Thursday, August 10, 2017

√ Istishab Dan Urf

BAB I
PENDAHULUAN
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam ialah epilog semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah untuk ummat insan dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi menyerupai ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang awet dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah aturan yang ada dalam Islam yang membuatnya sanggup memperlihatkan tanggapan terhadap terhadap hajat dan kebutuhan insan yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam aturan Islam: (1) nash-nash yang memutuskan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melaksanakan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jikalau kita berbicara wacana ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) ialah hal yang tidak sanggup dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih -sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad- dikenallah beberapa landasan penetapan aturan yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya ialah istishab dan al-urf yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Istishab
1)      Pengertian Istishab.
Dilihat dari segi bahasa, kata istishab ialah bentuuk masdar dari kata,                                        , yang artinya selalu menyertai. Adapun secara istilah sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fukhul yaitu:



“Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa kemudian pada prinsipnya berlaku pada masa yang akan datang”.
      Dari definisi di atas sanggup dipahami bahwa kata kunci yang digunakan ialah masa kemudian dan masa yang akan dating. Hal ini, mengandung arti bahwa apa yang diberlakukan pada masa kini ialah sama secara aturan dengan apa yang diberlakukan pada masa lalu.
2)      Bentuk-bentuk Istishab.
Dilihat dari sifatnya, keadaan sesuatu itu tidak lepas dari dua keadaan:
a.      Nafi, yaitu dalam keadaan kosong tidak terdapat aturan didalamnya. Keberadaan tidak ada aturan ini diberlakukan untuk masa seterusnya sebelum ada keadaan yang merubahnya.
b.      Tsubut, yaitu keadaan dimana pernah ada aturan di dalamnya. Maka aturan yang sudah tetap pada sesuatu itu berlaku hingga masa kini dan yang akan tiba sebelum adanya keadaan (dalil) yang mengubahnya.
3)      Kaidah yang berafiliasi dengan istishab.
Dalam ilmu Ushul Fiqh istishab dijadikan sebagai daerah beredarnya fatwa. Artinya mengetahui aturan sesuatu berdasarkan aturan yang telah ditetapkan selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Hal ini merupakan tradisi insan dalm memperoses dan dan memutuskan hukum. Jika ditemukan orang itu  hidup maka ditetapkan baginya aturan hidup sebelum ada gejala yang memastikan bahwa ia sudah mati. Dengan demikian, aspek keraguan dalam istishab selalu ada. Dan keraguan selalu mengiringi kepada keyakinan. Oleh lantaran itu, istishab salah satu metode ijtihad dalam istinbatnya selalu memerhatikan kaidah-kaidah berikut ini:
a.             
“Apa yang ditetapkan oleh sesuatu yang meyakinkan maka tidak sanggup dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.”
b.            
“Asal sesuatu itu ialah ketetapan yang telah ada berdasarkan kedaan semula sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubahnya.”
c.             
“Hukum asal segala sesuatu itu ialah boleh.”
d.           
“Yang asal pada insan itu ialah bebas.”
Berdasarkan kepada beberapa kaidah tersebut di atas sanggup menggambarkan, sebetulnya istishab dijadikan metode ijtihad mempunyai prinsip bahwa aturan yang dihasilkannya mengandung dispensasi berupa aturan boleh dan kebebasan yang sejalan dengan fitrah manusia. Kaidah ini didasari oleh beberapa ayat al-Qur’an di antaranya:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kau dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, kemudian dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah(2) : 29)
  
“Tidakkah kau perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara insan ada yang membantah wacana (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (QS. Luqman(31) : 20)


4)      Pembagian Istishab.
Syiekh Muhammad Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh membagi Istishab menjadi empat bagian:
a.      Baraah Ashliyah: baraah artinya higienis dan lepas. Dalam hal ini bebas dari dari beban hukum. Adapun kata ashliyah mengandung arti berdasarkan aslinya. Dengan demikian baraah ashliyah berarti bebas dari beban aturan berdasarkan aslinya. Oleh lantaran itu, bagi baraah ashliyah berlaku baginya kaidah                                   artinya “pada asalnya aturan sesuatu itu tidak ada”.
b.      Istishab Syara’ atau akal, yaitu adanya suatu aturan pada sesuatu itu ditetapkan berdasarkan syara’ atau akal.
c.       Istishab Hukum, yaitu mengkukuhkan pemberlakuan suatu hukum, boleh atau dilarang. Hukum pada sesuatu  terus berlangsung hingga ada dalil yang mengharamkannya, atau aturan sesuatu itu haram sebelum ada sesuatu yang meperbolehkannya. Maka dalam hal ini berlaku kaidah:



“Hukum sesuatu pada asalnya ialah boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya.”
Berdasarkan kaidah diatas maka sesuatu yang ada di dalam hal ini boleh digunakan sebelum ada dalil yang mengharamkannya.
d.      Istishab Sifat, yaitu mengkukuhkan berlakunya suatu sifat dimana sifat ini berlaku pada suatu ketentuan aturan hingga sifat ini mengalami perubahan yang mengakibatkan berubahnya hukum.
5)      Pendapat Ulama Tentang Kehujahan Istishab.
Syeikh Muhammad Abu Zahra menjelaskan perbedaan pendapat para ulama wacana kehujjahan istishab. Para ulama ushul fiqh setuju bahwa tiga macam istishab yang disebut di awal sanggup dijadikan sebagai landasan hukum. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menjadikan istishab sifat sebagai landasan hukum, sebagaimana dijelaskan berikut ini:
a.      Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah beropini bahwa istishab sifat sanggup dijadikan landasan secara penuh baik dalam menjadikan hak yang gres atau mempertahankan haknya yang sudah ada.
b.      Ulama Hanafiyah dan Malikiyah beropini bahwa istishab sifat hanya berlaku mempertahankan hak yang sudahh ada bukan menjadikan hak yang baru.
B.     ‘Urf
1)      Pengertian ‘Urf (adat)
Kata ‘urf berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata عرف يعرف عرفا, sering diartikan sesuatu yang dikenal. Adapun kata Adat juga berasal dari bahasa arab yang mengandung arti pengulangan suatu kejadian tetapi terlepas dari evaluasi baik dan buruknya (netral).
            Adapun berdasarkan istilah syara’, banyak didefinisikan yang dilontarkan oleh para ulama. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan definisi yang dikemukakan oleh Abu Zahra:

ماعتاده الناس من معا ملا تواستقامت عليهم أمورهم
Artinya: ‘’Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan insan dalam pergaulannya dan sudah mantap dan menempel dalam urusan-urusan mereka‘’
2)      Macam-Macam ‘Urf
Macam-macam urf ditinjau dari banyak sekali aspeknya sanggup dibagi menjadi:
a.      Dilihat dari sumbernya:
1.      ‘Urf qauly, yang dimaksud dengan urf qauly, ialah kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
2.      ‘Urf fi’ly,  yaitu kebiasaan yang berlaku pada perbuatan. Umpamanya kebiasaan dalamm jual beli barang-barang yang kurang begitu bernilai.
b.      Dilihat dari Ruang Lingkupnya
1.      ‘Urf Umum, ialah kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana hamper diseluruh penjuru dunia tanpa memandang Negara, bangsa, dan agama.
2.      ‘Urf Khusus, ialah kebiasaanyang dilakukan oleh sekelompok orang ditempat tertentu dan tidak berlaku disembarang waktu dan tempat.
c.       Dilihat dari Kualitasnya
Dilihat dari segi baik dan buruknya ‘urf terbagi menjadi dua macam:
1.      ‘Urf Shahih, ialah kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan norma, agama, sopan santun, dan budaya yang luhur.
2.      ‘Urf Fasid, ialah adab atau kebiasaan yang berlaku di suatu daerah namun bertentangan dengan agama, undang-undang Negara, dan sopan santun.
3)      Kehujahan ‘Urf
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh wacana kehujahan 'urf.
a)      Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa 'urf adalah hujah untuk menetapkan hukum. Mereka beralasan firman Allah:
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ (الاعرف:      (
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
قال النبي : ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه احمد بن حنبل)
“Apa yang di pandang orang-orang muslim baik, maka disisi Allah pun baik”
b)   Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf sebagai hujah atau dalil aturan syar’i. Mereka beralasan, saat ayat ayat Alqur’an turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
من اسلف في ثمر فليسلف في كيل معلوم و وزن معلوم الي اجل معلوم
  (رواه البخاري)
Apabila kita perhatikan penggunaan 'Urf ini, bukanlah dalil yang bangkit sendiri, tetapi dekat kaitannya dengan al-Mashlahah al-Mursalah, bedanya kemaslahatan dalam ‘urf ini telah berlaku semenjak usang hingga sekarang, sedangkan dalam al-Mashlahah al-Mursalah kemashlahatan itu bisa terjadi pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal yang belum biasa berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqih yang di tulis oleh Prof. Dr. Rahmat Syafi’i MA, disana tertulis bahwa, “ ’Urf berdasarkan penyelidikan bukan merupakan dalil syara tersendiri. Pada umumnya ‘Urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan aturan dan penafsiran beberapa nash. “



BAB III
KESIMPULAN
v  Istishab ialah “apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa kemudian pada prinsipnya berlaku pada masa yang akan datang”. Bentuk-bentuk istishab terbagi menjadi dua yaitu nafi dan tsubut. Macam-macam istishab ada empat; 1) Baraah ashliyah. 2) Istishab syara’ atau akal. 3) Istishab Hukum. 4) Istishab al-Sifat.

v   ‘Urf  adalah sesuatu yang sudah mejadi kebiasaan insan dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat  dalam urusan-urusan mereka. Macam-macamnya. 1) Dilihat dari sumbernya terbagi dua: ‘Urf qauly dan ‘Urf fi’ly. 2) Dilihat dari ruang lingkupnya terbagi dua: ‘Urf umum dan ‘Urf khusus. 3) Dilihat dari kualitasnya terbagi dua: ‘Urf shahih dan ‘Urf fasid. Kehujahan ‘urf, para ulama mengamalkan ‘urf dalam memutuskan aturan dengan syarat, ‘urf itu mengandung maslahat dan adab tidak bertentangan dengan dalil syara’. Contohnya, kebiasaan menghormati orang renta dengan mencium kedua tangannya.

Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com