BUDAYA ORGANISASI SEKOLAH
sumber : aciknadzirah.blogspot.com/search?q=makalah-manajemen-pendidikan">manajemen pendidikan masih cenderung melihat sesuatu yang tampak di mata (tangible), kurang memperhatikan sesuatu yang tidak kelihatan (intangible) menyerupai nilai, tradisi dan norma yang menjadi budaya organisasi, dan ada di dalam sebuah organisasi. Beberapa tahun terakhir orang banyak beranggapan bahwa strategi, struktur, dan sistem ialah fokus dan faktor yang menjadi pendorong kusuksesan organisasi. Namun berdasarkan Ouchi (1983) dan Key (1999) menyatakan bahwa kesuksesan organisasi justru terletak pada budaya organisasi yang mencakup nilai, tradisi, norma, yang direkat oleh kepercayaan, keakraban dan tanggung jawab yang memilih kesuksesan organisasi.Sedangkan berdasarkan Basri (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi sanggup dijadikan sebagai kekuatan organisasi apabila budaya organisasi tersebut dikelola dengan baik. Budaya ialah suatu hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat insan yang secara sadar maupun tidak, sanggup diterima sebagai suatu sikap yang beradab. Dikatakan membudaya bila kontinu, konvergen dan konsentris, (Depdiknas,2007). Lebih lanjut dijelaskan, Budaya sekolah ialah nilai-nilai mayoritas yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, menyerupai cara melakukan pekerjaan di sekolah serta perkiraan atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah, (Depdiknas,2007).
Berdasarkan pengertian diatas sanggup dipahami bahwa budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai sikap alami, yang dibuat oleh lingkungan yang membuat pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jikalau perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
3. Karakteristik Budaya Sekolah.
Menurut Dickson (2005:14) menjelaskan bahwa: “…Dalam praktik di lapangan, ada tiga model budaya sekolah, yang satu dengan yang lain sanggup dibedakan, tetapi adakala juga sering saling tumpang tindih”. Pertama, budaya sekolah birokratis (bureaucratic school culture). Model budaya sekolah ini antara lain ditunjukkan adanya budaya yang menekankan adanya petunjuk dari atasan. Kebijakan sekolah mengikuti kode dari atasan, dan oleh lantaran itu para guru lebih banyak mengikuti kode tersebut. Pendidik juga kurang sanggup berinteraksi dengan orang bau tanah siswa dan masyarakat, lantaran semua harus mengikuti peraturan dan ketentuan dari atasan. Kedua, budaya sekolah racun (toxic school culture). Dalam model ini, penerima dididik dipandang sebagai masalah ketimbang sebagai pihak yang harus dilayani. Bentuk-bentuk kekerasan guru terhadap siswa yang sering kita dengar akhir-akhir ini merupakan hasil dari budaya sekolah yang menyerupai ini. Sama dengan pada model budaya sekolah yang birokratis, budaya sekolah racun ini juga malah jarang mengatakan kesempatan kepada pendidik untuk mengatakan masukan terhadap upaya pemecahan masalah yang terjadi di sekolah. Ketiga, budaya sekolah kolegial (collegial school culture). Berbeda dengan kedua budaya sekolah sebelumnya, sekolah sangat mengatakan apresiasi dan rekognisi terhadap tugas dan santunan dari semua pihak. Kejujuran dan komunikasi antarwarga sekolah sanggup berlangsung secara efektif. Itulah sebabnya keterlibatan semua warga sekolah sangat dihargai dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Pendek kata, semua penyelenggaraan sekolah direncanakan, dilaksanakan secara demokratis, dalam suasana penuh kolegial.
Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebetulnya tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan hanya terletak pada jenis nilai mayoritas yang dikembangkannya dan karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stolp (2000:28) mengemukakan bahwa: “...the commonly held beliefs of teachers, students, and principals.”
Nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak sanggup dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang mempunyai tugas dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Lashway (2004, hlm.70) menjelaskan bahwa: “...Schools are moral institutions, designed to promote social norms,…”.
Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam. Schein (dalam Wijaya, 1992:43), menyatakan bahwa budaya ialah
a. Obeserved behavioral regularities; when people interact.(kateraturan- keteraturan sikap yang teramati dikala orang berinteraksi)
b. The norms; that’s envolveing in working group. (norma-norma yang berkembang dalam kelompok)
c. The dominant value responsed by organization.(nilai-nilai mayoritas yang didukung oleh organisasi)
d. The philosophy directing the organization (Filosofi yang mengarahkan kebijakan organisasi)
e. The rules of game for getting (Aturan permainan yang harus ditaati) dan
f. The organization climate.(Iklim organisasi)
Untuk sanggup mengelola budaya organisasi diharapkan pimpinan yang transformatif, memahami filosofi organisasi, bisa merumuskan visi, misi organisasi, dan menerapkannya melalui proses perencanaan organisasi. Dalam goresan pena ini akan diulas secara ringkas administrasi pendidikan dilihat dari perspektif nilai dan budaya organisasi, walaupun banyak hal yang bisa dilihat dari sudut padang berbeda. Pendekatan nilai dan budaya organisasi ini cenderung lebih mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.Organisasi forum pendidikan ialah suatu organisasi yang unik dan kompleks lantaran forum pendidikan tersebut merupakan suatu forum penyelenggara pendidikan. Tujuannya antara lain ialah menyiapkan penerima didik menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan akademik dan/atau profesional yang sanggup menerapkan, mengembangkan, memperkaya khanazah ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Demikian kompleksnya organisasi tersebut, maka dalam mengatakan layanan pendidikan kepada siswa khususnya dan masyarakat pada umumnya organisasi perlu dikelola dengan baik. Oleh lantaran itu forum pendidikan perlu menyadari adanya pergeseran dinamika internal (perkembangan dan perubahan peran) dan tuntutan eksternal yang semakin berkembang.
Menurut Jacques (1952) yang dikutip Hasri (2004), budaya organisasi didefinisikan sebagai berikut:
“the culture of the factory is its customary and traditional way of thinking and doing of things, which shared to a greater or lesser degree by all its member, and which new members must learn, and at least partially accept, in order to be accepted into service in the firm”
Sedangkan berdasarkan Manan (1989) ada tujuh karakteristik budaya dasar yang bersifat universal yaitu:
a. Kebudayaan itu dipelajari bukan bersifat instingtif
b. Kebudayaan itu ditanamkan
c. Kebudayaan itu bersifat gagasan (idetionall, kebiasaan-kebiasaan kelompok yang dikonsepsikan atau diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau pola perilaku
d. Kebudayaan itu hingga pada suatu tingkat memuaskan individu, memuaskan kebutuhan biologis dan kebutuhan lainnya
e. Kebudayaan itu bersifat integratif. Selalu ada tekanan ke arah konsistensi dalam setiap kebudayaan
f. Kebudayaan itu sanggup menyesuaikan diri.
Schein (1985) memberi definisi bahwa budaya organisasi ialah pola perkiraan dasar yang telah ditemukan suatu kelompok, ditentukan, dan dikembangkan melalui proses belajar untuk menghadapi masalah penyesuaian (adaptasi) kelompok eksternal dan integrasi kelompok internal. Pendapat lain wacana budaya organisasi menyatakan bahwa budaya organisasi mengacu pada suatu sistem pemaknaan bersama yang dianut oleh anggota organisasi dalam bentuk nilai, tradisi, keyakinan (belief), norma, dan cara berpikir unik yang membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya (Ouchi, 2001).Berdasarkan banyak sekali definisi di atas sanggup disimpulkan bahwa budaya organisasi di forum pendidikan ialah pemaknaan bersama seluruh anggota organisasi di suatu forum pendidikan yang berkaitan dengan nilai, keyakinan, tradisi dan cara berpikir unik yang dianutnya dan tampak dalam sikap mereka, sehingga membedakan antara forum pendidikan dengan forum pendidikan lainnya.
