BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan berkala untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran supaya peserta didik secara aktif bisa mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian yang baik, pengendalian diri, berakhlak mulia, kecerdasan,dan keterampilan yang dibutuhkan oleh dirinya dan masyarakat. Lebih lanjut dalam Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia bertujuan supaya masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, sopan santun mulia, serta ketrampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional meliputi banyak sekali aspek kehidupan diri
Dalam kepingan ini dijelaskan bagaimana para tokoh perintis pendidikan merancang filsafat dan teori –teori mereka dalam dunia pendidikan. Mereka mengembangkan ide-ide utama perihal sekolah, kurikulum dan metode-metode pengajaran yang selanjutnya membentuk pra-layanan awal guru dan praktek dalam ruang kelas cukup umur ini.
Para tokoh perintis menyerupai Johann Amos Comenius, Jean-Jacques Rouseue dan Johann Heinrich Pestalossi merubah konsep warisan perihal anak pembangkang dan pembelajaran pasif yang begitu usang mendominasi persekolahan.
Teori anak pembangkang menyatakan bahwa anak terlahir dengan kecenderungan jahat maka para guru otoriter dibutuhkan untuk bisa membebaskan anak dari kejahatan tingkah laris anak. Para tokoh perintis pendidikan sebaliknya menegaskan teori natural/alamiah yang menegaskan bahwa anak anak intinya baik dan alam memperlihatkan isyarat untuk pendidikan mereka.
Para tokoh pendidik menyerupai Friederich Froebel, Maria Montessori, Herbert Spencer, John Dewey, Jean Piaget dan Paulo Freire menyatakan bahwa: (1) Pendidikan seharusnya mengikuti pertumbuhan dan perkembangan tingkatan
alamiah insan dan (2) bawah umur mencar ilmu dengan cara berinteraksi dengan objek dan situasi lingkungan keseharian mereka. Model taman kanak kanak Froebel dan model pra-layanan lingkungan tersusun Montessori disusun berdasarkan perkembangan anak. Dewey dan Piaget menekankan interaksi bawah umur dengan lingkungan mereka sebagai cara paling efektif untuk belajar. Herbert Spencer mengusulkan pemanfaatan dan pendidikan keilmuan untuk memampukan indidvidu mengikuti keadaan secara sukses dengan linkungan mereka. Freire mendorong suatu pendidkan untuk menaikan kesadaran dari orang-orang yang tertindas sehingga mereka bisa membebaskan diri mereka sendiri dari kondisi penindasan sosial, ekonomi, politik dan pendidikan. Johann Herbart menemukan suatu metode untuk pendidikan yang sistimatis.
Anda mungkin saja memimpikan para tokoh perintis pendidkan ini sebagai mentor (penasehat) dari masa kemudian yang bisa menerangi ide-ide Anda perihal mencar ilmu mengajar. Mentor (penasehat) yaitu seorang yang sangat penting yang hidup, ide-ide dan tingkah lakunya terlayani sebagai suatu model atau pola bagi orang lain. Anda sanggup menghubungakan para tokoh perintis pendidkan diatas dengan mentor Anda dikala ini, khususnya para guru yang menghipnotis pandangan Anda perihal pendidikan atau mungkin keputusan Anda menjadi seorang guru. Kemudian Anda sanggup merefleksikan bagaimana para tokoh perintis dalam kepingan ini berkontribusi terhadap ide-ide Anda perihal pembelajaran.
Sejak dahulu hingga kini pendidikan yaitu hal penting di dunia. Dari mulai kecil, anak sudah mulai di didik oleh orang tuanya di lingkungan sekitar. Begitu pula dengan sekolah, sekolah yaitu suatu forum yang sangat berperan penting dalam pendidikan anak dan kemampuan anak. Pendidikan tidak muncul begitu saja dalam hal ini banyak orang atau mahir berperan penting dalam dunia pendidikan diseluruh dunia. Tokoh pendidikan inilah yang membuat, mencetuskan, dan mencerdaskan bawah umur diseluruh dunia dengan karya-karyanya. kita dilarang melupakan hasil jerih payah beliau, kita harus menerapkan semuanya dimasyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapar dirumuskan duduk masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Siapakan Pelopor Pendidikan di Dunia?
2. Siapakah Pelopor Pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui para aktivis pendidikan di dunia; dan
2. Untuk mengetahui para aktivis pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya makalah perihal para aktivis pendidikan ini, secara tidak eksklusif sanggup memperlihatkan wawasan pengetahuan bagi penulis pada khusus nya dan pembaca pada umumnya untuk senantiasa mengembangkan kualitas pendidikan sebagaimana yang telah dibangun oleh para pelopor.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pelopor Pendidikan Di Dunia
1. Comenius : Pencarian Metode Baru
Jan Komensky (1592-1670) dikenal sebagai Comenius, lahir di kota Moravi, Nivnitz. Dia hidup pada jaman pasca Reformasi Eropa, jaman penuh kebencian dan kekerasan sektarian. Penganiayaan bermotif agama mendesak Comenius meninggalkan tempatnya dan hidup sebagai pengungsi di negara Eropa lain. Berkarya untuk mengakhiri intoleransi keagamaan, ia menyusun suatu filsafat pendidikan gres ( PANSOPHISM ) , penanaman pemahaman universal. Tokoh pendidik perdamaian, Comenius yakin bahwa kumpulan pengetahuan universal akan meyakinkan orang untuk meninggalkan kebencian etnis dan keagamaan dan hidup secara serasi dalam suatu tatanan dunia yang penuh kedamaian.
Comenius yaitu seorang tokoh pendidikan antara jaman Renaissance humanis dan Reformasi alamiah. Metode pengajaran Comenius memakai pemahaman,lebih dari sekadar ingatan pasif. Hal ini kemudian terinspirasi kemudian oleh para pendidik menyerupai Rousseaue, Pestalozzi,Montessori dan Dewey. Bukunya Gate of Tongues Unlocked berhubungan dengan pengajaran bahasa Latin terhadap bahasa kawasan para siswa. Pelajaran dimulai dengan ungkapan-ungkapan pendek dan sederhana dan perlahan berlanjut menjadi kalimat-kalimat lebih panjang dan kompleks. Secara inovatif Comenius menulis dan mengilustrasikan pada buku gambar, The Visible World in Picture, sebagai sebuah panduan pengajaran.
Prinsip Belajar dan Mengajar
Penghormatan pada kebutuhan dan ketertarikan alamiah anak. Comenius menolak keyakinan anak pembangkang dimana bawah umur intinya jelek dan para guru memakai eksekusi tubuh untuk mendisiplinkan mereka. Sebaliknya, Comenius ingin guru mengurus bawah umur dengan membuat ruang-ruang kelas yang menyenangkan. Larangan terhadap ketergesaan dan pemfokusan terhadap anak. Ia yakin bawah umur mencar ilmu lebih efektif bila mereka siap untuk mempelajari suatu keterampilan khusus atau subyek tertentu.
Pelajaran seharusnya cocok dengan tingkat perkembangan alamiah anak. Ia menasehati para guru untuk mengorganisasikan pelajaran mereka kedalam langkah-langkah sederhana yang gampang dicerna, membuat tahapan pelajaran, komulatif dan menyenangkan.
