BAB I
PENDAHULUAN
Lembaga pendidikan sebagai forum yang bergerak di bidang jasa mempunyai sebuah kekhasan yaitu pemberi (subjek) dan peserta (objek) sikap di forum ini ialah individu manusia. Individu yang menjadi subjek pada forum pendidikan dikenal sebagai guru dan staf kependidikan, sementara individu yang menjadi objeknya disebut siswa/murid/peserta didik.
Perilaku individu yang berbeda satu dengan yang lainnya perlu dipahami oleh pengelola pendidikan, untuk itu seorang pemimpin pengelola pendidikan haruslah bisa memahami sikap tiap individu guru dan staf di forum yang dipimpinnya untuk bisa menemukan gaya kepemimpinan yang sempurna biar seluruh potensi guru dan staf sanggup dioptimalkan untuk mewujudkan kinerja terbaik. Di sisi lain, guru haruslah bisa memahami sikap tiap individu siswa di kelasnya biar bisa menemukan gaya mengajar yang sempurna biar potensi siswa sanggup muncul dan berkembang.
Hal ini tergantung pada hal-hal yang bisa memotivasi tiap-tiap individu tersebut untuk berperilaku serta mengelola dan menindaklanjuti motivasi tersebut.
Motivasi ialah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan / tingkah laris untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan / keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. (Drs. Moh. Uzer Usman : 2000).
Dalam makalah ini akan dibahas aneka macam teori motivasi yang sanggup dipakai sebagai wawasan bagi pengelola pendidikan untuk melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian pendidikan di lembaganya.
BAB II
ISI
A. TEORI MOTIVASI
Terdapat beberapa pengertian motivasi, Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan perjuangan untuk mencapai suatu tujuan. Samsudin (2005) memperlihatkan pengertian motivasi sebagai proses mensugesti atau mendorong dari luar terhadap seseorang atau kelompok kerja biar mereka mau melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Motivasi juga sanggup diartikan sebagai dorongan (driving force) dimaksudkan sebagai desakan yang alami untuk memuaskan dan memperahankan kehidupan.
Mangkunegara (2005,61) menyatakan “motivasi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan dalam menghadapi situasi kerja di perusahaan (situation). Motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan yang pro dan positif terhadap situasi kerja itulah yang memperkuat motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja maksimal”. Motivasi ialah suatu perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. (Mr. Donald : 1950).
Motivasi ialah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif menjadi perbuatan / tingkah laris untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan / keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan. (Drs. Moh. Uzer Usman : 2000).
Adapun mengenai bagaimana motivasi ini sanggup timbul dari seorang individu dijelaskan oleh aneka macam teori yang berkembang mulai tahun 1950.
A. 1. TEORI HIRARKI KEBUTUHAN MASLOW
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada pada dasarnya berkisar pada pendapat bahwa insan mempunyai lima tingkat atau hirarki kebutuhan, yaitu :
(1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), menyerupai : rasa lapar, haus, istirahat dan sec;
(2) kebutuhan rasa kondusif (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual;
(3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs);
(4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam aneka macam simbol-simbol status; dan
(5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk membuatkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berkembang menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang kala diklasifikasikan dengan cara lain, contohnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan pembagian terstruktur mengenai kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara menciptakan pembagian terstruktur mengenai kebutuhan insan itu, yang terang ialah bahwa sifat, jenis, dan intensitas kebutuhan insan berbeda satu orang dengan yang lainnya lantaran insan merupakan individu yang unik. Juga terang bahwa kebutuhan insan itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman perihal unsur insan dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” sanggup diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman perihal aneka macam kebutuhan insan makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diharapkan lantaran pengalaman memperlihatkan bahwa perjuangan pemuasan aneka macam kebutuhan insan berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa lebih sempurna apabila aneka macam kebutuhan insan digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
· Kebutuhan yang satu dikala sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;
· Pemuasaan aneka macam kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
· Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi sanggup berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow perihal teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memperlihatkan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.

