Thursday, January 19, 2017

Menguji Celah Ilmu Pengetahuan

Salah satu missing link dan celah terbesar dalam ilmu pengetahuan yaitu bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dipakai untuk memecahkan duduk masalah faktual di dunia faktual untuk insan nyata. Di zaman inflasi isu menyerupai sekarang, insan mengetahui begitu banyak hal. Bahkan tahu yang tak perlu diketahui sekalipun. Namun, sesuatu yang kita tahu itu tidak ada keuntungannya bila tak dipakai untuk memecahkan duduk masalah nyata, minimal untuk diri sendiri.


Setiap distributor ilmu pengetahuan menyerupai guru, dosen, mentor, atau instruktur, niscaya berharap akseptor didik sanggup mempraktekkan ilmunya di dunia nyata. Tapi ada celah besar antara ‘Tahu’dan ‘Bisa’– yang ditunjukkan lewat praktek/implementasi. Kemampuan kita pada ‘Bisa’ lebih banyak sebab tacit knowledge: pengetahuan yang didapatkan menurut pengalaman. Kita menyebutnya keterampilan. Di sisi lain, keterampilan ditentukan menurut pengalaman, sehingga tidak mungkin kita bisa dapatkan tanpa praktek lebih dulu. Keterampilan itu selalu terpaut dengan kemampuan seseorang memecahkan duduk masalah yang dihadapinya. Sementara, pengalaman dan duduk masalah tiap orang berbeda.


Bila keterampilan itu diukur lewat kemampuan seseorang memecahkan masalah, bagaimana cara memindahkan sebagian ‘Terampil’ ini ke dalam celah antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’?


Karena bila seseorang sudah ‘Terampil’ terlebih dulu (dalam tingkat tertentu), ia akan lebih gampang dan cepat tiba di area ‘Bisa’ dan menjadi makin terampil di dunia nyata. Beberapa bulan terakhir aku bergelut dalam pertanyaan ini.


‘BERPERANG’ SEBELUM BERPERANG


Lalu aku membayangkan dunia militer. Kita anggap setiap prajurit di dunia ini tugasnya untuk berperang. Prajurit di masa-masa pendidikan diajarkan cara memakai senjata, memasang ranjau, mengatur strategi, mengelola logistik dll. Dengan demikian prajurit ‘Tahu’ cara berperang. Tapi apakah harus ada perang dulu untuk mengetahui seorang prajurit ‘Bisa’ berperang? Celaka namanya.


Namun tiap prajurit harus ‘Bisa’ berperang bila ada perang. ‘Terampil’ dalam berperang hanya bisa didapatkan dalam dalam peperangan — yang dihindari semua orang. Lalu, bagaimana cara memindahkan sebagian ‘Terampil’ itu di masa tenang untuk mengisi celah antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’? Berlatih!


Masa-masa tenang dipakai oleh prajurit untuk berlatih mengasah pengetahuan dan kemampuannya. Karena tak ada perang betulan, maka diciptakanlah skenario perang untuk berlatih. Skenario ini diciptakan semirip mungkin dengan perang faktual atau yang mungkin terjadi. Mulai dari gerilya, perang kota, merebut basis musuh, propaganda, intelijen, hingga cara bertahan sebagai tawanan perang. Dengan menghadirkan skenario perang sebelum terjadi perang, maka prajurit diharapkan sudah terampil lebih dulu sebelum perang terjadi. Prajurit dilatih untuk terampil memecahkan duduk masalah sebelum duduk masalah itu datang. Mereka dilatih untuk ‘Bisa’.


MENGUJI HIPOTESIS


Dari fenomena di atas, aku membuat hipotesis: celah antara ‘Tahu’ dan ‘Bisa’ dalam pengetahuan mesti diisi oleh ‘Terampil’ dalam memecahkan duduk masalah faktual dengan aneka macam skenario dunia nyata.


Hipotesis inilah yang sedang aku uji lewat Arkademi yang aku rilis versi awalnya pada Rabu kemarin, 18 Oktober 2017. Karena Arkademi yaitu social learning platform kewirausahaan, maka ‘Kurusetra’ kita yaitu dunia perdagangan, terutama skala kecil dan menengah.


Hipotesis ini juga lahir dari kegundahan aku sesudah mengikuti banyak kursus online bersertifikasi. Antara lain Google Ad Academy, Coursera, Udemy, hingga Hubspot. Yang membawakan kursus yaitu universitas populer dunia menyerupai The Wharton School, Ludwig Maxmilians University, University of California, hingga IE Business School. Saat ini aku mempunyai 30 akta lebih dari institusi di atas. Tapi — tanpa mengecilkan kebesaran nama-nama institusi di atas — ketika aku mencoba mempraktekkan apa yang sudah diajarkan untuk kebutuhan aku sendiri, aku sangat kesulitan. Mungkin sebab aku bukan orang pandai. Tapi bahkan orang yang tidak pintar menyerupai aku pun mesti dibantu.


Kesulitan itu utamanya terjadi sebab apa yang diajarkan memakai skenario ideal. Tapi hidup kita tidak ideal. Dan tak ada sebuah rencana yang selalu bisa mengikuti skenario ideal. Saya tak diajarkan cara untuk memakai pengetahuan itu sesuai dengan hal faktual yang aku hadapi, atau setidaknya yang mirip. Akhirnya aku hanya ‘Tahu’ saja. Tidak lebih. Bagi aku sekedar ‘Tahu’ tidak ada gunanya. Masalah ini yang hendak aku selesaikan di Arkademi.


