PEMBAHASAN
a. Kebebasan
Kalangan hebat teologi membagi menjadi dua kelompok dalam mendefinisikan kebebasan
a) Kelompok yang beropini bahwa insan mempunyai kehendak bebas dan merdeka untuk melaksanakan perbuatanya berdasarkan kemauanya sendiri. Ia makan, minum, belajar, berjalan dan seterusnya yakni atas kemauan sendiri.
b) Kelompok yang beropini bahwa insan tidak mempunyai kebebasan untuk melaksanakan kebebasanya. Mereka dibatasi dan ditentukan oleh tuhan. Jika insan makan, minum, berjalan, bekerja dan seterusnya, pada hakikatnya mengikuti kehendak tuhan. Dalam pandangan kelompok kedua ini insan tak ubahnya menyerupai wayang yang mengikuti kemauan dalang.
Sebagian hebat filsafat beropini bahwa insan melaksanakan sesuatu lantaran terpaksa. Sementara sebagian hebat filsafat lainnya beropini bahwa insan mempunyai kebebasan untuk menetapkan perbuatannya. Manakah di antara dua pendapat yang palinga benar bukan hak kita untuk menilainya, lantaran masing-masing mempunyai argumentassi yang sama-sama besar lengan berkuasa dan meyakinkan.
Dalam kaitan dengan keperluan kajian akhlak, sepertinya pendapat yang menyampaikan bahwa insan mempunyai kebebasan melaksanakan perbuatannya lah yang akan diikuti di sini. Sementara golongan yang menyampaikan bahwa insan tidak mempunyai kebebasan jjuga akan diikuti di sini dengan menempatkannya secara proporsial. Yaknni dalam hal bagaimanakah insan itu bebas, dan dalam hal bagaiman pula insan itu terbatas. Dengan cara demikian kita mencoba berbuat adil terhadap kedua kelompok yang berbeda pendapat itu.
Kebebasan sebagaimana dikemukakan oleh ahmad charris zubair adlah terjadi apabila kemungkinaan – kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Faham ini disebut bebas negatif, lantaran hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebaas utntuk apa. Seorang disebut bebas apabila:
1. Dapat menetukan sendiri tujuan – tujuannya dan apa yang dilakukannya.
2. Dapat menentukan diantara kemungkina –kemungkina yang tersedia baginya.
3. Tidak dipaksa atau terikat untuk menciptakan sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.
Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu sanggup dibagi 3 :
1. kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalm menggerakan dan mempergunakan anggota tubuh yang kita miliki. Dan jikalau dijumpai adanya batas – bats jangkauan yang sanggup dilakukan oleh anggota tubuh kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu.
2. kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan kehendak yakni sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir, lantaran insan sanggup memikirkan apa saja dan sanggup menghendaki apa saja. Kebebasan – kebebasan kehendak berbeda dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak sanggup secara eksklusif dibatasi dari luar. Orang tidak sanggup dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.
3. kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam –macam ancaman, tekanan, larangan, dan lain desakan yang tidak hingga berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit bebratkinan kemi tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan – kemungkinan untuk bertindak.
Selanjutnya insan dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapt juga mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan golongan –golongannya di dalam melaikan ia menciptakan dirinya sendiri berhadapan dengan unsur – unsur tersebut. Dengan demikian kebebsan ternyata mnerupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu – satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakan, melainkan yang sanggup menentukan dunianya dan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukan tidak atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal yang tidak wajar.
Perhatikan ayat dibawah ini :
Katakanlah kebenaran tiba dari Tuhanmu, siapa yang mau percayalah ia, siapa yang mau janganlah nia percaya.
Buatlah apa yang kau kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kau perbuat.
Ayat diatas dengan terperinci memberi peluang kepada insan untuk secara bebas menentukan tindakanya berdasarkan kemauanya sendiri
b. Tanggung Jawab
Tanggung Jawab dalam kamus bahasa arab al-Fikr diterjemahkan yaitu Mas’ulun (مسؤول). Kata Mas’ulun (مسؤول) diartikan pertanggungan jawab. Dapat dipahami bahwa keterkaitan antara kata Iltizam dan Mas’ulun yaitu sama-sama mempunyai makna tanggung jawab. Jika kedua kata tersebut digabungkan menyerupai yang tertera dalam kamus bahasa arab al-Munawwir yaitu إلتزام المسؤليّة memiliki arti pertanggungjawaban.
Kata مسؤول atau مسؤولية dijelaskan didalam kamus Munjid sebagai berikut :
ما يكون به الإنسان مسؤولا ومطالبا من امور او افعالٍ ااتاها
“Manusia bertanggung jawab dan dituntut dari perkara, pekerjaan ataupun yang lainnya yang dilakukannya”.
Allah SWT berfirman mengenai kandungan makna tanggung jawab ;
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS.17.36).
