ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TETANUS
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. PENGERTIAN
Tetanus ialah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani (Mansjoer, Arif, 2000 : 429).
2. ETIOLOGI
Clostridium tetani ialah kuman berbentuk batang, ramping berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milli mikron. Kuman yang hidup anaerob berbentuk spora yang termasuk golongan gram positif dan mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksik yang disebut tetanospasmin yang menimbulkan kejang otot dan saraf perifer setempat-toksin ini sanggup menghancurkan sel darah merah dan merusak leukosit.
3. PATOFISIOLOGI
Kuman clostridium tetani masuk kedalam tubuh insan melalui adanya uka kotor, kuman clostridium tetani ini mengeluarkan toksin yang disebut tetanosparmin dan tetanolisin.
(1) Tetanospasmin ini memiliki pengaruh
· Pada susukan pernafasan bisa terjadi akumulasi sekret lantaran adanya plasma pada otot faring yang menimbulkan terkumpulnya liur didalam rongga ekspresi sehingga terjadi bersihan jalan nafas takefektif, contoh nafas tidak efektif dan pertukaran gas yang tidak efektif.
· Pada ekspresi terjadi spasme otot ekspresi yang menimbulkan terjadinya trismus dan terjadinya kesulitan dalam menekan yang berdampak pada gangguan pemenuhan nutrisi. Adanya trismus sanggup juga menimbulkan aspirasi sehingga bersihan jalan nafas, contoh nafas dan pertukaran gas tak efektif.
· Tetanospasmin sanggup menimbulkan kejang umum lantaran adanya rangsangan, resiko terjadinya injury bila frekuensi kejang sering.
(2) Tetanolisin sanggup menimbulkan eritosit lisis, dengan banyaknya eritosit yang lisis sanggup menimbulkan penurunan eritosit dalam darah sehingga menimbulkan anemi, dengan adanya anemi pertahanan dalam tubuh menurun sehingga terjadi resiko infeksi sekunder.
4. GAMBARAN KLINIK
Masa inkubasi 5 – 14 hari, tetapi sanggup juga hingga beberapa ahad pada infeksi yang ringan, penyakit ini biasanya timbul mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit menjadi konkret dengan terlihat :
* Trismus (kerusakan membuka mulut) lantaran spasme otot masseter yang berlanjut ke kuduk (epistotonus) dinding perut dan sepanjang tulang belakang.
* Kejang tonik terutama bila dirangsang lantaran toksin yang terdapat di kornu anterior.
* Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik keatas, sudut ekspresi tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan berpengaruh pada gigi).
* Kesukaran menelan, gelisah, gampang terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota tubuh dan terdapat leukosit ringan.
* Asfiksia dan sianosis terjadi jawaban serangan pada otot pernafasan dan laring.
* Retensi urin terjadi lantaran spasme otot uretral.
* Panas biasanya tidak tinggi kalau timbul demam tinggi yang biasanya terjadi pada stadium selesai merupakan prognosis yang buruk.
Menurut beratnya tanda-tanda sanggup dibedakan dalam 3 stadium
(perawatan anak sakit : 223) :
(1) Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
(2) Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
(3) Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.
5. DIAGNOSA BANDING
(1) Trismus biasanya dijumpai pada jerawat retrofaring, jerawat gigi berat.
(2) Kaku kuduk dijumpai pada meningitis.
(3) Spasme laring dan faring sanggup dijumpai pada penyakit rabies.
6. KOMPLIKASI
(1) Spasme otot faring yang menimbulkan terkumpulnya air liur didalam rongga ekspresi dan keadaan ini memungkinkan terjadinya aspirasi serta sanggup menimbulkan pneumonia aspirasi.
(2) Asfiksia
(3) Atelektasis lantaran obstruksi secret.
(4) Fraktur kompresi.
7. PENATALAKSANAAN
(1) Umum
* Merawat dan membersihkan luka sebersih-bersihnya.
* Diet cukup kalori dan protein, bentuk masakan tergantung dari kemampuan anak membuka mulutnya dan menelan, bila ada trismus, masakan sanggup diberikan personde atau parenteral.
* Isolasi untuk menghindari rangsang luar menyerupai bunyi dan tindakan terhadap klien.
* Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu untuk obstruksi jalan nafas.
* Pasien dianjurkan dirawat di Unit Perawatan Khusus kalau :
- Kejang-kejang yang sukar diatasi dengan obat-obatan anti konvulsan biasa.
- Spasme laring.
- Komplikasi yang memerlukan perawatan khusus.
(2) Medik
* Anti Toksin
Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U /hari selama 2 hari berturut-turut secara IM dengan didahului oleh uji kulit dan mata. Bila alhasil positif, sumbangan dilakukan secara Besredka (pemberian ATS kini sanggup dimasukkan didalam cairan infus dengan takaran 40.000 U sekaligus).
* Anti Kejang dan Penenang.
