Friday, April 13, 2018

√ Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Gres Dan Reformasi

Bangsa Indonesia sudah mengalami beberapa rezim pemerintahan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dimulai dari masa setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga ketika ini bangsa Indonesia mengalami beberapa pergantian rezim dan pasang surut terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Era pasca kemerdekaan dinamakan dengan masa Orde Lama, kemudian dilanjutkan oleh masa Orde Baru dan berlanjut ke masa Reformasi. Dari sudut pandang politik, terdapat banyak sekali perbedaan keadaan dan perkembangan pada ketiga masa tadi. Berikut yakni klarifikasi lengkap mengenai Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi:

Perkembangan politik di masa pemerintahan orde lama

Orde Lama yakni sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia. Orde Lama berlangsung semenjak tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia memakai dua sistem ekonomi yaitu sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.

Orde usang sanggup dikatakan resmi dimulai semenjak 18 Agustus 1945 ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wapres dengan memakai konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya.

Setelah peresmian Soekarno dan Mohammad Hatta kemudian dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai dewan legislatif sementara hingga pemilu sanggup dilaksanakan.

KNIP kemudian mendeklarasikan pemerintahan gres pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri atas 8 provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Brunei, Sarawak dan Sabah), Sulawesi, Nusa Tenggara serta Maluku (termasuk Papua).
 Bangsa Indonesia sudah mengalami beberapa rezim pemerintahan dengan kelebihan dan kekuran √ Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Ilustrasi Pemilihan Umum Tahun 1955

Pada masa setelah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wapres No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang menurut demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat penerima perorangan.

Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur perihal pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang menerima pengukuhan dari pemerintah, antara lain yakni sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.

Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik sanggup terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan "Deklarasi Bogor".

Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalam Politik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
  • Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan sanggup diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950.
  • Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi absolut semenjak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno mengutarakan konsepnya perihal demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight.

Pada masa pemerintahan orde lama, indonesia mengalami bermacam-macam gejolak politik yang sangat mensugesti jalannya pemerintahan, diantaranya yakni sebagai berikut:

Demokrasi parlementer
Tidak usang setelah merdeka Indonesia mengadopsi undang-undang gres yang terdiri dari sistem dewan legislatif di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada MPR atau parlemen. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan setelah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil sulit dicapai.

Peran Islam di Indonesia juga menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih condong ke negara sekuler yang menurut Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih mengharapkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah kepingan yang menyaratkan umat Islam takluk kepada aturan Islam.

Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Jawa Barat, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya yang dimulai semenjak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk menyebarkan konstitusi baru, serta melemahkan sistem dewan legislatif Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memperlihatkan kekuatan presidensil yang besar.

Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang absolut di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, dan kebijakan tersebut didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Uni Timur / Soviet maupun Blok Barat / Eropa dan Amerika. Selain menyatakan dukungannya terhadap Soekarno, Para pemimpin tersebut juga berkumpul di Bandung pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Nasib Irian Barat
Pada ketika kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, sehingga indonesia harus mengambil Irian Barat lewat jalur militer, Pada 18 Desember pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian Barat yang kemudian terjadi kontak senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda biar oke melaksanakan perbincangan diam-diam dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, Sehingga Indonesia sanggup mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Barat pada 1 Mei 1963. 

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut yakni sebuah "Rencana Neo-Kolonial" untuk memuluskan rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan dibentuknya Federasi Malaysia dianggap soekarno akan memperluas imbas imperialisme negara-negara Barat di daerah Asia dan memperlihatkan celah kepada negara Australia dan Inggris untuk mensugesti perpolitikan regional Asia.

Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan mengijinkan Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian menimbulkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang didukung penuh oleh Inggris).

Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibuat Soekarno untuk memperkuat derma terhadap rezimnya dan, dengan restu dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Akan tetapi para petinggi militer menentang hal ini.

Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya perebutan kekuasaan yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat ketika itu, Mayjen Soeharto, menumpas perebutan kekuasaan dan berbalik melawan PKI. Soeharto kemudian memakai situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Kemudian lebih dari puluhan ribu orang yang dituduh PKI kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 diprediksi mencapai 500.000.

Perkembangan politik di masa pemerintahan orde baru

Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut ialah melarang PKI berikut ideologinya untuk badan dan berkembang di Indonesia dan mengukuhkan Supersemar. Dari ketetapan tersebut, berakibat pada setiap orang yang pernah terlibat dalam acara PKI ditahan, diadili, diasingkan atau dieksekusi. Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam jadwal politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
  1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
  2. Sedangkan konsensus kedua yakni konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan kepingan yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.

Mengawali masa orde baru, setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Selanjutnya dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), kemudian disusul peresmian Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden. 

Visi utama dari pemerintahan Orde Baru ini yakni untuk sanggup menjalankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan sanggup konsekuen didalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Dengan kehadiran visi tersebut, Orde Baru sanggup memperlihatkan sebuah cita-cita bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama yang telah berkaitan dengan suatu perubahan politik, dari yang mempunyai sifat absolut yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno biar menjadi lebih demokratis.

