Memotivasi Anak Menjadi Cerdas Bisa Dilakukan Dengan Berbagai Ragam Cara
Anak yang mendapatkan predikat sebagai anak cerdas biasanya sanggup diukur dari kemampuannya merespon sesuatu, berkata-kata, hingga bagaimana ia berkreasi dengan banyak sekali permainannya. Akan tetapi umumnya para orang bau tanah tidak merasa puas dengan hanya sekedar deskripsi dan akan lebih yakin jikalau diformulasikan dalam denah skor kecerdasan.
Sejak 1 kala lalu, para pakar telah berbagi suatu formula standar pengujian untuk menilai kecerdasan seorang anak yang dinilai dalam skor IQ (Intelligent Quotient), dari mulai yang disebut genius dengan skor di atas 140, kategori sangat cerdas, cerdas, di atas rata-rata, rata-rata, di bawah rata-rata, bodoh, lemah pikir, hingga idiot dengan skor di bawah 45.
Tes yang umum diterapkan untuk mengukur kecerdasan dalam psikologi antara lain Weschler Intelligence Scale, Progressive Matrices dan Intelligence Structure Scale yang meliputi kemampuan menalar, memahami gagasan, merencanakan, memecahkan masalah, serta berpikir abstrak. Pola pertanyaan yang lebih berupa logika visual maupun verbal tersebut menciptakan seseorang yang telah menjadi lebih terdidik di kemudian hari tetap menerima skor yang relatif konstan dikala mengulangi tes, dan menciptakan tes kecerdasan semacam ini sanggup mengemban amanah (reliable).
Namun tes IQ yang telah menjadi standar umum evaluasi kecerdasan secara internasional ini, berdasarkan psikolog ternama dari Universitas Stanford Amerika Serikat, Carol Dweck, telah disalahartikan. Orang bau tanah menganggap kecerdasan seorang anak merupakan bawaan dari lahir dan tetap menyerupai itu sepanjang hidupnya sehingga terjebak pada konsep yang disebutnya fixed mindset atau pola pikir tetap. Padahal, berdasarkan pakar yang telah meneliti pola pikir insan selama lebih dari tiga dekade ini, kecerdasan seseorang bisa terus berkembang (growth mindset) dan besar lengan berkuasa pada kemajuan yang diraih.
Riset Profesor Dweck wacana pola pikir yang berkembang ini antara lain membagi dua para siswa di suatu sekolah menengah pertama di New York menjadi dua kelompok yang sedang berguru matematika. Yang satu memakai konsep fixed mindset di mana mereka menganggap kecerdasan merupakan bawaan dan kelompok lainnya memakai growth mindset yang berfokus pada perjuangan keras untuk meraih nilai yang lebih baik.
Dua tahun kemudian, kelompok yang terlalu percaya pada kecerdasan bawaan mengatakan kecenderungan penurunan nilai akademik, sementara kelompok yang lainnya menunjukkan kemajuan signifikan. Sejumlah psikolog lain kemudian juga menciptakan kegiatan intervensi selama delapan pekan kepada para siswa suatu sekolah di Amerika Serikat dengan meyakinkan mereka bahwa otak menyerupai otot yang bisa dibuat menjadi kuat jikalau semakin digunakan.
Sementara kelompok kontrol tidak diajarkan dengan konsep pertumbuhan pola pikir dari teori yang dikembangkan oleh Dweck, penulis sejumlah buku psikologi itu. Hasilnya, dalam dua bulan, kelompok yang diberi intervensi mengalami banyak perbaikan dalam nilai-nilai pelajarannya dibanding dengan kelompok kontrol. Dengan demikian, hal utama dari kemajuan siswa dalam pelajaran ialah motivasi, semangat mendapatkan tantangan, siap menghadapi soal-soal sulit dan berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik, kata Dweck yang pada tamat 2017 mendapatkan penghargaan dari Yidan Prize.
Sebaliknya, siswa yang selalu diyakinkan orang tuanya bahwa mereka cerdas justru lebih fokus pada bagaimana tetap terlihat cerdas, menjadi khawatir mendapatkan tantangan, dan lebih bahagia berada di zona nyaman. Itulah mengapa Dweck tidak peduli pada skor hasil tes IQ, alasannya berdasarkan dia, otak sangat elastis dan bisa semakin jago jikalau semakin dipakai untuk memecahkan masalah.
