BUDAYA ORGANISASI
A. Konsep Budaya Organisasi
1. Pengertian Budaya
Menurut Owen (1987), budaya dipandang sebagai nilai-nilai atau norma yang merujuk kepada bentuk pernyataan wacana apa yang sanggup dan apa yang tidak sanggup dilakukan oleh anggota organisasi; sebagai asumsi, yang merujuk kepada hal-hal apa saja yang dianggap benar atau salah. Pengertiannya, bahwa aturan yang menyatakan suatu sikap dan sikap yang menuntun dan mendorong anggota masyarakat untuk melaksanakan segala sesuatunya secara benar, serta menghambat dan menghalangi orang untuk berbuat sesuatu yang salah. Perbuatan yang salah akan mendapat eksekusi secara moral berdasarkan nilai-nilai atau norma yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan adanya acuan yang menyatakan kebenaran dan kesalahan, tindakan anggota masyarakat akan selalu dituntun rambu-rambu nilai dan norma tersebut.
2. Pengertian Organisasi
Organisasi didefinisikan (Sunarto dan Herawati, 2002:3) sebagai kelompok orang yang bekerja sama dengan terkoordinasi, dengan cara yang terstruktur, untuk mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu, Sunarto dan Jajuk Herawati (Sunarto, 2002) mendefinisikan manajemen sebagai proses merencanakan, mengorganisir, mengarahkan dan mengendalikan acara untuk mencapai tujuan organisasi dengan memakai sumber daya organisasi. Manajemen tidak sanggup bekerja secara perorangan, tetapi bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Mirrian S. Arief (Mirrian, 1985) , menyatakan bahwa organisasi sanggup diartikan majemuk tergantung dari arah mana kita memandangnya. Organisasi dari segi wujud ialah kerjasama orang-orang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam segi wujud ini organisasi bersifat dinamis. Contoh: Seorang guru mengajak siswanya untuk memindahkan buku-buku ke dalam lemari dari contoh sederhana tersebut tergambar suatu bentuk organisasi yang terlihat dari adanya ciri-ciri yang sekurang-kurangnya harus ada pada setiap organisasi. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Ada orang-orang, dalam arti lebih dari satu orang (guru dan siswa)
2. Ada kolaborasi (memindahkan buku-buku)
3. Ada tujuan (dimasukan ke dalam lemari)
Dalam bentuk organisasi kecil ini belum memerlukan pengaturan yang rapi, tetapi dalam contoh tersebut telah terlihat adanya orang yang mengarahkan (guru) dan orang yang diarahkan (siswa).
Sedangkan organisasi besar yaitu orang-orang yang bekerja sama dalam jumlah yang banyak dan tujuan yang akan dicapai luas, sebagai contoh partai politik yang mempunyai ratusan anggota yang tersebar diseluruh penjuru tanah air, dan mempunyai tujuan partai politik yaitu visi dan misi partai politik tersebut. Maka timbullah kekerabatan kerja yang kompleks antara sesama orang yang menunaikan kiprah dalam organisasi tersebut.
Bilamana organisasi telah kompleks, maka diharapkan suatu pengaturan yang rapi terhadap orang-orang yang bekerja sama dalam suatu wadah tertentu. Dalam hal ini organisasi sanggup dipandang sebagai suatu wadah atau daerah orang bekerja sama melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.
3. Pengertian Budaya Organisasi
Pada umumnya budaya berada di bawah ambang sadar, lantaran budaya itu melibatkan wacana bagaimana seseorang melihat, berpikir, bertindak, dan mencicipi serta bereaksi (Kreitner & Kinicki , 1992) . Teori ini menyatakan, budaya organisasi merupakan pola dasar perkiraan untuk menciptakan, menemukan, atau pengembangan kelompok dengan mencar ilmu untuk mengadaptasi dari luar serta mengintegrasikannya ke dalam organisasi, apa yang akan dikerjakan secara baik serta konsisten dan valid, dan juga sebagai contoh bagi karyawan gres untuk mengoreksi sebagai penerimaan, pikiran, dan perasaannya di dalam hubungannya dengan semua permasalahan secara rinci dan detail.
Jennifer dan Gareth (George & Jones, 1996) menyatakan, konsep dari suatu budaya organisasi ialah informalisasi dari satuan nilai dan norma sebagai alat kontrol bagi langkah-langkah karyawan dan kelompoknya di dalam organisasi untuk berinteraksi secara agresif, cepat, dan gampang dengan yang lainnya (sesama karyawan), serta dengan orang di luar organisasi sebagai pelanggan atau pemasok.
Lebih lanjut Robbin (Robbins, 1992) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan perekat sosial yang mengikat anggota-anggota organisasi secara gotong royong melalui nilai-nilai bersama, norma-norma standar yang terperinci wacana apa yang sanggup dan tidak sanggup dilakukan dan dikatakan oleh anggotanya.
Dari beberapa definisi tersebut di atas sanggup disimpulkan bahwa pengertian budaya organisasi ialah seperangkat perkiraan atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laris bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi dilema pembiasaan eksternal (penyesuaian dari luar organisasi) dan integrasi internal (pembauran dalam organisasi). Dengan demikian, budaya organisasi sanggup menawarkan nilai-nilai dan norma bagi karyawan dalam prinsip opersional organisasi.