Harapan dari rakyat tersebut tentu saja mempunyai dasar. Presiden Soeharto yang dianggap sebagai tokoh utama masa Orde Baru ini dipandang rakyat sebagai sesosok jagoan yang bisa mengeluarkan sebuah bangsa ini biar sanggup keluar dari keterpurukan. Hal ini sanggup dianggap demikian alasannya ia berhasil membubarkan kelompok komunis yaitu PKI, yang pada waktu itu telah dijadikan musuh utama di negeri ini. Selain itu, ia juga telah berhasil membuat keadaan stabilitas keamanan di negeri ini pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan waktu yang relatif singkat. Itulah yang menimbulkan beberapa anggapan yang mendasari kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Orde Baru ini di bawah kepimpinan Presiden Soeharto.

Tetapi kemudian cita-cita rakyat tersebut tidak sepenuhnya sanggup terwujud. Karena apabila dilihat dan dirasakan sejatinya di dalam negeri ini tidak ada perubahan yang substantif dari suatu kehidupan politik di Indonesia. Antara masa Orde Baru maupun masa Orde Lama sejatinya sama-sama otoriter. Di dalam perjalanan politik dari pemerintahan Orde Baru, kekuasaan dari Presiden merupakan semua sentra dari seluruh proses perpolitikan di Indonesia.

Lembaga Kepresidenan juga merupakan pengontrol yang utama dari forum negara lainnya baik itu yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, MA, BPK dan DPA) maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, Partai Politik, dan sebagainya). Selain itu, Presiden Soeharto juga mempunyai sejumlah legalitas yang tidak sanggup dimiliki oleh siapapun menyerupai Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan, maupun Panglima Tertinggi dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Perkembangan politik di masa Reformasi

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 sanggup dikatakan sebagai tanda balasannya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan di masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang menyampaikan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh alasannya itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka kemungkinan guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan aturan merupakan jadwal yang tidak sanggup ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi jadwal pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan keprihatinan dan kejutan.
  • Pertama, menurunnya perolehan bunyi Golkar.
  • Kedua, kenaikan perolehan bunyi PDI P.
  • Ketiga, kegagalan partai-partai Islam meraih bunyi siginifikan.
  • Keempat, kegagalan PAN, yang awalnya dinilai paling reformis, ternyata hanya menempati urutan kelima.

Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh bunyi signifikan namun lain nyatanya.

Baca Juga : Sejarah Pelaksanaan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa (1955-2014)

Perkembangan politik di masa Reformasi berlangsung setelah mundurnya Soeharto hingga sekarang, dimana pada rentang waktu tersebut telah terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan, pada kesempatan kali ini kita hanya akan menjelasakan Perkembangan politik di masa Reformasi pada ketika pemerintahan B.J Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati soekarno putri dan Susilo Bambang Yudoyono.

Pemerintahan B.J Habibie
Sidang spesial MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam insiden Tragedi Semanggi, yang menelan 18 korban jiwa. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap kebebasan berekspresi dan media massa.

Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melaksanakan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan secara bergelombang, menyerupai Muchtar Pakpahan dan Sri Bintang Pamungkas. Namun setelah Habibie membebaskan banyak tahanan politik, tahanan politik gres muncul. Sejumlah pelopor mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. 

Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, menyerupai liberalisasi parpol, kebebasan berpendapat, pemberian kebebasan pers, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat termakan meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan alasannya besarnya tekanan politik dan insiden Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap.

Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie yakni keputusannya yang memperbolehkan Timor Timur untuk menggelar referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari pangkuan Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak terkenal di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.

Namun di final pemerintahan habibie, pemilu tahun 1999 sanggup terealisasi dengan baik meskipun ratifikasi hasil Pemilu sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di masa reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang memperlihatkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman.

Pemeintahan Abdurahman Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan Megawati Sukarnoputri keluar sebagai pemenang pada pemilu dewan legislatif dengan memperoleh 34% dari seluruh suara, Golkar (partai Soeharto - yang selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) menerima 22% suara, Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%, Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%.

Kemudian pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid / Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Gus Dur membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melaksanakan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. 

Pemerintahan Presiden Wahid melanjutkan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang mengkhawatirkan. Selain ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar agama dan antar etnis, terutama di Papua, Maluku, dan Aceh.

Di Timor Barat, persoalan yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia menimbulkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memperlihatkan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Gus Dur sehingga menimbulkan perdebatan politik yang meluap-luap.

Pemerintahan Megawati soekarno putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memperlihatkan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden biar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki administrasi dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memperlihatkan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak usang kemudian.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda: pertama menentukan anggota legislatif dan kedua menentukan presiden. Untuk jadwal pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali bunyi Golkar, turunan perolehan bunyi PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan dari partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN.

Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, yang menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen bunyi sebagai pemenang. Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden gres Indonesia. Pemerintah gres ini pada awal masa kerjanya telah mendapatkan banyak sekali kendala dan tantangan besar, menyerupai gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan menyudahi konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam semenjak tahun 2004 telah mengantar ia naik kembali duduk di dingklik presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009.


Sekian artikel mengenai Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. semoga artikel ini sanggup bermanfaat bagi teman baik untuk mengerjakan tugas, maupun untuk sekedar menambah wawasan perihal Perkembangan Politik Orde Lama, Perkembangan Politik Orde Baru dan Perkembangan Politik Reformasi, Terimakasih atas kunjungannya.

Perkembangan Politik Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
MARKIJAR : MARi KIta belaJAR


Sumber http://www.markijar.com/