TEORI BELAJAR KOGNITIF
AUSUBEL
A. Teori Belajar Kognitif berdasarkan Ausubel
Belajar kognitif memandang berguru sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk sanggup mengenal dan memahami stimulus yang tiba dari luar. Aktivitas berguru pada diri insan ditekankan pada proses internal berfikir, yakni proses pengolahan informasi.
Teori berguru kognitif lebih menekankan pada berguru merupakan suatu proses yang terjadi dalam kebijaksanaan pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar yakni suatu acara mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Jadi disimpulkan bahwa intinya berguru kognitif yakni suatu proses perjuangan yang melibatkan acara mental yang terjadi dalam diri insan sebagai tanggapan dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Salah satu pakar yang mengemukakan teori berguru kognitif yakni David Paulus Ausubel. David Paulus Ausubel yakni spesialis psikologi pendidikan. Ausubel memberi pengutamaan pada berguru bermakna dan juga terkenal dengan teori berguru bermaknanya. Menurut Ausubel (Hudoyo, 1998) materi pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” artinya materi pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh lantaran itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep gres tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual, emosional siswa tersebut terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel membedakan antara berguru menemukan dengan berguru menerima. Pada berguru menemukan, konsep dicari/ditemukan oleh siswa. Sedangkan pada berguru mendapatkan siswa hanya mendapatkan konsep atau materi dari guru, dengan demikian siswa tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara berguru menghafal dengan berguru bermakna. Pada berguru menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi pada berguru bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.
Ausubel menentang pendapat yang menyampaikan bahwa metode inovasi dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik lantaran bermakna, dan sebaliknya metode ceramah yakni metode yang kurang baik lantaran merupakan berguru menerima. Menurutnya baik metode inovasi maupun metode ceramah bisa menjadi berguru mendapatkan atau berguru bermakna, tergantung dari situasinya.
Menurut David P. Ausubel dalam Sutomo (2015), ada dua jenis berguru :
1. Belajar Bermakna (Meaningfull Learning), berguru dikatakan bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu sanggup mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
2. Belajar Menghafal (Rote Learning), bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena gres itu belum ada maka informasi gres tersebut harus dipelajari secara menghafal.
Kedua demensi ini merupakan suatu kontinum. Novak (Dahar, 1988) memperlihatkan gambar sebagai berikut:
Belajar Bermakna | Menjelaskan hubungan antara konsep-konsep | Pengajaran Audio- Tutorial | Penelitian Ilmiah |
Penyajian Melalui Ceramah atau buku pelajaran | Kegiatan di laboratorium sekolah | Sebagian Besar penelitian rutin atau produksi intelektual | |
Belajar hafalan | Daftar Perkalian | Menerapkan rumus-rumus untuk memecahkan Masalah | Pemecahan dengan coba-coba |
Belajar Penerimaan | Belajar Penemuan Terbimbing | Belajar Penemuan Mandiri |
Dari tabel diatas sanggup dikatakan bahwa berguru penerimaan yang bermakna sanggup dilakukan dengan cara menjelaskan korelasi antara konsep-konsep, sedangkan berguru inovasi yang masih berupa hafalan apabila berguru dilakukan dengan pemecahan masalah secara coba-coba. Belajar inovasi yang bermakna hanyalah terjadi pada penelitian ilmiah
Menurut Ausubel berguru sanggup diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi Pertama, berafiliasi dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut bagaimana peserta didik sanggup mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi sanggup dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk berguru penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk berguru inovasi yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
Dalam tingkat ke dua siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi berguru bermakna. Akan tetapi siswa itu sanggup juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi gres itu tanpa menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi berguru hafalan.
Jadi sanggup disimpulkan jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi gres itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah berguru dengan hafalan. Sebaliknya jikalau peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi gres itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi yakni berguru bermakna.
Kedua pengklasifikasian tersebut di atas apabila digambarkan ke dalam skema yakni sebagai berikut:
Dalam kaitannya dengan tipe belajar, Ausubel mengemukakan empat tipe belajar, yaitu:
1. Belajar dengan inovasi yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang gres itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, ibarat sifat-sifat persegi panjang, peserta didik sanggup menemukan sendiri sifat-sifat bujur kandang tersebut.
2. Belajar dengan inovasi tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur kandang tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur kandang dan kemudian dihafalkan.
3. Belajar mendapatkan yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final/akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang gres itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan gampang ter’tanam’ kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut sanggup dipelajari peserta didik secara bermakna.
4. Belajar mendapatkan yang tidak bermakna
Dari setiap tipe materi yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik (Hudoyo, 1990)
Sebagaimana disimpulkan oleh Rosser (Dahar, 1988) bahwa berguru bermakna sanggup terjadi bila memenuhi tiga komponen yaitu materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memesukkan materi itu kedalam struktur kognitifnya dan dalam struktur kognitif siswa harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan atau menghubungkan materi gres secara non-arbitrar dan substantif. Jika salah satu komponen tidak ada, maka materi itu akan dipelajari secara hafalan.