Mata yang dimiliki sehingga sanggup melihat dan mengindentifikasi sesuatu, kemudian pendengaran yang miliki sehingga sanggup mendengarkan kebaikan untuk ditransformasikan ke dalam hati dan fisik manusia, serta kalbu yang miliki sehingga sanggup merasakan, memutuskan, dan menjatuhkan pilihan dimana esensi insan terletak pada kalbunya, semua ini yakni sarana yang telah dianugerahkan Allah SWT dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya.
Tanggung jawab berdasarkan kamus umum bahasa Indonesia yakni keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab yakni kesadaran insan akan tingkah laris atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Dalam hukum, tanggung jawab sangat terkait dengan hak dan kewajiban. Islam menganjurkan tanggung jawab semoga bisa mengendalikan diri dari tindakan melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan. Tanggung jawab bersifat luas lantaran meliputi kekerabatan insan dengan manusia, lingkungan dan Tuhannya. Oleh Najmudin Ansorullah, Setiap insan harus sanggup mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Seorang mukallaf (baligh dan berakal) dibebani tanggung jawab keagamaan melalui pertanggung-jawaban insan sebagai pemangku amanah Allah di muka bumi (khalifah fi al-ardl).Tanggung-jawab tersebut perlu diterapkan dalam aneka macam bidang. Dalam ekonomi, pelaku usaha, perusahaan atau tubuh perjuangan lain bertanggung-jawab mempraktekannya di dalam lapangan pekerjaan, yaitu tanggung jawab kepada Allah atas sikap dan perbuatannya yang meliputi: tanggung jawab kelembagaan, tanggung jawab aturan dan tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab yakni sesuatu yang harus kita lakukan semoga kita mendapatkan sesuatu yang di namakan hak. Tanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat penting dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, lantaran tanpa tanggung jawab, maka semuanya akan menjadi kacau. Jika kita melalaikan tanggung jawab, maka kualitas dari diri kita mungkin akan rendah. Maka itu, tanggung jawab yakni suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan, lantaran tanggung jawab menyangkut orang lain dan terlebih diri kita.
Dalam tanggung jawab sosial, seseorang (secara moral) harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap masyarakat apabila melaksanakan perbuatan tercela. Tanggung jawab sosial ini diiringi norma-norma sosial, karenanya rasa aib dalam diri seseorang sanggup memperkuat tanggung jawab sosialnya. Buchari Alma menyebutkan karakteristik tanggung jawab pekerjaan ialah hasil pekerjaan barang atau jasa perlu dijaga mutunya supaya jangan hingga mengecewakan konsumen. Untuk menghasilkan produk bermutu tinggi, perlu peningkatan kualitas pekerjanya itu sendiri, lantaran ia merupakan pelaku utama dalam menghasilkan produk bermutu. Artinya, dalam lapangan pekerjaan, produk barang bermutu dan pekerja yang memiliki SDM tinggi merupakan hal yang tak sanggup dipisahkan. Lebih jauh lagi, pekerja berkualitas yakni pekerja yang beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur, penuh pengabdian dan tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani serta mempunyai keterampilan (skill) dalam bidang garapannya.
Di samping itu, dibutuhkan tanggung jawab kuantitas perhitungan angka (accountability), lantaran pertanggung-jawaban bukan hanya pada pimpinan tetapi bertanggung-jawab kepada Tuhan. Manusia harus konsisten untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya (ekologi), lantaran insan berada pada dinamika keduanya. Dunia bisnis hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan bisnis tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Seorang pebisnis atau perusahaan mempunyai tanggung-jawab sosial, lantaran bisnis tidak terbatas hingga menghasilkan barang atau jasa kepada konsumen dengan harga murah, tapi berdasarkan Bucari Alma, dipengaruhi oleh etik, peraturan dan agresi konsumen. Selain dengan masyarakat, perusahaan bertanggung-jawab melindungi konsumen melalui pertimbangan dampak terhadap lingkungan hidup. Hal ini, lantaran banyak perusahaan yang sering melaksanakan tindakan kurang seimbang, lantaran tidak memperdulikan lingkungan dengan memproduksi barang tak bermutu, cukup sekali buang, masakan mengandung beracun, limbah dan lainnya. Kesemuanya itu sanggup membunuh (masyarakat) konsumen secara perlahan-lahan.
c. Hak
Suatu yang musti bagi insan ialah hak dan apa yang diberatkan kepadanya disebut wajib, keduanya bersambung antara satu dengan lainnya, maka tiap-tiap hak yakni wajib bahkan dua kewajiban, pertama wajib bagi insan untuk menghormati hak orang lain dan tidak mengganggunya, Kedua wajib bagi yang mempunyai hak semoga mempergunakan haknya untuk kebaikan dirinya dan kepada manusia. Kewajiban yang kedua ini pada umumnya kurang menerima perhatian, lantaran pandangan mereka ditujukan kepada wajib berdasarkan undang-undang dan bukan wajib berdasarkan Etika (Akhlak).