4. Esensi budaya Organisasi
Dengan memperhatikan bahwa setiap organisasi merupakan suatu ’satuan’ yang bersifat khas dan mempunyai jati diri sendiri, dan dibedakan oleh budaya yang dianutnya, sanggup dipastikan bahwa kelompok pemimpin dalam organisasi ingin semoga budaya tersebut berfungsi dengan baik, dalam arti lebih menjamin keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan banyak sekali sasarannya, termasuk tujuan dan target para anggotanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, manajemen perlu memahami banyak sekali esensi budaya organisasi. Menurut Siagian (Siagian, 2002) para pakar mendefinisikan esensi yang dimaksud adalah:
a. Inovasi dan Sampai sejauh mana manajemen akan mendorong para karyawannya untuk bekerja secara inovatif dan berani mengambil risiko. Dengan kata lain, apakah budaya organisasi mendorong atau meredam kreativitas para anggotanya, atau tidak. (Inovasi dan pengambilan resiko)
b. Budaya organisasi juga harus memberi petunjuk, apakah para karyawan diharapkan bekerja dengan tingkat ketelitian yang tinggi, melaksanakan analisis, serta memperhatikan hal-hal yang detail, ataukah dibenarkan bekerja dengan hasil yang sekadar memenuhi persyaratan minimal (Perhatian pada detail)
c. Dalam budaya organisasi harus tercermin pandangan manajemen wacana apakah para karyawan diharapkan lebih mementingkan orientasi hasil, atau mendahulukan ketaatan kepada proses dan mekanisme kerja. (Orientasi hasil)
d. Budaya organisasi harus mencerminkan pandangan manajemen wacana pentingnya sumber daya insan sebagai elemen yang paling strategik dalam organisasi, betapa pun pentingnya ketaatan pada ketelitian dan mekanisme kerja yang baku. (Orientasi orang)
e. Budaya organisasi seyogianya menawarkan aksentuasi yang kuat wacana pentingnya kolaborasi dan kemampuan bekerja dalam tim dan tidak menonjolkan ’kehebatan’ individual, meskipun tentunya kemampuan individual tetap harus diperhitungkan. (Orientasi Tim)
f. Perilaku yang bagaimana harus ditampilkan oleh para anggota organisasi, yang bergairah dan kompetitif atau santai, perlu aksentuasi yang tepat. (Keagresifan)
5. Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Sondang Siagian (Siagian, 2002) fungsi budaya organisasi yang menonjol dan penting untuk diaktualisasikan ialah sebagai berikut:
a. Penentu batas-batas berperilaku
Budaya organisasi berperan dalam menentukan sikap yang seyogyanya ditampilkan, dan sikap yang harus dielakkan. Dengan kata lain, menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, kriteria yang pantas dan yang tidak pantas, pengertian apa yang benar dan apa yang salah, norma-norma moral dan budpekerti mana yang dominan, dan mana yang bersifat sekunder, kriteria loyalitas, etos kerja yang harus ditaati, serta disiplin organisasi yang harus dipegang teguh. Singkatnya, menegaskan cara-cara berperilaku yang sesuai dengan tuntutan budaya organisasi.
b. Menumbuhkan kesadaran wacana identitas sebagai anggota organisasi.
Budaya organisasi menuntut semoga para anggotanya merasa gembira mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi. Hal itu hanya akan timbul apabila semua anggota organisasi merasa mempunyai organisasi tersebut. Rasa mempunyai yang mendalam akan mencegah para anggota organisasi melaksanakan hal-hal yang sanggup merusak gambaran organisasi yang bersangkutan.
c. Penumbuhan komitmen
Sebagai konsekuensi logis dari rasa mempunyai organisasi, para anggota organisasi akan bersedia membuat komitmen –termasuk menawarkan pengorbanan– sedemikian rupa, sehingga mereka akan tulus bekerja demi keberhasilan organisasi. Kesediaan tersebut hanya akan tumbuh dan berkembang apabila para anggota organisasi yakin, bahwa keberhasilan organisasi akan melicinkan jalan bagi mereka untuk mencapai cita-cita, harapan, keinginan, dan kepentingan pribadinya.
d. Pemeliharaan stabilitas organisasional
Kiranya gampang untuk memahami, bahwa keberhasilan akan lebih gampang diraih; dilema lebih gampang terpecahkan, dan iklim kolaborasi sanggup dipelihara apabila terdapat suasana stabil dalam organisasi.
e. Sebagai instrumen pengawasan
Asumsi fundamental dalam hal ini adalah, bahwa kalau budaya organisasi dihayati dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi, budaya tersebut berfungsi sebagai instrumen pengawasan sehingga pengawasan sebagai fungsi manajemen tidak memainkan peranan yang mayoritas lagi. Alasannya adalah, lantaran para anggota organisasi menampilkan sikap yang positif, bekerja secara kreatif, dalam arti bisa menghasilkan ide-ide baru, penggunaan konsep baru, teknik baru, dan penemuan dalam penyelesaian pekerjaan, serta bersedia meningkatkan produktivitas kerja. Dengan kata lain, para karyawan bisa melaksanakan pengendalian dan pemantauan sendiri (self controlling dan self monitoring).