Berikut ini yaitu prinsip-prinsip pengajaran Comenius: (1) memakai obyek atau gambar dalam mengilustrasikan konsep, (2) menghubungkan pelajaran dengan kehidupan keseharian anak, (3) menyajikan pelajaran eksklusif dan sederhana, (4) menekankan prinsip-prinsip umum lebih awal secara detail, (5) menekankan bahwa semua makluk hidup dan obyek yaitu kepingan dari keseluruhan jagad raya, (6) menyajikan pelajaran secara berurutan, pemfokusan suatu hal pada waktunya, (7) tidak meninggalkan keterampilan khusus atau subyek hingga para siswa memahaminya secara keseluruhan. Penekanan Comenius yaitu pada kesiapan anak, penggunaan obyek nyata, dan kemajuan dalam pengajaran secara sedikit demi sedikit menjadi suatu kepingan yang integral dalam jadwal pengajaran guru.
Pendidikan dan Sekolah
Sebagai seorang pendidik multibudaya dan internasional, Comenius menghormati perbedaan agama dan budaya tetapi juga percaya bahwa semua orang yaitu anggota keluarga yang besar. Dia percaya bahwa dengan penanaman pengetahuan yang universal dan nilai, sekolah sanggup meningkatkan pemahaman internasional dan kedamaian dan menciptakan suatu dunia tanpa kekerasan. Sebagai seorang innovator, Comenius memakai inovasi teknologi pada jamannya, menyerupai percetakan, guna membuatkan ide-idenya dalam buku teks secara luas.
Pengaruh pada Praktek Pendidikan Saat ini
Comenius sanggup dianggap sebagai seorang mentor ( penasihat) atau model bagi para guru dikala ini. Dia ingin menyiapkan guru yang hormat pada hak asasi universal, bermartabat dan keragaman budaya dan agama. Dia ingin para guru dalam persiapan mencar ilmu mengajar bagaimana mengenali tingkat perkembangan anak dan kesiapan untuk pembelajaran yang secara khusus. Dia menganjurkan para guru memakai obyek dan gambar untuk mendorong anak menggunakan pemahaman mereka dalam belajar. Dalam prakteknya, para guru disarankan tidak mendesak atau menekan bawah umur tetapi membuat iklim ruang kelas yang indah dan menyenangkan.
2. Rousseau : Mendidik Pribadi Alamiah
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), seorang teoritis perancis, hidup dalam era ke-18, mendahului Revolusi Amerika dan Peranci. Dia termasuk intelektual Parisian yang mempertanyakan otoritas gereja dan monarki absolut. Bukunya “On the Origin of the Inequality of Mankind and The Social Contract” mengutuk perbedaan kekayaan, kepemilikan dan kedudukan yang mengakibatkan ketidakadilan sosial. Menurut Rousseau, insan yaitu “ nobel savages,” yakni mereka tidak berdosa, bebas dan tidak korupsi pada kepalsuan ekonomi sosial. Rousseau sering dikritisi dalam kepribadiannya yang tidak konsisten bekerjasama dengan anak. Meskipun dia menulis perihal penghormatan kebebasan anak, dia meninggalkan anak-anaknya di panti asuhan.
Rousseau memberikan filosopi pendidikannya 1762 lewat novel Emile- dongeng perihal pendidikan seorang anak lelaki dari masa kecil hingga dewasa. Novel Rousseeau ini menolak pandangan bahwa pendidikan harus mensosialisasikan anak. Ia juga menyerang keyakinan anak malas dan pendidikan yang didominasi buku. Sebaliknya, Rousseau mendorong naluri anak dan kebutuhan alamiah serta lebih memuaskan daripada pemfokusan oleh sekolah otoriter dan pemaksaan guru. Dia ingin membebaskan orang dari institusi masyarakat yang memenjarakan.
Prinsip Belajar dan Mengajar
Seperti Comenius, Rousseau menekankan pentingnya tahapan perkembangan manusia. Dalam Emile, Rousseau mengidentifikasi 5 tahapan perkembangan manusia: bayi, anak, remaja, cowok dan dewasa. Setiap tahapan berurutan, menampilkan kondisi masing-masing dalam kesiapan balajar dan menuntun pada tahap berikut. Untuk menekankan kebaikan alamiah anak, seorang tutor home-shooling menjauhkan anak dari kesamaan dan suatu masyarakat korup. Home-schooling lebih disukai dari sekolah lantaran di sekolah bawah umur salah diajarkan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan masyarakat dibanding aliran perihal naluri alamiah mereka.
Pada tahapan pertama yang digagas Rousseau, bayi (lahir hingga 5 tahun). Karakter Emile mulai disusun oleh realitas kesan awal, dia mencar ilmu secara eksklusif memakai indranya menguji obyek pada lingkungannya.
Selama masa anak (5 hingga 12 tahun), Emile menyusun identitas dirinya ketika ia mencar ilmu bahwa tindakannya mengakibatkan rasa sakit atau kesenangan. Keingintahuan alamiah mengakibatkan Emile mengunakan indranya lebih besar dalam mencar ilmu perihal dunia. Menggunakan mata, telinga, tangan dan kaki yaitu guru pertama. Rousseau menilai mencar ilmu melalui indra lebih efektif dari pada mengajarkan anak kata-kata yang mereka tidak mengerti. Tutor dengan sengaja menghentikan perkenalan dengan buku pada tahapan ini dengan maksud Emile tidak akan menggantikan bacaan untuk pengalaman eksklusif dengan alam.
Selama masa remaja (12 hingga 15 tahun), Emile mencar ilmu pengetahuan alam dengan memperhatikan bulat pertumbuhan tumbuhan dan hewan. Dengan eksplorasi lingkungannya, ia mencar ilmu geografi secara eksklusif dari pada lewat peta. Emile juga mencar ilmu cara berdagang, pertukangan – menghubungkan pekerjaan mental dan fisik.
Ketika dia mencapai cowok ( 15 hingga 18 ), Emile siap untuk mencar ilmu perihal dunia kemasyarakatan yang lebih luas, pemerintahan, ekonomi, dan bisnis. Dia mengunjungi museum, teater, galeri seni dan perpustakaan untuk menanamkam rasa seni. Selama masa final pendidikan (18 hingga 20 tahun), Emile mengunjungi Paris dan kota-kota di Eropa untuk memperluas kesadaran budayanya. Setelah dia bertemu dengan istrinya Sophie, Emile menceritakan kepada tutornya pada final buku sehingga dia berencana memperlihatkan anak-anaknya perihal pendidikan alamiah yang ia dapatkan.
Pendidikan dan Sekolah
Rousseau curiga terhadap sekolah, yang ia yakin mengajarkan bawah umur untuk menyesuaikan diri dengan aturan kemasyarakatan semu dari pada hidup berdasarkan alam. Sosialisasi sekolah menekankan anak kedalam rutinitas dan kiprah orang cukup umur daripada membiarkan mereka tumbuh berdasarkan naluri alamiah, minat dan kebutuhan mereka. Dengan mendesak bawah umur menghafal buku, para guru tentu merintangi kekuatan siswa untuk mencar ilmu dari pengalaman eksklusif mereka. Emile, seorang anak yang tumbuh alamiah, mengekspreikan naluri alamiah dan bunyi hatinya daripada penekanan. Bila kesenangan di nikmati maka Emile memperoleh penghargaan sebaliknya bila tindakannya mengakibatkan ia merasa sakit maka Emile membawa kesudahannya untuk dirinya sendiri- setiap cara, ia mencar ilmu dari pengalaman. Rousseau menyoroti ide-ide pokok dalam filosofi pendidikannya sebagai berikut: (1) bawah umur yaitu dasar alamiah bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia; (2) minat dan naluri alamiah anak akan menuntun kepada eksplorasi lingkungan mereka; (3) manusia, dalam bulat hidup mereka, melewati tahapan tahapan penting dalam perkembangan; (4) pemaksaan orang cukup umur berakibat negatif terhadap perkembangan anak-anak.