Terbentuknya sikap saling percaya bahwa kepercayaan yang diberikan oleh pimpinan kepada bawahan akan mengatakan daya rekat (social glue), tetapi ada beberapa karyawan yang tidak bisa mengemban amanah kepercayaan tersebut. Beberapa tiba tidak sempurna waktu, lantaran mereka beranggapan bahwa pimpinan mereka kurang layak menjadi pemimpin (tidak sanggup memimpin jalannya sidang/rapat). Keakraban di samping kepercayaan yang diberikan pimpinan kepada karyawan, keakraban sesama karyawan juga merupakan hal yang menonjol dalam forum pendidikan. Fakta menandakan bahwa pekerjaan yang tidak sanggup diselesaikan oleh seorang karyawan akan dibantu karyawan lain yang mempunyai kelonggaran waktu. Kejujuran dan Tanggung Jawab forum pendidikan yang berkyualitas menekankan perlunya kejujuran dan tangggung jawab. Tanggung jawab karyawan terhadap pekerjaannya terlihat dari kebersihan lingkungan, piket, ruangan kelas, dan ruangan perpustakaan.
Berkaitan dengan pembudayaan nilai-nilai ini Sudibyo (2008) menjelaskan bahwa pendidikan hakikatnya merupakan proses pelembagaan nilai-nilai budaya nasional, termasuk dalam hal ini ialah budaya daerah. Banyak nilai budaya lokal atau kawasan yang mempunyai keberlakuan secara nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa membangkitkan etos kerja juga berdimensi sosial ini selain kewirausahaan. Etos kerja yang melingkupi sikap positif terhadap pekerjaan antara lain menghargai setiap bentuk kerja halal, kerja keras, untuk meningkatkan taraf hidup, motif untuk maju, sikap rajin dan tekun dalam mengelola waktu, ingin bersaing secara sehat, ingin berprestasi, kreatif dan sebagainya. Schein,Edgar (2004) budaya organisasi terdiri dari tiga lapisan yaitu yang pertama, berkaitan dengan artefacs yang menyangkut semua fenomena yang terlihat. Hal ini mengacu kepada tingkatan atau bentuk organisasi seperti: struktur organisasi, lingkungan fisik organisasi dan produk-produk yang dihasilkan. Kedua berkaitan dengan Exspoused Values. Hal ini menyangkut nilai-nilai yang didukung yang terdiri dari strategi, tujuan, filosofi organisasi. Tingkat ini mempunyai arti penting dalam kepemimpinan, dan nilai-nilai ini harus ditanamkan pada diri setiap anggota organisasi. Ketiga, yang disebut dengan underlying assumption yang berkaitan dengan keyakinan, pemikiran dan keterikatan persaaan terhadap organisasi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Paramita (Ndraha, 2003 : 208) yang menyatakan bahwa budaya kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau aktivitas mental yang sanggup dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama insan yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat.Budaya merupakan ritual dan tradisi, norma dan nilai-nilai yang mempengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah. Budaya sekolah mempengaruhi apa yang menjadi kepedulian warga sekolah mengidentifikasikan dirinya dengan sekolah (komitmen), betapa sulitnya mereka bekerja (motivasi) dan sejauhmana mereka mencapai tujuan (produktivitas) mereka (Deal dan Peterson, 2009:7)
Robbins (2001, hlm. 510-511) mengemukakan ada 7 karakteristik primer yang secara tolong-menolong menangkap hakekat budaya suatu organisasi, yaitu :
(1)Innovation and risk taking. The degree to which employees are encouraged to be innovative and take risk.(2)Attention to detail.The degree to which employees are exhibit precision, analysis and attention to detail. (3) Outcome orientation. The degree to which managements focuses on results or out comes rather than on the techniques and processes used to achieve the outcomes.(4) People orientation.The degree to which managements decisions take into consideration the effectof ou comeson people within the organization.(5) team orietation.The degree to which work activities are organized around teams rather than individuals.(6)Aggressiveness. The degree to which work people are aggresive and competitive rather than easygoing.(7) Stability. The degree to which organizational activities emphasize maintaining the staus quo in contrast to growth.