A.2.TEORI PRESTASI MCCLELLAND
Teori kebutuhan McClelland (McClelland’s Theory of needs) dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan, yaitu kebutuhan pencapaian (need for achievement/n-Ach), kebutuhan kekuasaan (need for power/n-Pow), dan kebutuhan hubungan (need for affiliation/n-Aff).
Teori kebutuhan McClelland menyatakan bahwa pencapaian, kekuasaan/kekuatan, dan hubungan merupakan tiga kebutuhan penting yang sanggup membantu menjelaskan motivasi. Kebutuhan pencapaian merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, dan berjuang untuk berhasil. Kebutuhan kekuatan sanggup menciptakan orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya, dan kebutuhan hubungan merupakan keinginan antarpersonal untuk sanggup berafiliasi secara ramah dan bersahabat dalam lingkungan organisasi.
McClelland menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai dorongan yang kuat untuk berhasil. Dorongan ini mengarahkan individu untuk berjuang lebih keras untuk memperoleh pencapaian pribadi ketimbang memperoleh penghargaan. Hal ini kemudian menimbulkan ia melaksanakan sesuatu yang lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Mcclelland menyatakan bahwa terdapat tiga dorongan yang didasari dari kebutuhan tiap individu yang sanggup dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan pertama ini sanggup disebut sebagai n-Ach yaitu kebutuhan akan pencapaian.
2. Kebutuhan kekuatan (n-Pow) merupakan keinginan untuk mempunyai pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain. Dalam bahasa sederhana, ini ialah kebutuhan atas kekuasaan dan otonomi. Individu dengan n-Pow tinggi, lebih suka bertanggung jawab, berjuang untuk mensugesti individu lain, bahagia ditempatkan dalam situasi kompetitif, dan berorientasi pada status, dan lebih cenderung lebih khawatir dengan wibawa dan efek yang didapatkan ketimbang kinerja yang efektif.
3. Kebutuhan ketiga yaitu n-Aff ialah kebutuhan untuk memperoleh hubungan sosial yang baik dalam lingkungan kerja. Kebutuhan ini ditandai dengan mempunyai motif yang tinggi untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif (dibandingkan kompetitif), dan menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat pengertian mutual yang tinggi.
McClelland menyampaikan bahwa kebanyakan orang mempunyai dan memperlihatkan kombinasi tiga karakteristik tersebut, dan perbedaan ini juga mensugesti bagaimana gaya seseorang berperilaku.
|

A.3.TEORI X Y MC GREGOR
Douglas McGregor yang menyatakan bahwa ada dua pandangan perihal insan : yang pertama pada dasarnya negatif (teori-X) dan kedua pada dasarnya positif (teori-Y). McGregor berkesimpulan bahwa pandangan seorang manajer perihal sifat insan didasarkan atas pengelompokan perkiraan tertentu dan manajer cenderung menyesuaikan perilakunya terhadap bawahannya sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut .
Ada empat perkiraan yang dianut oleh para manajer dalam teori-X, yaitu :
a) Pada dasarnya insan tidak menyukai pekerjaan, kalau mungkin berusaha menghindarinya.
b) Karena insan tidak menyukai pekerjaan, maka mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan eksekusi untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
c) Manusia akan mengelakkan tanggung jawab dan mencari pengarahan yang formal sepanjang hal itu terjadi.
d) Kebanyakan insan menempatkan rasa kondusif di atas faktor lain yang berafiliasi dengan pekerjaan yang akan memperlihatkan sedikit ambisi.
Sedangkan pandangan yang positif (teori-Y) ialah :
a) Manusia melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang biasa menyerupai halnya istirahat dan bermain.
b) Manusia akan memilih arahnya sendiri dan mengendalikan diri, kalau mereka merasa terikat kepada suatu tujuan.
c) Rata-rata insan sanggup berguru untuk mendapatkan dan mencari tanggung jawab.
d) Kreativitas-kemampuan untuk menciptakan keputusan-keputusan yang baik-tersebar luas pada seluruh populasi dan tidak selalu merupakan hak dari mereka yang menduduki fungsi manajerial.
