Showing posts with label Filsafat Kesehatan. Show all posts
Showing posts with label Filsafat Kesehatan. Show all posts

Wednesday, July 26, 2017

√ Konsep Altruisme


ARTIKEL FILSAFAT KESEHATAN TENTANG KONSEP ALTRUISME

 



STIKes DHARMA HUSADA BANDUNG
Jl Terusan Jakarta No. 71-75 Antapani Bandung
2012


KONSEP ALTRUISME

A.    Pengertian Altruisme
Altruisme berasal dari bahasa Perancis yaitu autrui yang artinya "orang lain"turunan dari kata latin Alter.
Secara epistimologis, altruisme berarti:
  1. Loving others as one self.
  2. Behaviour that promotes the survival chances of others at a cost to ones own.
  3. Self-sacrifice for the benefit of others.
Istilah Altruisme diciptakan oleh Auguste Comte -- Penggagas filsafat positivisme. Dalam karyanya, Catechisme Positiviste,
Altruisme merupakan kehendak pengorbanan kepentingan pribadi. Tindakan ini seringkali disebut sebagai pembatalan diri atau pengosongan diri. Altruisme termasuk sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, entah bersifat manusiawi atau ketuhanan. Tindakan altruis sanggup berupa loyalitas. Kehendak altruis berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melaksanakan sesuatu tanpa pamrih, berupa ketetapan moral.
Altruisme yaitu perbuatan mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. perbuatan ini yaitu sifat murni dalam banyak budaya, dan merupakan inti dalam banyak agama. Dalam budaya Inggris, konsep ini sering diperihalkan sebagai peraturan keemasan etika. Dalam Buddhisme, ia dianggap sebagai sifat asas bagi fitrah manusia.
Orang yang altruist yaitu orang yang lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri.  Orang yang mau mengorbankan (kepentingan) dirinya sendiri demi kebaikan orang lain. Orang yang punya motivasi untuk menolong orang lain dan berbuat kebaikan tanpa pamrih.
Altruisme sering kita lihat dalam wujud ‘unconditional love’ seorang ibu terhadap anaknya.  Dalam skala yang lebih luas, mungkin juga bisa dilihat pada kecintaan seorang guru terhadap muridnya, kecintaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya, atau juga kecintaan seorang Nabi terhadap umatnya.
Bagaimana dengan pengorbanan seorang hamba terhadap Tuhannya? Termasuk altruisme sejati kah?  Mengingat sang hamba ini mengharapkan ‘pamrih’ berupa surga.. Ternyata berdasarkan para ahli, keduanya bukan bentuk altruisme sejati, melainkan lebih kepada kewajiban dan kesetiaan (duty & loyalty).  Selama seseorang mengharapkan reward (pamrih) dari perbuatan baiknya, maka itu tidak bisa disebut altruisme
Comte menyampaikan bahwa setiap individu mempunyai kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melaksanakan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk niscaya moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Sebagai sebuah kepercayaan etis, altruisme berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.
Perilaku altruistik tidak hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri. sikap dan sikap ini akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.

B.     Jenis altruistic berdasarkan pemahamannya ada 2, yaitu ;
1.      Altruistic as behaviour, pemahamannya yaitu menolong orang lain, menciptakan orang lain senang. Tetapi menciptakan orang lain senang itu didasari oleh dua faktor. Yang pertama saya benar-benar tidak peduli siapa kamu, dari mana kamu, pokoknya saya menolong. Ketika saya melihat kau tidak nyaman maka saya akan menolong. Ini dinamakan eksosentris. Yang kedua saya menolong kau kalau saya mempunyai suatu laba dari menolong kau tersebut. Ini dinamakan endosentris.
2.      Altruistic as motive berarti menolong orang lain betul-betul murni berasal dari dalam dirinya ia dan ditujukan untuk kepuasan orang lain tanpa memperhitungkan atau memperdulikan apa-apa. Dan hal inilah yang saya lebih tekankan dalam bahasan perihal altruisme.“