Dilihat dari segi obyek dan hubunganya dengan akhlak, hak itu secara garis besar sanggup dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu hak hidup, hak mendapatkan perlakuan hukum, hak menyebarkan keturunan (hak kawin), hak milik, hak mendapatkan nama baik, hak kebebasana berfikir dan hak mendapatkan kebenaran, semua hak itu tidak sanggup diganggu gugat, lantaran merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan Tuhan kepada manusia, lantaran yang berhak mencabut hak-hak tersebut hanyalah Tuhan. Selanjutnya jikalau insan dihukum, atau dirampas harta bendanya, dijajah da lain sebagainya, bisa saja dibenarkan jikalau yang bersangkutan melaksanakan pelanggaran. Dan hal ini tidak berarti merampas hak orang lain
Hak asasi insan itu dalam masyarakat diperlakukan secara diskriminatif. Terhadap kelompok yang satu diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan melaksanakan usahanya di bidang materi, sedangkan pada kelompok yang lainnya dibatasi dan tidak diberikan peluang untuk berusaha. Berkenaan dengan ini maka pada tahun 1948 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan pernyataan kedua ihwal hak asasi insan (Declaration of The Human Right). Dalam pernyataan tersebut dikemukakan bahwa hak itu berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan itu pada dasarnya bertumpuh pada budi pekerti. Pernyataan hak asasi ini sanggup dikatakan merupakan kesadaran umat insan terhadap nilai kemanusiaannya. Dengan demikian adanya pernyataan tersebut mempunyai misi pelaksaan aliran moral dan akhlak. Dan disinilah letak kekerabatan problem hak-hak insan dengan akhlak.
d. Kewajiban
Oleh lantaran hak itu merupakan wewenang, bukan berujud kekuatan, maka perlu ada penegak aturan melindungi yang lemah, yaitu orang yang tidak sanggup melaksanakan haknya yang merintangi pelaksanaan haknya.
Selanjutnya lantaran hak itu merupakan wewenang dan bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain hak itu menjadikan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat yang sama pada dirinya, dan dengan demikian akan terpeliharalah pelaksanaan hak asasi insan itu.
Dengan demikian problem kewajiban memegang peranan penting dalam pelaksanaan hak. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa kewajiban di sinipun bukan merupakan keharusan fisik, tetapi tetap berwajib, yaitu wajib yang berdasarkan kemanusiaan, lantaran hak yang merupakan alasannya yakni timbulnya kewajiban itu juga berdasarkan kemanusiaan. Dengan demikian orang yang tidak memenuhi kewajibannya bererti mempermainkan kemanusiaannya. Sebaliknya orang yang melaksanakan kewajiban berarti telah melaksanakan sikap kemanusiaannya. Hukum syara’, yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jikalau ditinggalkan akan mendapatkan siksa. Dengan kata lain bahwa kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaan hak yang diwajibkan oleh Allah. Melaksanakan shalat lima waktu, membayar zakat bagi orang yang mempunyai harta tertentu dan hingga batas nisab, dan berpuasa di bulan Ramadhan contohnya yakni merupakan kewajiban. Dan oleh bunyi hati. Ulama adat berselisih bahwa bagaimana membagi-bagi wajib, diantara mereka ada yang menyatakan bahwa wajib itu sanggup di bagi menjadi :
1. Kewajiban perseorangan, yaitu kewajiban perseorangan kepada dirinya sendiri menyerupai keperwiraan dan kebersihan.
2. Kewajiban kemasyarakatan, yaitu berarti kewajiban seseorang kepada masyarakatnya, menyerupai adil dan berbuat baik.
3. Kewajiban kepada Tuhan (Allah), menyerupai taat.
e. Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik yakni terjemah dari kata khair dalam bahasa arab atau good dalam bahasa inggris. Louis ma’luf dalamm kitabnya, munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik yakni sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementaara itu dalam Webster New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik yakni sesuatu yang menjadikan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga yakni sesuatu yang punya nilai kebenarana atau nilai yang diharapkan, yang memperlihatkan kepuasan. Yang baik itu juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik sanggup pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memperlihatkan perasaan senang atau bahagia.
Beberapa kutipan tersebut di atas menggambarkan bahwa yang disebut baik atau kebaikan yakni segala sesuatu yang berafiliasi dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan, dan disukai manusia. Definisi kebaikan tersebut terkesan antrhopocentris, yakni memusat dan bertolak dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia.
