Teori dan adopsi ditinjau dari banyak sekali disiplin Ilmu (berkisar dari ilmu administrasi hingga filosofi ilmu) yang berkaitan dengan cara penemuan diciptakan dan diadopsi oleh masyarakat (atau tidak). Teori-teori semacam itu memasukan teori jaringan aktor, system pengetahuan dan teori jaringan, dan adopsi serta difusi perihal teori inovasi. Pada suatu tingkat bahwa kita tertarik untuk memahami perubahan dalam praktik pertanian, lembaga-lembaga literatur ini mempunyai banyak hal untuk ditambahkan dalam model yang dihadirkan (Leeuwis, 2009).
Adopsi dalam proses penyuluhan pertanian pada hakekatnya sanggup diartikan sebagai proses perubahan sikap baik yang berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada diri seseorang sesudah mendapatkan “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Inovasi tidak hanya sekedar sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai gres atau sanggup mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu (Mardikanto dalam Harinta, 2011).
Salah satu faktor yang menghipnotis kecepatan adopsi ialah sifat atau karakteristik inovasinya, yang mencakup (1) laba relatif, (2) kompatibilitas, (3) kompleksitas, (4) trialabilitas, dan (5) observabilitaess (Mardikanto dalam Yani, 2014). Pengembangan sumber daya insan petani yang utuh dalam adopsi penemuan ialah dengan melaksanakan pemberdayaan melaiui penguatan modal insan dan utodal social karenak eduanya saling melengkapi (Bulu, 2010).
Menurut Nurdin (2013), Secara umum beberapa kebutuhan untuk melaksanakan studi adopsi pertanian yaitu :
#a.Upaya untuk meningkatkan efisiensi penciptaan teknologi,
#b.Menilai efektifitas transfer teknologi,
#c.Memahami peranan kebijakan dalam adopsi teknologi baru, dan
#d.Menunjukkan dampak yang dihasilkan oleh investasi dalam bidang penciptaan.
Terdapat empat faktor yang harus tersedia dalam menunjang keberhasilan penyampaian teknologi kepada petani, yaitu :
#a.Teknologi yang telah matang sesuai untuk wilayah pengembangan,
#b.Dukungan pemerintah tempat dalam bentuk training dan penyuluhan,
#c.Ketersediaan sarana produksi dan pemasaran yang kondusif, dan
#d.Partisipasi petani mendapatkan teknologi.
Menurut Soekartawi (2005), dalam banyak kenyataan petani biasanya tidak mendapatkan begitu saja ide-ide gres (katakanlah teknologi baru) pada ketika pertama kali mereka mendengarnya. Waktu pertama kali itu mungkin mereka hanya “mengetahui” saja, tetapi untuk hingga pada tahapan mereka mau “meneriam” ide-ide gres tersebut diharapkan waktu yang relatif lama. Suatu keputusan untuk melaksanakan “perubahan” dari yang semula hanya “mengetahui” hingga sadar dan mengbah sikapnya untuk melaksanakan suatu inspirasi gres tersebut, biasanya juga merupakan hasil dari urut-urutan bencana dan pengaruh-pengaruh tertentu menurut dimensi waktu. Suatu “perubahan” sikap yang dilakukan oleh patani adalah merupakan proses yang memerlukan waktu dimana tiap-tiap pertain memerlukan waktu berbeda satu sama lainnya. Perbadaan ini disebabkan oleh banyak sekali hal yang melatarbelakangi petani itu sendiri, contohnya kondisi itu sendiri, kondisi lingkungan dan karakteristik dari teknologi gres yang mereka adopsi.
Proses keputusan penemuan merupakan suatu proses mental semenjak seorang mulai pertama kali mengetahui adanya suatu inovasi, membentuk sikap terhadap penemuan tersebut, mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolak, mengimplementasika inspirasi baru, dan menciptakan konfirmasi atas keputusan tersebut. Proses ini terdiri atas rangkaian pilihan dan tindakan individu dari waktu ke waktu atau suatu system penilaian inspirasi gres dan memutuskan mempraktekkan penemuan atau menolaknya. Prilaku ketidakpastian dalam memutuskan perihal suatu alternatif gres ini terkait dengan inspirasi yang telah ada sebelumnya. Sifat suatu penemuan dan ketidak pastian berafiliasi dengan sifat tesebut yang merupakan aspek khusus dari pengambilan keputusan penemuan (Rogers dalam Indraningsih, 2011).
Proses pencapaian tahapan adopsi sanggup berlangsung secara cepat ataupun lambat. Jika proses tersebut melalui “pemaksaan” (Coersion), biasanya sanggup berlangsung secara cepat, tetapi kalau melalui “bujukan” (Persuasive) atau “Pendidikan” (Learning), proses adopsi tersebut sanggup berlangsung lebih lambat. Meninjau dari pemantaban perubahan sikap yang terjadi melalui pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah kembali, segara sesudah unsur atau acara pemaksaan tersebut tidak dilanjutkan kembali (Soewardi dalam Mardikanto, 2010).
Daftar Pustaka
Leeuwis, Cees., Anne Van., dan Ban. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi Pedesaan. Yogyakarta ; Kanisius.
Mardikanto, Totok. 2010. Komunikasi Pembangunan. Surakarta ; UNS Press.
Nurdin, Maryam. 2013. Kajian Pola Dan Faktor Penentu Distribusi Penerapan Inovasi Pertanian Ptt Padi Sawah Di Kabupaten Buru. Agrilan 2 (2) ; 1-15.
Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta ; UI Press.
Indraningsih, Kurnia Suci. 2011. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. Agro Ekonomi, 29(1) : 1-24.
Sumber http://www.galinesia.com