1.1 Fenobarbital dengan takaran anak (umur kurang dari 1 tahun)50 mg. Lebih dari 1 tahun 75 mg. Dilanjutkan dengan takaran 5 mg /kg. BB /hari dibagi 6 dosis.
1.2 Diazepam dengan takaran 4 mg /kg. BB /hari dibagi 6 dosis, bila ke jang sukar diatasi, diberikan Kloralhidrat 5 % dengan takaran 50 mg /kg. BB /hari di bagi dalam 3-4 takaran secara perectal.
* Antibiotik
p3nsilin Prokain 50.000 U /kg. BB /hari secara IM diberikan hingga 3 hari demam turun.
8. PROGNOSIS
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor yang sanggup memperburuk keadaan yaitu :
* Masa inkubasi yangpendek ( kurang dari 7 hari).
* Neonatus dan usia renta (lebih dari 55 tahun).
* Frekuensi kejang yang tinggi.
* Kenaikan suhu tubuh yang tingi.
* Pengobatan yang terambat.
* Periode trismus dan kejang yang sering.
* Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.
9. PENCEGAHAN
* Mencegah terjadinya luka.
* Merawat luka secara adekuat.
* Pemberian ATS (Anti Tetanus Serum) dalam beberapa jam sesudah terjadi luka sehingga akan memperlihatkan kekebalan pasif sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasinya.
10. LABORATORIUM
Biasanya terdapat leukositosit ringan dan kadang kala didapatkan peninggian cairan otak.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN TETANUS
1. PENGKAJIAN
(1) Anamnesa
* Biodata
Terjadi pada semua golongan umur.
* Keluhan Utama
Kesukaran membuka mulut, kejang.
* Riwayat Penyakit Sekarang
Klien tiba ke Rumah Sakit paling sering terjadi kekakuan rahang dan ekspresi terkunci kemudian otot leher, Columnus Vertrebralis dan dinding abdomen serta diikuti kejang menyeluruh.
* Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya factor predisposisi terjadinya Tetanus antara lain adanya luka, radang gigi, luka kotor, benda aneh dalam luka yang menyembuh, korek-korek indera pendengaran dalam.
* Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya factor predisposisi terjadinya tetanus antara lain pada ibu hamil yang tidak imunisasi TT/ anak yang belum sanggup imunisasi DPT.
(2) ADL (Activity Daily Live).
* Pola Nutrisi.
Sering terjadi gangguan pemenuhan nutrisi lantaran sukarnya membuka ekspresi dan gangguan menelan.
* Pola Istirahat Tidur.
Tidur kurang dari kebutuhan dari kebutuhan lantaran terjadi kejang yang terus menerus.
* Pola Eliminasi.
Terjadi spasme pada sfingter kandung kemih, sehingga menimbulkan retensi urin.
* Pola Aktivitas
Keterbatasan acara lantaran kekakuan otot dan kejang.
* Pola Personal Hygiene
Klien tidak sanggup mengurus dirinya sendiri.
2. PEMERIKSAAN
2.1. Pemeriksaan Fisik
* Kepala
Wajah spasme, otot muka/ alis tertarik keatas, sudut ekspresi tertarik keluar dan kebawah dan bibir tertekan berpengaruh pada gigi (risussardonikus), mata : foto fobia, mulut: kesukaran menelan.
* Leher
Kaku kuduk hingga epistotonus (karena ketergantungan otot erector truner).
* Dada
Terlihat tarikan interkostae, paru : spasme otot laring dan otot pernafasan sehingga sanggup menimbulkan gangguan menelan dan asfiksia.
* Perut
Otot dinding perut tegang (kaku menyerupai papan) kandung kencing teraba penuh.
* Ekstremitas
Spasme yang khas yaitu kaku dengan epistotonus ekstremitas inferior dalam keadan eksterna lengan dan tangan mengepal kuat.
2.2. Pemeriksaan Penunjang
* Pemeriksaan Laborat
Kurang menunjang dalam diagnosis, pada investigasi darah putih tidak didapatkan nilai yang spesifik, leukosit sanggup normal atau tidak meningkat.
* Pemeriksaan Mikrobiologi
Bahan diambil dari pus atau jaringan nekrosis kemudian dibiakkan pada kultur, pada investigasi mikrobiologi PP hanya 30 % perkara ditemukan Clostridium Tetani.
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL
3.1. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berafiliasi dengan trismus.
3.2. Resiko tinggi terjadinya bersihan jalan nafas atau contoh nafas atau pertukaran gas tak efektif berafiliasi dengan akumulasi sekret yang berlebihan.
3.3. Gangguan mobilitas berafiliasi dengan menurunnya kemampuan acara motorik.
3.4. Resiko terjadinya infeksi berhubungandengan daya tahan tubuh sekunder anemia.
4. PERENCANAAN
(1) Diagnosa : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berafiliasi dengan trismus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
- Individu akan melaporkan adanya peningkatan kemampuan menelan.
- Mengkonsumsi masakan dengan peningkatan presentasi.
- Tidak terjadi penurunan berat badan.
- Menerima nutrisi yang adekuat.