Implikasi dari teori-X dan teori-Y terhadap teori organisasi, McGregor berargumentasi bahwa perkiraan teori-Y lebih disukai dan sanggup membimbing para manajer dalam merancang organisasi mereka serta sanggup memotivasi pegawai-pegawainya. Secara singkat teori ini menyatakan dua pandangan yang terang berbeda mengenai manusia, pada dasarnya satu negatif (teori X) yang mengandaikan bahwa kebutuhan order rendah mendominasi individu, dan satu lagi positif (teori Y) bahwa kebutuhan order tinggi mendominasi individu.
A.4. TEORI MOTIVASI ERG
Clayton Aldefer ialah seorang psikolog asal Amerika Serikat yang mengumukakan teori ERG, dimana teori ini merupakan simplikasi dan pengembangan lebih lanjut dari teori hirarki kebutuhan yang di kemukakan oleh Maslow.
· E (Existence atau keberadaan)
· R (Relatedness atau hubungan)
· G (Growth atau pertumbuhan)
Ketiga kebutuhan pokok insan ini diurai Aldelfer sebagai simplifikasi teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow sebagai berikut:
1) Existence atau keberadaan ialah suatu kebutuhan akan tetap bisa hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan tingkat rendah dari Maslow yaitu meliputi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman.
2) Relatedness atau hubungan meliputi kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan ini sesuai dengan kebutuhan afiliasi dari Maslow.
3) Growth atau pertumbuhan ialah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk mempunyai efek yang kreatif dan produktif terhadap diri sendiri atau lingkungan. Realisasi dari kebutuhan penghargaan dan perwujudan diri dari Maslow.
Teori ERG merupakan teori motivasi yang yang menitik beratkan pemahaman terhadap sikap individu. Hal ini merupakan salah satu dari empat faktor pendekatan yang mempertimbangkan faktor intrinsic yang menimbulkan seseorang mengambil tindakan tertentu (Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2008).
![]() |
Gambar A.4. Teori Motivasi ERG
Menurut teori ERG, sanggup saja makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya. Aspek frustasi- regresi Teori ERG mempunyai imbas perhiasan pada motivasi kerja. Misalnya kalau seorang insan tidak diberi kesempatan pertumbuhan dan kemajuan dalam sebuah organisasi, ia mungkin kembali untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi, kalau lingkungan atau keadaan tidak memungkinkan, ia mungkin kembali ke kebutuhan akan uang untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi.
Sebagaimana halnya dengan Teori Hirarki Kebutuhan yang di kemukakan oleh Abraham Maslow, teori dari Clayton Alderfer juga beropini bahwa kebutuhan insan tersusun dalam suatu hirarki. Akan tetapi Aldelfer tidak sependapat dengan Maslow yang menyatakan bahwa suatu kebutuhan harus terpuaskan terlebih dahulu sebelum tingkat kebutuhan diatasnya muncul.
Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow menganggap bahwa kebutuhan insan tersusun atas lima tingkatan, maka Teori ERG menganggap bahwa kebutuhan insan mempunyai tiga hirarki yaitu :
a) Existence (eksistensi); Kebutuhan akan pemberian persyaratan keberadaan materil dasar (kebutuhan psikologis dan keamanan).
b) Relatednes (keterhubungan); Hasrat yang dimiliki untuk memelihara hubungan antar pribadi (kebutuhan sosial dan penghargaan).
c) Growth (pertumbuhan) ; Hasrat kebutuhan intrinsik untuk perkembangan pribadi (kebutuhan aktualisasi diri).