Lebih lanjut berdasarkan Mangkunegara (Mangkunegara, 2005) , fungsi budaya organisasi sanggup membantu mengatasi dilema pembiasaan eksternal dan integrasi koperasi. Hal ini sesuai dengan pendapat John R. Schermerhom dan James G. Hunt (Schermerhorn, Hunt, & Osborn., 1991) bahwa:”The culture of an organization can help it deal with problems of both external adaption and internal integration”.
Permasalahan yang berafiliasi dengan pembiasaan eksternal sanggup dilakukan melalui pengembangan pemahaman wacana taktik dan misi koperasi, tujuan utama organisasi dan pengukuran kinerja. Sedangkan permasalahan yang berafiliasi dengan integrasi internal sanggup dilakukan antara lain komunikasi, kriteria karyawan, penentuan standar bagi insentif (rewards) dan hukuman (punishment) serta melaksanakan pengawasan (pengendalian) internal organisasi.
6. Tipologi Budaya Organisasi
Selain esensi dan fungsi-fungsi yang dikemukakan diatas, sikap para anggota suatu organisasi juga ditentukan oleh pilihan manajemen atas tipe budaya yang dianut. Dari teori wacana budaya organisasi, berdasarkan Siagian (Siagian, 2002) diketahui empat tipe budaya organisasi, yaitu:
a. Tipe akademi: Dalam organisasi, para anggotanya diharapkan atau bahkan dituntut untuk menampilkan prestasi yang semaksimal mungkin.
b. Tipe klub: Seorang anggota organisasi yang baik diharapkan memenuhi kriteria kecocokan, loyalitas, dan komitmen.
c. Tipe tim olah raga: Dalam organisasi keberhasilan akan diraih apabila para anggotanya bisa bekerja sebagai tim dan bukan selaku ’pemain individual’.
d. Tipe benteng: Organisasi dimaksudkan untuk keamanan para anggota organisasinya.
B. Hubungan Budaya Organisasi dengan Iklim Organisasi
Menurut Davis (Newstrom. & Davis., 1989) yang dimaksud dengan iklim organisasi ialah lingkungan insan di dalam suatu organisasi daerah mereka melaksanakan pekerjaan. Kaprikornus iklim organisasi ialah kepribadian organisasi menyerupai yang dilihat oleh anggotanya sehingga iklim organisasi menjadi dasar bagi anggotanya untuk menafsir dan memahami keadaan sekitar mereka dan menentukan kekerabatan antara imbalan dan hukum.
Iklim organisasi atau suasana kerja, sanggup bersifat tampak mata atau fisik dan sanggup pula bersifat tidak tampak mata atau emosional. Iklim organisasi merupakan suasana kerja yang dialami oleh anggota organisasi, contohnya ruang kerja yang menyenangkan, rasa aman dalam bekerja, penerangan yang memadai, sarana dan prasarana yang memadai, jaminan sosial yang memadai, promosi, jabatan, kedudukan, pengawasan yang memadai, dan lain-lain.
Selain itu lingkungan juga merupakan faktor penting, alasannya ialah kenyataan menunjuk bahwa semakin banyak organisasi yang secara ilmiah memantau kekuatan lingkungan. Maknanya hidup atau matinya suatu organisasi bergantung pada kemampuan organisasi tersebut memanfaatkan lingkungan dan kesediaan lingkungan untuk menerimanya.
Hoy dan Miskel (Hoy & Miskel., 1996) mengemukakan dua tipe ekstrim iklim organisasi, yaitu iklim organisasi terbuka dan iklim organisasi tertutup. Pada iklim organisasi terbuka semangat kerja karyawan sangat tinggi, dorongan pimpinan untuk motivasi karyawan semoga berprestasi sangat besar, sedangkan rutinitas manajemen rendah, karyawan yang meninggalkan pekerjaan menyerupai bolos, izin dan sebagainya rendah, perasaan terpaksa berada diperusahaan ataupun bekerja juga rendah. Sebaliknya pada iklim organisasi yang tertutup semangat kerja karyawan sangat rendah, dorongan pimpinan untuk memotivasi karyawan beprestasi sangat rendah, sedangkan rutinitas manajemen tinggi, karyawan yang meninggalkan pekerjaan menyerupai bolos, izin dan sebagainya tinggi, perasaan terpaksa berada diperusahaan ataupun bekerja juga tinggi. Berdasarkan hal tersebut keterbukaan dalam hal-hal tertentu bagi pihak perusahaan ternyata lebih menguntungkan, baik karyawan maupun organisasi.
Dari uraian diatas sanggup disimpulkan bahwa budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai yang dimiliki dan dipatuhi oleh anggota organisasi dalam berfikir, perasaan, dan bertindak, sedangkan iklim organisasi ialah suasana kerja yang dirasakan dan dialami oleh anggota organisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan organisasi. Dengan demikian kekerabatan budaya organisasi dan iklim organisasi tidak sanggup dipisahkan bahkan mempunyai kekerabatan yang erat dengan iklim organisasi alasannya ialah dengan adanya budaya organisasi yang baik akan tercipta iklim organisasi yang kondusif, dengan iklim organisasi yang aman akan terwujud kepuasan kerja dari para anggota organisasi.