Pengaruh pada Praktek Pendidikan Saat ini
Meskipun kritiknya diremehkan, dongeng perihal pendidikan fiksi Emile merupakan suatu hal yang diperhitungkan antara hubugan siswa dan guru. Kritiknya telah memengaruhi pendidikan modern. Menurut Rousseau, kurikulum harus muncul dari minat dan kebutuhan siswa yang dalam dan berpusat pada pendidik yang progresif terhadap siswa. Ide-ide Rousseau juga mengantisipasi Constructivisme, dimana bawah umur menginterpretasikan realitas diri mereka daripada mempelajari informasi dari sumber-sumber tidak langsung. Disamping ketidakpercayaan pada sekolah, pandangan Rousseau bahwa para guru harus mengikuti minat bawah umur dan bawah umur harus mencar ilmu dari interaksi eksklusif dengan lingkungan telah membentuk pra-layanan para guru dan praktek di ruang kelas.
3. Pestalozzi: Pendidik Indra dan Emosi
Hidup Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827) bertepatan dengan awal revolusi industri di Eropa dan Amerika ketika produksi pabrik menggantikan kerajinan rumah tangga. Industri mengubah kehidupan keluarga dikala kaum perempuan dan anak memasuki angkatan kerja. Fokus pada dampak perubahan ekonomi pada keluaraga dan anak, Pestalozzi mencoba mengembangkan sekolah, yang mengasihi keluarga, akan merawat perkembangan anak. Gagasannya perihal kekerabatan keluarga dan sekolah sangat bermanfaat pada masyarakat global dikala ini. Sebagai pengaggum Emile, Pestalozzi oke dengan Rousseau bahwa insan intinya baik tetapi dirusak oleh suatu masyarakat korup, tradisi sekolah yang diikuti rutinitas ingatan dan hafalan. Reformasi sekolah sanggup memperbaiki masyarakat. Meskipun Rousseau yaitu mentor sejarah bagi Pestalozzi, ia secara signifikan merevisi metode Rousseau. Bila Rousseau menolak sekolah, sebaliknya Pestalozzi percaya pada sekolah,jika diorganisasikan dengan baik sanggup menjadi sentra mencar ilmu efektif. Pestalozzi juga mengadaptasi ulang metode tutor untuk seorang anak ke dalam kelompok pengajaran bersama.
Pada sekolahnya di Burgdorf dan Yverdon, Pestalozzi mengembangkan suatu jadwal pra-layanan pendidikan guru dimana dia berperan sebagai mentor bagi guru-guru yang dilatih dalam metodenya. Metode pendidikannya menekankan hak anak untuk mencar ilmu dengan cara tidak tergesa dalam suatu lingkungan yang hangat.
Pestalozzi yakin bahwa konsep pemikiran terbentuk dengan ringkasan data yang dibawa oleh indera. Metodenya memakai obyek-obyek pada efek pengajaran menghipnotis Froebel dan Montessori.
Prinsip Belajar dan Mengajar
Pendekatan pengajaran Pestalozzi sanggup disusun kedalam metode “general” dan “special”. Metode general harus diletakan sebelum perintah –perintah khusus terjadi, dirancang untuk membuat kesehatan emosional dan pembelajaran lingkungan yang menyenangkan. Hal ini membutuhkan guru-guru yang secara emosional melindungi mereka sendiri, sanggup memperoleh kepercayaan, kasih sayang siswa dan penghargaan diri mereka.
Pestalozzi mengimplementasi metode special “object lesson”, yang berdasarkan Rousseau, ditekankan pada pembelajaran sensori. Dalam pendekatan ini, bawah umur mempelajari obyek-obyek umum pada lingkungan mereka seperti, tanaman,bebatuan, artifak, dan obyek lain yang dihadapi dalam pengalaman setiap hari. Untuk menentukan bentuk suatu objek, siswa menggambar dan menirunya. Siswa juga menghitung dan menamai obyek-obyek itu. Kemudian siswa mempelajari bentuk, angka, nama atau bunyi yang bekerjasama dengan obyek. Siswa maju sedikit demi sedikit dari obyek pelaran ini untuk menggambar, menulis, membaca, menghitung, menambahkan, mengurangi, mengalikan dan membagi. Latihan menulis pertama terdiri dari citra pelajaran dimana bawah umur menggambar rangkaian naik dan turunnya garis dan membuka dan menutup dari kurva. Pengembangan koordinasi motorik dan otot tangan, latihan gambar dan peniruan mempersiapkan mereka untuk menulis. Dipandu oleh nasehat Rousseau perihal pembelajaran verbal atau pelajaran abstrak, Pestalozzi menganjurkan kepada guru-guru untuk memulai pengajaran berdasarkan pengalaman eksklusif anak dalam lingkungan mereka. Kemudian para guru progresif ini memasukan pemfokusan Pestalozzi ini pada pengalaman eksklusif anak dalam kelas mereka.
Pestalozzi mengembangkan taktik berikut ini untuk jadwal pra-pelayanan persiapan guru. Para guru seharusnya (1) memulai dengan obyek nyata sebelum memperkenalkan konsep abstrak; (2) memulai dengan lingkungan peserta didik sebelum bekerjasama dengan hal-hal yang jauh dan terpencil; (3) memulai dengan latihan-latihan gampang dan sederhana sebelum memperkenalkan hal-hal rumit; (4) selalu berproses tahapan dan kumulatif. Model pembelajaran Pestalozzi ini dimasukkan dalam praktek di kelas pada sekolah dasar di Eropa dan Amerika.
Pendidikan dan Sekolah
Pestalozzi mendasarkan pembelajaran pada prinsip-prinsip alamiah dan menekankan pada pentingnya emosional manusia. Meskipun demikian, tidak menyerupai Rousseau, Pestalozzi lebih memakai perintah kelompok daripada tutor individual atau home schooling. Rousseau dan Pestalozzi mendefenisikan “knowing” sebagai pemahaman alamiah,baik pola dan hukumnya. Pestalozzi menekankan pembelajaran empirik dan sensori yang melaluinya anak-anak mencar ilmu perihal lingkungan mereka melalui pengamatan fenomena alamiah secara secama.
Seperti Comenius, Pestalozzi percaya bahwa bawah umur harus belajar sedikit demi sedikit dan memahami sepenuhnya apa yang sedang mereka belajar. Dia secara khusus mendedikasikan diri pada bawah umur yang miskin, lapar dan secara sosial dan spikologis tersiksa. Bila bawah umur lapar, Pestalozzi memberi mereka makan sebelum berusaha mengajar mereka. Bila mereka takut, dia menghibur mereka. Baginya, seorang guru tidak hanya terampil dalam metode –metode pengajaran tetapi juga bisa mengasihi anak-anak. Pestalozzi yakin bahwa kasih sayang pada insan penting untuk kesuksesan pembelajaran. Prinsip-prinsip Pestalozzi sanggup diterapakan untuk mengajar bawah umur dengan kebutuhan khusus begitu pula bawah umur secara umum.