Mengetahui sesuatu yang baik sebagaimana disebutkan di atas akan memperrmudah dalam mengetahui yang buruk. Dalam bahasa arab, yang jelek itu dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatun yang tidak baik, yang tidak menyerupai yang seharusnya, tak tepat dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak sanggup disetujui, tidak sanggup diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma – norma masyarakat yang berlaku. Dengan demikian yang dikatakan jelek itu yakni sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
Baik dan jelek berdasarkan aliran agama islam
Ajaran islam yakni aliran yang bersumberkan wahyu Allah SWT. Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis nabi muhammad SAW. Masalah adat dalm aliran islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimanatelah diuraikan pada bab terdahulu. Menurut aliran islam penentuan baik dan jelek harus didasarkan oleh petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Jika kita perhatikan al-Quran dan al-hadis sanggup dijumpai aneka macam istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik contohnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu islam memperlihatkan tolak ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan adat dalam islam gres dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan bahwasanya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar lapang dada lantaran Allah. Untuk itu peranan lapang dada sangat penting. Allah berfirman :
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
f. Kebaikan dan Kebahagiaan
“Baik” berdasarkan etika yakni sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak mempunyai kegunaan bagi tujuan yakni buruk. Pengertian baik dan jelek ini ada yang bersifat subyektif dan relatif artinya baik bagi seseorang atau golongan namun belum tentu baik bagi orang atau golongan lain. Akan tetapi secara obyektif, walaupun tujuan orang-orang atau golongan itu berbeda-beda, sesungguhnya pada jadinya semua tujuan yakni sama,yaitu sebagai tujuan selesai dari segala yang dicitakan. Atau dengan kata lain, semua lapangan acara insan walaupun beebeda-beda, semuanya bermuara pada satu tujuan yang dinamakan baik dan bahagia. Tujuan yang selesai dan sama ini dalam etika disebut dengan "kebaikan tertinggi", disebut juga dengan "kebahagiaan universal"(Rahmat J,sistem ethika islami,1985).
Istilah “baik” sering digunakan dalam etika dan perlu dijelaskan. Istilah baik menunjuk kepada yang mempunyai kualitas yang diinginkan, memuaskan sesuatu hajat dan bernilai untuk manusia. Pernyataan ini sesuai dengan etika yang didasarkan atas nilai dan yang menjadikan kebaikan sebagai konsep etika pusat. Teori-teori teleologi menopang pandangan bahwa tindakan yang benar harus memberi derma kepada kebaikan insan dan dunia.
Sedangkan kebahagiaan, Bothius memperlihatkan defenisi, yakni suatu keadaan yang menciptakan tepat dengan terkumpulnya seluruh kebaikan (a state made perfect by the aggregate of all good things). Thomas Aquinas memberi defenisi berbeda. Ia berkata bahwa kebahagiaan yakni suatu kebaikan tepat yang meninabobokkan seluruh cita-cita nafsu (the perfect good with lulls the appetite altogether).
Dengan menyimak pernyataan diatas maka sanggup diambil suatu pengertian bahwa kebahagiaan yakni cita-cita yang terpuaskan lantaran disadari mempunyai sesuatu yang baik. Seseorang itu senang sempurna, lantaran ia secara utuh mempunyai yang baik yang sempurna. Kebahagiaan tepat itu tiba dari hal yang sepenuhnya memuaskan segala cita-cita kita.
Adapun yang dimaksud dengan kesenangan hidup berdasarkan Plato, bukanlah memuaskan hawa nafsu didunia ini. kesenangan hidup diperoleh dengan pengetahuan yang tepat ihwal barang-barang yang dituju. Dibawah pandangan gres kebaikan orang harus mencapai terlaksananya keadilan dalam pergaulan hidup. Baik tidaklah berarti tidak berbuat tidak adil. Mereka yang berbuat adil lebih celaka dari mererka yang merugikan karenanya.
Alat untuk mencapai kebahagiaan berdasarkan Aristoteles yakni rasio. Menurutnya, kebaikan tertinggi sanggup dicapai dalam kesendirian dan renungan pikiran (kontemplatif). Kebaikan tertinggi itu yakni keutamaan tertinggi lantaran ia berafiliasi dengan akal. Kalau nalar telah terlatih akan dapatlah nalar itu memberi arah kepada kehidupan sehingga mencapai keunggulan dan oleh alasannya yakni itu pula kebahagiaan sanggup dicapai. Inilah arti bahwasanya dari perwujudan dari hakikat insan itu sendiri. Kebajikan intelektual bagi Aristoteles tinggi nilainya lantaran dasarnya yakni pengetahuan ihwal prinsip-prinsip etis, sedangkan kebajikan etis yang menguasai perasaan yang dalam yakni hasil dari cara hidup yang baik dengan jalan pembetukan kebiasaan berpikir, berkemauan dan berbuat baik secara sadar. Tidak ada kebahagiaan dalam kegembiraan yang tidak bernilai baik. Karena kebahagiaan itu identik dengan kebaikan. Karena kebaikan terkandung menyatu dalam kebahagiaan.
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com