Sunday, July 30, 2017

√ Laporan Pendahuluan Otitis Media Akut (Oma), Pdf Dan Doc

Teman - sobat perawat dimanapun berada, postingan kali ini kami bagikan laporan pendahuluan otitis media akut (OMA), yaitu sebuah teori konsep hingga konsep asuhan keperawatan perihal penyakit otitis media akut (OMA)

bagi sobat - sobat yang membutuhkan file laporan pendahuluan otitis media akut, untuk materi pembuatan asuhan keperawatan atau makalah, disini kami bagikan dalam bentuk doc dan pdf. Yang tidak lain tujuannya yaitu mempermudah sobat - sobat sekalian dalam pembuatan kiprah - kiprah keperawatan.

untuk mend0wnl0ad file laporan pendahuluan otitis media akut (OMA) dalam bentuk doc dan pdf, silahkan klik link dibawah ini :

untuk melihat isi dari file yang kami bagikan, silahkan lihat dibawah ini :


Laporan Pendahuluan Otitis Media Akut (OMA)


Pengertian

Otitis yaitu infeksi indera pendengaran meliputi, infeksi kanal indera pendengaran luar (Otitis Eksternal), kanal indera pendengaran tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan indera pendengaran belahan dalam (labyrinthitis). Otitis media, suatu inflamasi indera pendengaran tengah berafiliasi dengan efusi indera pendengaran tengah. (Rahajoe, 2012)

Otitis media akut (OMA) yaitu peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum indera pendengaran tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).

Otitis media akut yaitu infeksi yang disebabkan oleh basil pada ruang udara pada tulang temporal (CMDT, edisi 3 , 2004 ).


Etiologi

Penyebab otitis media akut berdasarkan Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak diketahui, meskipun sering terjadi lantaran tersumbatnya tuba eustasius akhir edema yang terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif juga menjadi faktor penyebab otitis media. Selain itu berdasarkan Muscari 2005, h.220 otitis media terjadi lantaran prosedur pertahanan humoral yang belum matang sehingga meningkatkan terjadinya infeksi, tunjangan susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan memudahkan terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan limfoid yang menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan horisontal, perkembangan kanal kartilago yang jelek sehingga tuba eustachii terbuka lebih awal.


Klasifikasi

Otitis media akut sanggup diklasifikasikan menjadi 5 stadium, yaitu :

1. Stadium oklusi tuba eustachius.

Tanda adanya oklusi tuba eustachius yaitu citra retraksi membran timpani akhir terjadinya tekanan negatif di dalam indera pendengaran tengah, akhir absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi , tapi tidak sanggup di deteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi .

2. Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi).

Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.

3. Stadium supurasi

Edema yang mahir pada mukosa indera pendengaran tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani, mengakibatkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang indera pendengaran luar.

Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di indera pendengaran semakin bertambah berat.

4. Stadium perfrorasi

Karena beberapa alasannya yaitu ibarat terlambatnya tunjangan antibiotik atau virulensi kuman yang tinggi, maka sanggup terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari indera pendengaran tengah ke indera pendengaran luar. Anak yang tadinya gelisah kini menjadi tenang, suhu tubuh menurun dan anak sanggup tertidur dengan nyenyak.

5. Stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekretnya akan berkurang dan kesannya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi sanggup terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA bermetamorfosis OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul. OMA sanggup tibul tanda-tanda sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.


Patofisiologi

Terjadi akhir terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan indera pendengaran tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada kanal napas ibarat radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke indera pendengaran tengah lewat kanal Eustachius. Saat basil melalui kanal Eustachius, mereka sanggup mengakibatkan infeksi di kanal tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya kanal mengakibatkan transudasi, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh basil dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam indera pendengaran tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar kanal Eustachius mengakibatkan lendir yang dihasilkan sel-sel di indera pendengaran tengah terkumpul di belakang gendang telinga.

Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran sanggup terganggu lantaran gendang indera pendengaran dan tulang-tulang kecil penghubung gendang indera pendengaran dengan organ pendengaran di indera pendengaran dalam tidak sanggup bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak sanggup mengakibatkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu indera pendengaran juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut kesannya sanggup merobek gendang indera pendengaran lantaran tekanannya.

Fathway OMA
Fathway OMA

Manifestasi Klinik

Gejala klinis OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien. Biasanya tanda-tanda awal berupa sakit indera pendengaran tengah yang berat dan menetap. Biasa tergantung gangguan pendengaran yang bersifat sementara. Pada anak kecil dan bayi sanggup mual, muntah, diare, dan demam hingga 39,50oC, gelisah, susah tidur diare, kejang, memegang indera pendengaran yang sakit. Gendang indera pendengaran mengalami peradangan yang menonjol. Keluar cairan yang awalnya mengandung darah kemudian bermetamorfosis cairan jernih dan kesannya berupa nanah (jika gendang indera pendengaran robek).

