A. Ujub
Secara etimologi, kata ‘ujub mempunyai arti sebagai berikut.
Pertama, Kegembiraan atau kebahagiaan. Makna ini menyerupai yang terdapat dalam ungkapan “a’jabahul amru” artinya ialah sarrhu (hal yang menggembirakannya atau membahagiakannya).
Kedua, Pengagungan atau membesarkan. Makni ini ada dalam ungkapan “a’jabahul amru” artinya ialah adhuma indhahu atau kabura ladaihi (Sesuatu itu agung atau besar disisinya).
Adapun makna ujub dalam pendekatan terminologi ialah sebagai berikut. Ujub ialah rasa senang dan bangga terhadap apa yang terjadi pada dirinya serta sesuatu yang muncul darinya, baik berupa perkataan atau pun perbuatan. Hal ini dilakukan tanpa melaksanakan tindakan dzalim terhadap orang lain, baik dalam perkataan atau perbuatan, dalam keadaan baik atau buruk, terpuji atau tercela”.[1]
Solusinya
Para ulama ilmu jiwa telah menawarkan tips kepada kita bagaimana kita melaksanakan pengobatan penyakit ini. Diantara tips yang diberikan itu ialah sebagai berikut.
1. Senantiasa ingat terhadap hakekat jiwa manusia.
2. Senantiasa ingat terhadap hakekat dunia dan akhirat.
3. Senantiasa ingat terhadap hakekat nikmat yang Allah SWT berikan.
4. Senantiasa mengingat kematian.
5. Senantiasa memperdalam agama Allah SWT.
6. Hadir dengan rajin di majelis-majelis ilmu.
7. Senantiasa ingat terhadap jawaban yang dimunculkan orang-orang yang ujub.
B. Zhalim
Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan abjad “dho la ma” yang bermaksud gelap. Di dalam al-Qur’an memakai kata zhulm selain itu juga dipakai kata baghy, yang artinya juga sama dengan zalim yaitu melanggar haq orang lain. Namun demikian pengertian zalim lebih luas maknanya ketimbang baghyu, tergantung kalimat yang disandarkannya. Kezaliman itu mempunyai aneka macam bentuk di antaranya ialah syirik.
Tiga Kategori Utama
1. Zalim dalam kaitannya relasi kepada Allah, dalam hal ini Syirik. Ini ialah suatu dosa yang tidak diampuni oleh Allah SWT, contohnya ialah Mengambil Tuhan lain selain Allah, contohnya Menyembah Patung, Menyembah Dewa, Menyembah Manusia yang dianggap sebagai Tuhan, yang ringkasnya menyembah kepada selain Allah.[2]
2. Zalim terhadap diri sendiri, masih sanggup diampuni oleh Allah SWT, bila orang itu bertobat. Contoh, Bunuh diri, ini kategori Zalim terhadap diri sendiri dan orang lain yang InsyaAllah tidak sanggup diampuni, dikarenakan tidak mempunyai kesempatan untuk bertobat lagi.
3. Zalim terhadap sesama manusia, akan dimintakan pertanggung jawaban di akherat kelak sesuai tuntutan orang yang dizaliminya, tuntutan itu sanggup dihindarkan seandainya orang yang menzalimi telah meminta maaf dan di maafkan secara nrimo oleh orang yang dizalimi. Contoh, Merusak Lingkungan, merokok di keramaian.[3]
Solusinya
1.Selalu waspada dan hati-hati dalam setiap menghadapi masalah
2.Jangan membuka malu atau cacat orang lain
3.Menumbuhkan rasa persaudaraan, kasih sayang, dan persaudaraan kepada antarsesama
4.Menyadari bahwa setiap perbuatan mempunyai lantaran jawaban sesuai dengan sunnatullah
5.Menyadari do’a orang yang teraniaya itu makbul
6.Membiasakan diri bersyukur kepada Allah SWT
7.Berhati-hati dalam bertindak, berbicara dan dalam mendapatkan setiap gosip yang ada
8.Meluruskan / memahami ketauhidan
9.Membiasakan menjaga amanah, yaitu menawarkan hak orang lain[4]
C. Boros
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) ialah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.”
Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun bila seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).”
Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) ialah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8: 474-475).
Ibnul Jauzi berkata bahwa yang dimaksud boros ada dua pendapat di kalangan para ulama:
Boros berarti menginfakkan harta bukan pada jalan yang benar. Ini sanggup kita lihat dalam perkataan para pakar tafsir yang telah disebutkan di atas.
Boros berarti penyalahgunaan dan bentuk membuang-buang harta. Abu ‘Ubaidah berkata, “Mubazzir (orang yang boros) ialah orang yang menyalahgunakan, merusak dan menghambur-hamburkan harta.” (Zaadul Masiir, 5: 27-28)
“Dan janganlah kau menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu ialah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27)
Solusinya
1. Buat batasan terhadap diri sendiri
2. Mementingkan kebutuhan yang sangat dibutuhkan.
3. Tidak menyia-nyikan sesuatu yang sanggup dimanfaatkan.
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com