Pengaruh pada Praktek Pendidikan dikala ini
Obyek dari pelajaran Pestalozzi diperkenalkan dalam kurikulum pendidikan dasar Amerika pada era ke-19. Penekanannya pada bagaimana siswa memanipulasi obyek pada lingkungannya merupakan aktivis proses mencar ilmu mengajar. Dia yakin bahwa seharusnya diarahkan pada pikiran dan emosional para pendidik dalam mengembangkan pengajaran kognitif ataupun afektif. Ketika para pendidik Amerika melanjutkan fokus pada kebutuhan anak dengan resiko, gagasan Pestalozzi, khususnya metode general, diperbarui relevansinya. Penegasan Pestalozzi bahwa keamanan emosional merupakan prasyarat penting dalam keterampilan dan subyek pembelajaran yang besar lengan berkuasa dalam hubungannya dengan pemfokusan pada home-school.
4. Herbart: Pengajaran Sistematis
Johann Friedrich Herbart (1776-1841), seorang professor filsafat dan spikologi Jerman, menemukan metode pendidikan, yaitu pengajaran sistematis dan perkembangan keberanianmoral siswa. Secara khusus, dia memakai sejarah dan sastra dalam menyusun jaringan gagasan dalam pikiran siswa.
Prinsip Belajar dan Mengajar
Herbart mendefinisikan interest sebagai suatu kemampuan seseorang untuk secara sadar fokus dan tetap bertahan pada suatu ide. Dia menerangkan bahwa suatu kekuatan besar atau jaringan ide akan membangkitkan suatu jumlah interests/ketertarikan. Ide bekerjasama dengan satu sama lain membentuk suatu jaringan,atau yang ia sebut “ mass apperceptive” dalam pikiran. Menurut psikologi Herbart, guru disarankan untuk memperkenalkan pada siswa untuk meningkatkan jumlah gagasan dan menolong mereka membangun kekerabatan antara ide.
Prihatin atas perkembangan moral siswa, Herbart menekankan studi humanistik dalam sejarah dan sastra sebagai sumber yang kaya akan nilai moral. Dengan mempelajari kehidupan orang-orang hebat, siswa sanggup menemukan bagaimana orang membuat keputusan moral mereka. Sastra memperlihatkan suatu kerangka untuk menempatkan nilai-nilai kedalam perspektif kemanusiaan. Herbart terpengaruh dalam membawakan sejarah dan sastra kedalam kurikulum pada masa itu dikala didominasi oleh bahasa Yunani dan Latin.
Pendidikan dan Sekolah
Dalam pengajaran sistematis, Herbart menyusun pengajaran kedalam 5 langkah:
1. Persiapan, dimana guru memberanikan kesiapan pada siswa untuk mendapatkan konsep gres atau materi tang telah dipersiapkan untuk diperkenalkan.
2. Presentasi, dimana guru mengidentifikasi dan dan mempresentasian secara terang konsep baru.
3. Asosiasi, dimana konsep gres dibandingkan dan dikontraskan dengan ide yang sudah diketahui siswa.
4. Generalisasi, dimana suatu prinsip terbentuk yang menghubungkan pembelajaran usang dan baru.
5. Aplikasi, dimana ujian dan latihan yang sempurna menilai apakah siswa telah menguasai dan mencar ilmu prinsip baru.
Pengaruh pada Praktek Pendidikan dikala ini.
Metode Herbart ini memperoleh penerimaan luas dalam jadwal pendidikan guru di Amerika dan negara-negara lain, khususnya Jepang. Guru dilatih mengunakan langkah Herbart untuk secara sistematis mengatur pengajaran. Pandangan Herbart perihal pendidikan moral membantu membuat sejarah dan sastra kedalam inti kurikulum budaya. Meskipun kepopulerannya, John Dewey dan para pendidik progresif mengkritisi metode Herbart, mengklaim bahwa metode ini ternyata menjadikan siswa peserta informasi pasif daripada siswa aktif.
Pada final abad-19 dan awal abad-20, jadwal pra-layanan mengutamakan metode Herbart, khususnya yang menekankan pada pengajaran sistematis dan berurutan.Implikasi metode Herbart pada guru cukup umur ini adalah: (1) secara terang mengidentifikasi keterampilan dan konsep yang direncanakan untuk diperkenalkan pada siswa, (2) perencanaan pelajaran terorganisasi dan jelas, (3) tes siswa untuk membenarkan akan aplikasi keterampilan dan konsep yang dihadirkan pada siswa.
5. Frobel: Perkembangan Taman Kanak-Kanak
Pendidik Jerman Friederich Froebel (1782-1852) menciptakan kindergarten- harafiah,”taman anak-anak” – suatu sekolah bagi pendidikan pra-sekolah. Seorang idealis,seperti Plato, Froebel mendasarkan pendidikan filosofisnya pada keyakinannya bahwa spiritualitas terdalam yaitu inti dari sifat manusia. Dia yakin setiap anak mempunyai suatu bawaan spiritual hakiki, suatu kekuatan, yang diusahakan untuk dikeluarkan. Froebel merancang taman kanak-kanaknya sebagai suatu pendidikan lingkungan dimana sifat bawah umur atau spiritual laten sanggup dibawa pada permukaan. Sebagai seorang nasionalis, dia yakin bahwa orang dari setiap negara, termasuk negaranya Jerman, bersama membagi suatu semangat yang terwujud dalam sejarah negaranya, lagu-lagu dan cerita. Oleh karenanya, dongeng dan lagu mempunyai tempat penting dalam jadwal taman kanak-kanak.
Niat Froebel untuk menjadi guru membawa dia kepada Institute Pestalozzi di Yverdon, dimana dari 1808 hingga 1810 dia mengikuti jadwal training guru. Pestalozzi menjadi mentor baginya. Ketika Pestalozzi merevisi metode Rousseau, Frobel memakai metode Petalozzi dengan selektif. Frobel mendukung aspek-aspek tertentu dari metode Pestalozzi menyerupai penggunaan sensasi dan obyek suasana sekolah yang permisif. Tetapi, dia yakin bahwa proses Pestalozzi membutuhkan lebih banyak dasar filosofis. Froebel memperlihatkan obyek pelajaran Pestalozzi menjadi arti yang lebih dengan menambahkan bahwa obyek nyata akan menstimulasi ingatan dari konsep yang terhubung dalam pikiran anak. Frobel mendapatkan visi sekolah Pestalozzi sebagai tempat kondusif secara emosional bagi bawah umur tetapi merevisi perkembangan anak dalam istilah spiritual. Seperti Comenius, Rousseau dan Pestalozzi, Froebel ingin para guru lebih sensitif dalam hal kesiapan dan kebutuhan siswa daripada pemberi kiprah yang mendengarkan hafalan dan mendesak anak-anak mengingat kata-kata yang mereka tidak dimengerti.
Prinsip Belajar dan Mengajar
Froebel merancang taman kanak-kanak sebagai suatu persiapan lingkungan dimana siswa sanggup mengeksternalisasi kedalaman spiritual melalui aktivitas. Taman kanak-kanak pertamanya 1837 di Blankenburg, merupakan tempat pembelajaran lingkungan yang mengutamakan games, permainan, lagu-lagu, dongeng dan kerajinan. Aktivitas taman kanak-kanak kini menjadi kepingan standar dalam pendidikan anak pra-sekolah, menstimulasikan imajinasi bawah umur dan memperkenalkan mereka pada budaya kepahlawan rakyat dan nilai. Game mensosialisasikan anak dan mengembangkan keterampilan spikis dan motorik. Ketika anak laki-laki dan perempun bermain bersama dengan sobat lainnya, mereka menjadi kepingan dari kelompok dan dipersiapkan untuk sosialisasi acara pembelajaran lanjutan. Kurikulum termasuk juga apa yang dinamakan Froebel gifts atau obyek dengan bentuk adonan menyerupai kubus, selinder. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan kesadaran penuh yang menggarisbawahi konsep yang direpresentasikan oleh obyek. Tambahan pula, taman kanak-kanak Froebel mengutamakan apa yang ia sebut sebagai occupation, yang terdiri dari materi dimana bawah umur sanggup membentuk dan mengunakannya dalam acara merancang dan menyusun. Contoh, lumpur, kotak pasir dan stik kayu sanggup dimanipulasi dan dibuat menjadi kastel, kota, dan gunung.