Nilai Arkademi tak hanya terletak pada ‘WHAT’ (apa) yang diajarkan, tapi juga ‘HOW’ (bagaimana). Soal ‘What’, Arkademi akan fokus pada pengajaran kewirausahaan kecil dan menengah, bahkan untuk calon wirausahawan, dalam memulai dan menyebarkan usaha. Saya percaya bahwa makin banyak wirausahawan, makin baik pula dunia ini. Sementara masa-masa awal memulai perjuangan yaitu masa yang kritis dan rentan. Saya ingin semoga Arkademi bisa membantu mereka dalam menghadapi dunia yang mengatakan begitu banyak peluang sekaligus VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).


‘HOW’ pada Arkademi terletak pada bagaimana sesuatu itu diajarkan. Arkademi akan memakai pendekatan ‘militer’ di atas. Peserta akan dilatih untuk memecahkan duduk masalah faktual dengan aneka macam skenario dunia nyata. Keterampilan itu yang hendak ditanamkan bahkan sebelum duduk masalah itu datang. Diharapkan, keterampilan dalam memecahkan duduk masalah sanggup membuat akseptor Arkademi makin percaya diri dan mantap dalam memulai dan menyebarkan usahanya.


Menghadirkan pengalaman (exprience) untuk memenuhi hal di atas bukan hal gampang buat saya. Apalagi aku bukan guru atau pendidik profesional. Tak pernah berguru teori soal pendidikan. Kalau Arkademi ditentang pendidik profesional, aku tak persiapkan bantahan apapun. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang pembelajar awam yang mencicipi duduk masalah dalam metode pendidikan dan mencoba untuk memecahkannya secara mandiri. Saya hanya orang biasa yang ingin membantu orang lain dalam berguru kewirausahaan.


Menghadirkan ‘HOW’ itu memerlukan pendekatan gres pada konten. Saya tak bisa memakai pendekatan mainstream menyerupai hanya konten video atau text block. Harus benar-benar baru. Karena itu, di kelas perdana Arkademi dengan tema Menguji Ide, Produk, dan Pasar, bentuk konten yang aku pilih yaitu jalan kisah mengalir dan interaktif. Peserta diminta untuk membantu seorang aksara fiksi memulai perjuangan kecilnya di bidang kuliner. Mirip permainan petualangan. Di tiap seri disajikan aneka macam kuis skenario dunia nyata. Lewat konten story telling dan kuis real world scenario itu aku menguji pendekatan gres dalam ‘HOW’.


BELAJAR DARI SESAMA


Ada nasehat begini: tiap insiden yaitu ilmu, tiap kawasan yaitu sekolah, tiap orang yaitu guru. Nasehat ini melahirkan hipotesis gres bagi saya. Yakni menguji ‘WHO’ (siapa) dalam dunia pembelajaran.


Benar bahwa ‘Tiap orang yaitu guru’, terlebih di kala keterhubungan menyerupai ketika ini. Kita bisa berguru dari siapapun. Saya bisa tahu dan berguru banyak dari teman-teman aku di Facebook atau blog crowd source. Para guru-murid ini — mungkin kita sendiri yaitu guru di mata orang lain — perlu mendapat ruang untuk mengatakan dan mendapat pengetahuan lebih baik agi. Mereka hingga ketika ini berkumpul di tempat-tempat dengan penuh keterbatasan menyerupai grup Facebook atau grup WA/Telegram. FB atau WA yaitu communication based platform dengan fungsi yang generik (umum). Banyak limitasi dalam mengatakan pengalaman pembelajaran yang baik untuk output yang lebih maksimal. Misal membuat kuis, mengatakan tugas, atau membuat pembahasan spesifik mengenai tema tertentu melalui forum. Masalah ini akan diselesaikan oleh Arkademi sebagai social learning platform yang mempunyai skalabilitas sangat tinggi dalam menyebarkan teknologi dan fitur-fitur yang diharapkan untuk membuat cara pembelajaran yang lebih baik.


Arkademi yaitu platform atau ruang kawasan bertemunya pengajar dan akseptor didik. Yang keduanya bisa siapapun. Berbeda dengan massive open online course (MOOC) lain yang para mentor umumnya yaitu dosen atau profesional high profile. Tapi tidak dengan Arkademi. Siapapun yang berniat menjadi pengajar kewirausahaan atau hal-hal yang berkaitan dengan itu (keterampilan tertentu, misal membuat kue), sangat boleh membuka kelasnya sendiri. Pengajar juga bisa memanfaatkan Arkademi untuk kepentingan ekonominya dengan cara menarik iuran dari akseptor didik. Gratis pun apalagi, sangat boleh. Arkademi aku lahirkan dengan niat untuk membantu orang lain, bukan untuk membuat diri aku sendiri kaya raya (dan aku bukan orang kaya).


Jadi, bila seseorang ketika ini bisa membuat kesejahteraannya lewat perdagangan barang secara online, harusnya begitu juga dengan jasa pendidikan. Siapapun yang merasa bisa jadi pendidik dan pengajar sebab pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan kecerdikan mereka, bisa membuat kesejahteraan dari sana. Arkademi membuat ruang itu. Seberapa cantik seorang mentor yang memilih yaitu akseptor didik sendiri lewat rating, ulasan, dan berapa orang akseptor yang bergabung ke kelasnya.


Dengan demikian, Arkademi berada pada two sided market, atau pasar dua sisi. Kekuatannya terletak crowd (kerumunan), yakni pada mentor dan akseptor didik, atau stake holder lain. Arkademi akan menjalankan kiprah dan fungsinya sebagai network orchestrator.


***


Dunia ini yaitu taman bermain bagi mereka yang terampil. Lewat Arkademi, aku hendak ikut ambil kepingan dengan mengirimkan lebih banyak orang ke taman itu. Arka yaitu cahaya atau matahari dalam bahasa Sansakerta. Semoga Arkademi bisa membawa terperinci bagi banyak orang. (*)






Sumber aciknadzirah.blogspot.com