C. Penciptaan dan Pelaksanaan Budaya Organisasi
Penciptaan budaya organisasi merupakan suatu proses. Artinya tidak serta merta terbentuk meskipun semenjak semula pendirinya telah meletakkan fondasi budaya yang mungkin didasarkan filsafat hidupnya, pengalamannya, dan hasil-hasil yang pernah diraih dengan memakai budaya serupa.
Menciptakan budaya menyerupai pada proses tradisional, pendiri organisasi memiliki imbas besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak mempunyai hambatan lantaran kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi gres lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses membuat budaya terjadi dalam tiga cara (Robbins, 1992) . Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Ketiga, sikap pendiri sendiri bertindak sebagai model kiprah yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri, dan dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.
Robbins, 1989 |
Kiat untuk melestarikan budaya organisasi beraneka ragam; akan tetapi pada dasarnya berkisar pada efektivitas seleksi karyawan baru, komitmen manajemen puncak, serta sosialisasi dengan harapan terjadi internalisasi dan aktualisasi. Instrumennya antara lain melalui penyebarluasan banyak sekali kisah wacana organisasi, ritus yang biasa digunakan, simbol-simbol status, dan bahasa yang mempunyai makna penting bagi para anggota organisasi.
Pentingnya Proses Seleksi yang Efektif
Salah satu target dalam proses seleksi yang efektif ialah perolehan gambaran wacana kesediaan, kemauan, dan kemampuan para calon karyawan untuk melaksanakan banyak sekali penyesuaian sedemikian rupa, sehingga perilakunya sesuai dengan tuntutan organisasi; baik dilihat dari segi esensinya, fungsinya, dan tipologinya. Harus disadari, bahwa melaksanakan penyesuaian dimaksud bukanlah hal yang mudah, lantaran setiap orang tiba ke organisasi dengan cara pandang, cara berpikir, dan dengan banyak sekali kebiasaan serta budaya pribadi. Yang bersangkutan harus diyakinkan, bahwa keberhasilannya sebagai anggota organisasi sangat tergantung pada kemauan dan kemampuannya melaksanakan penyesuaian dimaksud.
Top Management
Kiranya tidak sanggup disangkal, bahwa sikap Top Management mempunyai imbas yang sangat besar dalam melestarikan budaya organisasi. Dalam bahasa yang sangat sederhana sanggup dikatakan, bahwa pada dasarnya terletak pada satunya kata dengan perbuatan. Misalnya, kalau secara formal manajemen puncak menyampaikan bahwa budaya organisasi mendorong penemuan para anggota, padahal tindakannya menjurus pada pemeliharaan status quo, maka para anggota organisasi akan resah untuk memilih, apakah bekerja secara inovatif atau lebih berorientasi pada cara-cara kerja yang sudah ’melembaga’ dalam organisasi.
Proses Sosialisasi
Budaya organisasi harus menjadi milik semua orang dalam organisasi. Pernyataan Top management sangatlah penting, tetapi tidak berarti bahwa budaya tersebut hanya milik kelompok manajemen. Agar budaya organisasi itu menjadi milik bersama, perlu dilakukan sosialisasi. Penting untuk menyadari bahwa proses sosialisasi harus berangkat dari kenyataan bahwa cara berpikir, cara bertindak, dan berperilaku setiap orang yang tiba bergabung dengan organisasi diwarnai oleh latar belakang sosial, sistem nilai yang dianut, persepsi, dan kepribadian orang yang bersangkutan.
Proses sosialisasi berjalan seirama dengan jenjang karir pegawai, proses ini melalui tahap-tahap: (1) sosialisasi antisipasi, (2) akomodasi, dan (3) kiprah manajemen (Rivai dan Mulyadi, 2009:261). Sosialisasi antisipasi bertujuan menawarkan informasi wacana organisasi yang gres dan atau pekerjaan baru. Akomodasi merupakan langkah kedua sesudah individu menjadi anggota organisasi, dimana individu melihat organisasi dan pekerjaan untuk apa mereka bekerja, dan kiprah manajemen mendapatkan sesuatu lebih luas dari pada satuan permasalahan dan isu.
Sedangkan (Robbins, 1992) mengatakan proses sosialisasi melalui tiga tahap. Pertama, tahap prakedatangan yang meliputi semua pembelajaran yang terjadi sebelum anggota gres bergabung dengan organisasi. Kedua, tahap keterlibatan (encounter) dimana karyawan gres melihat menyerupai apakah organisasi itu bergotong-royong dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan sanggup berbeda. Ketiga, tahap metamorfosis yakni dimana karyawan gres berubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja dan organisasi.
Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa budaya organisasi diturunkan dari falsafah pendirinya, selanjutnya memengaruhi kriteria yang dipakai dalam mempekerjakan karyawan, dengan tindakan manajemen puncak dalam menentukan iklim umum sikap yang sanggup diterima dan tidak diterima, kemudian bagaimana cara mensosialisasikan kepada individu (karyawan) yang tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai karyawan gres dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi yang melibatkan manajemen puncak dan sosialisasi.