Pendidikan dan Sekolah
Kita sering membentuk kesan pertama perihal sekolah dan guru ketika di taman kanak-kanak dan kita membawa kesan ini sepanjang hidup kita. Froebel yakin kepribadian guru menjadi hal yang sangat penting. Apakah guru memahami benar sifat anak dan hormat terhadap martabat kepribadian anak? Apakah guru mewujudkan nilai budaya sehingga anak menerima suatu model yang sanggup mereka capai? Pengalaman pra-layanan harus membantu guru menjadi sensitif terhadap kebutuhan anak dan memberi mereka pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat lingkungan pembelajaran yang menyeluruh. Froebel mungkin mendorong guru taman kanak-kanak menentang pemfokusan kontemporer dalam memperkenalkan subyek akademik kedalam taman kanak-kanak sebagai pemfokusan prematur yang berasal dari orang cukup umur dan orang renta daripada dari kebutuhan anak akan kesiapan.
Pengaruh pada Praktek Pendidikan dikala ini
Pendidikan taman kanak-kanak tumbuh kedalam suatu perkembangan internasional. Para imigran Jerman membawa taman kanak-kanak ke Amerika, dimana menjadi kepingan dari sistim pendidikan. Elisabeth Peabody, yang mendirikan taman kanak-kanak berbahasa Inggris bekerja dalam membentuk taman kanak-kanak kepingan dari sistim persekolahan Amerika.
6. Herbert Spencer
Kemunculan Teori Evolusi Darwin pada tahun 1859 serta kian pesatnya industri menginspirasi Spencer merumuskan tujuan pendidikan membuat insan bisa hidup efektif, ekonomis, dan saintifik serta adaptif terhadap segala perubahan.
Spencer, pendukung utama Darwinisme Sosial, penerapan Teori Darwin biologis untuk masyarakat, diyakini bahwa individu-individu yang terkuat dari setiap generasilah yang akan bertahan lantaran keahlian, kecerdasan, dan kemampuan beradaptasi mereka. Sebagai ras yang kompetitif, individu-individu terkuat akan mewarisi bumi dan mengisinya dengan bawah umur cerdas dan produktif. Tidak layak-malas, bodoh, atau lemah individu-akan perlahan-lahan menghilang. Kompetisi akan meningkatkan umat insan dan menjadikan kemajuan bertahap.
Banyak pendidik Amerika mendukung ide-ide Spencer bahwa siswa harus bersaing satu sama lain. Kemudian, Dewey dan beberapa oang lain berjuang untuk menggantikan kompetisi di sekolah dengan kerjasama. Spencer ingin sekolah bersaing satu sama lain. Ia menentang sekolah, yang menurutnya akan membuat sekolah yang biasa-biasa saja.
Meskipun seorang naturalis dalam pendidikan, Spencer mendefinisikan alam/kodrat yang sangat berbeda dari Rousseau dan Pestalozzi. Baginya, alam berarti aturan rimba dan yang bisa bertahan hanyalah yang terkuat.
Dia percaya bahwa orang-orang dalam masyarakat industri membutuhkan pendidikan yang bermanfaat yaitu yang membelajarkan keterampilan ilmiah dan pelajaran yang berguna. Kurikulum Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang disiapkan Spencer ditujukan untuk menmenciptakan masyarakat industri yang kompetitif. Spencer menemukan bahwa banyak sekolah yang masih mempertahankan pembelajaran tradisional yang menekankan pada sastra dan mengabaikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beliau ingin sekolah memodernisasi kurikulum mereka kemudian memasukkan ilmu-ilmu fisika, biologi, dan sosial serta teknologi terapan dan rekayasa. Spencer mengidentifikasi lima jenis kegiatan dalam kurikulum: (1) kegiatan pemeliharaan diri yang dibutuhkan untuk melaksanakan semua kegiatan lain; (2) kegiatan kerja atau profesional yang memungkinkan seseorang untuk mencari nafkah; (3) kegiatan mengasuh anak; (4) sosial dan politik; dan (5) waktu luang dan rekreasi kegiatan.
Para pendidik Amerika sangat mendapatkan ide-ide Spencer. Para perancang kurikulum modern terus merujuk pada Spencer dengan mendasarkan kurikulum pada kebutuhan dan kegiatan manusia. Setelah mendominasi ilmu sosial Amerika di final era kesembilan belas. Eksperimentalisme John Dewey dan reformasi progresif sempat mengalahkan Darwinisme Sosial. Namun ide Darwinis Sosial muncul kembali dalam acara neokonservatif kontemporer, meliputi mengurangi kekuatan peraturan pemerintah dan peningkatan produktivitas ekonomi melalui keterampilan dasar yang mempunyai nilai jual. Pengujian standar yang dipakai dalam Anak No Left Behind Act yaitu salah satu kebijakan yang merujuk pada Spencer perihal cara memperkenalkan kompetisi ke sekolah, lantaran mengidentifikasi beberapa pencapaian sekolah dan guru.
Spencer akan menaikkan standar masuk bagi siswa untuk jadwal pendidikan guru preservice untuk membuat mereka lebih kompetitif sehingga hanya pelamar yang paling hebat yang akan diterima. Program ini akan menekankan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada akhirnya, guru yang tidak kompeten akan digantikan oleh guru yang lebih kompeten.
7. John Dewey
Pada awal era ke-20 terjadi gerakan progresif Amerika, pertumbuhan sains, dan kemunculan filosofi pragmatis atau yang meninjau segala sesuatu berdasarkan fungsinya. Latar belakang kondisi di atas membuat pemikiran dari John Dewey lahir yang mengembangkan filosofi eksperimen (riset) pendidikan dalam konteks sosial, politik, saintifik/ilmiah, dan rekayasa teknologi.
Filosofi Dewey mendorong reformasi sosial yang progresif serta menyatukan unsur-unsur teori evolusi Darwin dengan teori relativitas Einstein. Dewey mempercayai bahwa kegiatan kerja kelompok bisa meningkatkan kecerdasan sosial serta Dewey menolak Teori Darwinisme Sosial Spencer yang menekankan pada kompetisi individu. Dewey menguji filosofi pendidikan pragmatis nya dengan menggunakannya pada kegiatan dan proyek mencar ilmu bawah umur selama ia menjabat sebagai Direktur Laboratorium Sekolah Universitas Chicago.
Buku Dewey yang berjudul “Anak dan Kurikulum” menggambarkan prinsip-prinsip eksperimentalis yang sanggup memandu guru-guru di Laboratorium Sekolah Universitas Chicago. Menurut Dewey: (1) bawah umur sebagai insan yang aktif secara sosial sangat ingin mengeksplorasi lingkungan mereka; (2) peserta didik mengalami duduk masalah pribadi dan sosial dalam keterlibatan mereka dengan lingkungan hidup; (3) duduk masalah ini merangsang bawah umur untuk memakai kecerdasan mereka untuk memecahkan kesulitan mereka dan memperluas pengetahuan mereka dengan berperan aktif dalam eksperimen.