A.5. TEORI MOTIVASI 2 FAKTOR
Frederick Herzberg (Hasibuan, 1990 : 177) mengemukakan teori motivasi berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Menurut teori ini ada dua faktor yang mensugesti kondisi pekerjaan seseorang, yaitu:
1. Faktor kebersiahan (higiene faktor), ialah faktor pekerjaan mereka yang penting adanya motivasi ditempat kerja. Ini tidak mengarah positif untuk jangka panjang. Tetapi kalau faktor ini tidak ada ditempat kerja mereka, maka menimbulkan ketidak puasan bagi pekerja. Dengan kata lain faktor kebersihan ialah faktor-faktor yang masuk akal dalam pekerjaan, menenangkan karyawan dan tidak menciptakan mereka puas. Faktor higiene juga disebut sebagai dissatisfiers atau faktor pemeliharaan menyerupai yang diharapkan untuk menghindari ketidak puasan. Faktor-faktor ini menggambarkan lingkungan kerja. Faktor kebersihan melambangkan kebutuhan fisiologis dimana yang diinginkan individu dan yang diharapkan individu terpenuhi. Faktor higienis meliputi :
a. Bayaran atau struktur honor harus sesuai dan masuk akal. Ini harus sama dan kompetitif dengan industri yang sama di domain yang sama.
b. Kebijakan perusahaan dan manajemen kebijakan perusahaan dilarang terlalu kaku. Harus adil dan jelas. Ini harus meliputi jam kerja, pakaian kerja, istirahat, liburan, dan lain sebagainya.
c. Tunjangan, para karyawan harus diberikan planning perawtan kesehatan, manfaat bagi anggota keluarga, jadwal pertolongan karyawan dan lain sebagainya.
d. Kondisi fisik daerah kerja, kondisi daerah kerja harus aman, bersih, higienis, peralatan kerja harus diperbaharui dan dilakukan perawatan.
e. Status, status karyawan dalam organisasi harus bersahabat dan dipertahankan.
f. Hubungan interpersonal, hubungan antar karyawan dengan atasan dan bawahannya harus sesuai dan sanggup diterima(harmonis), seharusnya tidak ada konflik dan tidak ada penghinaan antar karyawan.
g. Keamanan dalam bekerja, organisasi harus memperlihatkan keamanan setiap karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
2. Faktor motivasi, berdasarkan Herzbergs faktor bersih tidak sanggup dianggap sebagai faktor motivator. Faktor motivasi menghasilkan kekuatan positif, faktor-faktor ini menempel untuk bekerja. Faktor ini memotivasi para karyawan untuk memperlihatkan kinerja yang optimal bagi organisasi. Faktor motivasi meliputi :
a. Pengakuan, para karyawan harus dipuji dan diakui untuk prestasi mereka oleh manajer.
b. Reward , bagi karyawan yang melampaui pencapaian dan sasaran dari kiprah yang diberikan, maka manajer memperlihatkan reward bagi mereka.
c. Pertumbuhan dan ruang promosi, harus ada peluang pertumbuhan dan kemajuan dalam sebuah organisasi guna memotivasi karyawan untuk memperlihatkan kinerja yang baik.
d. Tanggung jawab, karyawan harus bertanggung jawab atas kiprah yang dimiliki, manajer harus memperlihatkan mereka kepemilikan pekerjaan. Mereka harus meminimkan kontrol tetapi mempertahankan akuntabilitas.
e. Kebermaknaan pekerjaan, pekerjaan itu sendiri harus bermakna, manarik dan menantang bagi karyawan untuk melaksanakan dan mendapatkan motivasi.
![]() |
Gambar A.5.a Teori Motivasi 2 Faktor Herzberg
Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya memakai kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (dalam Sondang, 2002 : 107).
Adapun yang merupakan faktor motivasi berdasarkan Herzberg adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), akreditasi orang lain (ricognition), tanggung jawab (responsible).
Menurut Herzberg faktor hygienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi kalau faktor-faktor ini dianggap tidak sanggup memuaskan dalam aneka macam hal menyerupai honor tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu sanggup menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995 : 139).
Sedangkan faktor motivation/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Kaprikornus pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999 : 13).
Kaitannya dengan teori motivasi yang di kemukakan oleh Maslow, Herzberg membagi kebutuhan Maslow menjadi dua bab yaitu kebutuhan tingkat rendah (fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (prestise dan aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi individu ialah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.