D. Pengukuran/ Penelitian Budaya Organisasi
Pengukuran/penelitian budaya organisasi sanggup dilakukan gotong royong dengan terintegrasi pada acara pengukuran diri karyawan dan pimpinan. Pengukuran sanggup dilakukan setiap tahun atau pada periode tertentu sesuai dengan kebutuhan forum yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk peningkatan kualitas budaya kerja atau budaya organisasi di lingkungan perusahaan atau forum yang terkait. Mengukur budaya organisasi dilakukan dengan memakai instrumen pengukuran tertentu yang hanya sanggup mengukur secara kelompok/tim dengan indikator; sangat kuat, kuat, lemah dan sangat lemah kecenderungan budaya organisasinya. (Veithzal Rivai, 2006: 473-481).
Terbangunnya suatu budaya diharapkan tindaklanjut dari budaya tersebut kepada karyawan, pembelajaran budaya kepada karyawan sanggup mengambil bentuk; cerita, ritual, lambang-lambang yang bersifat kebendaan, dan bahasa (Robbins, 1992) , sedangkan (Daft, 2010) menyampaikan nilai-nilai dari sebuah budaya organisasi sanggup dipahami melalui menifestasi simbol, cerita, panutan, selogan, dan seremoni.
Pendekatan budaya organisasi mewakili nilai, norma, pemahaman, dan perkiraan dasar yang dipegang para karyawan dengan nilai-nilai yang dicirikan oleh simbol, cerita, ritual, bahasa, panutan, selogan, dan seremoni penting untuk membentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk harus adaptif, budaya adaptif mempunyai nilai-nilai dan sikap yang berbeda, dimana manajer peduli akan pelanggan dan orang-orang internal serta proses kearah perubahan yang bermanfaat (Daft, 2010:103). Karena itu budaya yang dibangun dengan baik saja tidak cukup, lantaran budaya yang tidak sehat mungkin akan mendorong organisasi kearah yang salah, sedangkan budaya yang sehat membantu perusahaan untuk mengikuti keadaan dengan lingkungan usaha. Budaya yang adaptif memungkinkan untuk membentuk standar dan budpekerti tinggi, toleran terhadap risiko tinggi, rendah, dan sedang dalam hal keagresifan serta fokus pada sarana dan hasil.
E. Hubungan antara Budaya Organisai dengan Keefektifan Organisasi
Budaya organisasi sanggup mempunyai dampak signifikan pada keefektitan suatu organisasi, prestasi dan keberhasilan suatu organisasi sanggup terpengaruh dari budaya yang terjadi dalam organisasi tersebut. Sumber daya yang dimiliki organisasi sanggup berkembang sesuai dengan budaya organisasi dengan melibatkan sistem dan mekanisme yang berkembang. Budaya organisasi kuat besar pada tingkat pemimpin dan karyawan, sehingga efektivitas proses kerja yang terjadi sanggup berjalan dengan baik kalau budaya organisasi yang terjadi sesuai dengan sistematika prestasi kerja organisasi yang bersangkutan. Budaya organisasi yang mempunyai fungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membantuk sikap dan sikap karyawan atau pimpinan dalam organisasi, secara tidak eksklusif juga akan membuat mekanisme yang mengefektifkan kerja organisasi yang bersangkutan.
F. Penelitian wacana Budaya, Iklim dan Efektifitas Organisasi
Budaya Organisasi,Iklim Organisasi dan Efektifitas Organisasi oleh Defrizal dan Dadang Mashur FISIP Universitas Riau,Kampus Bina Widya Km 12,5 Simpang Baru Panam,Pekanbaru 28293. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan meneliti imbas budaya organisasi dan iklim organisasi terhadap terhadap efektivitas organisasi Puskesmas di Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak.
1. Analisis Budaya Organisasi
Secara eksklusif ataupun tidak eksklusif budaya organisasi mempunyai imbas yang berarti terhadap sikap anggota organisasi sebagai individu,kelompok maupun sebagai satu kesatuan organisasi secara keseluruhan. Bagaimana budaya organisai yang tercipta dari lingkungan kerja akan menghipnotis sikap seseorang dalam bekerja. Budaya organisasi yang baik sanggup menghipnotis anggota organisasi menjadi bersikap baik dan positif pula sebagai individu dalam kelompok maupun sebagai satu kesatuan organisasi secara keseluruhan.
· Hasil penelitiannya :
Hanya 13,7 % responden yang menyatakan sepakat pemimpin menawarkan proteksi dan dukungan dalam melaksanakan pekerjaan yang sulit tanpa membedakan suku dan ras. Bantuan dan dukungan dari atasan sanggup menawarkan imbas positif pada prestasi kerja,47% menjawab setuju. Hal ini menunjukan bahwa dukungan dari atasan itu sangat dibutuhkan oleh pegawai untuk mencapai efektifitas. Tanggapan mengenai dukungan manajemen memperlihatkan bahwa pimpinan kurang menawarkan dukungan dalam melaksanakan pekerjaan sementara dukungan dari atasan seharusnya sanggup menawarkan imbas positif pada prestasi kerja.
Pimpinan menawarkan proteksi kepada pegawai kalau terjadi hambatan ketika melakukan pekerjaan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi,17,6% (9 responden) yang menjawab sangat tidak setuju, 41,2% (21 responden) menjawabtidak sepakat dan 15,7% (8 responden) yang menjawab ragu-ragu. Hal ini berarti bahwa kurangnya proteksi dari pimpinan sehingga pegawai bekerja dengan inisiatif sendiri tanpa mendapatkan proteksi dari pimpinan.
