Sunday, July 30, 2017

√ Power And Politics In School

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kekuasaan (power) sebagai konstruk ilmu politik, bahkan ada yang beropini sebagai hakikat ilmu politik itu sendiri, pada umumnya dikonotasikan sebagai hal yang negatif, tidak seberapa yang memandangnya secara positif (positive thinking). Konflik politik yang bersumber dari kudeta (struggle of power) menjadi istilah yang tidak etis, tabu bahkan “kurapan”. Gerakan kearah apolitik atau depolitisasi menyerupai ini juga membuat term kekuasaan (power) menjadi negatif yang selalu perlu dihindarkan. Pikiran negatif di atas bekerjsama bersandar pada pendapat Action tahun 1955 yang sangat terkenal itu  seperti yang dikatakan oleh Isjwara (1982) Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely. Kepemimpinan pendidikan dengan pola menekan atau memaksa (coercive power) sebenenarnya perlu dirubah, sebab dunia pendidikan tidak memerlukan coercive power tapi yang dibutuhkan yakni pemberdayaan (empowerment), artinya pengguaan kekuasaan oleh kepala sekolah harus dalam arti konstruktif dan positif sehingga sanggup meningkatkan moral guru dan performance sumber daya pendidikan. Effendi (1989) menyarankan bahwa jadilah pemimpin yang posistif dan hindarilah pemimpin yang negatif yang menakut-nakuti bawahan (coercive power).
Dalam zaman Yunani kuno dikenal term kratos, kratein sehingga kratologi digunakan sebagai istilah yang mengacu kepada ilmu politik dan ilmu kekuasaan. Isjwara (1982) menyimpulkan bahwa politik yakni serentetan insiden yang berafiliasi satu sama lain didasarkan atas kekuasaan dan politik pada hakikatnya yakni usaha kekuasaan; memperoleh, menjalankan dan mengontrol kekuasaan, serta berkaitan juga dengan pembentukan dan pengguanaan kekuasaan (using power). Kekuasaan dalam arti yang sempit berdasarkan Mintzberg (1983).  adalah sebagai kegiatan mobilisasi sumber terutama sumber daya insan sehingga orang pada umumnya mendefenisikan kekuasaan sebagai berikut “A mempunyai kekuasaan pada B, sepanjang A sanggup memakai B untuk melaksanakan sesuatau yang B sendiri tidak ingin melakukannya”. Disini kekuasaan mempunyai konotasi memaksa orang lain yang tidak bisa dihindarinya dan mutlak diikuti. Para sosiolog menyebut kekuasaan menyerupai ini sebagai kekuasaan yang tidak diakui atau illegitimasi, Max Weber yang direviu oleh Sills (1968) mendefenisikan kekuasaan (mucht) yakni kemungkinan atau peluang seorang pemain drama dalam suatu korelasi sosial yang ingin mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri walaupun mendapat perlawanan, tanpa ada kemungkinan berhenti atau mundur

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang problem diatas, penulis mengajukan beberapa rumusan problem sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan kekuasaan dalam Organisasi?
2.      Apa saja yang menjadi karakteristik kekuasaan?
3.      Apa yang dimaksud dengan Politik dalam Organisasi ?

C.    TUJUAN MASALAH
Sejalan dengan rumusan problem di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan :
1.      Konsep Kekuasaan dalam Organisasi.
2.      Karakteristik kekuasaan.
3.      Konsep Politik dalam Organisasi.

D.    MANFAAT PENULISAN MAKALAH
Makalah ini disusun dengan cita-cita menyampaikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah  ini berkhasiat sebagai penengembangan  konsep penelitian tindakan kelas. Secara mudah makalah diharapkan bermanfaat bagi :
1.        Penulis, sebagai wahana penembahan pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya wacana pengertian kekuasaan dan politik di sekolah.
2.        Pembaca  atau guru, sebagai media informasi wacana pengertian teori belajar.












BAB II
POKOK BAHASAN

A.    KONSEP KEKUASAAN DALAM ORGANISASI
Kekuasaan yakni kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, menurut Miriam Budiardjo (2002) kewenangan dilarang dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laris orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku atau menurut Ramlan Surbakti (1992) kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi.
Kekuasaan dalam arti yang sempit yakni sebagai kegiatan mobilisasi sumber terutama sumber daya insan sehingga orang pada umumnya mendefenisikan kekuasaan sebagai berikut “A mempunyai kekuasaan pada B, sepanjang A sanggup memakai B untuk melaksanakan sesuatau yang B sendiri tidak ingin melakukannya” . Disini kekuasaan mempunyai konotasi memaksa orang lain yang tidak bisa dihindarinya dan mutlak diikuti. Para sosiolog menyebut kekuasaan menyerupai ini sebagai kekuasaan yang tidak diakui atau illegitimasi, Max Weber yang direviu oleh Sills (1968) mendefenisikan kekuasaan (mucht) yakni kemungkinan atau peluang seorang pemain drama dalam suatu korelasi sosial yang ingin mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri walaupun mendapat perlawanan, tanpa ada kemungkinan berhenti atau mundur.
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan sanggup berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan yakni kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain berdasarkan kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Kekuasaan pada tataran sekolah, banyak terlihat tanda-tanda pengguanaannya yang negatif ini, kekuasaan menekan (coercive power) dan sikap kepemimpinan yang bersifat otoriter juga banyak dilakukan oleh kepala sekolah dalam memenej sumber daya berupa guru. Hal ini juga terobservasi dalam beberapa komunitas sekolah. Kepemimpinan pendidikan dengan pola menekan atau memaksa (coercive power) sebenenarnya perlu dirubah, sebab dunia pendidikan tidak memerlukan coercive power tapi yang dibutuhkan yakni pemberdayaan (empowerment), artinya pengguaan kekuasaan oleh kepala sekolah harus dalam arti konstruktif dan positif sehingga sanggup meningkatkan moral guru dan performance sumber daya pendidikan. Effendi (1989) menyarankan bahwa jadilah pemimpin yang posistif dan hindarilah pemimpin yang negatif yang menakut-nakuti bawahan (coercive power).

B.     KARAKTERISTIK KEKUASAAN
Kekuasaan yakni gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam korelasi interpersonalnya. Karakter kekuasaan, berdasarkan Fairholm (dalam Basri, 2011) adalah:
1.      Kekuasaan bersifat sengaja, sebab meliputi kehendak, bukan sekadar tindakan acak;
  1. Kekuasaan yakni alat (instrumen), ia yakni alat guna mencapai tujuan;
  2. Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka situasi atau dideteksi kemunculannya;
  3. Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang menempel pada penggunaan kekuasaan.
  4. Kekuasaan yakni gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak selalu dimiliki;
  5. Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan yang kita miliki;
  6. Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di suatu korelasi tertentu, bukan seluruh hubungan; dan
  7. Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus berbeda sebelum mereka bisa memakai kekuasaannya.