Siswa seharusnya memang lebih fokus pada berguru dan tidak takut tampak bodoh dalam bertanya, takut salah menjawab soal, dan tidak aib atas kegagalan, serta yakin bahwa dengan berusaha keras dan membiasakan berlatih, maka potensinya akan terbangun. Konsep growth mindset ini, berdasarkan dia, penting dikembangkan menjadi budaya pengajaran di kelas, alasannya budaya masyarakat yang ditransfer dari orang bau tanah ke anak cukup bermacam-macam dan besar lengan berkuasa kuat pada kemajuan atau kemunduran anak.
Orang bau tanah harus juga terlibat bersama guru dan sistem sekolah mengubah pola pikir tradisional dan mendukung konsep perkembangan pola pikir untuk memberi lingkungan aman bagi anak untuk maju. Alfred Binet, psikolog yang pertama kali memperkenalkan tes IQ lebih dari seabad lalu, juga mengakui bahwa kecerdasan insan dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak bisa diperbandingkan di antara kelompok-kelompok yang berbeda latar belakang.
Ia bahkan khawatir pengukurannya ini akan dipakai untuk menyingkirkan seorang anak yang menerima skor rendah sehingga justru besar lengan berkuasa pada kehidupan ia selanjutnya. Tes IQ yang awalnya ia rancang untuk mengidentifikasi belum dewasa yang membutuhkan perhatian khusus, belakangan memang justru menjadi pola yang berlaku global untuk merepresentasikan kecerdasan seseorang.
Faktanya, hasil tes IQ seringkali memang berdampak pada psikologis anak dengan skor rendah, yang dengan segera menjadi rendah diri atau berdampak pada terjadinya pengucilan anak di lingkungan sepermainannya. Kondisi ini kemudian menciptakan banyak psikolog tidak menganjurkan mengakibatkan tes IQ sebagai pola dalam sistem sekolah atau sistem penyaringan lainnya. Apalagi banyak hasil riset yang menyimpulkan hasil skor tes IQ tidak selalu memberi hasil yang terstandar.
Suatu penelitian menandakan bahwa tes IQ sanggup bervariasi 15 poin dari satu tes ke tes lain, penelitian lainnya yang menguji IQ sejumlah siswa dari alat uji yang sama menghasilkan skor IQ berkisar antara 63 hingga 117 untuk orang yang sama. Sementara itu, penerapan konsep growth mindset Carol Dweck pada siswa-siswa di sekolah konservasi Indian AS yang terbelakang, hanya dalam beberapa periode bisa mengubah mereka menjadi yang terbaik dalam nilai ujian di distriknya.
Proses perkembangan kecerdasan seorang anak terbukti juga bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, tergantung dari latar belakang, budaya, dan bagaimana cara orang bau tanah dan lingkungannya mempengaruhinya. Patricia Greenfield, pakar lainnya dari Universitas California, Amerika Serikat menambahkan, belum dewasa yang memiliki kebiasaan menonton televisi dan video mencetak skor kecerdasan dari aspek visual yang lebih tinggi. Sedangkan mereka yang tiba dari budaya mengonsumsi media yang lebih menekankan verbal akan lebih unggul skornya dalam aspek kebahasaan.
Stephen Ceci, psikolog dari Universitas Cornell, AS juga menekankan, perubahan skor IQ sanggup terjadi dikala umur seorang anak bertambah, contohnya skor yang meningkat 10 poin sesudah dites kembali beberapa tahun kemudian. Menurut dia, sekolah sanggup berperan memengaruhi perubahan skor IQ ini, alasannya pelajaran-pelajaran di sekolah menciptakan siswa bisa menciptakan kategorisasi dan memetakan sejumlah hal. Kemampuan yang dikembangkan ini bisa menjadi komponen yang menciptakan skor IQ anak bertambah.
Konsep pola pikir yang berkembang ini tentu saja sangat patut dicoba dan diterapkan di sekolah-sekolah pedesaan, sekolah di daerah perbatasan, atau di wilayah kepulauan, sekaligus untuk menghapus gambaran bahwa sekolah terpencil hanya menghasilkan belum dewasa yang kurang cerdas dengan nilai hasil ujian yang rendah. Semangat guru mengajar, sumbangan sistem kurikulum sekolah serta tugas serta orang bau tanah dan lingkungan bisa dikerahkan untuk memotivasi anak menjadi yakin akan kemampuannya berubah menjadi anak yang cerdas di tengah keterbatasan akomodasi di daerah tertinggal.
Sekian goresan pena yang berjudul:
Kiat Memotivasi Anak Menjadi Cerdas
Semoga sebaran informasi ini bermanfaat dan salam sukses selalu!
*Sumber: http://anggunpaud.kemdikbud.go.id