Bagi Dewey, metode ilmiah/saintifik yaitu proses yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Dengan memakai metode ilmiah dalam memecahkan masalah, bawah umur mencar ilmu merefleksikan dan mengarahkan pengalaman yang mereka sanggup dari eksperimen dalam pertumbuhan kepribadian dan sikap sosial. Langkah-langkah berikut, berdasarkan Dewey sangat penting pada penerapan metode ilmiah untuk mengajar dan belajar:
a. Pelajar, dalam pengalaman yang asli, menemukan duduk masalah yang benar-benar menarik baginya.
b. Dalam pengalaman ini, pelajar menempatkan dan mendefinisikan masalah.
c. Dengan merefleksikan pada pengalaman sebelumnya dan dengan membaca, melaksanakan penelitian, diskusi, dan lainnya, pelajar memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
d. Pelajar menentukan kemungkinan-kemungkinan/alternatif-alternatif yang sanggup dijadikan solusi tentatif untuk memecahkan masalah.
e. Siswa menentukan solusi yang mungkin dan menguji untuk melihat apakah solusi tersebut bisa memecahkan duduk masalah sehingga siswa bisa membangun dan memvalidasi pengetahuannya sendiri.
Bagi Dewey, pengetahuan sejati bukanlah informasi statis yang ditransfer guru kepada siswa melainkan instrumen yang akan dipakai untuk memecahkan masalah. Dewey dan timnya memakai ide-ide dari pengetahuan dan inovasi masa kemudian untuk membangun solusi hipotetis untuk duduk masalah dikala ini dan kemudian menguji dan merekonstruksi pengetahuan tersrbut dalam kondisi dikala ini. Sebuah keniscayaan bahwa orang-orang dan lingkungan mereka terus berubah sehingga pengetahuan juga terus berkembang, sehabis duduk masalah telah dipecahkan, solusinya masuk ke pengalaman masa kemudian dan sanggup dipakai untuk memecahkan duduk masalah masa depan.
8. Jane Addams
Jane Addams (1860-1935) pendiri “Hull House”, sebuah forum pendidikan yang ditujukan bagi para tetangganya yang merupakan para imigran supaya mereka bisa survive di negara yang gres mereka tinggali termasuk mempelajari bagaimana cara mendapatkan pekerjaan, membayar sewa/kontrakan, mendapatkan akomodasi kesehatan, dan mendidik bawah umur imigran tersebut. Beliau yaitu perintis dalam pekerjaan sosial, gerakan perdamaian, dan hak-hak perempuan-mengembangkan filosofi pendidikan “Pendidikan Sosialisasi”. Idenya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kondisi kerja imigran di Chicago dan memobilisasi perempuan untuk bekerja demi reformasi sosial dan pendidikan.
Addams yaitu aktivis pendidikan multikultural, internasional, dan perempuan. Beliau memberontak terhadap pembatasan gender yang masyarakat Victoria berlakukan pada wanita, Addams menolak kurikulum tradisional yang membatasi perempuan dalam menentukan pendidikan dan kesempatan bekerja. Beliau menginginkan perempuan bisa menentukan sendiri hidup dan karirnya serta bisa berpartisipasi secara penuh dalam politik, sosial, dan pendidikan.
Akibat dari pekerjaannya dengan para imigran di Chicago, Addams melihat imbas dari urbanisasi, industrialisasi, dan teknologi di masyarakat. Dia beropini bahwa pendidikan dibutuhkan untuk menentukan dan memperluas tujuan sosial baru. Guru dibutuhkan untuk memahami perkembangan ekonomi, demografi, dan teknologi yang membentuk kembali masyarakat Amerika dari pedesaan ke masyarakat perkotaan dan mempersiapkan siswa-siswa menjadi pribadi yang cerdas, bertanggung jawab secara sosial, dan demokratis. Addams juga menginginkan sekolah umum menyertakan sejarah, sopan santun istiadat, lagu, kerajinan, dan dongeng dari kelompok etnis dan ras dalam kurikulum.
Pendidikan sosialisasi Addams, dipengaruhi oleh progresifisme dan pragmatisme. Beliau melihat sekolah sebagai forum menyerupai rumah pemukiman, yang mempunyai misi mengembalikan rasa kebersamaan di negara yang mengalami transisi yang mendalam dari masyarakat pedesaan ke masyarakat industri dan teknologi perkotaan(urban). Dia membayangkan sekolah sebagai forum multifungsi mengajarkan keterampilan akademik dan mata pelajaran kepada anak-anak. Guru, tak ubahnya menyerupai pekerja sosial yang mempunyai tanggung jawab banyak untuk kesejahteraan sosial siswa mereka. Kurikulum harus disusun kembali untuk memperlihatkan pengalaman yang diperluas yang mengeksplorasi lingkungan terdekat bawah umur dan menyorot kekerabatan dengan masyarakat teknologi.
9. Maria Montessori
Pendidik Italia Maria Montessori (1870-1952) merancang metode internasional yang terkenal dengan sebutan pendidikan anak usia dini. Seperti Pestalozzi dan Froebel, Montessori mengakui bahwa pengalaman awal bawah umur mempunyai kiprah penting dan terus menghipnotis pada kehidupan mereka nanti. Sebagai salah satu aktivis pendidik perempuan, ia penuh semangat menantang orang-orang yang beropini bahwa perempuan dilarang masuk dalam jadwal yang lebih tinggi dan profesional. Montessori kemudian diterima di Universitas Roma dan menjadi perempuan pertama di Italia yang mendapatkan gelar doktor kedokteran.
Sebagai seorang dokter, Montessori bekerja dengan bawah umur yang dikategorikan sebagai cacat mental dan psikologis terganggu. Metode yang ia terapkan terhadap bawah umur tersebut begitu efektif, kemudian ia menyimpulkan metode tersebut bisa berlaku untuk semua anak.
Pada tahun 1908 Maria Montessori mendirikan sekolah anak-anak, Casa dei Bambini, untuk bawah umur miskin di kawasan kumuh di Roma. Di sekolah ini, Montessori membangun sebuah lingkungan khusus yang bisa mengakomodir metode, materi, dan kegiatan berdasarkan pengamatannya terhadap anak. Beliau juga mengkaji kembali teorinya dengan melaksanakan penelitian yang lebih luas pada karya Itard dan Seguin, dua perintis awal dalam pendidikan khusus. Bertentangan dengan pendapat pendidik konvensional, Montessori percaya bahwa bawah umur mempunyai kebutuhan batin untuk bekerja pada minat mereka.
Kurikulum Montessori : keterampilan dan studi praktis, sensorik, dan formal. Anak-anak mencar ilmu untuk melaksanakan menyerupai kegiatan simpel menyerupai pengaturan meja, melayani makanan, mencuci piring, mengikat dan mengancingkan pakaian. Latihan berulang mengembangkan koordinasi sensorik dan otot. Anak-anak mencar ilmu untuk menulis dan kemudian mencar ilmu membaca. Mereka memakai batang berwarna banyak sekali ukuran dan cangkir untuk mencar ilmu menghitung dan mengukur.