Robbin menyebutkan ada tujuh hakekat budaya organisasi yaitu:
a. Inovasi dan pengambilan resiko, yaitu sejauh mana para karyawan didorong semoga inovatif dan berani mengambil resiko
b. Perhatian terhadap rincian, yaitu sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi ( kecermatan), analisis dan perhatian terhadap detail
c. Orientasi hasil, yaitu sejauh mana administrasi memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang dipakai untuk mencapai hasil tersebut
d. Orientasi orang, yaitu sejauh mana keputusan administrasi memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang yang ada di organisasi tersebut.
e. Orientasi tim, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim.
f. Keagresifan, yaitu sejauh mana orang dalam organisasi tersebut berangasan dan kompetitif; dan
g. Kemantapan, yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo .
Masing-masing karakteristik tersebut, berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Karena itu, menilai organisasi berdasarkan tujuh karakteristik, akan diperoleh citra beragam dari budaya. Gambaran tersebut menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan diselesaikan, dan cara anggota diharapkan berperilaku.
Sekolah mempertajam fokus sikap sehari-hari dan meningkatkan perhatian terhadap apa yang penting dan dihargai oleh seluruh warga sekolah. Jika norma-norma dan nilai-nilai menguatkan fokus tersebut maka sekolah akan memfokuskan diri pada hal itu, sebagai pola sebuah sekolah yang memfocuskan untuk melayani kebutuhan akademik semua siswa, sehingga sekolah itu akan mefokuskan : waktu, energi dan sumber daya lainnya terhadap kurikulum dan taktik pembelajaran yang membantu semua siswa, jikalau fokus terhadap pengembangan akademik tersebut terus berkembang maka budaya akademik tersebut sedang tumbuh dan berkembang. Sekolah membangun komitmen dengan cara mengidentifikasi nilai-nilai inti untuk menjadi miliknya. Sehingga dalam satu sekolah guru merasa sebagai anggota dari komunitas profesional dan bahkan dikala sekolah lain memperlihatkan honor yang lebih tinggi dan berpeluang memperoleh tempat gres yang lebih baik, mereka menolak pindah. Dengan demikian budaya diperoleh dengan membangun komitmen.
Budaya merupakan konstruksi sosial organisasi di mana kepemimpinan merupakan faktor penting, model kepemimpinan menyerupai : kepemim;pinan situasional dari Harsey Blanchard, & Johnson, autentik dari Luthan dan Avolio, berkelanjutan dari Hargraves Fink dan Primal dari Goleman, Boyatzis,Mckee (dalam Alloro, Louis J.,2008) merupakan kepemimpinan dalam perspektif social constructionism yang berpandangan bahwa realitas diciptakan melalui interaksi orang-orang dalam suatu kelompok. Sehingga budaya sekolah diciptakan oleh interaksi orang-orang dalam sekolah.
Banyak sekolah yang mempunyai seperangkat nilai-nilai yang kokoh sebagai penyangga kegiatan sehari-hari yang mewakili apa yang penting dan berusaha untuk mewujudkannya. Peterson, Kent D. dan Deal, Terrence E. (2009 : 13) mengemukakan sebagai bedrock of culture yaitu sumber spirit, impian dan bahkan ketakutan apabila tak bisa mencapainnya. Sumber tersebut ialah nilai, kepercayaan, normadan asumsi, dalam organisasi sekolah sumber impian tersebut dinyatakan dalam visi, misi dan tujuan sekolah. Dalam visi,misi dan tujuan sekolah terkandung makna :
a. Nilai (value) yang merupakan inti dari apa yang sekolah anggap penting.
b. Keyakinan yang merupakan pemahaman dunia di sekitar kita mengenai kebenaran dan realitas . dimana guru, siswa dan kepala sekolah mempunyai keyakinan wacana semua aspek yang dianggap berharga dalam organisasi.Misalnya keyakinan wacana tanggung jawab guru untuk membelajarkan siswa, mengenai kapasitas siswa, wacana etnis dan kelas sosial, perubahan dan inovasi.
c. Norma sebagai seperangkat impian kelompok dalam hal perilaku, pakaian, bahasa dan aspek lain dari kehidupan sosial.
d. Asumsi sebagai elemen kunci dari budaya.kadang-kadang dipandang sebagai pra-sistem keyakinan, persepsi, dan nilaiyang didasari sebagai sikap panduan. Asumsi mempengaruhi tindakan, pikiran dan perasaan.
Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com