C.    Teori Tentang Altruisme
1.         Teori Behaviorisme → Kondisioning klasik (Pavlo): insan menolong alasannya yaitu dibiasaka oleh masyarakat dan masyarakat menyediakan ganjaran positif.
2.         Teori Pertukaran Sosial → Sosial Exchange Theory dengan prinsip sosial — ekonomi bahwa setiap tindakan dilakukan dengan pertimbangan untung rugi (material, terutama psikologis
  • Memperoleh informasi, pelayanan, status, penghargaan, perhatian, dan kasih sayang, dll).
Teori ini memakai taktik minimax sehingga sikap menolong biasanya mengikuti pola-pola tertentu (sedikit pengorbanan alhasil maksimal  → untung)
  • Orang yang menarik (disukai, semoga tidak terganggu) kepuasan diri (penyumbang darah)
3.         Teori Empati (Batson, 1991, 1995): Egoisme dan simpati berfungsi bahu-membahu dalam sikap menolong.
·       Egoisme : sikap menolong sanggup mengurangi penderitaan orang lain.
·       Simpati : sikap menolong sanggup mengurangi penderitaan orang lain.
Gabungannya keduannya = tenggang rasa yaitu mencicipi penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri.
Empati yang berpengaruh sanggup melanggar prinsip moral dan keadilan => rea membunuh, mencuri dari seseorang atau bangsa.
4.         Teori Norma Sosial → menolong alasannya yaitu keharusan dari norma masyarakat. Ada 3 macam norma yang jadi teladan :
a.    Norma timbal balik (Reciprocity norrn) : pada dasarnya pertolongan dibalas pertolongan. Norma ini berlaku untuk orang yang setara. Sekelas, seimbang.
b.   Norma tanggung jawab sosial (Social responsibility norm), initnya kita wajib menolong orang lain atau tanpa mengaharapkan akibat apapun. Jika harus menentukan siapa yang ditolong → tergantung pada atribusi yang kita berikan.
·       Eksternal => miskin alasannya yaitu cacat, kecelakaan → ditolong.
·       Internal => miskin alasannya yaitu malas → tidak ditolong.
c.    Norma keseimbangan (Harmonic norm) berlaku di dunia timur, pada dasarnya seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan seimbang, serasi, selaras. Dalam pandangan ini norma tertinggi: great intelligence yaitu kemampuan untuk tetapkan sesuatu tanpa evaluasi atau prasangka → lebih altruis.
5.         Teori Evolusi → Altruis atau menolong demi survive atau mempertahankan jenis dalam proses evolusi.
a.              Perlindungan kerabat (kin protection)
  • Orang bau tanah bekerja keras untuk menyekolahkan anak → untuk meneruskan keturunan.
Secara alamiah orang cenderung membantu pada orang yang pertalian darah, akrab dengan diri kita, ada skala prioritas.
  • Dalam bencana: bawah umur lebih dulu, keluarga, teman, tetangga.
Naluri derma yang berpengaruh sanggup melewati batas moral dan keadilan => Nepotisme.
b.      Timbal balik biologik (biological reciprocity) → ada keseimbangan altruis dan egois prinsipnya orang yang suka menolong akan ditolong, yang suka mementingkan diri sendiri → dibiarkan.
c.       Orientasi secual: kaum minoritas dalam sec (homo, lesbi) lebih memerlukan pertolongan untuk mempertahankan kelompok sehingga lebih alturis daripada heterosec.
6.         Teori Perkembangan Kognisi → berafiliasi dengan tingkat perkembangan kognitif. Piaget bahwa semakin tinggi kemampuannya berfikir abnormal → semakin bisa mempertimbangkan antara perjuangan atau biaya (cost) yang harus dikorbankan untuk menolong dengan hasil atau perolehan. Anak-anak meminjamkan mainan yang mahal untuk suatu yang nilainya rendah (keuntungan).