Untuk menerapkan teori berguru Ausubel, Sulaiman (1988) menyarankan biar menggunakan dua fase yaitu, fase perencanan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan advance organizer. Fase pelaksanakan terdiri dari advance organizer, diferensiasi progresif dan rekonsiliasi integratif:
a. Fase Perencanaan
i. Menetapkan Tujuan Pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan perencanaan yakni menetapkan tujuan pembelajaran. Model Ausubel ini sanggup digunakan untuk mengajarkan korelasi antara konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi. Sebagaimana dikatakan Sulaiman (1988), bahwa model Ausubel tidak dirancang untuk mengajarkan konsep atau generalisasi, melainkan untuk mengajarkan “Organized bodies of content” yang memuat bermacam konsep dan generalisasi.
ii. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, model Ausubel ini meskipun dirancang untuk mengajarkan korelasi antar konsep-konsep dan generalisasi generalisasi dan tidak untuk mengajarkan bentuk materi pengajaran itu sendiri, tetapi cukup fleksibel untuk digunakan mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat guru harus menyadari latar belakang pengetahuan siswa, Efektivitas penggunaan model ini akan sangat tergantung pada sensitivitas guru terhadap latar belakang pengetahuan siswa, pengalaman siswa dan struktur pengetahuan siswa. Latar belakang pengetahuan siswa sanggup diketahui melalui pretes, diskusi atau pertanyaan.
iii. Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis merupakan salah satu pendukung untuk melaksanakan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel
iv. Memformulasikan Advance Organizer, Eggen (1979), Advance organizer sanggup dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) mengkaitkan atau menghubungkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan siswa, b) mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa.
Terdapat tiga macam organizer, yaitu definisi konsep, generalisasi dan analogi:
a) Definisi konsep sanggup merupakan organizer materi yang bermakna, bila materi tersebut merupakan materi pengajaran gres atau tidak dikenal oleh siswa. Untuk kemudahan siswa, guru sebaiknya mengusahakan biar definisi dibentuk dalam terminalogi yang dikenal siswa.
b) Generalisasi mempunyai kegunaan untuk meringkas sejumlah informasi
c) Analogi merupakan advance organizer yang paling efektif lantaran seringkali sesuai dengan latar belakang siswa. Nilai analogi sebagai advance organizer tergantung pada dua faktor yaitu (1) penguasaan atau pengetahuan siswa terhadap analogi itu, (2) tingkat saling menunjang antara gagasan yang diajarkan dengan analogi yang digunakan. Dengan analogi, motif dan minat siswa lebih baik dibandingkan dengan generalisasi dan definisi konsep
b. Fase Pelaksanaan
Untuk menjaga biar siswa tidak pasif maka guru harus sanggup mempertahankan adanya interaksi dengan siswa melalui tanya jawab, memberi teladan perbandingan dan sebaginya berkaitan dengan wangsit yang disampaikan ketika itu. Guru hendaknya mulai dengan advance organizer dan menggunakannya hingga simpulan pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan materi pengajaran.
Langkah berikutnya yakni menguraikan pokok-pokok materi menjadi lebih terperinci melalui diferensiasi progresif. Setelah guru yakin bahwa siswa mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah berikutnya yaitu: 1) menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi integratif, atau 2) melanjutkan dengan difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.
B. Konsep Pembelajaran Bermakna
1. Pengertian
Pembelajaran bermakna mengacu pada konsep bahwa pengetahuan yang dipelajari sepenuhnya dipahami oleh individu dan bahwa individu tahu bagaimana fakta yang spesifik berkaitan dengan fakta-fakta yang tersimpan sebelumnya (yang disimpan dalam otak). Berry (2009) menjelaskan berguru bermakna merupakan berguru yang dengan tujuan yang lebih jelas, pembelajaran yang memungkinkan orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk melaksanakan lebih banyak makna kepada dunia di sekitar mereka, berguru terhadap hal-hal yang lebih realistis yang diditandai dengan pembelajaran yang lebih aktif, konstruktif, disengaja, otentik dan kooperatif. Menurut Jonassen (2007) “meaningful learning is characterized by its being: active, constructive, intentional, authentic and cooperative”. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi gres pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang, hal ini senada dengan pandangan Ausubel (1963) pembelajaran bermakna merupakan proses mengaitkan informasi atau materi gres dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif.
Menurut Ausubel (1963) “kebermaknaan suatu pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sedikitnya 3 faktor, yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu ada pada waktu tertentu”.
Teori ini menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta gres kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman gres kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandalkan bahwa dalam pembelajaran itu aktif.