![]() |
Gambar A.5.b. Teori Kebutuhan Maslow dan Teori 2 Faktor Herzberg
Dalam Hal ini terdapat beberapa perbedaan pandangan yang di kemukakan Maslow maupun Herzberg di antaranya :
1. Teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di daerah ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow contohnya berlaku makro yaitu untuk insan pada umumnya.
2. Teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan berdasarkan Maslow.
Adapun implementasi teori dua factor ini ialah Para manajer harus menjamin faktot kebersihan untuk menghindari ketidakpuasan karyawan. Para manajer harus memastikan bahwa kiprah yang diberikan sanggup merangsang dan memotivasi para karyawan untuk bekerja lebih ulet dan lebih baik. Manajer harus memperlihatkan motivasi kerja biar pekerjan yang dilakukan karyawannya lebih baik.
A.6. TEORI MOTIVASI HARAPAN
Teori harapan kadang disebut teori ekspektansi atau expectancy theory of motivation dikemukakan oleh Victor Vroom pada tahun 1964. Vroom lebih menekankan pada faktor hasil (outcomes), ketimbang kebutuhan (needs) menyerupai yang dikemukakan oleh Maslow and Herzberg. Vroom dalam Koontz, 1990 menyampaikan bahwa orang-orang akan termotivasi untuk melaksanakan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan apabila mereka yakin bahwa tindakannya tersebut akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut.
Harapan ialah keyakinan bahwa upaya yang lebih baik akan menghasilkan kinerja yang lebih baik. Harapan dipengaruhi oleh faktor-faktor menyerupai kepemilikan keterampilan yang sesuai untuk melaksanakan pekerjaan, ketersediaan sumberdaya yang tepat, ketersediaan informasi penting dan mendapatkan dukunag yang diharapkan untuk menuntaskan pekerjaan. Jadi, impian seseorang mewakili keyakinan seorang individu bahwa tingkat upaya tertentu akan diikuti oleh suatu tingkat kinerja tertentu.
Sehubungan dengan tingkat impian seseorang, Craig C. Pinder (1948) dalam bukunya Work Motivation beropini bahwa ada beberapa faktor yang mensugesti tingkat impian atau ekspektansi seseorang, yaitu:
a. Harga diri
b. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas
c. Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan
d. Informasi yang diharapkan untuk melaksanakan suatu kiprah
e. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja
Teori ini menyatakan bahwa kekuatan yang memotivasi seseorang untuk bekerja ulet dalam mengerjakan pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal balik antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan dari hasil pekerjaan itu. Tiga perkiraan pokok Vroom dari teorinya ialah sebagai berikut :
1. Setiap individu percaya bahwa bila ia berprilaku dengan cara tertentu, ia akan memperoleh hal tertentu. Ini disebut sebuah impian hasil (outcome expectancy) sebagai penilaian subjektif seseorang atas kemungkinan bahwa suatu hasil tertentu akan muncul dari tindakan orang tersebut.
2. Setiap hasil mempunyai nilai, atau daya tarik bagi orang tertentu. Ini disebut valensi (valence) sebagai nilai yang orang berikan kepada suatu hasil yang diharapkan.
3. Setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai seberapa sulit mencapai hasil tersebut. Ini disebut impian perjuangan (effort expectancy) sebagai kemungkinan bahwa perjuangan seseorang akan menghasilkan pencapaian suatu tujuan tertentu.
Teori impian menekankan pada pikiran, harapan, dan perasaan individu pada dikala ia melaksanakan suatu tindakan dan akhir yang ditimbulkannya. Teori impian disebut juga EIV Theory, lantaran terdiri atas unsur expectancy (harapan), instrumentally (sarana), valence (valensi/nilai). Harapan (expectancy), merupakan keyakinan individu untuk memenuhi tingkat performa yang diharuskan dalam suatu pekerjaan. Individu yakin bahwa suatu sikap yang khusus akan diikuti oleh outcome tertentu. Sarana ( instrumentally), merupakan persepsi individu pada outcomes pada level pertama berhubungan dengan outcomes pada level kedua. Kemungkinan atau keyakinan seseorang akan mendapatkan ganjaran bila memenuhi tingkat performa tertentu dan mengindikasikan hal yang sama pada outcomes kedua. Nilai (valence), merupakan nilai yang diberikan seseorang terhadap hadiah (reward ) yang akan didapat dari hasil pekerjaannya (Berry dan Houston, 1993, et.al. Namira, 2010).