D.    Altruistik Dipandang Menurut Agama
Altruistik diajarkan dalam agama. Dari sudut pandang teologi, altruistik merupakan suatu tindakan yang dijiwai oleh panggilan ilahi. sedangkan dalam tasawwuf, altruistik merupakan salah satu tujuan.
  1. Pandangan Islam
Kualitas dogma atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Berkorban untuk orang lain yaitu kebajikan yang paling baik, dan merupakan derajat dogma yang tertinggi.”
Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik. orang beriman yaitu orang yang diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan Allah. mereka bertindak hanya berdasar pada pertimbangan keimanan dan kepasrahan kepada Allah semata.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang pria menghadap Rasulullah saw, dan berkata: “Ya Rasulullah! saya lapar.” Rasulullah meminta masakan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada masakan sama sekali. kemudian Rasulullah saw bersabda: “siapa di antara kalian yang pada malam ini bersedia memberi makan kepada tamu ini? Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadanya. Seorang Anshar menjawab: “saya, ya Rasulullah.” Ia pun pergi kepada istrinya dan berkata: “suguhkan masakan yang ada kepada tamu Rasulullah!” Istrinya menjawab: “demi Allah tidak ada masakan kecuali sedikit untuk anak-anak.” suaminya berkata: “bila mereka ingin makan, tidurkan mereka dan padamkan lampunya. biarlah kita menahan lapar pada malam ini.” Istrinya melaksanakan apa yang diminta suaminya. Keesokan harinya Rasulullah bersabda: “Allah kagum dan bangga alasannya yaitu perbuata suami istri itu.” Ayat ini turun berkenaan dengan kejadian tersebut, yang melukiskan perbuatan orang yang memperhatikan kepentingan orang lain.
  1. Pandangan Kristen
Altruisme merupakan fatwa utama Yesus dalam Kitab Suci. Hukum tertinggi dalam fatwa Yesus menekankan kasih terhadap sesama, menyerupai kasih terhadap diri sendiri.
Ajaran yang sanggup disebut sebagai suatu akhlak altruis. Suatu tindakan altruis yaitu tindakan kasih yang dalam bahasa Yunani disebut agape.
Agape yaitu tindakan menyayangi atau memperlakukan sesama dengan baik semata-mata untuk tujuan kebaikan orang itu, tanpa dirasuki oleh kepentingan orang yang mengasihi. Maka, tindakan altruis pastilah selalu bersifat konstruktif, membangun, memperkembangkan dan menumbuhkan kehidupan sesama.

E.     Faktor yang pengaruhi altruisme ;
1.              Pengaruh situasi
a.              Bystanders (tempat kejadian)
·          Semakin banyak orang semakin kecil kecenderungan menolong >< orang yang sendirian cenderung lebih bersedia.
·          Di kota besar jarang orang suka menolong alasannya yaitu (ja vine) orang kota mengalami tanda-tanda kejenuhan mental (compassion fatigue atau sensory overload).
b.              Menolong jikalau orang lain menolong
Daftar sumbangan jikalau sudah ada yang memulai → akan diikuti dengan jumlah yang hampir sama.
c.              Desakan waktu → orang santai lebih mau menolong.
d.             Kemampuan yang dimiliki.
2.              Pengaruh dari dalam diri
a.              Perasaan.
b.      Sifat atau Trait → adentic disposition sudah tertanam dalam kepribadian sosial => Ibu Theresa.
c.       Agama → berkaitan dengan ketaatan, keyakinan atau kepercayaan, untuk menolong menyerupai fatwa agama.
d.             Tahapan moral.
e.              Orientasi secual => homo.
f.               Jenis kelamin → wanita lebih banyak dari laki-laki.
3.              Siapa yang ditolong
a.       Jenis kelamin. Budaya yang menghargai wanita diutamakan.
b.      Kesamaan penolong dan yang ditolong (busana, sec, ras, agamaan, dll).
c.       Tanggung jawab korban → eksekusi lebih berat dari pada tidak melawan apalagi pelacur.
d.      Menarik atau daya tarik atau rasa tertarik penolong.