Manifestasi klinis pada bayi :
  • Menangis 
  • Rewel, gelisah, sensitif 
  • Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik indera pendengaran yang sakit 
  • Menggeleng-gelengkan kepala 
  • Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak 
  • Kehilangan nafsu makan
Manifestasi klinis pada anak - anak :
  • Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman 
  • Iritabilitas 
  • Letargi 
  • Kehilangan nafsu makan 
  • Limfadenopati servikal anterior 
  • Pada investigasi otoskopi menawarkan membran utuh yang tampak merah terperinci dan menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berdasarkan Muscari 2005, h.220 ialah :
  1. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani. 
  2. Kultur dan uji sensitivitas hanya sanggup dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (aspirasi jarum dari indera pendengaran tengah melalui membran timpani). Uji sensitivitas dan kultur sanggup dilakukan untuk mengidentifikasi organisme pada sekret telinga. 
  3. Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap kehilangan pendengaran sekunder akhir infeksi berulang.

Penatalaksanaan

Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi kanal napas, dengan tunjangan antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.

1. Stadium Oklusi

Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di indera pendengaran tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,25 % untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologis untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati. Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.

2. Stadium Presupurasi

Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan tunjangan antibiotik golongan p3enisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, sanggup diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan p3enisilin intramuskular semoga konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai tanda-tanda sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.

3. Stadium Supurasi

Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melaksanakan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga tanda-tanda cepat hilang dan tidak terjadi ruptur.

4. Stadium Perforasi

Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat basuh indera pendengaran H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat hingga 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.

5. Stadium Resolusi

Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik sanggup dilanjutkan hingga 3 minggu. Bila tetap, mungkin telah terjadi mastoiditis.


Konsep Asuhan Keperawatan

1.Pengkajian

Data yang muncul ketika pengkajian:
  • Sakit telinga/nyeri
  • Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
  • Tinitus
  • Perasaan penuh pada telinga
  • Suara bergema dari bunyi sendiri
  • Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
  • Vertigo, pusing, gatal pada telinga
  • Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
  • Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
  • Tanda-tanda vital (suhu bisa hingga 40o C), demam
  • Kemampuan membaca bibir atau menggunakan bahasa isyarat
  • Reflek kejut
  • Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
  • Tipe warna 2 jumlah cairan
  • Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
  • Alergi
  • Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
  • Adanya riwayat infeksi kanal pernafasan atas, infeksi indera pendengaran sebelumnya, alergi

2. Diagnosa Keperawatan.
  1. Nyeri berafiliasi dengan proses peradangan pada telinga
  2. Resiko tinggi infeksi berafiliasi dengan tidak adekuatnya pengobatan 
  3. Resiko injuri berafiliasi dengan penurunan sensori auditorius

3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa. 1

Nyeri berafiliasi dengan proses peradangan pada telinga

Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
  • Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman sanggup mengurangi nyeri.
  • Kompres panas di indera pendengaran belahan luar ; untuk mengurangi nyeri.
  • Kompres hambar ; untuk mengurangi tekanan indera pendengaran (edema)
  • Kolaborasi tunjangan analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang

Diagnosa. 2

Resiko tinggi infeksi berafiliasi dengan tidak adekuatnya pengobatan

Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
  • Kaji tanda-tanda ekspansi infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi ekspansi lebih lanjut.
  • Jaga kebersihan pada kawasan liang indera pendengaran ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
  • Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke indera pendengaran tengah.
  • Kolaborasi tunjangan antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi.

Diagnosa. 3

Resiko injuri berafiliasi dengan penurunan sensori auditorius

Tujuan : sehabis dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam pasien tidak terjadi injuri
Kriteria hasil : Tidak terjadi injury atau perlukaan
  • Pegangi atau dudukkan pd ketika makan
  • Pasang restraint pada sisi tempat tidur
  • Jaga ketika beraktivitas bila jatuh.
  • Tempatkan perabot teratur.

Daftar Pustaka
  • Arsyad, ES & Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. FKUI: Jakarta.
  • Betz, CL. 2002. Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.
  • Schwartz, M. 2004. Pedoman klinis pediatri. EGC: Jakarta.
  • Wong, DL et al. 2008. Buku asuh keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.
  • Mansjoer,Arief,dkk.1999.Kapita Selekta Kedokteran,Edisi 3: Jakarta, Mediaacs culapius

Sumber http://bangsalsehat.blogspot.com