Teori impian memfokuskan analisisnya pada tiga jenis hubungan (Robbins, 2003, et.al. Namira 2010), yaitu :
a. Hubungan perjuangan dan kinerja; individu mempunyai persepsi bahwa sejumlah perjuangan yang dikeluarkan akan meningkatkan kinerja.
b. Hubungan kinerja dengan imbalan; individu meyakini bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu hasil yang diinginkan.
c. Hubungan imbalan dengan tujuan pribadi; sejauhmana imbalan dari organisasi memuaskan tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan seberapa besar daya tarik imbalan tersebut bagi yang bersangkutan.
Dengan kata lain, Vroom mendasarkan teorinya pada tiga perkiraan pokok, yakni: Pertama, setiap individu percaya bahwa ia berperilaku dengan cara tertentu, maka ia akan memperoleh hal tertentu (harapan hasil/outcome expectancy ). Kedua, setiap hasil itu mempunyai nilai atau daya tarik bagi orang tertentu (valence). Ketiga, setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai seberapa sulit mencapai hasil tersebut (harapan/ effort expectancy).
Dalam hal ini Victor Vroom (1994) yang pertama kali mengemukakan teori impian secara konseptual dengan mengajukan persamaan sebagai berikut:
![]() |
GAmbar A.6. Teori Harapan
Teori pengharapan beranggapan bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan itu sendiri, dan bahwa tindakan itu akan diikuti pula oleh suatu keluaran tertentu yang pada kesannya akan bermanfaat bagi individu tersebut. Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan ini mengatakan, seseorang dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya tersebut akan mengantarkannya pada suatu penilaian kinerja yang baik; suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional yang baik pula, yang akan memuaskan tujuan seseorang itu (Robbins, 2003, et.al. Kadji, 2012: 14) Ringkasnya, kunci dari teori impian ini ialah pemahaman mengenai tujuan-tujuan seorang individu dan keterkaitan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan ganjaran, dan kesannya antara ganjaran dan dipuaskannya tujuan individual. Sebagai suatu model kemungkinan (contingency model ), teori impian ini mengakui bahwa tidak ada asas yang universal untuk menjelaskan motivasi semua orang. Di samping itu, hanya lantaran kita memahami kebutuhan apakah yang dicari oleh seseorang untuk dipenuhi ebukan berarti bisa memastikan bahwa individu itu sendiri mempersepsikan kinerja tinggi pasti bisa mengantarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan dirinya (Kadji, 2012: 14).
Kelebihan Teori Harapan
· Teori impian mendasarkan diri pada kepentingan individu yang ingin mencapai kepuasan maksimal dan ingin meminimalkan ketidakpuasan.
· Teori ini menekankan pada impian dan persepsi, apa yang nyata dan aktual.
· Teori impian menekankan pada imbalan atau pay-off.
· Teori impian sangat fokus terhadap kondisi psikologis individu dimana tujuan simpulan dari individu untuk mencapai kesenangan maksimal dan menghidari kesulitan.
Keterbatasan Teori Harapan
· Teori impian sepertinya terlalu idealis lantaran hanya individu tertentu saja yang memandang hubungan tingkat tinggi antara kinerja dan penghargaan.
· Penerapan teori ini terbatas alasannya ialah tidak pribadi berkorelasi dengan kinerja di banyak organisasi. Hal ini terkait dengan parameter lain juga menyerupai posisi, tanggung jawab usaha, pendidikan, dan lain-lain.
Implikasi Teori Harapan
· Para manajer sanggup mengkorelasikan hasil yang lebih disukai untuk tingkat kinerja yang ditujukan.
· Para manajer harus memastikan bahwa karyawan sanggup mencapai tingkat kinerja yang ditujukan.