Kebijakan yang diambil atasan tidak pernah disosialisasi kepada seluruh pegawai, 66,7% (34responden) yang menjawab tidak sepakat dan 15,7% (8 responden) yang menjawab ragu-ragu. Hal ini memperlihatkan bahwa pimpinan selalu mensosialisasikan kebijakan yang diambil.
Komunikasi dalam menjalankan tugas dengan baik, 47% (24 responden) yang menjawab sepakat dan 31,4% (16 responden) yang menjawab sangat setuju. Hal ini memperlihatkan bahwa pola komunikasi antara atasan dengan bawahan terjalin dengan baik.
2. Analisis Iklim Organisasi
Iklim organisasi ialah kualitas yang relative infinit dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya, menghipnotis tingkah laris mereka serta sanggup diuraikan dalam istilah nilai-nilai suatu set kerakteristik tertentu dari lingkungan.
· Hasil Penelitian :
Penataan ruang kerja di puskesmas tertata rapi, 27,5% (14 responden) menjawab sangat tidak setuju, 29,4% (15 responden) menjawab tidak sepakat dan 19,6% (10 responden) yangmenjawab ragu-ragu. Hal ini berarti ruang kerja di puskesmas tidak tertata rapi. Peralatan kerja/teknologi di Puskesmas memenuhi kebutuhan dalam bekerja : 33,3 % menjawab sangat tidak setuju 31,4%(16 responden) menjawab tidak sepakat dan 17,6% (9 responden) menjawab ragu. Hal ini sanggup disimpulkan bahwa peralatan yang ada di puskesmas sangat tidak memenuhi kebutuhan dalambekerja.
Struktur organisasi yang ditetapkan sesuai dengan harapan, 37,3% (19 responden) men-jawab sangat setuju, 37,3% (19 responden) menjawab sepakat yang berarti bahwa struktur yang ada dipuskesmas sudah baku dan sesuai dengan harapan. Birokrasi dalam pekerjaan sesuai dengan harapan, 19,6% (10 responden) yang menjawab sangat tidak setuju, 37,3% (19 responden) yang menjawab tidak sepakat dan 25,5% (13 responden) yang menjawab ragu. Hal ini memperlihatkan bahwa birokrasi tidak sesuai dengan harapan lantaran terpaku oleh peraturan pemerintah yang selalu berbelit-belit.
3. Analisis Efektifitas Organisasi
Efektivitas organisasi ialah kemampuan kerja bagi pegawai untuk sanggup bekerja secara maksimal dengan membawa laba bagi organisasi.
· Hasil Penelitian :
Susunan struktur organisasi selalu ditempatkan pegawai yang sesuai kemampuan yang dimiliki, 39,2% (20 responden) yang menjawab sangat sepakat dan 45,1% (23 responden) yang menjawab setuju. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang diberikan atau pun jabatan pegawai sesuai dengan kemampuan (skill) yang dimiliki. Susunan struktur organisasi selalu ditempatkan pegawai yang sesuai kemampuan yang dimiliki, 9,2% (20 responden) yang menjawab sangat sepakat dan 45,1% (23 responden) yang menjawab setuju. Hal ini berarti bahwa pekerjaan yang diberikan atau pun jabatan pegawai sesuai dengan kemampuan (skill) yang dimiliki. Setiap penyusunan tujuan strategis (kebijakan) organisasi pegawai selalu dilibatkan, 33,3% (17 responden) yang menjawab sangat sepakat dan 39,2% (20 responden) yang menjawab sepakat yang berarti bahwa pegawai selalu dilibatkan dalam memajukan organisasi puskesmas tersebut. Proses komunikasi dari atasan dengan pegawai berjalan dengan baik, 29,4% (15 responden) yang enjawab sangat sepakat dan 37,3% (19 responden) yang menjawab setuju. Hal ini memperlihatkan komunikasi atasan dengan pegawai berjalan dengan baik dalam bentuk koordinasi dilema pekerjaan maupun interaksi diluar dilema pekerjaan.
4. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Efektivitas Organisasi
Nilai koefisien regresi “standartdized coefficients” memperlihatkan secara statistik bahwa budaya organisasi cukup kuat terhadap efektivitas organisasi Puskesmas di Kecamatan Sungai Apit. Pengaruhnya sebesar 32,9% dari faktor yang menghipnotis efektivitas organisasi merupakan sumbangan dari budaya organisasi.
Berdasarkan balasan responden bahwa secara rata-rata kuat positif sebesar 32,9% dan signifikan terhadap efektivitas organisasi. Untuk itu pula terdapat imbas dari pimpinan dalam mengawasi terbentuknya budaya kerja di suatu organsiasi. Memberikan arahan, motivasi, disiplin kerja, disiplin berperilaku dan disiplin bersikap akan membentuk budaya yang positif. Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa budaya organisasi yang berupa nilai, norma dan keyakinan akan mengarahkan para pegawai pada tujuan yang sama, dalam usahanya mengatasi dilema internal dan eksternal. Untuk itu, pegawai harus mempunyai pemahaman dan pengembangan terhadap budaya organisasi yang baik.Asumsi ini harus diakui oleh semua pegawai dan berlaku secara konsisten.