C.    KONSEP POLITIK DALAM ORGANISASI
Bagi Robert Morgan (1994)  , organisasi serupa dengan sistem politik. Politik di dalam organisasi (organizational politics) dengan memfokuskan perhatian pada tiga konsep yaitu interest(kepentingan), konflik, dan kekuasaan (power). Interest (kepentingan) yakni kecenderungan meraih sasaran, nilai, kehendak, harapan, dan kecenderungan lainnya yang membuat orang bertindak dengan satu cara ketimbang lainnya. Sedangkan definisi politik diajukan oleh Richard L. Daft (2006), yang menurutnya yakni “..penggunaan kekuasaan guna mempengaruhi keputusan dalam rangka memperoleh hasil yang diharapkan." Penggunaan kekuasaan dan efek membawa pada 2 cara mendefinisikan politik. Pertama,selaku sikap melayani diri sendiri. Kedua, sebagai proses pembuatan keputusan organisasi yang sifatnya alamiah.
Dalam definisi kedua, politik dilihat sebagai proses organisasi yang alamiah demi menuntaskan perbedaan di antara kelompok kepentingan di dalam organisasi. Politik yakni proses tawar-menawar dan perundingan yang digunakan untuk mengatasi konflik dan perbedaan pendapat. Dalam cara pandang ini, politik sama dengan pembangunan koalisi dalam proses-proses pembuatan keputusan. Politik bersifat netral dan tidak perlu membahayakan organisasi.
Politik yakni penggunaan power (kekuasaan) semoga sesuatu tercapai. Ketidakmenentuan dan konflik yakni alamiah dan tidak terelakkan. Politik yakni mekanisme guna mencapai persetujuan. Politik melibatkan diskusi-diskusi informal yang memungkinkan orang mencapai kesepakatan dan membuat keputusan yang mungkin bisa menuntaskan problem ataupun tidak.
Hingga dikala ini, kita telah menjelajahi konsep kekuasaan (power) dalam organisasi. Tibalah sekarang saatnya kita mengeksplorasi aspek politik di dalam organisasi. Politik dalam organisasi yakni sesuatu yang sulit dihindarkan tatkala organisasi terdiri atas 2 orang atau lebih. Terdapat banyak kepentingan di dalam organisasi, langkanya sumber daya, dan tarik-menarik gagasan. Seluruhnya membuat politik dalam organisasi menjadi konsekuensi logis kegiatan organisasi.
Politik keorganisasian  muncul tatkala orang berpikir secara berbeda dan bertindak berbeda.Perbedaan ini membuat ketegangan (tension) yang harus diselesaikan lewat cara-cara politik. Cara-cara politik tersebut adalah:
1.      Autocratically (secara otokratik) – > “kita lakukan dengan cara ini.
2.      Bureaucratically (secara birokratis) – > “kita disarankan melaksanakan cara ini.”
3.      Technocratically (secara teknokratis) – > “yang terbaik dengan cara ini.”
4.      Democratically (secara demokratis) – > “bagaimana kita melakukannya.”











BAB III
PEMBAHASAN
KEKUASAAN DAN POLITIK DI SEKOLAH

Politik melihat dunia menyerupai apa adanya, artinya dalam arena politik kekuasaan bergerak oleh kepentingan pribadi, di mana moralitas yakni alasan retoris untuk tindakan yang bijaksana dan kepentingan pribadi. Ini bukan dunia malaikat tapi di mana orang-orang berbicara wacana prinsip-prinsip moral, tetapi bertindak pada prinsip-prinsip kekuasaan. (Saul Alinsky; Rule for Radicals)

A.    DEFINISI KEKUASAAN DAN WEWENANG
Semua organisasi sosial mengendalikan anggotanya, problem kendali sangat penting dalam organisasi formal, dan esensi dari kendali organisasi yakni Kekuasaan. Definisi klasik dari kekuasaan yakni kemampuan untuk membuat orang lain melaksanakan apa yang anda ingin mereka lakukan, atau Weber (Hoy,Wyne,2001) mendefinisikannya sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun bekerjsama mendapat saingan atau perlawanan dari orang lain.
Kewenangan mempunyai lingkup lembih sempit dari kekuasaan. Weber (1947, p. 324) mendefinisikan kewenangan sebagai kemampuan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota – anggota masyarakat. Singkatnya, Weber menyatakan bahwa tingkat kepatuhan orang ditentukan oleh perintah yang legal/sah.
Organisasi diciptakan dan dikendalikan oleh otoritas yang sah, yang menetapkan tujuan, struktur desain, memperkerjakan dan mengatur karyawan, dan memantau kegiatan untuk memastikan sikap konsisten dengan tujuan dan target organisasi. Otoritas resmi mengontrol kekuasaan yang sah dari forum atau jabatan, tetapi mereka hanya salah satu dari banyak pesaing kekuasaan di organisasi (Bolman dan Deal, 2008)
.
B.     SUMBER KEWENANGAN: KEKUASAAN YANG SAH
Hubungan Kewenangan merupakan potongan integral dari kehidupan di sekolah-sekolah. Kewenangan ini bermula dari  korelasi siswa – guru, direktur – guru, atau bawahan – atasan. Pelaksanaan kewenangan di sekolah biasanya tidak melibatkan pemaksaan. Herbert A. Simon (1957a, hlm. 126-27) mengusulkan otoritas dibedakan dari efek atau kekuasaan yang berarti bawahan "harus menahan diri dari menentukan alternatif dan memakai kriteria formal untuk mendapatkan perintah sebagai dasar pilihannya.
Kewenangan dilegitimasi oleh nilai yang dimiliki oleh kelompok (Suchman, 1995). Blau dan Scott menyimpulkan bahwa karakteristik dasar dari korelasi kewenangan yakni kemauan bawahan untuk tidak memakai kriteria sendiri dalam membuat keputusan dan untuk mematuhi aba-aba dari atasan.
Jadi Hubungan kewenangan di sekolah mempunyai tiga karakteristik utama:
1.      Kemauan dari bawahan untuk mematuhi.
2.      Penangguhan kriteria bawahan untuk membuat keputusan sebelum arahan.
3.      Hubungan kekuasaan dilegitimasi oleh norma-norma kelompok.
(Herbert A. Simon: 1957a, hlm. 126-27), (Peter Blau and W. Richard Scott :1962, 2003).
Kewenangan ada ketika seperangkat keyakinan (norma) di sekolah melegitimasi penggunaan kekuasaan dengan "Benar dan Pantas". Weber (1947) membedakan tiga jenis otoritas yakni charismatic, tradisional, dan legal.
Otoritas karismatik bertumpu pada dedikasi individu yang luar biasa kepada pemimpin berdasarkan kepercayaan pribadi atau kualitas keteladanan. Otoritas karismatik cenderung rasional, afektif, atau emosional dan sangat bersandar pada kualitas serta karakteristik pribadi pemimpin. Kewenangan pemimpin karismatik hasil dari daya tarik pribadi pemimpin yang luar biasa, dan biasanya orientasi nilai secara umum muncul dalam kelompok untuk menghasilkan komitmen normatif yang kuat dan untuk mengidentifikasi orang tersebut. Sehingga siswa sanggup mematuhi aba-aba guru kelas sebab pribadinya "unik."
Otoritas tradisional bertumpu pada keyakinan yang dibangun di atas kesucian di masa lalu. Ketaatan dituntut sebab adanya hukuman yang berlaku, dan orang yang menempati posisi mewarisi otoritas yang dibangun oleh adat. Di sekolah, misalnya, siswa sanggup mendapatkan posisi otoritas dan mematuhi guru sebab orang renta dan kakek-nenek mereka melakukan  hal yang sama.
Otoritas sah (legal) berdasarkan aturan yang berlaku yang sanggup diubah dengan mekanisme formal. Ketaatan dituntut oleh aturan yang menentukan kepada siapa dan sejauh mana orang harus patuh. Kewenangan legal hanya berlaku dalam lingkup wewenang yang diberikan oleh hukum.
Para andal dalam teori organisasi telah menambah konsep-konsep dasar dari otoritas. Robert Peabody (1962) membedakan dasar kewenangan formal (legitimasi dan posisi) dari dasar kewenangan fungsional (kompetensi dan keterampilan korelasi pribadi atau manusia), sedangkan Blau dan Scott (1962, 2003; Scott, 2003) hanya menjelaskan korelasi wewenang sebagai formal atau informal tergantung pada sumber legitimasi untuk kekuasaan.
Otoritas formal dipegang dalam organisasi dan secara aturan dibuat oleh jabatan, aturan, dan peraturan. Dalam organisasi, karyawan mendapatkan korelasi kewenangan sebab mereka setuju, dalam batas-batas tertentu, untuk mendapatkan aba-aba dari atasan mereka; organisasi mempunyai hak untuk memerintah dan karyawan mempunyai kewajiban untuk patuh (Maret dan Simon, 1958). Dasar otoritas formal, terletak pada kesepakatan secara aturan yang dibangun antara organisasi dan karyawan.
Otoritas fungsional mempunyai aneka macam sumber, termasuk otoritas kompetensi dan kewenangan perseorangan.
Otoritas informal masih dari sumber lain untuk kontrol yang sah berasal dari sikap pribadi dan sifat individu. Terlepas dari posisi formal, beberapa anggota organisasi mengembangkan norma-norma kesetiaan dan derma dari rekan-rekan mereka. Norma-norma informal yang menopang dan melegitimasi kekuasaan mereka dan menyampaikan otoritas resmi

