banglore, Singapore, hingga Ho Chi Minh. Di belakangnya ada para investor ibarat Google, Astra, Sequioa, bahkan belakangan dikabarkan Telkom akan ikut masuk dengan Rp 4 triliun. Mereka semua bekerja biar Gojek terus membesar dan meningkatkan kekayaan mereka. Mereka tidak akan membisu terhadap segala bahaya yang timbul.


Lalu, anda dari sebuah tempat di antah berantah dengan modal, pengalaman, dan kompetensi terbatas, masuk ke pasar yang sama dengan produk yang tampak mirip. Bermimpi akan menumbangkan incumbent dan jadi Gojek selanjutnya.


Oh, tidak semudah itu, Ferguso… (*)







Sumber aciknadzirah.blogspot.com