5. Pengaruh Iklim Organisasi terhadap Efektivitas Organisasi
Pengaruhnya sebesar 60,1% dari factor yang menghipnotis efektivitas organisasi merupakan sumbangan dari iklim organisasi.Berdasarkan balasan responden bahwa variabel iklim organisasi secara rata-rata dianggap netral dan kuat positif sebesar 60,1% dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Untuk itu, perlu diperhatikan mengenai peningkatan kualitas infrastruktur pendukung pekerjaan pegawai. Dalam hal ini berupa peningkatan kerapian tata letak dan tata ruang kerja, perlengkapan kebutuhan IT, pendanaan yang menunjang kinerja. Perlu juga menjadi perhatian bagaimana iklim yang terbentuk membuat pegawai menjadi termotivasi untuk bekerja, hal ini sanggup berupa pemberian motivasi, perhatian,arahan yang terperinci dari atasan.
6. Kesimpulan
Aspek inisiatif individu dan integrasi di Puskesmas Sungai Apit sanggup digolongkan ke dalam kategori baik. Namun hal tersebut tidak didukung oleh manajemen yang baik. Pimpinan menawarkan proteksi dengan membedakan suku/ras dan pimpinan kurang menawarkan kesempatan pada pegawai untuk melaksanakan pekerjaan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Peraturan yang dibuat memang dipatuhi dan ditaati oleh pegawai, namun dalam satu hal ketika tidak ada pimpinan,aturan itu tidak dipatuhi. Dari beberapa pernyataan sanggup disimpulkan bahwa budaya organisasi belum berjalan dengan baik.
Iklim organisasi di Puskesmas Kecamatan Sungai Apit belum berjalan dengan baik. Hal ini pertanda bahwa iklim organisasi belum membuat suasana yang sanggup membuat pegawai bersemangat untuk bekerja. Iklim yang diciptakan oleh pimpinan belum sanggup menawarkan motivasi yang kuat kepada pegawai. Hal ini sanggup dilihat dari tidak adanya pemberian kebanggaan terhadap prestasi kerja pegawai.
Efektivitas organisasi sudah berjalan dengan baik. Hal ini tergambar dari struktur organisasi yang sudah dibuat sangat efisien dalam menunjang pekerjaan. Dari segi karakteristik lingkungan sudah tergolong cukup baik lantaran tidak ada dilema kompleks yang terjadi. Tidak adanya orientasi pada imbalan atas suatu pekerjaan dan saling terbukanya sesama pegawai dalam hal informasi pekerjaan. Namun dalam beberapa hal, pegawai juga butuh suatu reward (penghargaan) untuk memotivasi kerja semoga lebih baik lagi.
G. Penelitian wacana Budaya Sekolah dan Prestasi Akademik
· Budaya Sekolah Untuk Meningkatkan Prestasi Akademik (oleh Fitriani: Stusi pada Madrasah Tsanawiyah Muhamadiyah Basiuni Imran Sambas).
· Fokus Penelitian :
1. Nilai-nilai apa saja yang berlaku untuk membangun budaya sekolah dalam mencapai prestasi akademik di Madrasah Tsanawiyah Muhammad Baasiuni Imran Sambas?
2. Bagaimana sekolah menerapkan nilai-nilai budaya di Madrasah Tsanawiyah Muhammad Basiuni Imran Sambas?
3. Bagaimana prestasi akademik di Madrasah Tsanawiyah Muhammad Basiuni Imran Sambas?
4. Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat penerapan nilai-nilai budaya sekolah di Madrasah Tsanawiyah Muhammad Basiuni Imran Sambas?
· Hasil Penelitian :
Nilai-nilai yang ditemukan untuk membangun budaya sekolah dalam mencapai prestasi akademik di Madrasah Tsanawiyah Muhammad Basiuni Imran Sambas yaitu keikhlasan, kejujuran, disiplin, kerjasama, kerja keras, demokratis, toleransi, dan cinta tanah air. Adapun penerapan nilai-nilai budaya di Madrasah Tsanawiyah Muhammad Basiuni Imran Sambas antara lain sebagai berikut.
1. Nilai keikhlasan dilakukan melalui pembiasaan dan keteladanan yang dimulai dari pimpinan madrasah, guru/pengasuh dan pengurus pondok.
2. Nilai jujur, penerapannya siswa-siswi Madrasah Muhammad Basiuni Imran tidak boleh keras untuk mencontek ketika ulangan dan mendirikan “Warung Kejujuran”.
3. Nilai disiplin, contohnya siswa yang tiba terlambat ke sekolah, tidak mengejakan pekerjaan rumah/tugas yang diberikan oleh guru akan diberikan sanksi.
4. Nilai kerjasama, penerapannya menyerupai dalam suatu kerja kelompok untuk menyelesaikan suatu kiprah atau masalah, serta dalam bakti sosial pada Jumat dan Minggu bersih, class meeting, school meeting, mukhadaroh, senam santri, acara ekstrakurikuler dan pengajian.
5. Nilai kerja keras, penerapannya dalam acara mencar ilmu mengajar di dalam maupun di luar kelas. Menggunakan waktu secara efektif untuk menuntaskan tugas-tugas, sikap dan sikap yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menuntaskan tugas-tugas.