C.    Wewenang dan Perilaku Administrasi di Sekolah
Otoritas merupakan ciri dasar kehidupan di sekolah sebab menyampaikan dasar untuk kontrol yang sah dari administrator, guru, dan siswa. Sumber utama dari kontrol dalam otoritas formal terletak pada forum atau jabatan, bukan orang tertentu yang melaksanakan kiprah resmi (Merton, 1957). Singkatnya, anggota sekolah mengadakan perjanjian kontrak untuk mematuhi perintah (Commons, 1924).
Otoritas formal didukung oleh hukuman formal, mempunyai cakupan terbatas. Otoritas formal mendorong kepatuhan minimal dengan aba-aba dan disiplin, tetapi tidak mendorong karyawan untuk mengerahkan usaha, untuk mendapatkan tanggung jawab, atau untuk latihan inisiatif (Blau dan Scott, 1962, 2003; Kotter, 1985). Oleh sebab itu, tantangannya yakni menemukan metode untuk memperpanjang efek terhadap staf.
Hoy dan Williams (1971) dan Hoy dan Rees (1974) telah menguraikan dan menyidik secara empiris ide-ide ini. Menurut mereka banyak direktur sekolah mempunyai kekuasaan dan wewenang dari lembaganya. Barnard (1938) memperlihatkan bahwa hanya ketika otoritas kepemimpinan dikombinasikan dengan otoritas jabatan, atasan efektif mendorong bawahan untuk mematuhi aba-aba di luar zona birokrasi ketidakpedulian. Memang, kepemilikan kedua otoritas formal dan informal membedakan pemimpin formal dari pejabat dan pemimpin informal. Gambar 7.1 mengilustrasikan korelasi ini.


Formal Authority


Yes
No
Informal Authority
Yes
Formal Leader
Informal Leader
No
Officer
Follower

Bagaimana direktur sekolah sanggup memperluas basis otoritas mereka dan meningkatkan posisi kepemimpinan mereka? Organisasi informal merupakan sumber penting dari otoritas yang belum dimanfaatkan. Di mana kontrak aturan dan jabatan melegitimasi kekuasaan formal, nilai-nilai umum dan sentimen yang muncul dalam kelompok kerja melegitimasi otoritas informal. Secara khusus, otoritas informal muncul dari kesetiaan pada perintah orang yang lebih unggul dari anggota kelompok (Blau dan Scott, 1962, 2003).
Meskipun sikap kepala sekolah yang otoriter dan loyalitas guru kepada kepala sekolah mungkin tidak kompatibel, salah satu seni manajemen yang digunakan untuk memperluas ruang lingkup kewenangan formal terhadap bawahan yakni Dominasi (Blau dan Scott, 1962, 2003). Mengingat seni manajemen dominasi dan pengawasan yang ketat, direktur otoriter mustahil mendapatkan loyalitas dan derma dari para profesional dengan mudah.
Sifat pengawasan di sekolah harus fokus pada membantu, tidak mengarahkan, guru meningkatkan pengajaran untuk sejumlah alasan. Guru bekerja di ruang tertutup dan tidak gampang diamati. Selain itu, guru sering membuat klaim yang kuat untuk otonomi profesional, dan pengawasan yang ketat nampaknya dilihat sebagai pelanggaran otonomi itu. Akhirnya, guru mementingkan otoritas atas dasar kompetensi profesional - berbeda dari kelompok profesional yang sama menyerupai pekerja sosial (Peabody, 1962). Oleh sebab itu, tidak mengherankan bahwa penelitian secara konsisten memperlihatkan bahwa kepala sekolah otoriter di sekolah tidak berhasil menghasilkan kepercayaan dan loyalitas guru (Hoy dan Rees, 1974; Isaacson, 1983; Mullins, 1983; Hoffman et al ., 1994; Reiss, 1994; Reiss dan Hoy, 1998).
Singkatnya, jikalau direktur ingin perintah loyalitas, memperluas efek mereka, dan menjadi sukses, maka mereka harus:
·         Jadilah perhatian dan mendukung guru mereka: membantu guru menjadi sukses.
·         Jadilah otentik: lurus, andil dalam masalah, dan menghindari memanipulasi orang lain.
·         Tidak merasa terkekang oleh birokrasi: pengganti penilaian baik untuk aturan kaku.
·         Menjadi diri sendiri.
·         Menunjukkan pengaruh
·         Tetap hening dan sejuk, terutama dalam situasi sulit; jangan di “blow up”
·         Hindari penggunaan sikap otoriter

D.    SUMBER KEKUASAAN
Meskipun otoritas menyiratkan legitimasi, tidak semua kekuasaan yakni legal (sah). Individu, kelompok, atau organisasi sanggup mempunyai kekuasaan. Misalnya, departemen atau kelompok sanggup mempunyai kekuasaan, yang memperlihatkan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi sikap individu atau kelompok lain. Demikian juga, seorang individu sanggup mempunyai kekuasaan, yang memperlihatkan keberhasilan dalam mendapatkan orang lain untuk mematuhi aba-aba atau saran. Seorang pemimpin mempunyai kekuasaan; mereka mendapatkan orang lain untuk mematuhi aba-aba mereka. Sebagian besar direktur mempunyai kekuasaan hanya sebab sebagai perwakilan dari organisasi, mereka mempunyai kekuasaan direktur organization. Tetapi sanggup memperoleh kekuasaan dari pribadi maupun sumber organisasi  yang mempunyai kekuatan mempengaruhi sikap orang lain.
Salah satu upaya pertama untuk menganalisis sumber kekuasaan yakni John R. P. French dan Bertram H. Raven (1968). Fokus mereka pada basis kekuasaan antar pribadi memimpin dengan mengidentifikasi lima jenis kekuasaan yaitu reward, koersif, legal, rujukan, dan ahli. tipologi kekuasaan mereka antarpribadi telah diperpanjang ke tingkat organisasi
Reward Power yakni kemampuan direktur untuk mempengaruhi bawahan dengan menghadiahi atas sikap yang diinginkan. Kekuatan kekuasaan semacam ini tergantung pada daya tarik imbalan dan hasil yang terukur. Penghargaan terkait dengan kepatuhan dan efek yang tepat dan pantas. Philip Cusick (1981) menjelaskan upaya satu kepala sekolah untuk memakai kekuatan reward dengan pemberian jadwal, kiprah tambahan, dan lain sebagainya.
Kekuasaan koersif (Coersif power) yakni kemampuan direktur untuk mempengaruhi bawahan dengan menghukum mereka untuk sikap yang tidak diinginkan. Kekuatan kekuasaan koersif tergantung pada beratnya eksekusi dan kemungkinan bahwa eksekusi tidak sanggup dihindari. Hukuman sanggup mengambil banyak bentuk menyerupai teguran resmi, kiprah kerja yang tidak diinginkan, pengawasan lebih dekat, penangguhan kenaikan gaji, atau penghentian. Hukuman yang bukan tanpa imbas negatifnya. Menariknya, korelasi yang sama sanggup dilihat sebagai salah satu kekuasaan reward dalam satu situasi dan sebagai kekuatan koersif di sitasi lainnya. Sebagai contoh, jikalau seorang guru mematuhi kepala sekolah sebab takut dihukum, itu yakni kekuasaan koersif; tetapi jikalau guru lain patuh sebab menginginkan hadiah yang disiapkan, itu yakni kekuasaan reward.
Kekuasaan yang sah (legitimate power) adalah kemampuan direktur untuk mempengaruhi sikap bawahan sebab jabatan formal. Bawahan mengakui bahwa direktur mempunyai hak untuk mengeluarkan instruksi dan mereka mempunyai kewajiban untuk mematuhi. Setiap direktur diberdayakan oleh organisasi untuk membuat keputusan dalam area tertentu dari tanggung jawabnya. Misalnya, guru berharap untuk menghitung dan menyerahkan nilai tepat waktu untuk setiap periodenya. Di luar zona, kekuasaan yang sah memudar dengan cepat. Sementara secara prinsif nilai harus segera dihitung dan diserahkan ke kantor; itu yakni hal lain untuk meminta guru untuk mengubah kelas. Legitimasi seruan pertama jelas, tapi seruan kedua dipertanyakan.
Kekuasaan rujukan (referent power) yakni kemampuan direktur untuk mempengaruhi sikap berdasarkan keinginan bawahan dan identifikasi dengan administrator. Individu dengan kekuasaan referent dikagumi dan dihormati, dan berfungsi sebagai model untuk ditiru. Sumber kekuasaan referen terletak pada kepribadian yang luar biasa dan keterampilan korelasi interpersonal individu. Untuk contoh, guru muda sanggup mengidentifikasi kepala sekolah dan berusaha untuk menggandakan sikap pribadi dan mungkin gaya kepemimpinan dan hal lain yang sangat disukainya. Tidak hanya individu tetapi juga kelompok sanggup mempunyai kekuatan rujukan. Anggota kelompok rujukan positif juga sanggup menyampaikan sumber kekuasaan referent.
Kekuasaan andal (expert power) yakni kemampuan direktur untuk mempengaruhi sikap bawahan atas dasar pengetahuan dan keterampilan khusus. Bawahan dipengaruhi sebab mereka percaya informasi dan keahlian direktur memegang relevan, membantu, dan hal-hal yang mereka sendiri tidak memiliki. Seperti kekuasaan rujukan, kekuasaan andal yakni karakteristik pribadi dan tidak tergantung pada jabatan formal. Kekuasaan ahli,  jauh lebih sempit dalam lingkup dari kekuasaan rujukan. Pengetahuan yang digunakan mengidefinisikan batas-batas kekuasaan ahli. Kepala Sekolah gres harus memperlihatkan bahwa mereka tahu bagaimana melaksanakan fungsi manajemen mereka dengan keterampilan sebelum diterima upaya mereka untuk menerapkan praktek-praktek dan mekanisme baru.
Kelima jenis daya sanggup dikelompokkan menjadi dua kategori besar yaitu organisasi dan pribadi. Reward, koersif, dan kekuasaan legal terikat jabatan di organisasi. Semakin tinggi jabatan, semakin besar potensi untuk kekuasaan. Sebaliknya, refernt dan expert power bergantung pada ciri pribadi dari administrator, menyerupai kepribadian, gaya kepemimpinan, pengetahuan, dan keterampilan interpersonal. Secara singkat, beberapa sumber kekuasaan untuk kontrol organisasi, sedangkan yang lain tergantung pada karakteristik pribadi.