2. Karakteristik Pembelajaran Bermakna
Konsep ini menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar sudah ada organisasi dan kejalasan ihwal pengetahuan dibidang subjek tertentu. Organisasi yang dimaksud sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa struktur ini memilih kemampuan pelajar untuk menangani aneka macam wangsit dan korelasi baru. Makna sanggup muncul dari materi gres hanya bila materi itu terkait dengan struktur kognitif dari pembelajaran sebelumnya. Asumsi bahwa tujuan utama pendidikan di semua tingkatan diupayakan untuk melibatkan para siswa dalam pembelajaran bermakna, yang terjadi ketika siswa melaksanakan proses pembelajaran. Sementara sekolah memainkan aneka macam kiprah sosial, cus-todial, dan organisasi penting dalam masyarakat, kewajiban utama guru harus membantu siswa untuk berguru bagaimana mengenali dan memecahkan masalah, memahami fenomena baru, membangun model mental, dan diberi situasi gres yang kondusif, menetapkan tujuan dan mengatur pembelajaran mereka sendiri (learn how to learn). Berikut akan digambarkan interaksi dari lima atribut berguru bermakna Brown (1989). Pembelajaran bermakna berupaya melibatkan para siswa dalam aktif, konstruktif, pembelajaran disengaja, otentik, dan kooperatif.
1. Pembelajaran Bermakna yakni Aktif (Manipulative/Observant)
Belajar yakni proses mengalami. Manusia mempunyai kemampuan untuk mempelajari dan mengikuti keadaan dengan lingkungan. Manusia dari segala usia sanggup mengembangkan keterampilan dan membangun pengetahuan lebih lanjut dunia di sekitar mereka ketika ingin mengetahuinya. Ketika berguru ihwal hal-hal dalam konteks alam, insan berinteraksi dengan lingkungan mereka dan memanipulasi benda-benda dalam lingkungan tersebut, mengamati imbas dari intervensi mereka dan membangun pengetahuan mereka sendiri menginterpretasi fenomena dan hasil manipulasi. Pembelajaran bermakna menstimulasi siswa untuk aktif terlibat dalam kiprah yang bermakna di mana mereka memanipulasi objek dan lingkungan dan mengamati hasil sebagai sebuah pengalaman bermakna.
2. Belajar Bermakna yakni Konstruktif.
Pembelajaran yang berpusat pada siswa, pengetahuan yang dipunyai oleh murid yakni hasil dari acara yang dilakukan oleh siswa dan bukan pembelajaran yang ditrerima secara pasif. Guru sebagai fasilitator yang membantu siswa membina pengetahuan dan menuntaskan masalah.
3. Belajar Bermakna yakni Kolaboratif.
Kebermaknaan sanggup terjadi dari korelasi kerja sama diantara siswa, yaitu situasi dimana terdapat dua atau lebih orang berguru atau berusaha untuk berguru sesuatu secara bersama-sama. Tidak ibarat berguru individual, orang yang terlibat dalam kerja sama memanfaatkan sumber daya dan keterampilan satu sama lain. Konsep ini didasarkan pada model di mana pengetahuan sanggup dibentuk dalam suatu populasi di mana anggotanya secara aktif berinteraksi dengan membuatkan pengalaman dan mengambil kiprah asimetri (berbeda). Kolaborasi dalam berguru mengacu pada lingkungan dan metodologi kegiatan peserta didik melaksanakan kiprah umum di mana setiap individu tergantung dan bertanggung jawab satu sama lain. Termasuk juga percakapan dengan tatap muka dan diskusi melalui komputer atau internet.
4. Belajar Bermakna yakni Authentic Learning.
Siswa berguru terbaik dengan terlibat dalam tugas-tugas berguru otentik, dengan mengajukan pertanyaan, dan dengan menggambar pada pengalaman masa lalu, untuk berguru terjadi bagi siswa, itu harus dilakukan dengan cara dan di daerah yang relevan dengan "nyata" kehidupan mereka, baik di dalam maupun di luar kelas. Pembelajaran otentik merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menggali, mendiskusikan, dan membangun secara bermakna konsep-konsep dan hubungan-hubungan, yang melibatkan masalah faktual dan proyek yang relevan dengan siswa. Pembelajaran ini sanggup digunakan untuk siswa pada semua tingkatan kelas, maupun siswa dengan aneka macam macam tingkat kemampuan.
5. Belajar bermakna merupakan Aspek Kesengajaan (Intentional).
Semua sikap insan diarahkan untuk mencapai tujuan (Schank, 1995). Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan yakni dimaksudkan untuk memenuhi tujuan tertentu. Ketika peserta didik secara aktif dan sengaja berusaha untuk mencapai tujuan kognitif, mereka berpikir dan berguru lebih banyak lantaran mereka mempunyai tujuan yang jelas. Cara yang sempurna untuk memperoleh banyak pengetahuan yakni dengan cara mengalami secara langsung. Proses mengalami situasi yang faktual sebagai sumber terjadinya kebermaknaan dalam belajar.
3. Prinsip Pembelajaran Bermakna
Bermakna terjadi jikalau suatu proses dikaitkannya informasi gres pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang, selanjutnya bila tidak ada perjuangan yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengertian gres pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, maka akan terjadi berguru hafalan. Proses berguru bermakna terdiri dari dua proses yaitu proses penerimaan dan proses penerimaan dan proses penemuan. Terdapat faktor yang menghipnotis berguru bermakna yaitu struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang berguru dengan mengasosiasikan fenomena gres ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta gres kedalam system pengertian yang telah dipunyainya. Ausubel (1968) dalam bukunya yang berjudul Educational Psychology: A Cognitive View, pernyataan itu berbunyi:
“The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.”