6. Nilai Demokratis,penerapannya pemilihan keanggotaan OSIS yang melibatkan semua siswa. Muhammad Basiuni Imran Sambas ranking 41 dari 118 sekolah tingkat kabupaten. Prestasi akademik siswa bervariasi, ada yang tinggi/baik, sedang dan ada yang kurang. Sering juga mendapat juara pada lomba olimpiade. Walaupun siswa pada umumnya yang masuk ialah siswa yang kurang, tetapi dengan kemauan yang tinggi dan polesan dari guru. Siswa tersebut bias juga berprestasi. Serta dipengaruhi oleh lingkungan rang-orang /dapat kawan yang baik sehingga mendapat imbas yang baik juga.
Faktor-faktor pendukung penerapan nilai-nilai budaya di Madrasah Muhammad Basiuni Imran adalah:
1. Tenaga pengasuh dan pengajar yang memadai.
2. Santri/siswa sebagian besar berada dalam lingkungan pondok/ asrama, sehingga gampang untuk memonitor dan menggerakkan mereka.
3. Kerjasama dan dukungan yang kuat dari siswa/santri dan orangtua.
4. Lingkungan pondok/madrasah yang luas, nyaman dan kondusif.
5. Rasa kekeluargaan yang kental antara siswa/santri, guru/pengasuh maupun pengurus pondok.
Faktor-faktor penghambat penerapan nilai-nilai Budaya di Madrasah Muhammad Basiuni Imran adalah:
1. Kesiapan para siswa/santri terutama untuk menyesuaikan diri dengan suasana madrasah/pondok.
2. Kesulitan untuk memonitor para santrinya yang ada diluar lingkungan pondok,sehingga faktor lingkungan sosial dari luar juga kuat terhadap penerapan nilai-nilai budaya di Madrasah Muhammad Basiuni Imran.
3. Ada keluhan orangtua wacana jadwal acara di Madrasah yang terlalu padat.
4. Masih ada guru yang tiba terlambat.5. Fasilitas dan prasarana yang belum memadai.
Dari uraian di atas sanggup diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Budaya organisasi ialah seperangkat perkiraan atau sistem keyakinan, nilai-ilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laris bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi dilema pembiasaan eksternal dan integrasi internal.
2. Fungsi budaya organisasi yang menonjol dan penting untuk diaktualisasikan ialah sebagai berikut:
a. Penentu batas-batas berperilaku
b. Menumbuhkan kesadaran wacana identitas sebagai anggota organisasi.
c. Penumbuhan komitmen
d. Pemeliharaan stabilitas organisasional
e. Sebagai instrumen pengawasan
3. Empat tipe budaya organisasi, yaitu:
a. Tipe akademi
b. Tipe klub
c. Tipe tim olah raga
d. Tipe benteng
4. Budaya organisasi mempunyai kekerabatan yang erat dengan iklim organisasi alasannya ialah dengan adanya budaya organisasi yang baik akan tercipta iklim organisasi yang kondusif.
5. Pendekatan budaya organisasi mewakili nilai, norma, pemahaman, dan perkiraan dasar yang dipegang para karyawan dengan nilai-nilai yang dicirikan oleh simbol, cerita, ritual, bahasa, panutan, selogan, dan seremoni penting untuk membentuk budaya organisasi. Budaya yang terbentuk harus adaptif, budaya adaptif mempunyai nilai-nilai dan sikap yang berbeda, dimana manajer peduli akan pelanggan dan orang-orang internal serta proses kearah perubahan yang bermanfaat.
6. Budaya yang adaptif memungkinkan untuk membentuk standar dan budpekerti tinggi, toleran terhadap risiko tinggi, rendah, dan sedang dalam hal keagresifan serta fokus pada sarana dan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Daft, R. L. (2010). New era of management. Mason, Ohio : South-Western ; London :: Cengage Learning.
George, J. M., & Jones, G. R. (1996). Understanding and Managing Organizations Behavior. USA: Addison Wesley Publish. Coy, Inc.
Hoy, W. K., & Miskel., C. G. (1996). Educational Administration: Theory, Research, and Practice. McGraw-Hill.
Kreitner, R., & Kinicki , A. (1992). Organizational Behavior. USA: Richard D. Irwin, Inc.
Luthans, F. (1998). Organizational behavior. New York: McGraw-Hill.
Mangkunegara, A. P. (2005). Perilaku dan budaya organisasi. Bandung: Refika Aditama.
Mirrian, A. S. (1985). Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Karunika.
Newstrom., J. W., & Davis., K. (1989). Organizational Behavior: Human Behavior at Work. New York: Mc Graw Hill International.
Owens, R. G. (1987). Organizational Behavior in Education. New Jersey: Englewood Cliffs: Prentice-Hall.
Robbins, S. P. (1992). Essentials of organizational behavior. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.
Schermerhorn, J. R., Hunt, J. G., & Osborn., R. N. (1991). Managing Organizational Behavior. New York: John Wiley and Sons Ltd.
Siagian, S. P. (2002). Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Sunarto, H. J. (2002). Manajemen. Yogyakarta: BPFE. UST.
Jurnal :
· Fitriani (2013): Budaya Sekolah Untuk Meningkatkan Prestasi Akademik, [Online]. Diakses dari http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jvip/article/view/2060
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com