E.     PENGGUNAAN ADMINISTRASI KEKUASAAN
Sebagian besar waktu setiap direktur diarahkan pada sikap "yang berorientasi kekuasaan" yaitu, "perilaku diarahkan untuk mengembangkan atau memakai korelasi di mana orang lain bersedia tunduk kepada keinginan seseorang" (Kotter, 1978, p . 27). Reward Power  kemungkinan akan menghasilkan perasaan positif dan memfasilitasi pengembangan Referen Power, tetapi Coersif Power mempunyai imbas sebaliknya (Huber, 1981). Selain itu, bawahan sanggup melihat direktur yang memperlihatkan keahliannya sebagai orang yang mempunyai lebih banyak Legitimate Power. Bahkan, Expert Power mungkin bentuk paling stabil dari kekuasaan. Dalam satu studi, perubahan struktur penghargaan dari sebuah organisasi meningkatkan penggunaan yang dirasakan Coersif Power dan mengurangi penggunaan dirasakan oleh Reward, Legitimate, dan Referen Power dari administrator, tetapi Expert Power tetap stabil (Greene dan Podsakoff, 1981).
Gary Yukl (2002) menyampaikan beberapa panduan untuk direktur untuk membangun dan memakai masing-masing dari lima jenis kekuasaan. Kemungkinan konsekuensi dari penggunaan kekuasaan menjadi pertimbangan penting bagi administrator.





Tabel 7.1
Probable Subordinate Responses to Power
Type of Power
Commitment
Simple Compliance
Resistance
Referent
XXX
XX
X
Expert
XXX
XX
X
Legitimate
XX
XXX
X
Reward
XX
XXX
X
Coercive
X
XX
XXX
XXX—Most likely.
XX—Less likely.
X—Least likely.
Tabel 7.1 merangkum hasil kemungkinan setiap bentuk kekuasaan dalam hal ommitment, kepatuhan sederhana, atau perlawanan. Misalnya, penggunaan kekuasaan rujukan yang paling mungkin untuk mempromosikan komitmen, berikutnya yang paling mungkin menjadikan kepatuhan sederhana, dan paling mungkin untuk membuat ketahanan dan mengembangkan keterasingan. Komitmen kemungkinan besar dengan memakai rujukan dan kekuasaan ahli; sah dan kekuatan imbalan yang paling mungkin untuk mempromosikan kepatuhan sederhana; dan kekuasaan koersif mungkin akan menghasilkan resistensi dan kesannya keterasingan. Amitai Etzioni (1975) menarik kesimpulan yang sama dalam analisisnya wacana konsekuensi dari memakai kekuasaan di organisasi.
Referent Power tergantung pada kesetiaan pribadi kepada direktur yang tumbuh selama periode yang relatif lama. Pengembangan kesetiaan kepada satu atasan yakni proses pertukaran sosial, yang ditingkatkan ketika direktur memperlihatkan kepedulian, kepercayaan, dan kasih sayang untuk bawahan mereka.
Keahlian itu sendiri biasanya tidak cukup untuk menjamin komitmen bawahan. Keberhasilan memakai expert power mengharuskan bawahan mengakui pengetahuan direktur dan menganggap latihan keahlian yang berguna. Singkatnya, direktur harus mempromosikan gambaran keahlian dan kemudian memakai pengetahuan mereka untuk memperlihatkan kualitas.
Kewenangan dilaksanakan melalui legitimate power. Permintaan yang sah sanggup dinyatakan sebagai pesan, perintah, arahan, atau petunjuk. Hasil dari seruan direktur mungkin kepatuhan berkomitmen, kepatuhan sederhana, resistensi, atau keterasingan tergantung pada sifat dan cara permintaan. Ada kemungkinan tidak ada perlawanan dan keterasingan jikalau direktur membuat seruan sopan dan jelas, menjelaskan alasan seruan tersebut, responsif terhadap keprihatinan bawahan, dan secara rutin memakai otoritas yang sah (Yukl, 1994, 2002).
Penggunaan Reward Power yakni taktik manajemen umum untuk mencapai sesuai dengan aturan organisasi atau seruan pemimpin tertentu. Ada beberapa ancaman dalam penggunaan penghargaan. Bawahan bisa mencicipi Reward Power sebagai manipulatif, penyebab umum dari resistensi bawahan dan permusuhan. Selain itu, sering mengunakan Reward Power sanggup menetukan korelasi manajemen dalam hal ekonomi murni; respon bawahan menjadi dihitung atas dasar laba yang nyata. (French dan Raven, 1968).
Administrator yang paling efektif mencoba untuk menghindari penggunaan Coersif Power sebab biasanya mengikis penggunaan Referent Power dan membuat permusuhan, keterasingan, dan aksi antara bawahan. Absensi, sabotase, pencurian, tindakan pekerjaan, dan mogok kerja sebagai jawaban terhadap pemaksaan yang berlebihan.
Penggunaan paksaan biasanya dipertimbangkan terkait problem disiplin dan yang paling tepat bila digunakan untuk mencegah sikap merugikan organisasi misalnya, mencuri, sabotase, melanggar aturan, permusuhan, dan ketidaktaatan (Yukl, 2002). Agar lebih efektif, bawahan perlu diberitahu wacana aturan dan eksekusi terhadap pelanggaran. Pemaksaan selalu berakibat mengasingkan; dengan demikian disiplin harus diberikan segera, konsisten, dan cukup. Administrator harus menjaga kredibilitas, tetap tenang, menghindari muncul bermusuhan, dan memakai eksekusi terukur dan tepat. Tiga panduan untuk membantu administrator:
·         Hindari penggunaan Coersif Power: pemaksaan mengasingkan.
·         Gunakan kekuasaan organisasi untuk mengembangkan kekuasaan pribadi.
·         Gunakan kekuasaan pribadi untuk memotivasi dan membuat komitmen.
Kekuasaan tidak perlu dianggap sebagai kekuatan yang menghambat bawahan. Pemberdayaan yakni proses dimana direktur menyebarkan kekuasaan dan membantu orang lain menggunakannya dalam cara yang konstruktif untuk membuat keputusan yang mempengaruhi mereka dan pekerjaan mereka (Schermerhorn, Hunt, and Osborn, 1994; Hardy and LeibaO’Sullivan, 1998; Leach, Wall, and Jackson, 2003)  Lebih dari sebelumnya, direktur dan reformis berusaha untuk memberdayakan guru (Leach, Wall, dan Jackson, 2003)
Daripada melihat kekuasaan sebagai wilayah administrator, penganut pemberdayaan semakin melihatnya sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam organisasi yang lebih kolegial (Lugg dan Boyd, 1993). Ketika guru diberdayakan, kepala sekolah cenderung bos dan mendorong mereka di sekitar (menggunakan kekuasaan koersif) dan lebih mungkin untuk melayani sebagai fasilitator yang memandu tim guru memakai nowledge dan keahlian (kekuasaan ahli) mereka. Kepala sekolah akan semakin kurang bisa mengandalkan posisi mereka (kekuasaan yang sah) untuk mengarahkan bawahan; pada kenyataannya, sebagai  guru yang diberdayakan, keahlian akan menjadi unsur yang paling penting dalam korelasi kekuasaan antara guru dan kepala sekolah. Akhirnya, bukti adanya  pemberdayaan guru dalam hal kurikuler terkait dengan meningkatkan kinerja siswa (Sweetland dan Hoy, 2000a, 2001)