Yang berarti: “Faktor terpenting yang menghipnotis berguru ialah apa yang telah diketahui siswa. Yakinilah hal ini dan ajarlah ia demikian.” Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi teori belajarnya. Makara untuk menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, ada beberapa prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu :
1. Advance Organizer
Pengkondisian atau pengatur awal dalam berguru mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berafiliasi yang sanggup digunakan untuk membantu menanamkan pengetahuan baru. Suatu pengatur awal sanggup dianggap sebagai pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.
2. Elaborasi Konsep
Selama berguru bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan klarifikasi terperinci konsep. Pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsur-unsur yang paling umum diperkenalkan terlebih dulu, gres kemudian hal-hal yang lebih khusus dan detail dari konsep tersebut.
3. Belajar Superordinat
Belajar superordinat yakni proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan ke arah deferensiasi, terjadi semenjak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses berguru tersebut akan terus berlanjut hingga suatu ketika ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya merupakan unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas dan inklusif.
4. Penyesuaian integratif
Pada suatu ketika siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi kontradiksi kognitif itu, Ausuble juga mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative. Caranya, materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru sanggup menggunakan hierarkihierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan. Dalam mengajar, bukan hanya urutan berdasarkan diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep gres dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti gres dihubungkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatnya lebih tinggi kini mengambil arti baru.
4. Ciri Belajar Bermakna
Belajar bermakna sanggup diidentifikasi berdasarkan ciri-cirinya, (Nasution, 2003) memaparkan sebagai berikut: (1) Menjelaskan korelasi atau relevansi bahan-bahan gres dengan bahan-bahan lama. (2) Lebih dulu diberikan wangsit yang paling umum dan kemudian hal-hal yang lebih terperinci, (3) Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara materi gres dengan materi lama, (4) Mengusahakan biar wangsit yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum wangsit yang gres disajikan.
5. Langkah-Langkah Pembelajaran Bermakna
Dalam aplikasinya teori Ausubel ini menuntut siswa berguru secara deduktif (dari umum ke khusus). Secara umum, teori Ausubel ini sanggup diterapkan dalam proses pembelajaran melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional;
2. Mengukur kesiapan peserta didik ibarat minat, kemampuan dan struktur kognitifnya melalui tes awal, interview, review, pertanyaan-pertanyaan dan lain-lain teknik;
3. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci;
4. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi itu;
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh ihwal apa yang harus dipelajari;
6. Membuat dan memakai advance organizers, paling tidak dengan cara membuat rangkuman terhadap materi yang gres saja diberikan, dilengkapi dengan uraian singkat yang memperlihatkan relevansi (keterkaitan) materi yang sudah diberikan itu dengan materi gres yang akan diberikan;
7. Membelajarkan peserta didik memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsi yang ada dengan memperlihatkan focus pada korelasi yang terjalin antara konsep-konsep yang ada;
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
Agar terjadi berguru bermakna, konsep gres atau informasi gres harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Untuk menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, selain konsep-konsep yang telah dibahas terdahulu, ada beberapa konsep dan prinsip lain yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Pengaturan Awal
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berafiliasi yang sanggup digunakan dalam membantu menanmkan pengetahuan baru. Suatu pengantar awal sanggup dianggap semacam pertolongan mental dan disajikan sebelum materi baru.
Banyak penelitian mengambarkan bahwa pengatur-pengatur awal meningkatkan pemahaman siswa ihwal aneka macam macam materi pelajaran. Akan tetapi, efek-efek pengatur awal terhadap berguru ternyata bergantung pada bagaimana pengatur awal itu digunakan. Rupa-rupanya pengatur awal lebih mempunyai kegunaan untuk mengajarkan isi pelajaran yang telah mempunyai struktur teratur yang mungkin tidak secara otomatis terlihat oleh para siswa.
2. Diferensiasi Progresif
Selama berguru bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan klarifikasi terperinci konsep-konsep yang tersubsumsi. Menurut Ausubel, pengembangan konsep berlangsung paling baik jikalau unsur-unsur yang paling umum, paling inklusif suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian gres diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Dengan perkataan lain, model berguru berdasarkan Ausubel pada umumnya berlangsung dari umum ke khusus.
Dengan menggunakan taktik ini, guru mengajarkan konsep-konsep yang paling inklusif dahulu, kemudian konsep-konsep yang kurang inklusif dan setelah itu gres mengajarkan hal-hal yang khusus, ibarat contoh-contoh setiap konsep. Proses penyusunan konsep semacam ini disebut differensiasi progresif dan merupakan salah satu dari sekian banyak macam urutan belajar, dikatakan juga bahwa konsep-konsep itu disusun secara hierarki.