· Karyawan layak harus dihargai untuk kinerja luar biasa mereka.
· Sistem imbalan harus berlaku jujur dan adil dalam suatu organisasi.
· Organisasi harus merancang pekerjaan yang dinamis dan menantang.
· Tingkat motivasi karyawan harus terus dikaji melalui aneka macam teknik menyerupai kuesioner, wawancara personal, dan lain-lain.
A.7. TEORI MOTIVASI PENETAPAN TUJUAN
Dr. Edwin Locke pada simpulan tahun 1960, mengemukakan teori motivasinya yang dikenal dengan goal setting theory atau teori penetapan tujuan . Lewat publikasi artikelnya ‘Toward a Theory of Task Motivation and Incentives’ tahun 1968, Locke memperlihatkan adanya keterkaitan antara tujuan dan kinerja seseorang terhadap tugas. Dia menemukan bahwa tujuan spesifik dan sulit menimbulkan kinerja kiprah lebih baik dari tujuan yang mudah. Adapun faktor-faktor yang mensugesti tujuan-kinerja diantaranya yaitu :
1. Komitmen tujuan
2. Keefektifan diri yang memadai
3. Karakteristik tugas
4. Budaya nasional
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan mempunyai empat macam prosedur motivasional yakni :
b. Tujuan – tujuan mengarahkan perhatian
c. Tujuan – tujuan mengatur upaya
d. Tujuan – tujuan meningkatkan persistensi
e. Tujuan – tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.
Teori ini juga mengungkapkan kuat lemahnya tingkah laris insan ditentukan oleh sifat tujuan yang hendak dicapai. Kecenderungan insan untuk berjuang lebih keras mencapai suatu tujuan, apabila tujuan itu jelas, dipahami dan bermanfaat. Makin kabur atau makin sulit dipahami suatu tujuan, akan makin besar keengganan untuk bertingkah laku.Penetapan tujuan menyerupai halnya individu, kita memutuskan tujuan dan kemudian bekerja untuk menuntaskan tujuan tersebut. Orientasi terhadap tujuan memilih sikap kita.
Locke mengemukakan bahwa penetapan tujuan ialah proses kognitif dari keperluan praktis. Pandangan Locke ialah bahwa maksud dan tujuan individu yang didasari ialah determinan utama prilaku. Salah satu dari karakteristik prilaku yang mempunyai tujuan tersebut terus berlangsung hingga prilaku itu mencapai penyelesaiannya, yaitu sekali orang memulai sesuatu (misalkan pekerjaan) ia terus terdorong hingga tercapainya tujuan. Berikut uraian perihal penetapan tujuan :
a. tujuan ialah subjek suatu tindakan
b. keterincian tujuan (goal specifity) ialah tingkat presisi
c. kuantitatif/kejelasan tujuan tersebut
d. kesukaran tujuan (goal difficulty) ialah tingkat keahlian atau tingkat prestasi yang dicari
e. intensitas tujuan (goal intensity) ialah menyangkut proses penetapan tujuan atau memilih bagaimana mencapai tujuan tersebut
f. komitmen tujuan (goal commitment) ialah kadar perjuangan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan.
Teori ini dipakai pada individu untuk memutuskan sasaran pribadi terhadap motivasi yang ingin dicapai. Sasaran- sasaran pribadi mempunyai nilai kepentingan impian pribadi (valence) yang berbeda-beda.
B. PERENCANAAN PENDIDIKAN
Pendidikan berdasarkan Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat 1 ialah “Usaha sadar dan terjadwal untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran biar peserta didik secara aktif membuatkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, adat mulia, serta keterampilan yang diharapkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Dalam pengertian di atas terkandung tahap perencanaan sebagai upaya yang harus dilakukan dalam mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas. Adapun perencanaan sanggup diartikan sebagai proses penentuan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai serta pemilihan langkah dan sumber yang diharapkan guna mencapai tujuan atau sasaran tersebut secara efektif dan efisien. (Roger A. Kauffman, Educational System Planning, (New York: Prentice Hall Inc, 1972).