F.     PANDANGAN MINTZBERG TENTANG KEKUASAAN
Henry Mintzberg (1983a) mengusulkan cara lain untuk menganalisis kekuasaan di dalam dan sekitar organisasi. Dalam pandangannya, kekuasaan dalam organisasi berasal dari kontrol atas sumber daya, keterampilan teknis, atau badan pengetahuan. Dalam semua kasus, untuk melayani sebagai dasar untuk menguasai sumber daya, keterampilan, atau pengetahuan harus menjadi penting sebagai fungsi organisasi; itu harus mencukupi; dan tidak harus gampang diganti. Dengan kata lain, organisasi niscaya membutuhkan sesuatu yang hanya sanggup disediakan oleh beberapa orang. Misalnya, kepala sekolah mempunyai tanggung jawab utama untuk menentukan waktu bagi guru untuk menguasai sumber daya.
Dasar umum keempat kekuasaan berasal dari hak prerogatif hukum, yang menyampaikan beberapa individu hak langsung untuk menjatuhkan pilihan. Dewan sekolah mempunyai hak aturan untuk memperkerjakan dan memecat direktur dan guru; hak mereka dilindungi undang-undang negara. Administrator sekolah pada gilirannya diharuskan oleh aturan negara untuk mengevaluasi kompetensi guru tanpa jabatan tetap. Selain itu, mereka didelegasikan hak untuk mengeluarkan perintah kepada karyawan oleh prerogatif aturan lain yang menyampaikan kekuatan untuk guru dan asosiasi mereka.
Akhirnya, kekuasaan sering tiba kepada mereka yang mempunyai saluran ke pemegang kekuasaan.  Mintzberg juga mengusulkan satu set dari empat sistem kekuasaan internal yang merupakan sumber dasar untuk mengendalikan kehidupan organisasi: sistem otoritas, sistem ideologi (iklim dan budaya), sistem keahlian, dan sistem politik.
Sistem otoritas yakni arus formal kekuasaan melalui saluran yang sah yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuan formal. Sistem ini meliputi dua subsistem kendali, pribadi dan birokrasi.
Kendali pribadi dikerahkan dengan menyampaikan perintah, pengaturan daerah keputusan, meninjau keputusan, dan mengalokasikan sumber daya, yang semuanya menyampaikan direktur kekuasaan yang cukup untuk mengarahkan keputusan dan tindakan dari forum mereka.
Kendali birokrasi bertumpu pada pemberlakuan standar yang adil dibuat untuk memandu sikap umum guru di aneka macam macam bidang - misalnya, dikala mereka diharapkan untuk berada di sekolah setiap hari, kiprah kantin, dan lain-lain.
Sistem ideologi yakni seperangkat kesepakatan informal antara guru wacana sekolah dan korelasi dengan kelompok-kelompok lain yang muncul sebagai organisasi yang mengembangkan budaya. Iklim dan budaya yakni istilah yang digunakan untuk menangkap esensi dari sistem ideologi. Keterbukaan iklim dan nilai-nilai dasar budaya sekolah menyediakan sumber yang kuat dari kekuasaan dan kontrol.
Sistem keahlian yakni interaksi antara para andal atau profesional untuk memecahkan kontingensi (ketidakpstian) kritis yang dihadapi organisasi. Dihadapkan dengan tugas-tugas kompleks berguru mengajar, sekolah menyewa seorang andal (misalnya, guru, konselor, psikolog, dan administrator) untuk mencapai tujuan dasar mereka.
Sistem politik yakni jaringan politik organisasi, yang tidak mempunyai legitimasi dari tiga sistem kekuasaan lainnya. Sistem ini juga tidak mempunyai konsensus dan ketertiban. Tidak ada rasa persatuan atau menarik gotong royong untuk kebaikan bersama. Politik sanggup digambarkan sebagai satu set permainan pemegang kekuasaan. Permainan politik sanggup hidup berdampingan dengan sistem yang sah, menjadi bertentangan dengan sistem, atau pengganti sistem yang sah.
Administrator sekolah perlu memahami sistem ini dari efek dan tahu bagaimana memanfaatkan dan menggunakannya. Jelas sistem otoritas yakni titik awal untuk direktur sekolah sebab posisi mereka berhak atas kekuasaan formal, tapi kendali pribadi dan birokrasi biasanya tidak cukup untuk memotivasi guru untuk mengeluarkan usaha ekstra atau untuk menjadi kreatif dalam layanan mereka ke sekolah dan siswa. Ketergantungan ekslusif pada sistem otoritas beresiko pada resistensi, keterasingan, dan permusuhan dari para guru. Ketergantungan berlebih pada kewenangan formal yakni ancaman besar bagi direktur pendidikan.
Ideologi organisasi (budaya) sanggup menghasilkan sense of mission di antara anggota. Kepala sekolah yakni pemain drama kunci dalam pengembangan ideologi dan budaya sekolah. Tujuannya yakni untuk membuat kepercayaan di antara para guru dan siswa bahwa ada sesuatu yang Istimewa wacana sekolah mereka, bahwa ia mempunyai identitas yang berbeda.
Meskipun sistem otoritas dan ideologi meningkatkan koordinasi dan kepatuhan, tapi tidak mencukupi. Ketika pekerjaan yang kompleks, andal atau profesional yang diperlukan, dan dengan mereka tiba tuntutan otonomi membuat keputusan atas dasar pertimbangan profesional dan pengetahuan, tidak atas dasar otoritas atau ideologi. Untuk menjadi sukses, direktur harus menyebarkan kekuasaan dengan profesional.
Diskusi kita wacana sistem Mintzberg kekuasaan membuat satu hal yang terang bagi direktur sekolah: Mereka harus siap untuk menyebarkan kekuasaan. Mereka yang menimbun kekuasaan cenderung menjadi korban dari guru dan ketidakpuasan siswa, keterasingan, dan permusuhan. Selain itu, tidak memadainya sistem kendali mereka memungkinkan untuk membuka jalan di sekolah bermain kekuasaan informal yang lebih bersifat subversive (kegiatan rahasia) yakni kekuasaan politik.
Kami meringkas potongan ini dengan empat imperatif untuk direktur yang efektif:
·         Memperluas sistem kewenangan; kewenangan formal tidak cukup untuk kepemimpinan.
·         Menekankan sistem ideologi; organisasi budaya dan organisasi informal yakni sumber otoritas.
·         Menekankan sistem keahlian; memberdayakan guru dengan pengetahuan sendiri.
·         Mengerti dan memahami sistem politik; membatasinya.










G.    PERBANDINGAN DAN SINTESIS DARI PERSPEKTIF KEKUASAAN
Perspektif sanggup dibandingkan dalam hal sejauh mana kekuasaan  itu sah atau tidak sah dan formal atau informal
T A B L E 7 . 2

Peabody (1962)
Blau and Scott (1962)
Weber (1947)
French and Raven (1968)
Mintzberg (1983a)
Legitimate Formal Power
Formal authority
Formal authority
Bureaucratic authority
Reward Power and legitimate power
System of authority
Legitimate Informal Power
Functional authority
Informal authority
Charismatic
authority and
traditional
authority
Referent power
and expert
power
System of
ideology
and system
of expertise
Illegitimate
Formal
Power



Coercive power*

Illegitimate
Informal
Power




System of
politics*
*The power can be legitimate, but it is typically not.