Diferensiasi progresif hanya merupakan satu dari sekian banyak macam urutan belajar. Proses ini faktual sekali kita lihat ketika belum dewasa memperoleh konsep. Misalnya belum dewasa berumur sekitar dua tahun menyebut semua benda bergerak dan mempunyai empat kaki dan ekor dengan sebutan kucing (mungkin anjing). Akan tetapi, sehabis itu gres mereka membedakan kucing, anjing, kuda, sapi dan lain-lain.
3. Belajar Superordinat
Selama informasi diterima dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif (subsumsi), konsep itu tumbuh atau mengalami diferensiasi. Proses subsumsi ini sanggup terus berlangsung hingga pada suatu ketika ditemukan hal yang baru. Kita kembali pada teladan di atas, anak kecil dengan konsep kucingnya. Pada suatu ketika ia menemukan bahwa tidak semua kucing itu sama, kemudian nama-nama konsep gres diterapkan pada unsur-unsur subordinat, anjing, sapi, kuda, mislanya. Pada suatu ketika dalam belajar, anak itu mungkin mengenal atau dibimbing untuk mengamati bahwa semua binatang yang sanggup dibedakannya itu berambut dan tergolong kelompok binatang yang disebut mamalia. Konsep mamalia kini sanggup berkembang secara korelasi superordinat terhadap konsep-konsep kucing, anjing, sapi, kuda dan sebagainya.
Belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. Hal yang sama terjadi bila anak berguru bahwa tomat, buncis, wortel yakni semua sayuran; kemudian setelah mereka berguru biologi dan ditekankan konsep-konsep buah dan akar, mereka berguru bahwa wortel yakni semacam akar tumbuhan (plant fruits). Mungkin berguru superordinat tidak bisa terjadi di sekolah alasannya sebagian besar guru dan buku teks mulai dengan konsep-konsep yang lebih inklusif, tetapi kerap kali mereka gagal untuk memperlihatkan secara eksplisit hubungan-hubungan pada konsep-konsep inklusif ini ketika di kemudian hari disajikan konsep-konsep khusus subordinat.
4. Penyesuaian Integratif
Terkadang seorang siswa dihadapkan pada suatu kenyataan yang disebut kontradiksi kognitif. Hal ini terjadi bila dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih dari satu konsep. Misalnya, buah merupakan nama konsep untuk suatu konsep gizi dan juga suatu konsep botani. Siswa itu akan bertanya, bagaimana buah sanggup meliputi keduanya, yaitu masuk ke dalam gizi dan juga masuk ke dalam botani.
Untuk mengatasi atau mengurangi sedapat mungkin kontradiksi kognitif ini, Ausubel menyarankan suatu prinsip lain, yaitu yang dikenal dengan prinsip penyesuaian integratif. Menurut Ausubel, dalam mengajar bukan hanya urutan berdasarkan diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep gres dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti gres dibandingkan dan dipertentangkan dengan srti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatnya lebih tinggi kini mengambil arti gres (Tanjung, 2015) .
6. Prasyarat Belajar Bermakna
a. Kondisi dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan kiprah dengan sikap bahwa ia ingin memahami materi pelajaran dan mengaplikasikan materi gres serta menghubungkan materi pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu berguru materi gres dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan materi yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka berguru itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan hasilnya membenci matematika.
b. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif peserta didik sehingga peserta didik tersebut sanggup mengasimilasi materi gres secara bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memperlihatkan pengertian kepada materi gres sehingga materi gres itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c. Tugas-tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual peserta didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi materi materi matematika yang ajaib tanpa contoh-contoh konkrit dari materi tersebut, akan menjadikan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran tadi tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan pernyataan- pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.
7. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Bermakna
Ada tiga kelebihan dari berguru bermakna dalam Amini (2014) yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih usang diingat.
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses berguru berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah berguru hal-hal yang ibarat walaupun telah terjadi lupa.
Kelemahan Belajar Bermakna :
1. Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak usang diingat.
2. Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya sanggup dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
C. Penerapan Pembelajaran Bermakna dalam Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan karakter
Karakter adalah jawaban mutlak untuk membuat kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai sikap insan yang berafiliasi dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat (Liyuwanadefi, 2013).
Pendidikan abjad yakni suatu sistem penanaman nilai-nilai abjad kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan insan kamil. Dalam pendidikan abjad di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan acara atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan, sarana, prasarana, dan, pembiayaan, dan, ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (Liyuwanadefi, 2013).
Menurut Doni Koesoema (Liyuwanadefi, 2013) pendidikan abjad yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk belum dewasa muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.
Menurut Thomas Lickona pendidikan abjad adalah suatu perjuangan yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia sanggup memahami, memperhatikan, dan melaksanakan nilai-nilai etika yang inti. Karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan sikap moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini sanggup dinyatakan bahwa abjad yang baik didukung oleh pengetahuan ihwal kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melaksanakan perbuatan kebaikan.
Bagan dibawah ini merupakan denah keterkaitan ketiga kerangka fikir.