F.     Hubungan  sikap menolong dengan altruisme
1.              Mengurangi hambatan yang menghambat alturisme.
a.       Mengurangi keraguan atau ketidakjelasan (ambiguitas) dan meningkatkan tanggung jawab. => ada pencuri motor (itu miliknya atau mencuri).
b.      Peningkatan rasa tanggung jawab sanggup dipancing dengan seruan secara langsung (Foss, 1978) atau mempribadiakn relasi => dengan menyebut nama.
c.       Meningkatkan rasa bersalah yaitu dengan mengingat kesalahan seseorang.
d.      Memanipulasi gengsi atau harga diri seseorang. => Cialdin, dkk, 1975 → butuh uang Rp 10.000 katakan Rp. 50.000 jikalau ia tidak punya minta seadanya.

2.              Memasyarakatkan alturisme.
a.              Mengajarkan inklusi moral, bahwa orang lain yaitu golongan kita juga.
·             Fogelman, 1994: Inklusi moral meningkatkan sikap menolong.
·             Staub, Aoptoum, Tyler dan Lind, 1990: Inklusi moral merupakan sumber diskriminasi bahkan agresi.
b.      Memberikan atribusi “menolong” pada sikap altruis => sehabis dibantu: terima kasih atas pertolongannya (Batson, 1979).
c.       Mengajarkan altruisme di sekolah, keluarga, masyarakat, dll dengan memberi contoh.



DAFTAR PUSTAKA

Hamersma, Harry,. 1981. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lanur, Alex ,. 1985. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sonny Keraf, A. dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sumber http://macrofag.blogspot.com

Tuesday, July 25, 2017

√ Konsep Abstrak


ARTIKEL FILSAFAT TENTANG KONSEP ABSTRAK

 

STIKes DHARMA HUSADA BANDUNG
Jl Terusan Jakarta No. 71-75 Antapani Bandung
2012



FILSAFAT ABSTRAK

1.      Pengertian Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu  philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani,  philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia(hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Makara secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan.
Kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat mengatakan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan daypikir mengenai hakikat segala yang ada, lantaran asal dan hukumnya. Manusia filosofis yakni insan yang mempunyai kesadaran diri dan kecerdikan sebagaimana ia juga mempunyai jiwa yang independen dan bersifat spiritual.
Filsafat yakni pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu perilaku seseorang yang sadar dan cukup umur dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  

2.      Ciri-ciri berfikir filosfi :
a.          Berfikir dengan memakai disiplin berpikir yang tinggi.
b.         Berfikir secara sistematis.
c.          Menyusun suatu bagan konsepsi, dan
d.         Menyeluruh.

3.      Pengertian Abstrak
Inggris: abstract. Kata Inggris ini berasal dari bahasa  Latin  abstractus. Kata absractus adalah bentuk partisipium perfek dari kata kerja abstrahere. Kata abstrahere terbentuk dari dua kata ab, yang berarti "dari" dan trahere berarti "menarik". Abstrak secara harfiah berarti ."terlepas dari", "ditarik dari".
Abstrak ialah sifat dari pemahaman mengenai sebuah kualitas atau hubungan. Pemahaman itu kurang lebih bersifat umum yang berada di luar data yang ada di depan kita. Pemahaman bersifat abnormal jika tidak ada kaitan dengan intuisi indrawi atau jika penyajian-penyajian pemahaman itu menggambarkan obyeknya tanpa ciri-ciri individual. Penyajian-penyajian abnormal mempunyai dua peranan. Pertama berperan sebagai proses pembagian atau pemisahan yang menghasilkan pandangan ringkas. Karena tanpa berkaitan dengan ciri-ciri khusus, intelek hingga pada konsep-konsep yang lebih universal. Misalnya, "manusia", "makhluk inderawi", "makhluk hidup", dst. Ini disebut abstraksi total. Kedua, penyajian abnormal merupakan pemberian dalam mengetahui struktur logis dari konsep-konsep dan struktur metafisis dari realitas. Karena tanpa mempedulikan pendukung atau penyandang, intelek memisah-misahkan bagian-bagian hakiki yang merupakan pemberi bentuk. Misalnya kebijaksanaan dipisahkan dari insan yang bijaksana. Ini dinamakan abstraksi formal.
Karena itu, representasi abnormal sanggup disebut sebagai konsep universal namun konkret, sejauh konsep tersebut tersusun dari suatu penyandang (Subyek) dan suatu bentuk (misalnya manusia). Representasi abnormal sanggup juga disebut sebagai konsep formal. Konsep semacam ini menggambarkan bentuk tanpa penyandang (misalnya kemanusiaan, kepribadian).