Source of Power


Formal
Informal
Legitimacy of Power
Legitimate
Formal
Authority
Informal
Authority
Illegitimate
Coercive
Power*
Political
Power
*The power can be legitimate, but is typically not
FIGURE 7.2 Synthesis of Power Relations
Menurut definisi, tiga formulasi dari otoritas hanya mempertimbangkan daya sah.  Sebaliknya, perspektif kesepakatan kekuasaan dengan dua kendali yang sah dan tidak sah serta kekuasaan formal dan informal, tapi tidak ada kerangka yang komprehensif untuk mempertimbangkan empat kombinasi kekuasaan. Tipologi French dan Raven (1968) menyediakan analisis klasik kekuasaan interpersonal, sedangkan Mintzberg (1983a) fokus menganalisa kekuasaan organisasi, dan ia mengembangkan empat sistem efek untuk mengeksplorasi konfigurasi kekuasaan di dalam dan sekitar organisasi. Kami mengusulkan sintesis korelasi kekuasaan untuk memasukkan kewenangan formal dan informal (kekuasaan sah), dan pemaksaan dan kekuasaan politik (tidak sah).
Dalam menganalisis kekuasaan, perspektif struktural meminta perhatian otoritas – yang sah, kekuasaan formal dari forum atau jabatan. Perspektif budaya menggarisbawahi yang sah, kekuasaan informal dari budaya organisasi .
Perspektif individu menekankan kiprah informal yang sah dari keahlian dan pengetahuan dalam menghasilkan kekuasaan. Tapi itu yakni perspektif politik yang meminta perhatian terhadap yang tidak sah, kekuasaan informal yang menempel dalam organisasi.

H.    Kekuasaan, Rasionalitas, dan rasionalisasi
Kekuasaan sering mengaburkan perbedaan antara rasionalitas dan rasionalisasi:
·         Rasionalitas yakni aplikasi bukti dan alasan untuk membuat keputusan.
·         Rasionalisasi merupakan upaya untuk membuat keputusan tampak rasional sesudah dibuat.
Rasionalisasi menyamar sebagai rasionalitas sanggup menjadi seni manajemen dasar dalam pelaksanaan kekuasaan. Banyak dari kita telah mengalami bagaimana pemandangan dari atas (pengawas, dekan, atau pokok) akan ditafsirkan sebagai "kebenaran." Kekuasaan mempunyai cara untuk mendefinisikan realitas sebab orang yang berkuasa memutar kebenaran sesuai dengan tujuan mereka sendiri (Sweetland dan Hoy, 2000b).
Kekuasaan sering didefinisikan realitas sebab atasan menentukan apa yang dianggap sebagai pengetahuan. Mereka yang berkuasa menafsirkan dan kadang kala menafsirkan bukti. Nietzsche (1968) mengatakan: "Penafsiran itu sendiri merupakan sarana untuk menguasai sesuatu dan menundukkannya dan menjadi master dalam penafsiran baru" (p 342.). Ketika kepala sekolah atau pengawas menjelaskan, guru diharapkan untuk mendengarkan dan menerima. Kekuasaan yakni potongan dari rasionalitas sebab rasionalitas ditembus oleh kekuasaan. Sederhananya, rasionalisasi dan memakai kekuasaan lebih sering sebagai taktik yang kuat daripada argumen rasional. Tidak mengherankan, ketika penerima kuat membutuhkan dukungan, maka itu rasionalisasi dan bukan rasionalitas yang berlaku.
Dalam dunia yang praktis, masih terjadi kesulitan untuk membedakan antara rasionalitas dan rasionalisasi sebab rasionalisasi diselubingi dirasionalitas. Meskipun rasionalitas lebih sah dan sanggup diterima,  kekuasaan dan rasionalisasi mendominasi. Menipu diri sendiri sanggup menjadi potongan dari kehendak untuk berkuasa (Nietzsche, 1968). Tidak mengherankan, banyak direktur yang percaya sejati dari rasionalisasi mereka sendiri; mereka meyakinkan diri baik dari prestasi dan rasionalitas rasionalisasi mereka.
Di mana pertimbangan rasional memang memainkan peran, mereka melakukannya dalam konteks kekerabatan kekuasaan yang stabil. Meskipun stabilitas tidak menjamin rasionalitas, rasionalitas lebih sering terjadi pada korelasi kekuasaan yang stabil sebab direktur cenderung lebih terbuka untuk argumen rasional daripada di yang antagonis atau konfrontatif. direktur sekolah lebih cenderung untuk mendengarkan alasan ketika korelasi dengan guru-guru mereka dan serikat tidak bermusuhan; yaitu, kekuatan rasionalitas yang paling efektif dan muncul paling sering dengan tidak adanya konfrontasi.
Singkatnya, kita tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa banyak sikap organisasi yakni tidak rasional dan kekuasaan sering merusak rasionalitas. Meskipun ucapan terkenal Bacon (1597) bahwa "pengetahuan yakni kekuatan" yakni benar, itu juga berarti bahwa "kekuasaan yakni pengetahuan."
Mari kita kembali ke Machiavelli (1984, p 91.) Peringatan mengenai ancaman dan realitas kekuasaan: "Seseorang yang mengabaikan kenyataan yang seharusnya bisa menjadi pelajaran jadi jalan penghancuran diri." Kita perlu melihat dan memahami kehidupan organisasi menyerupai itu sehingga kita mempunyai beberapa kesempatan untuk bergerak ke arah apa yang kita harus percaya itu;  karenanya, kekuasaan dan politik tidak sanggup diabaikan.

I.       ORGANISASI KEKUASAAN DAN POLITIK
Politik organisasi yakni "perilaku individu atau kelompok yang bersifat informal, seakan-akan parokial (terbatas), biasanya memecah belah, dan di atas semua, dalam pengertian teknis, tidak sah-sanksi tidak oleh otoritas formal, ideologi diterima, atau keahlian bersertifikat" (Mintzberg, 1983a, hlm. 172 ). Politik menyerupai biasanya ilegal sebab jadwal pribadi yang diganti untuk orang-orang di organisasi (Tarter dan Hoy, 2004). Meskipun ada individu yang kuat, arena politik organisasi terdiri dari koalisi individu-kelompok yang tawar menawar di antara mereka sendiri untuk menentukan distribusi kekuasaan (Cyert dan Maret 1963). Meskipun semua upaya untuk mengintegrasikan kebutuhan individu dalam pelayanan tujuan organisasi, individu mempunyai kebutuhan mereka sendiri untuk memenuhi. Tak pelak, mereka terjebak dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang lebih sempit dan, dalam prosesnya, mereka membentuk koalisi dengan orang lain yang mempunyai aspirasi yang sama.
Kelompok-kelompok kepentingan utama yakni bervariasi dan beragam; misalnya, mereka mewakili departemen, profesional, jenis kelamin, dan kelompok etnis serta kepentingan internal dan eksternal. Artinya, ada koalisi internal - penerima organisasi yang bersatu di penyebab umum - serta koalisi eksternal - di luar kelompok berpengaruh, yang mengatur untuk mempengaruhi organisasi. Ada perbedaan infinit dalam nilai-nilai, keyakinan, pengetahuan, dan persepsi di antara koalisi. Perbedaan-perbedaan ini berubah perlahan-lahan dan sumber banyak ketegangan dan konflik.
Pengaruh luar yang signifikan bagi sekolah termasuk segudang koalisi eksternal, menyerupai asosiasi guru, serikat, asosiasi orang tua-guru, kelompok wajib pajak, departemen pendidikan negara, konsorsium perguruan tinggi tinggi dan universitas, organisasi profesi, media, dan minat khusus lainnya diselenggarakan oleh kelompok. Sebagian besar kelompok di luar-pengaruh ini mencoba untuk membawa kepentingan mereka sendiri dan kekuasaan eksternal untuk menanggung pada kegiatan sekolah. Masalahnya yakni mencari tahu bagaimana untuk mencapai hasil yang mereka inginkan ketika mereka berfungsi di luar pengambilan keputusan struktur resmi sekolah.
Mintzberg (1983a) mencatat bahwa dampak dari kelompok terorganisir bervariasi secara dramatis dan diidentifikasi ada tiga jenis dasar koalisi eksternal. Kadang-kadang koalisi eksternal aktif dan kuat - sebuah eksternal didominasi koalisi. Dalam masalah tersebut di sekolah-sekolah, kontrol koalisi eksternal tidak hanya yang internal tetapi juga dewan pendidikan dan inspektur. Memang, dewan dan pengawas hanya alat dari koalisi eksternal. Pada kesempatan isu masyarakat menyerupai "kembali ke dasar" bisa menjadi sangat terkenal sehingga upaya terpadu oleh koalisi eksternal terorganisir tiba untuk mendominasi tidak hanya perubahan kurikulum tetapi, jikalau dibiarkan begitu saja, kebijakan dasar dan kegiatan sekolah. Di lain waktu koalisi eksternal dalam tajam bersaing dengan koalisi eksternal lainnya dibagi. Berikut ada keseimbangan efek bernafsu antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Sebagai contoh, di komunitas sekolah keseimbangan sanggup antara dua koalisi eksternal, salah satu konservatif dan progresif lainnya. Kurikulum dan jadwal pembelajaran yang battlegrounds untuk kontrol sebagai koalisi bersaing. Akhirnya, koalisi eksternal pasif ada ketika jumlah kelompok di luar influencer eksternal meningkat ke titik di mana kekuatan masing-masing yakni baur dan terbatas. Kebanyakan direktur lebih menentukan lingkungan eksternal yang relatif stabil, tenang, tersebar, dan pasif.
Sama menyerupai organisasi sanggup dipengaruhi oleh koalisi eksternal, itu juga dipengaruhi oleh orang-orang internal. koalisi eksternal membentuk semacam koalisi internal yang muncul. Sebuah koalisi eksternal didominasi cenderung melemah koalisi internal, koalisi eksternal dibagi cenderung mempolitisasi mereka; dan koalisi eksternal pasif menyampaikan koalisi internal kesempatan untuk berkembang. Tetapi terlepas dari jenis koalisi eksternal, itu yakni melalui upaya koalisi internal yang fungsi organisasi.