Gambar: Keterkaitan antara komponen moral dalam rangka pembentukan karakter yang baik berdasarkan Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter sanggup didefinisikan sebagai segala perjuangan yang sanggup dilakukan untuk menghipnotis abjad peserta didik.
2. Tujuan Pendidikan Karakter
a. Mewujudkan amanat UU No 20 Tahun 2003 pasal 3 ihwal pendidikan nasional yaitu fungsinya mengembangkan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik biar menjadi insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
b. Mengembangkan platforma pendidikan nasional yang meletakkan makna dan nilai abjad sebagai poros utama penyelenggaraan pendidikan, dengan memperhatikan kondisi keberagaman satuan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia
c. Membangun dan membekali Generasi Emas Indonesia 2045 menghadapi dinamika perubahan di masa depan dengan keterampilan era 21
d. Mengembalikan pendidikan abjad melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik)
e. Merevitalisasi dan memperkuat kapasitas ekosistem pendidikan (kepala sekolah, guru, komite sekolah, pengawas, dan dinas) untuk mendukung ekspansi implementasi pendidikan karakter
f. Membangun jejaring pelibatan publik sebagai sumber-sumber berguru di dalam dan di luar sekolah
g. Melestarikan kebudayaan dan jati diri bangsa Indonesia dalam mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) sesuai dengan UU Sisdiknas, Nawacita, Trisakti, dan RPJMN 2015-2019.
3. Pengembangan Nilai-Nilai Karakter
Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan dalam rangka pembangunan abjad bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa abjad merupakan hasil keterpaduan empat bab yang merupakan flosofi pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara yakni :
1) Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan,
2) Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif,
3) Olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan acara gres disertai sportivitas, serta
4) Olah rasa dan karsa berafiliasi dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan (Pemerintah RI, 2010: 21).
Flosofi Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara tersebut dikembangkan dalam 18 nilai-nilai abjad bangsa berdasarkan Pendidikan Nasional diantarnya :
1) Religius ; Sikap dan sikap yang patuh dalam melaksanakan pedoman agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2) Jujur; Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu sanggup mengemban amanah dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3) Toleransi; Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4) Disiplin; Tindakan yang memperlihatkan sikap tertib dan patuh pada aneka macam ketentuan dan peraturan.
5) Kerja Keras; Tindakan yang memperlihatkan sikap tertib dan patuh pada aneka macam ketentuan dan peraturan.
6) Kreatif; Berpikir dan melaksanakan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil gres dari sesuatu yang telah dimiliki.
7) Mandiri; Sikap dan sikap yang tidak gampang tergantung pada orang lain dalam menuntaskan tugas-tugas.
8) Demokratis; Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9) Rasa Ingin Tahu; Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10) Semangat Kebangsaan; Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11) Cinta Tanah Air; Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12) Menghargai Prestasi; Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13) Bersahabat/Komunikatif; Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
14) Cinta Damai; Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
15) Gemar Membaca; Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca aneka macam bacaan yang memperlihatkan kebajikan bagi dirinya.
16) Peduli Lingkungan; Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17) Peduli Sosial; Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi pertolongan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung Jawab; Sikap dan sikap seseorang untuk melaksanakan kiprah dan kewajibannya, yang seharusnya ia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari 18 nilai-nilai abjad bangsa dikristalisasi menjadi nilai-nilai utama yang sesuai dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), kearifan lokal dan kreativitas sekolah yaitu religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, integritas.
a. Religius
Nilai abjad religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan dalam sikap melaksanakan pedoman agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama,menjunjung tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain, hidup rukun dan tenang dengan pemeluk agama lain.Nilai abjad religius ini meliputi tiga dimensi korelasi sekaligus, yaitu korelasi individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam semesta (lingkungan). Nilai abjad religius ini ditunjukkan dalam sikap mengasihi dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai religius antara lain cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mengasihi lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.
b. Nasionalis
Nilai abjad nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang memperlihatkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,dan politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Subnilai nasionalis antara lain apresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa,rela berkorban, unggul, danberprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan,taat hukum, disiplin,menghormati keragaman budaya, suku,dan agama.
c. Mandiri
Nilai abjad berdikari merupakan sikap dan sikap tidak bergantung pada orang lain dan mempergunakan segala tenaga, pikiran,waktu untuk merealisasikan harapan, mimpi dan cita-cita. Subnilai berdikari antara lain etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
d. Gotong Royong
Nilai abjad gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama dan pundak membahu menuntaskan masalah bersama, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yang membutuhkan. Subnilai gotong royong antara lain menghargai, kerja sama, inklusif, janji atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolongmenolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan.
e. Integritas
Nilai abjad integritas merupakan nilai yang mendasari sikap yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu sanggup mengemban amanah dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, mempunyai janji dan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi sikap tanggung jawab sebagai warga negara, aktif terlibat dalam kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan dan perkataan yang berdasarkan kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta pada kebenaran, setia,komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama penyandang disabilitas).