Tujuan perencanaan pendidikan adalah:
(1) untuk dijadikan standar pengawasan contoh sikap pelaksana pendidikan, yaitu untuk mencocokkan antara pelaksanaan atau tindakan pemimpin dan anggota organisasi pendidikan dengan jadwal atau perencanaan yang telah disusun
(2) untuk mengetahui kapan pelaksanaan perencanaan pendidikan itu diberlakukan dan bagaimana proses penyelesaian suatu kegiatan layanan pendidikan
(3) untuk mengetahui siapa saja yang terlibat (struktur organisasinya) dalam pelaksanaan jadwal atau perencanaan pendidikan, baik aspek kualitas maupun kuantitasnya, dan baik menyangkut aspek akademik-nonakademik;
(4) untuk mewujudkan proses kegiatan dalam pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan
(5) untuk meminimalkan terjadinya bermacam-macam kegiatan yang tidak produktif dan tidak efisien, baik dari segi biaya, tenaga dan waktu selama proses layanan pendidikan
(6) untuk memperlihatkan citra secara menyeluruh (integral) dan khusus (spefisik) perihal jenis kegiatan atau pekerjaan bidang pendidikan yang harus dilakukan
(7) untuk menyerasikan atau memadukan beberapa sub pekerjaan dalam suatu organisasi pendidikan sebagai ‘suatu sistem’;
(8) untuk mengetahui bermacam-macam peluang, hambatan, tantangan dan kesulitan yang dihadapi organisasi pendidikan
(9) untuk mengarahkan proses pencapaikan tujuan pendidikan
(Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Sagala, S. 2009).
Dalam tujuan perencanaan pendidikan terdapat beberapa poin yang berkaitan dengan sumber daya manusia. Untuk itu penting bagi pengelola pendidikan memahami sikap insan serta abjad lain manusia, di antaranya yang berafiliasi dengan motivasi.
Berbagai teori motivasi di atas sanggup diterapkan secara kontekstual di forum pendidikan sesuai karakteristik forum dan individu yang berada di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
Pemahaman mengenai teori motivasi penting untuk dimiliki forum pendidikan dalam rangka merencanakan pendidikan. Berbagai sumber daya yang terdapat di forum pendidikan sudah semestinya sanggup dioptimalkan demi tercapainya tujuan pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD 1945) dan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Utamanya sumber daya insan yang berperan sebagai subjek sekaligus objek dalam forum pendidikan perlu dipahami abjad dirinya, khususnya motivasi individu. Hal ini dimaksudkan biar seluruh potensi sanggup dioptimalkan demi mencapai tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
2. http://akmalyuhniani.blogspot.co.id/2014/04/teori-douglas-mc-gregor-dengan-teori-x
3. Winardi, 2001:69-93;
4. Sondang P. Siagian, 286-294;
5. Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190,
6. Fred Luthan,140-167
7. new.edulab.co.id/teori-teori-motivasi/, sanyagustiady1991, Mei 2012
8. Oteng Sutisna, 1983
10. Yudhawati, Ratna. (2011). Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher
11. S. Dhuhuriyah, Teori Expectancy Feeling (Harapan) Dalam Perspektif Psikologi Islam, https://www.academia.edu/8844204/Teori_Expectancy_Feeling_Harapan_Dalam_Perspektif_Psikologi_Islam, diakes 27 September 2016 pukul 16.15 WIB.
12. Kurnia Elqorni, Ahmad. 2009. Teori Motivasi dalam Manajemen SDM. http://elqorni.wordpress.com/2009/03/21/teori-motivasi-dalam-manajemen-sdm, diakses 27 September 2016 pukul 16.00 WIB.
13. Sulvisuardi, (2014). Goal Setting. https://sulvisuardi.com/tag/edwin-locke/ diakses 1 Oktober 2016 pukul 07.00 WIB
14. Mulyadi.(2014). Teori Motivasi.http://mulyadi52e.blogstudent.mb.ipb.ac.id/files/2014/11/OSDM-2-ERG_rev.pdf diakses 27 September 2016 pukul 16.30 WIB.