J.      PERMAIANAN DALAM KEKUASAAN
Kekuasaan itu merupakan aspek yang penting dalam sebuah organisasi, dan sanggup mempengaruhi para anggotanya wacana sesuatu yang harus dilakukan. Menurut Hirschman (1970), dalam buku klasiknya, Exit, Voice, dan Loyalitas, mengamati bahwa dalam sistem mempunyai tiga pilihan dasar, antara lain :
1.      Cuti: menemukan tempat lain-keluar.
2.      Tetap dan bermain: mencoba untuk mengubah sistemnya-suara.
3.      Tetap dan berkontribusi menyerupai yang diharapkan: menjadi anggota yang setia-loyalitas atau kesetiaan.
Dalam kekuasaan harus mempunyai kemauan dalam melaksanakan sesuatu hal, berdasarkan Allison (1971) bahwa dengan mengeluarkan kemampuannya mereka sanggup menjadi sukses, serta mempunyai keterampilan untuk bertindak secara strategis dan taktis. Kekuasaan yakni sesuatu yang sulit dipahami, dimana kekuasaan akan mendapatkan laba dan kemudian sanggup terampil dalam memanfaatkan keuntungan. Politik yakni fakta kehidupan organisasi. Menurut Mintzberg (1983a, 1983b) bahwa politik internal biasanya tidak sah sebab dirancang untuk menguntungkan individu atau kelompok, biasanya dengan mengorbankan organisasi; Oleh sebab itu, konsekuensi paling umum dari politik yakni perpecahan dan konflik.
·         Politik memastikan bahwa anggota terkuat dari organisasi tersebut sanggup mendapatkan posisi kepemimpinan.
·         Politik memastikan bahwa semua pihak dalam problem yang diperdebatkan; sistem otoritas, ideologi, dan terkadang keahlian cenderung untuk mempromosikan hanya satu sisi saja.
·         Politik sering dibutuhkan untuk mempromosikan perubahan  oleh organisasi formal.
·         Politik sanggup meringankan pelaksanaan keputusan; direktur bermain permainan politik untuk mengimplementasikan keputusan mereka.
Tidak ada jaminan bahwa mereka yang mendapatkan kekuasaan akan menggunakannya secara rasional atau adil, tapi kekuasaan dan politik tidak selalu merendahkan dan merusak. Politik bisa menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan yang mulia (Bolman dan Deal, 2008).

K.    TAKTIK POLITIK
Semua anggota organisasi sanggup terlibat dalam politik organisasi. Dengan demikian, berdasarkan Vecchio (1988) kita beralih ke taktik politik dimana seluruh pekerjanya atau anggotanya  sudah biasa memakai cara menyerupai di bawah ini :
1.      Menjilat yakni taktik yang digunakan untuk mendapatkan niat baik dari yang lain melalui melakukan hal-hal yang menyenangkan, menjadi perhatian, dan menyampaikan pujian.
2.      Pembangunan Jaringan yakni proses membentuk korelasi dengan orang-orang yang mempunyai pengaruh.
3.      Manajemen informasi yakni individu yang berhubung dengan atasannya,  hal tersebut  digunakan untuk mengontrol orang lain atau membangun status mereka sendiri. Meskipun mempunyai informasi penting yang berkhasiat dalam dirinya sendiri, teknik yang digunakan untuk menyebarkan informasi tersebut sanggup meningkatkan posisi seseorang di kedua organisasi formal dan informal.
4.      Manajemen kesan yakni taktik sederhana yang hampir semua orang memakai dari waktu ke waktu untuk membuat gambaran yang baik. Taktik ini di dalamnya termasuk berpakaian dan berperilaku yang tepat, serta menggaris bawahi prestasi seseorang, mengklaim kredit bila memungkinkan, dan membuat kesan yang penting, jikalau tidak sangat diperlukan.
5.      Membangun koalisi yakni proses individu yang bersatu untuk mencapai tujuan bersama. Guru sering bergabung untuk menentang kebijakan yang diusulkan, untuk menolak perubahan yang diusulkan, atau untuk memulai perubahan.
6.      Kambing hitam yakni menyalahkan dan menyerang orang lain bila ada yang mempunyai kesalahan atau yang buruk.
7.      Peningkatan sangat diperlukan, hal ini merupakan taktik dimana individu atau unit membuat dirinya dibutuhkan untuk organisasi.
8.      Menyanjung merupakan taktik yang efektif untuk mendapatkan kekuasaan dan efek (Cialdini, 2005; Pfeffer, 2010). Sanjungan bekerja untuk sejumlah alasan.
9.      Mendapatkan perhatian dari atasan (Gasing) merupakan taktik sukses untuk mendapatkan pengaruh, yang sangat cocok untuk pemula dalam sebuah organisasi.

a)      Membujuk dan Mempengaruhi: Beberapa Prinsip Dasar
Hoy dan Smith (2007) menambahkan, dan menerapkan prinsip-prinsip untuk organisasi pendidikan dan administrator.
1.      Daya tarik: Orang menyukai, tertarik untuk, dan mengikuti orang lain yang mereka percaya kerabat roh.
2.      Timbal balik: Orang merasa bertanggung jawab mengembalikan sebuah kebaikan; individu yang membantu mereka atau pernah menolong mereka.
3.      Komitmen masyarakat: Orang-orang termotivasi untuk bertindak berdasarkan komitmen masyarakat.
4.      Colleagueship: Orang mendengarkan dan mengikuti jejak rekan yang dihormati.
5.      Optimisme: Optimisme meningkatkan keberhasilan. Optimisme yakni pandangan positif dari kehidupan dimana orang-orang fokus pada aspek yang membangun insiden dan pengalaman; mereka berpikir aneka macam kemungkinan dan hal-hal yang positif.
6.      Keadilan: Orang percaya bahwa mereka berhak atas perlakuan yang adil.
7.      Keahlian: Masyarakat tunduk kepada mereka yang mempunyai keahlian. Itu jauh lebih gampang untuk meyakinkan dan mempengaruhi orang lain jikalau keahliannya baik.