Kelima nilai utama abjad bukanlah nilai yang berdiri danberkembang sendiri-sendiri melainkan nilai yang berinteraksi satu sama lain, yang berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Dari nilai utama manapun pendidikan abjad dimulai, individu dan sekolah pertlu mengembangkan nilai-nilai utama lainnya baik secara kontekstual maupun universal. Nilai religius sebagai cerminan dari keyakinan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan secara utuh dalam bentuk ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dan dalam bentuk kehidupan antar insan sebagai kelompok, masyarakat,maupun bangsa. Dalam kehidupan sebagai masyarakat dan bangsa nilai – nilai religius dimaksud melandasi dan melebur di dalam nilai-nilai utama nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas. Demikian pula jikalau nilai utama nasionalis digunakan sebagai titik awal penanaman nilai-nilai karakter, nilai ini harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang tumbuh bersama nilai-nilai lainnya.
4. Pembelajaran bermakna yang berkarakter
Dari uraian berguru bermakna dan pengertian pendidikan abjad tersebut diatas, maka sanggup disimpulkan bahwa pembelajaran bermakna yang berkarakter merupakan proses interaksi antar peserta didik, dengan pendidik dan sumber berguru yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai-nilai sikap yang diperoleh melalui penerimaan atau inovasi dan mengaitkan informasi atau materi gres tersebut dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik, sehingga pengenalan nilai-nilai, fasilitasi yang diperolehnya dari kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laris peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran.
Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
Belajar bermakna yang berkarakter sanggup terjadi jikalau peserta didik bisa mengkaitkan materi pelajaran gres dengan struktur kognitif yang sudah ada dan mengintegrasikannya dalam prilaku pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan sehari-hari. Struktur kognitif tersebut sanggup berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh peserta didik. Bruner memandang insan sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta informasi.
Ausubel beropini bahwa guru harus sanggup mengembangkan potensi kognitif peserta didik melalui proses berguru yang bermakna. Sama ibarat Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa acara berguru peserta didik, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk peserta didik pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan pribadi akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, berdasarkan Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori berguru bermakna Ausubel yang berkarakter yakni proses berguru akan mendatangkan hasil atau bermakna jikalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang gres sanggup menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik dan mencerminkan nilai-nilai abjad bangsa .
Penerapan pembelajaran bermakna dalam kaitannya dengan tipe belajar, Ausubel mengemukakan empat tipe berguru yang sanggup diintegrasikan dengan pendidikan karakter.
1) Belajar dengan inovasi yang bermakna dengan pendidikan karakter. Cara berguru tersebut sanggup diintegrasikan dengan pendidikan karakter, pada penerapan pembelajarannya peserta didik mendapat informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang gres dengan struktur kognitif yang dimiliki dengan nilai-nilai abjad yang sesuai, sebagai teladan pada proses pembelajaran peserta didik diminta menemukan perubahan wujud benda. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, ibarat teladan wujud-wujud benda, peserta didik sanggup menemukan sendiri perubahan wujud benda tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu tujuan pembelajaran yang sanggup dilakukan adalah “Dengan membaca teks ihwal perubahan wujud benda, peserta didik sanggup menemukan contoh– teladan perubahan wujud benda yang terdapat pada bacaan dengan cermat dan teliti (Mandiri)”.
2) Belajar dengan inovasi tidak bermakna dengan pendidikan karakter, pada penerapan pembelajarannya peserta didik mendapat informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia menghafalnya dengan nilai-nilai abjad yang sesuai, sebagai teladan pada proses pembelajaran peserta didik menemukan sifat-sifat persegi panjang tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat persegi panjang (sisi berhadapan sama panjang , besar sudut sama ) dan kemudian dihafalkan. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu tujuan pembelajaran yang sanggup dilakukan yakni “Dengan melakukan percobaan secara berdikari peserta didik sanggup membuat laporan pengamatan sederhana secara sistematis dan komunikatif (Mandiri)”.
3) Belajar mendapatkan yang bermakna dengan pendidikan karakter, pada penerapan pembelajarannya peserta didik mendapat informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk final/akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang gres itu dengan struktur kognitif yang dimiliki dengan nilai-nilai abjad yang sesuai, sebagai teladan pada proses pembelajaran peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pendidik mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan gampang tertanam kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut sanggup dipelajari peserta didik secara bermakna. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu tujuan pembelajaran yang sanggup dilakukan yakni “Dengan melakukan latihan soal peserta didik sanggup memilih beberapa cara menentukan persamaan akar-akar kuadrat secara cermat, kritis, rasa hormat dan disiplin (Mandiri, integritas) ”.