4.      Pandangan Beberapa Filsuf Tentang Abstrak
Dalam pandangan Skolastik, pemahaman disebut abstrak, jika orang memahami suatu kualitas terlepas dari subyek pendukung. Pemahaman disebut konkret, jika tidak dilepaskan dari subyek pendukung. Dalam pengertian Skolastik, insan merupakan pandangan gres konkret, sedangkan kemanusiaan merupakan pandangan gres abstrak.
Hegel memahami pengertian abnormal sebagai sesuatu yang terlepas sama sekali dari relasi, yakni suatu kesatuan yang bersifat pribadi terhadap semua perbedaan. Sesuatu yang konkret ialah sesuatu yang terpaut secara penuh dengan semua hubungan, yakni kesatuan dengan merangkum semua perbedaan.
Berpikir abnormal yakni berpikir pada tataran ide, konsep atau gagasan. Maksudnya, ajaran filsafat selalu berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual perihal fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera insan untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abnormal melalui bentuk –bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya lantaran sifatnya terbatas berdasarkan sebuah penampakan inderawi yang sejauh sanggup dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan memakai ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang bisa memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah ajaran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk makin mendewasakan ajaran itu pada kemampuan “memahami dan “menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan hubungan secara utuh dan terstruktur guna mengatakan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara detail sehingga sanggup dijelaskan secara lengkap dan sempurna.

5.      Abstraksi dalam Filsafat
Dalam filsafat, abstraksi dalam teminologi filosofisnya yakni proses berpikir di mana ide-ide jauh dari objek (filsafat), abstraksi merupakan tindakan berpikir intelektual di mana ada metode yang mengisolasi generalisasi teoritis persoalan konkret untuk dipecahkan.
Abstraksi memakai seni administrasi penyederhanaan, di mana terdapat komunikasi yang ambigu, kurang jelas atau tidak terdefinisi, sehingga sanggup secara efektif menjelaskan perihal hal-hal abnormal yang memerlukan intuisi atau pengalaman antara komunikator dan peserta komunikasi. Hal ini berlaku untuk semua bentuk mulut / abstrak.
Melalui abstraksi kita sanggup membayangkan hasil dari keputusan atau tindakan tertentu tanpa memakai prosedur fisik atau mekanis resolusi.
Bila dalam proses penciptaan mental, atau abstraksi, tidak dibebaskan dari fakta-fakta tertentu yang merupakan pembentukan penalaran. Hal ini pada gilirannya berarti merupakan visualisasi dari hasil pencitraan mental atau gambar dari abstraksi.Abstraksi dalam filsafat merupakan proses (atau, bagi sebagian orang, proses dugaan) dalam konsep-pembentukan dengan cara mengenali beberapa set ciri-ciri umum pada individu, dan membentuk konsep ciri itu sendiri.
Gagasan abstraksi penting untuk memahami beberapa hal-hal yang bersifat kontroversi filosofis yang terjadi di sekitarnya contohnya hal-hal yang bersifat empirisme dan masalah universal. Hal ini juga berafiliasi dedngan logika formal di bawah abstraksi predikat.
Dalam Buku Urantia glossary Dr William S. Sadler berkomentar bahwa "filsuf melaksanakan kesalahan mereka paling parah dikala mereka keliru kesalahan dari abstraksi, dengan cara memfokuskan perhatian pada satu aspek dari realitas dan kemudian terisolasi dengan aspek dari seluruh kebenaran yang ada. "



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.
Dr. K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid II, Jakarta: Gramedia, 1985.
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta.

Sumber http://macrofag.blogspot.com