b)     Menunjukkan Lima Gaya Pengelolaan Konflik Yang Terjadi.
1.      menghindari gaya baik tidak tegas dan tidak kooperatif. Berikut direktur mengabaikan konflik, berharap bahwa mereka akan memperbaiki diri.
2.      Sebuah gaya mengorbankan keseimbangan antara kebutuhan organisasi dan orang-orang individu. Fokus dari gaya ini yakni pada negosiasi, mencari jalan tengah, trade-off, dan mencari solusi yang memuaskan atau diterima kedua belah pihak.
3.      Penggunaan gaya kompetitif membuat situasi menang-kalah. Administrator yakni tegas dan tidak kooperatif dalam upaya untuk menuntaskan konflik.
4.      Gaya akomodatif ini yakni asertif dan kooperatif. Sang direktur mengalah pada tuntutan bawahan; itu yakni pendekatan tunduk dan patuh.
5.      Gaya berkolaborasi ini yakni tegas dan kooperatif. Ini yakni pendekatan problemsolving. Masalah dan konflik dipandang sebagai tantangan. Perbedaan dihadapkan dan ide-ide dan informasi bersama. Ada upaya bersama untuk mencari solusi yang integratif, yang di mana memenangkan semua orang.
Thomas (1977) mengusulkan bahwa masing-masing dari lima gaya mungkin efektif tergantung pada situasi; pada kenyataannya, memakai data yang dikumpulkan dari satu set kepala eksekutif, ia cocok dengan lima gaya pengelolaan konflik dengan situasi yang tepat:
1.      Bersaing
·         Ketika harus cepat, tindakan tegas ini penting, contohnya dalam keadaan darurat.
·         Ketika isu-isu kritis memerlukan terkenal tindakan, contohnya pemotongan biaya.
·         Ketika isu penting untuk kesejahteraan organisasi.
·         Terhadap orang yang mengambil laba yang tidak adil dari orang lain.
2.      Berkolaborasi
·         Ketika kedua set keprihatinan begitu penting bahwa hanya solusi integratif diterima.
·         Bila tujuannya yakni untuk belajar.
·         Untuk mengintegrasikan wawasan dari individu dengan perspektif yang berbeda.
·         Ketika konsensus dan komitmen penting.
·         Untuk menerobos perasaan sakit yang telah menghambat hubungan.
3.      Berkompromi
·         Ketika tujuan itu dianggap penting, tapi tidak layak serta berpotensi pada kekacauan.
·         Ketika ada "kebuntuan."
·         Untuk mendapatkan pemukiman sementara untuk problem yang kompleks.
·         Untuk mempercepat tindakan ketika waktu yakni penting.
·         Ketika kerja sama atau persaingan gagal.
4.      Menghindari
·         Ketika problem ini sepele.
·         Ketika biaya lebih besar daripada manfaat untuk pemecahan.
·         Untuk membiarkan situasi "mendingin."
·         Ketika mendapatkan informasi yang lebih penting.
·         Ketika orang lain bisa memecahkan problem secara lebih efektif.
·         Ketika problem yakni tanda-tanda dan bukan penyebab.
5.      Akomodatif
·         Bila menemukan kesalahan yang dibuat oleh Anda sendiri.
·         Ketika isu-isu yang lebih penting untuk orang lain.
·         Untuk membangun goodwill untuk hal-hal yang lebih penting.
·         Untuk meminimalkan kerugian, jikalau kekalahan tidak bisa dihindari.
·         Ketika harmoni dan stabilitas sangat penting.
·         Untuk menyampaikan kesempatan pada bawahan, untuk berguru dari kesalahan mereka




















BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    KESIMPULAN
Kekuasaan dalam organisasi berasal dari kontrol atas sumber daya, keterampilan teknis, atau badan pengetahuan. Dalam semua kasus, untuk melayani sebagai dasar untuk menguasai sumber daya, keterampilan, atau pengetahuan harus menjadi penting sebagai fungsi organisasi; itu harus mencukupi; dan tidak harus gampang diganti. Dengan kata lain, organisasi niscaya membutuhkan sesuatu yang hanya sanggup disediakan oleh beberapa orang. Misalnya, kepala sekolah mempunyai tanggung jawab utama untuk menentukan waktu bagi guru untuk menguasai sumber daya. Politik yakni penggunaan power (kekuasaan) semoga sesuatu tercapai. Ketidakmenentuan dan konflik yakni alamiah dan tidak terelakkan. Politik yakni mekanisme guna mencapai persetujuan.
Jenis-Jenis Kekuasaan antara lain :Reward Power, Legitimate Power, Coercive Power, Referent power dan Expert Power. Mintzberg juga mengusulkan satu set dari empat sistem kekuasaan internal yang merupakan sumber dasar untuk mengendalikan kehidupan organisasi: sistem otoritas, sistem ideologi (iklim dan budaya), sistem keahlian, dan sistem politik.
Weber (1947) membedakan tiga jenis otoritas yakni charismatic, tradisional, dan legal. Otoritas karismatik bertumpu pada dedikasi individu yang luar biasa kepada pemimpin berdasarkan kepercayaan pribadi atau kualitas keteladanan. Otoritas tradisional bertumpu pada keyakinan yang dibangun di atas kesucian di masa lalu. Otoritas sah (legal) berdasarkan aturan yang berlaku yang sanggup diubah dengan mekanisme formal.
Sedangkan Blau dan Scott (1962, 2003; Scott, 2003) hanya menjelaskan korelasi wewenang sebagai formal atau informal tergantung pada sumber legitimasi untuk kekuasaan. Otoritas formal dipegang dalam organisasi dan secara aturan dibuat oleh jabatan, aturan, dan peraturan. Otoritas fungsional mempunyai aneka macam sumber, termasuk otoritas kompetensi dan kewenangan perseorangan. Otoritas informal masih dari sumber lain untuk kontrol yang sah berasal dari sikap pribadi dan sifat individu. Terlepas dari posisi formal, beberapa anggota organisasi




B.     SARAN
Setelah penulis mempelajari dan menyusun makalah ini, penulis menyadari bahwa kenyataan dilapangan kadang tidak sesempurna teori yang diungkapkan. Banyak hal yang menjadi hambatan dalam penerapan teori ini. Namun penulis sangat berharap besar kelak teori ini sanggup digunakan dan dikembangkan oleh sekolah-sekolah mengingat besarnya manfaat dari penerapan konsep teori tersebut walaupun tidak seutuhnya.
Penulis sangat berharap para guru yang dijadikan ujung tombak dalam pendidikan sanggup menghargai siswanya menyerupai ia menghargai dirinya, menyampaikan apa-apa yang terbaik bagi siswanya dan membimbing siswanya semoga bisa menghadapi hari esok yang penuh rintangan. Juga cita-cita semoga bangsa ini sanggup lebih berkarya jikalau siswanya sanggup berperan dalam pembangunan bangsa ini sebagai sumbangan dari pengalaman mengenyam pendidikan. Mungkin makalah ini jauh dari kata tepat namun ilmu yang terkandug didalamnya semoga sanggup bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Basri, Seta.(2011).Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Inside Book Center.
Budiardjo, Miriam.(2002).Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Daft, Richard L.(2006).Manajemen,Edisi Keenam.Jakarta: Salemba Empat.
Effendi, Sofian & Singarimbun, Masri.(1989).Metode Penelitian Survai.LP3ES: Jakarta.
Hoy,Wayne K & Cecil G Miskel.(2001).Education Administration:Theory, Research, and Practice.Singapura:McGraw_Hill Co.
Isjwara,F.DH.(1982).Pengantar Ilmu Politik.Bandung:Bina Cipta.
Mintzberg,H.(1983).Structures in Fives, Designing Effective Organizations.New Jersey: Prentice Hall.
Morgan, Robert M. & Shelby D. Hunt.(1994).The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing.Journal of Marketing.Vol. 58, July.pp. 20- 38.
Shobari.(2010). Pengaruh Preferensi Gaya Kepemimpinan Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum Di Surakarta. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Sills, David L. (1968). International Encyclopedia of the Social Sciences. New York: Macmillan and Free Press.
Surbakti, Ramlan.(1992).Memahami Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Widya Sarana.





Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com