4) Belajar mendapatkan yang tidak bermakna dengan pendidikan karakter, pada penerapan pembelajarannya peserta didik mendapat informasi yang disajikan dalam bentuk final. Bahan yang disajikan tadi diterima tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya dengan mengintegrasikan nilai-nilai abjad yang sesuai, sebagai teladan pada proses pembelajaran peserta didik mendapatkan daftar nama-nama suku yang ada di Indonesia. Dengan daftar nama-nama suku tersebut peserta didik pribadi menghafalnya. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu tujuan pembelajaran yang sanggup dilakukan yakni “ Dengan membaca perserta didik sanggup menyebutkan daftar nama-nama suku yang ada di Indonesia secara cermat, tanggung jawab, penuh rasa syukur dan komunikatif (Religius, Mandiri)”.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar: (1) Belajar bermakna (meaningful learning) yakni suatu proses berguru di mana informasi gres dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan (2) berguru menghafal (rote learning) yakni peserta didik berusaha mendapatkan dan menguasai materi yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Ausubel yang dikenal dengan teori berguru bermakna pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah. Walaupun metode yang digunakan metode ceramah, guru tidak perlu pesimis akan kebermaknaan materi yang disampaikan asalkan selalu dikaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa.
Menurut Thomas Lickona pendidikan abjad adalah suatu perjuangan yang disengaja untuk membantu seseorang biar sanggup memahami, memperhatikan, dan melaksanakan nilai-nilai etika yang inti. Karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan sikap moral (moral behavior).
Ausubel beranggapan bahwa acara berguru peserta didik, tingkat pendidikan dasar dilibatkan dalam kegiatan langsung. namun tingkat pendidikan lebih tinggi, lebih efektif kalau pendidik menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Belajar bermakna yang berkarakter sanggup terjadi jikalau peserta didik bisa mengkaitkan materi pelajaran gres dengan struktur kognitif yang sudah ada dan mengintegrasikannya dalam prilaku pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Pembahasan pembelajaran bermakna dalam pendidikan abjad disarankan biar membaca buku yang up todate sesuai dengan RPJMN 2015-2019 dan Agenda Nawacita no 8.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Umi. (2014). Teori Kognitif Menurut David Ausubel. Diakses dari: http:// www.academia.edu/8176305/Teori_Kognitif_Menurut_David_Ausubel
Ausubel, D.P. (1963). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grune & Stratton Publishers.
__________. (1968). Educational Psychology: a Cognitive View. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Berry, Miles. (2009). Meaningful Learning and ICT. Diakses dari: aciknadzirah.blogspot.com/search?q=29/pendidikan-karakter/" title="√ Teori Belajar Kognitif Ausubel ">Pendidikan Karakter (Terintegrasi Dalam Pembelajaran ). Diakses dari: https://gloriasuter.wordpress. com/2011/07/29/ pendidikan-karakter/
Hudoyo, Herman. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: Penerbit IKIP Malang
_____________. (1998). Implementasi Penelitian terhadap Pengajaran Matematika. Jakarta: P3G. Depdikbud.
Jonassen, D. H. (2007). Meaningfull Learning with Technology (3rd Edition). Publisher: Prentice Hall.
Kemendiknas. (2014). Pendidikan Karakter bangsa, dalam perpustakaan. Diakses dari: https://gloriasuter.wordpress kemdiknas.go.id/d0wnl0ad/ Pendidikan%20Karakter.pdf
Liyuwanadefi, Shentia. (2013). Pendidikan Karakter. Diakses dari: http:// shentiald.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pendidikan-karakter
Nasution. (2003). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Schank, R.C. & Cleary, C. (1995). Engines for education. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Sulaiman, Dadang. (1988). Teknologi/ Metodologi Pengajaran. Jakarta: P2LPTK
Sutomo, Edi. (2015). Teori Belajar matematika (Brunner, Dienes, Ausubel). Diakses dari: http://www.academia.edu/15746221/Teori_Belajar_ matematika_Brunner_Dienes_Ausubel_
Tanjung, R. (2015). Pondok Khazanah. Diakses dari: aciknadzirah.blogspot.com/search?q=29/pendidikan-karakter/" title="√ Teori Belajar Kognitif Ausubel ">Pendidikan Karakter (Terintegrasi Dalam Pembelajaran ). Diakses dari: https://gloriasuter.wordpress. com/2011/07/29/ pendidikan-karakter/ ------------------. (2017). Modul Pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Diakses dari: https://mutudidik.wordpress.com/2017/02/28/modul-pelatihan-penguatan-pendidikan-karakter/
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com
Hudoyo, Herman. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: Penerbit IKIP Malang
_____________. (1998). Implementasi Penelitian terhadap Pengajaran Matematika. Jakarta: P3G. Depdikbud.
Jonassen, D. H. (2007). Meaningfull Learning with Technology (3rd Edition). Publisher: Prentice Hall.
Kemendiknas. (2014). Pendidikan Karakter bangsa, dalam perpustakaan. Diakses dari: https://gloriasuter.wordpress kemdiknas.go.id/d0wnl0ad/ Pendidikan%20Karakter.pdf
Liyuwanadefi, Shentia. (2013). Pendidikan Karakter. Diakses dari: http:// shentiald.blogspot.co.id/2013/10/makalah-pendidikan-karakter
W. S. Winkel. (1996). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo.
Zuriah, Nurul. (2007). Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.