10. Jean Piaget
Pada era ke 20 terjadi perkembangan psikologi terutama oleh Freud, Hall, dan Jung. Pemikiran mereka, menjadi ide bagi psikolog Swiss, Jean Piaget yang mengembangkan wawasan kognitif, moral, dan perkembangan bahasa anak-anak. Seperti Montessori, Piaget memakai observasi klinis untuk menemukan bagaimana bawah umur membangun dan bertindak atas ide-ide mereka.
Piaget menemukan bahwa bawah umur membangun konsep mereka perihal realitas dengan aktif menjelajahi lingkungan mereka. Menurut Piaget, kecerdasan berkembang melalui serangkaian tahapan. Dengan setiap tahap baru, bawah umur mengembangkan kemampuan mental gres yang memungkinkan mereka untuk merekonstruksi konsep-konsep mereka menjadi peta kognitif yang lebih kompleks.
Berdasarkan teorinya perihal tahapan belajar, Piaget mengidentifikasi empat periode kualitatif berbeda tetapi saling bekerjasama dari pertumbuhan kognitif:
a. Tahap sensorimotor, dari lahir hingga dua tahun, ketika bawah umur mencar ilmu dengan aktif mengeksplorasi lingkungan mereka memakai mulut, mata, hidung, dan tangan mereka. Fase ini sebagian besar menampilkan kecerdasan nonverbal, mereka mencar ilmu untuk mengkoordinasikan indera mereka dan membentuk konsep sederhana perihal ruang, waktu, dan kekerabatan lantaran akhir di tingkat visual, auditori, dan motorik.
b. Tahap praoperasional, dari dua hingga tujuh tahun, ketika menggabungkan intuisi dengan ucapan/verbal mengakibatkan pemikiran operasional yang melibatkan konsep ruang, waktu, dan kekerabatan sebab-akibat. Anak-anak kini merekonstruksi konsep mereka dengan mengelompokkan dan menamai benda. Mereka memakai gejala dan simbol-simbol untuk mewakili ide-ide dan pengalaman mereka.
c. Periode operasional-konkret, 7-11 tahun, ketika bawah umur mulai berpikir dengan cara matematis dan logis. Mereka menjadi mahir mengenali karakteristik umum menyerupai ukuran, panjang, dan berat tubuh dan menggunakannya dalam operasi mental yang lebih kompleks. Seperti sebelumnya, mereka merekonstruksi konsep-konsep yang didapatkan sebelumnya ke tingkat yang lebih ajaib dan kompleks.
d. Pada periode formal operasional, dari usia sebelas hingga awal masa dewasa, individu berurusan dengan proposisi logis dan membangun hipotesis abstrak. Mereka kini memahami dan bisa menginterpretasikan perihal ruang angkasa, sejarah waktu, dan kekerabatan sebab-akibat yang kompleks. Ketika sudah dewasa, mereka sudah bisa memakai pengetahuannya pada metode ilmiah untuk menjelaskan fenomena yang terjadi serta bisa empelajari matematika, bahasa, dan mekanika yang kompleks.
Prinsip-prinsip berikut bisa memandu preservice dan penerapan pada kelas: memotivasi siswa untuk mengksplor dan bereksperimen, memperlihatkan instruksi/arahan yang diubahsuaikan dengan tingkat kesiapan mereka dan rancang kelas sebagai sentra pembelajaran yang diisi dengan materi-materi faktual sehingga bawah umur bisa menyentuh, memanipulasi, dan menggunakannya.
11. Paulo Freire
Paulo Freire (1921-1997) mengembangkan filosofi pembebasan pedagogi ketika bekerja dalam kampanye literasi di kalangan para petani buta abjad dan miskin di perkotaan Brazil. Bagi Freire, melek abjad berarti lebih dari mencar ilmu membaca dan menulis; itu mengangkat kesadaran masyarakat perihal kondisi kehidupan mereka, terutama kondisi yang mengeksploitasi dan meminggirkan mereka. Pedagogi kaum tertindas Freire dirancang untuk memberdayakan masyarakat untuk melawan dan mengatasi kekuatan yang menindas mereka. Tujuan penting dari filosofi Freire yaitu menjadi sadar dan kritis terkait kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang menghipnotis kehidupan seseorang.
Freire menegaskan bahwa kurikulum dan pengajaran sekolah sanggup mendoktrin siswa supaya sesuai dengan kemauan pejabat, atau tidak sanggup menantang mereka untuk mengembangkan kesadaran kritis yang memberdayakan mereka untuk terlibat dalam pembebasan diri.
B. Pelopor Pendidikan Di Indonesia
Para tokoh pendidikan di dunia bisa menjadi pionir lantaran mengembangkan format gagasan perihal sekolah, kurikulum, dan metode-metode pengajaran yang belum ada sebelumnya kemudian pemikiran mereka secara berkesinambungan membentuk persiapan preservice guru dan praktik pengajaran di kelas hingga hari ini. Mereka yaitu orang-orang penting yang hidup, ide, dan perilakunya dijadikan sebagai model atau tumpuan bagi orang lain. Beberapa filosofi pemikiran tokoh-tokoh tersebut tidak hanya menjadi tumpuan bagi negara-negara maju menyerupai Amerika Serikat tetapi juga Indonesia.
Secara eksklusif atau tidak, pemikiran Rousseau, Froebel, dan Addams menghipnotis pemikiran para pionir pendidikan di Negeri kita. Latar belakang penjajahan, nasionalisme, keterbatasan yang dialami oleh perempuan, dan penindasan terhadap minoritas dan kaum yang lemah menginspirasi Ki Hajar Dewantara, Raden Ajeng Kartini, dan Raden Ajeng Sartika pada masa-masa usaha kemerdekaan ini menyerupai dengan yang melatarbelakangi teori yang dibangun oleh Comenius, Rousseau, Froebel, Addams, Montessori, dan Freire. Lebih mengerucut lagi, usaha yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini dan Raden Ajeng Sartika supaya perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki khususnya dalam pendidikan.
Selain itu, pemikiran Dewey perihal pemfokusan metode ilmiah pada pendidikan kini diadopsi secara (hampir) penuh pada kurikulum yang gres diterapkan, yaitu kurikulum 2013. Sebagai pembanding, di bawah ini kami sajikan para pionir pendidikan yang telah membangun landasan untuk pendidikan Indonesia masa dulu, kini, dan nanti. Berikut yaitu para aktivis pendidikan di Indonesia:
1. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
Terlahir pada 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat telah memperlihatkan bahwa ia yaitu salah seorang yang berasal dari lingkungan keluarga keraton yaitu Keraton Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak dikala itu, ia tidak lagi memakai gelar kebangsawanan di depan namanya dengan tujuan supaya ia sanggup bebas bersahabat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Berasal dari lingkungan Keraton Yogyakarta membuat Ki Hajar Dewantara kecil mendapatkan hak khusus yang tidak didapat bawah umur seusianya dari kalangan rakyat biasa pada dikala itu, yaitu hak untuk mengenyam pendidikan sekolah. Saat itu sekolah yang ada hanyalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda sehingga semua kurikulumnya memakai kurikulum Barat. Beliau menempuh SD di ELS (Sekolah Dasar Belanda) kemudian melanjutkan ke Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA) namun tidak tamat.