Intervensi :
· Pantau jumlah masakan yang dimakan tiap hari ketika sakit.
R/ Mengidentifikasi kemajuan dan penyimpangan dari yang diharapkan.
· Lakukan observasi intake dan output nutrisi.
R/ Mengetahui jumlah pemasukan dan pengeluaran sesuai kebutuhan dan berapa jumlah masakan yang diserap.
· Berikan makan parenteral dengan infus cairan Dextrose 10 % sesuai hasil kolaborasi
R/ Pemberian cairan parenteral meminimalkan terjadinya rangsang kejang.
· Bila klien tidak kejang tetapi masih trismus berikan masakan melalui sonde
R/ Memudahkan dalam menelan dan meningkatkan asupan nutrisi.
· Berikan masakan peroral bila tak ada trismus dan kejang.
R/ Meningkatkan asupan masakan sehingga nutrisi terpenuhi.
· Laksanakan agenda terapi ihwal sumbangan anti konvulsan dan penenang.
R/ Anti konvulsan dan penenang sanggup mengurangi kehebatan dari frekuensi kejang otot.
(2) Diagnosa : Resiko tinggi terjadinya bersihan jalan nafas atau contoh nafas atau perukaran gas tak efektif berafiliasi dengan akumulasi sekret yang berlebihan.
Tujuan : Bersihan jalan nafas dan pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
- pernafasan spontan
- irama nafas teratur
- RR : 18 – 20 x/mnt
- Nadi : 80 – 100 x/mnt
- Suara nafas vesikuler
- Tidak ada bunyi nafas tambahan
Intervensi :
· Cegah semaksimal mungkin terjadinya rangsangan .
R/ Rangsangan menyerupai suara, sentuhan dan yang izinnya sanggup menimbulkan kejang spontan.
· Pertahankan jalan nafas bebas bila ada sekret lakukan pernghisapan sekret dengan memakai prinsip kateter masuk dalam keadaan pasif dan keluar aktif.
R/ Menghindari aksentuasi yang sanggup menghambat jalan nafas sehinngga pernafasan tetap lancar.
· Longgarkan pakaian yang menekan
R/ Menghindari aksentuasi pada dinding dada sehingga bisa bernafas dengan bebas.
· Berikan O2
R/ Menambah masukan O2 dan memaksimalkan O2 dalam jaringan.
· Baringkan klien dengan kepala ekstensi
R/ Membuka jalan nafas.
· Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dari perubahan tanda vital merupakan indikator terjadinya infeksi.
(3) Diagnosa : Gangguan mobilitas berafiliasi dengan menurunnya kemampuan acara motorik.
Tujuan : Kerusakan mobilitas sanggup diatasi
Kriteria hasil :
- Memungkinkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin.
- Mempertahankan posisi fungsional
- Menunjukkan tehnik yang kemampuan melaksanakan akativitas.
Intervensi :
· Kaji derajat mobilitas klien.
R/ klien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/persepsi diri ihwal keterbatasan fisik, memerlukan informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
· Dorong partisipasi pada acara terapeutik atau rekreasi.
R/ memperlihatkan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan tonus otot dan mempertahankan gerak sendi.
· Ubah posisi secara periodic.
R/ mencegah/menurunkan insiden dikubitus.
(4) Diagnosa : Resiko terjadinya infeksi berafiliasi dengan daya tahan tubuh sekunder anemia
Tujuan : Infeksi tak terjadi
Kriteria hasil :
· Mengidentifikasi sikap untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi.
· Meningkatkan penyembuhan luka dan demam.
Intervensi :
· Tingkatkan basuh tangan yang baik oleh pemberi perawatan dan pasien.
R/ mencegah kontaminasi silang atau kolonisasi bakteri.
· Pertahankan tehnik aseptik ketat pada mekanisme atau perawatan luka.
R/ menurunkan resiko kolonisasi atau infeksi bakteri
· Tingkatkan masukan cairan adekuat
R/ membantu dalam pengenceran sekret pernafasan untuk mempermudah pengeluaran dan mencegah stanis cairan tubuh.
· Pantau dan batasi pengunjung, berikan isolasi bila memungkinkan
R/ membatasi pemajanan pada basil atau infeksi, proteksi isolasi sanggup dibutuhkan bila anemia.
· Berikan antiseptik topikal, antibiotik sistemik.
R/ dipakai secara propilaksik untuk menurunkan kolorisasi atau pengobatan proses infeksi lokal.
5. IMPLEMENTASI
Implementasi diubahsuaikan dengan intervensi
6. EVALUASI
Evaluasi diubahsuaikan dengan kriteria hasil
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Linda Jual (2001), DIAGNOSA KEPERAWATAN, EGC, Jakarta
Ngastiyah (1997), PERAWATAN ANAK SAKIT, EGC, Jakarta
Prawirohardjo, Sarwono (2002), ILMU KEBIDANAN, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta
Rampengan, (1997), PENYAKIT TROPIK PADA ANAK, EGC, Jakarta