Tidak berhasil menuntaskan pendidikannya di STOVIA, tidak membuat Ki Hajar Dewantara vakum, beliaupun mulai menulis untuk beberapa surat kabar. Meskipun sempat mengenyam pendidikan barat, namun ia dikenal sebagai seorang wartawan yang patriotik dan bisa membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Beliau terus menyindir Belanda melalui tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisan tersebut menyulut kemarahan Belanda, puncaknya terjadi dikala Ki Hajar Dewantara menulis sebuah goresan pena yang sangat terkenal yaitu “Seandainya Aku Seorang Belanda” (judul asli: Als ik eens Nederlander was), dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker, tahun 1913. Sebagian isinya yaitu "Sekiranya saya seorang Belanda, saya tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. ……..". Artikel ini ditulis sebagai protes atas planning pemerintah Belanda untuk mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang dikala itu masih belum merdeka, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Tulisan ini membuat Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg memerintahkan supaya Ki Hajar Dewantara di asingkan ke Pulau Bangka tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Atas lobi dari kedua rekannya yang juga mengalami eksekusi pengasingan yaitu dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka diaihkan ke negeri Belanda, konon mereka mengajukan diasingkan ke Belanda supaya bisa mempelajari banyak hal supaya kelak bermanfaat. Masa pengasinganpun dimulai semenjak Agustus 1913, masa-masa tersebut tidak disia-siakan oleh Ki Hajar Dewantara untuk mendalami bidang pendidikan dan pengajaran, hingga akhirnya memperoleh akta Europeesche Akte.
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1918, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya lainnya, Ki Hajar mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional Tamansiswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa merupakan sebuah perguruan/sekolah untuk kaum pribumi yang bercorak nasional yang menekankan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta semangat berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Prinsip yang ditanamkan dalam Taman Siswa yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang berarti seorang guru di depan harus bisa menjadi teladan, di tengah harus bisa membangun semangat dan berinisiatif serta di belakang harus bisa memperlihatkan semangat dan dukungan bagi muridnya.
Perjuangan Ki Hajar Dewantara tak hanya melalui Taman siswa, sebagai penulis, Ki Hajar Dewantara tetap produktif menulis untuk banyak sekali surat kabar. Hanya saja kali ini tulisannya tidak bernuansa politik, namun beralih ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan Ki Hajar Dewantara berisi konsep-konsep pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan. Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Beliau kemudian dipercaya sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama di negri ini. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pendekar pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya yaitu gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun sehabis menerima gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
2. Raden Ajeng Kartini
Raden Adjeng Kartini atau bekerjsama lebih sempurna disebut Raden Ayu Kartini, (Jepara, 21 April 1879 – Rembang, 17 September 1904) lahir dari keluarga ningrat Jawa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Tetapi sehabis usia 12 tahun, keadaan budaya dan sosial lingkungan di sekitarnya memaksanya tinggal di rumah atau dipingit. Meskipun ia tidak bisa kemana-mana termasuk keluar ke teras rumah, namun Kartini tidak patah arang untuk terus belajar. Dengan kemampuan Bahasa Belanda yang didapatnya selama sekolah di ELS, maka di rumah ia mulai mencar ilmu sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya yaitu Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa hingga akhirnya, ia tergerak untuk memajukan perempuan pribumi, mendobrak keadaan yang sangat mengungkung dan mengekang bahkan Kartini ingin mengangkat status sosial perempuan yang sangat rendah pada dikala itu.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga mendapatkan leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang isinya cukup “berat”, juga ada majalah perempuan Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga duduk masalah sosial umum. Kartini melihat usaha perempuan supaya memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan aturan sebagai kepingan dari gerakan yang lebih luas. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti impian Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah perempuan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini dipakai sebagai Gedung Pramuka.
Berkat kegigihan Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan kawasan lainnya. Nama sekolah tersebut yaitu “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Selain itu atas buah pemikiran dan kerja keras Kartini, kini perempuan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan kaum laki-laki baik dalam pendidikan, politik, karir, dan lain-lain.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang memutuskan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus memutuskan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Abendanon dikala itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat komplemen surat Kartini. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi ide bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
3. Raden Dewi Sartika
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar sopan santun dikala itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, ia mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran dikala itu. Setelah berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan). Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua sepupunya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang yang mencar ilmu di ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi gres ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta pertolongan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, pertanda kepada bangsa kita bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, memakai hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
BAB III
PENUTUP
Para pionir pendidikan generasi pertama, menyerupai : Johann Amos Comenius, Jean-Jacques Rouessau, dan Johann Heinrich Pestalozzi diwarisi konsep oleh generasi sebelumnya yaitu teori “Kerusakan Moral Anak-anak” yang beranggapan bahwa bawah umur lahir dengan kecenderungan menjadi anak pembangkang sehingga guru harus bisa menghilangkan kecenderungan tersebut. Namun, ternyata mereka bisa melawan mainstream yang sudah kadung tertanam besar lengan berkuasa dan menjadi sistem dan membangun teori gres yaitu “Teori Naturalis” yang berpegang teguh pada konsep bahwa pada kodratnya semua bawah umur yaitu baik dan alam telah memperlihatkan petunjuk untuk pendidikan mereka.
Pendapat pionir pendidikan generasi pertama perihal teori naturalis ternyata diperkuat oleh generasi berikutnya, menyerupai Freidrich Froebel, Maria Montessori, Herbert Spencer, John Dewey, Jean Piaget, Paulo Freire, dan Johann Friedrich Herbart, mereka beropini bahwa pendidikan harus diikuti fase-fase alami dari pertumbuhan dan perkembangan insan dan bawah umur mencar ilmu setiap hari melalui interaksi dengan objek dan situasi lingkungan sekitar mereka.
Froebel dan Montessori mensetting lingkungan mencar ilmu supaya sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Dewey dan Piaget menekankan bahwa interaksi bawah umur dengan lingkungannya sebagai cara paling efektif untuk belajar. Herbert Spencer mengusulkan pembelajaran yang bermanfaat serta saintifik untuk membuat setiap individu berhasil mengikuti keadaan dengan lingkungannya. Freire mendorong supaya pendidikan sanggup memunculkan kesadaran kaum yang tertindas sehingga mereka sanggup membebaskan diri mereka dari penindasan sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pendidikan. Johann Herbart merencanakan sebuat metode supaya pengajaran menjadi sistematis.
Secara eksklusif atau tidak, pemikiran Rousseau, Froebel, dan Addams menghipnotis pemikiran para pionir pendidikan di Negeri kita. Latar belakang penjajahan, nasionalisme, keterbatasan yang dialami oleh perempuan, dan penindasan terhadap minoritas dan kaum yang lemah menginspirasi Ki Hajar Dewantara, Raden Ajeng Kartini, dan Raden Ajeng Sartika pada masa-masa usaha kemerdekaan ini menyerupai dengan yang melatarbelakangi teori yang dibangun oleh Comenius, Rousseau, Froebel, Addams, Montessori, dan Freire. Lebih mengerucut lagi, usaha yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini dan Raden Ajeng Sartika supaya perempuan juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki khususnya dalam pendidikan.
Selain itu, pemikiran Dewey perihal pemfokusan metode ilmiah pada pendidikan kini diadopsi secara (hampir) penuh pada kurikulum yang gres diterapkan, yaitu kurikulum 2013. Sebagai pembanding, di bawah ini kami sajikan para pionir pendidikan yang telah membangun landasan untuk pendidikan Indonesia masa dulu, kini, dan nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, A. (2014). Tokoh Pendidikan Di Indonesia. [Online]. aciknadzirah.blogspot.com/search?q=5-tokoh-pendidikan-indonesia (17 Maret 2017)
Ornstein, Allan C., Levine, Daniel U., Gutek, Gerry. (2008). Foundation of Education, 11th edition. Wadsworth, Cengage Learning: Canada