Monday, August 21, 2017

√ Teori Belajar



TEORI BELAJAR


A.    LATAR BELAKANG
Belajar yakni suatu proses perubahan tingkah laris yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Belajar melibatkan proses mental dan emosional atau proses berpikir dan mencicipi dimana penerima didik dikatakan berguru kalau pikiran dan perasaannya aktif, oleh lantaran itu berguru merupakan suatu hal yang paling vital dalam setiap perjuangan penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan, sehingga tanpa proses berguru takkan pernah ada pendidikan.
Proses berguru itu terjadi secara internal dan bersifat pribadi dalam diri penerima didik. Belajar dan pembelajaran bekerjasama sangat erat lantaran pembelajaran merupakan suatu proses yang digunakan dalam belajar. Belajar dan pembelajaran juga terjadi secara gotong royong dan beriringan. Pembelajaran merupakan suatu aktifitas yang dengan sengaja untuk memodifikasi banyak sekali kondisi yang diarahkan pada tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan pendidikan.
Sebagai calon pendidik kelak yang tidak hanya difungsikan sebagai tenaga pengajar tetapi juga sebagai orang renta kedua dilingkungan sekolah, diharapkan sanggup memahami kondisi kejiwaan dan memahami karakteristik dari penerima didiknya. Serta mengetahui model pembelajaran yang dikuasai olah penerima didiknya. Beberapa teori berguru yang biasa digunakan dalam belajar, yaitu teori behavioristik, kontruktivistik, dan reenforcemen.
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat berguru sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami berguru sebagai kegiatan insan membangun atau membuat pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, lantaran setiap orang mempunyai bagan sendiri perihal apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan fasilitas untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu bagan yang baru.



B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang kasus diatas, penulis mengajukan beberapa rumusan kasus sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan teori belajar?
2.      Apa yang dimaksud dengan teori berguru behaviorisme?
3.      Apa yang dimaksud dengan teori berguru konstruktivisme?
4.      Apa perbedaan teori berguru behaviorisme dengan teori berguru konstruktivisme?
5.      Apa yang dimaksud dengan teori berguru reinforcement?

C.    TUJUAN MASALAH
Sejalan dengan rumusan kasus di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan :
1.      Teori belajar.
2.      Teori berguru behaviorisme.
3.      Teori berguru konstruktivisme.
4.      Perbedaan teori berguru behaviorisme dengan teori berguru konstruktivisme.
5.      Teori berguru reinforcement.

D.    MANFAAT PENULISAN MAKALAH
Makalah ini disusun dengan impian memperlihatkan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah  ini mempunyai kegunaan sebagai penengembangan  konsep penelitian tindakan kelas. Secara simpel makalah diharapkan bermanfaat bagi :
1.        Penulis, sebagai wahana penembahan pengetahuan dan konsep keilmuan khususnya perihal pengertian teori belajar.
2.        Pembaca  atau guru, sebagai media informasi perihal pengertian teori belajar.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    TEORI BELAJAR
Teori yakni serangkaian kepingan atau variable, definisi, dan dalil yang saling bekerjasama yang menghadirkan sebuat pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan korelasi antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Sedangkan berguru yakni proses internal yang kompleks. Hal ini lantaran melibatkan seluruh mental, menyerupai ranah kognitif, afektif, dam psikomotorik. Dari segi guru, proses berguru tersebut sanggup diamati secara langsung, artinya proses berguru yang merupakan proses internal siswa yang sanggup diamati dan dipahami oleh guru.
Kimble dalam Hergenhahn dan Olson (1993) mendefinisikan berguru sebagai “a relatively permanen change in behavioral potentiality that occurs as a result of reinforced practice.” Dimana belajar merupakan  perubahan yang relatif permanen dalam sikap atau potensi sikap yang merupakan hasil dan pengalaman dan tidak dicirikan oleh keadaan-keadaan diri yang sifatnya sementara menyerupai yang disebabkan oleh sakit, kelelahan atau obat-obatan”. Meskipun pengertian tersebut nampaknya telah menjadi kecenderungan terkenal yang bisa diterima umum, namun banyak sekali pihak yang menyatakan pengertian itu jauh dari bisa diterima secara universal. Teori berguru yang menjadi dasar upaya pendidikan banyak mempengaruhi kurikulum, metode berguru mengajar, manajemen pendidikan, prasarana dan sarana pendidikan, serta tuntutan kompetensi guru dan kepala sekolah. Oleh lantaran itu, teori berguru intinya merupakan titik sentral dan semua permasalahan pendidikan dan upaya melihat implikasi teori-teori berguru tersebut terhadap upaya pendidikan serta proses berguru motorik akan sangat bermanfaat.

B.     TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
1.      Konsep Dasar Teori Belajar Behaviorisme
Teori Belajar behaviorisme yakni teori berguru yang menekankan pada tingkah laris insan sebagai akhir dari interaksi antara stimulus dan respon. teori behaviorisme merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berubah menjadi aliran psikologi berguru yang besar lengan berkuasa terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behaviorisme. Aliran ini menekankan pada terbentuknya sikap yang tampak sebagai hasil belajar. 
Teori behaviorisme dengan model korelasi stimulus-responnya, mendudukkan orang yang berguru sebagai individu yang pasif. Respon atau sikap tertentu dengan memakai metode training atau pembiasaan semata. Munculnya sikap akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Seseorang dianggap telah berguru sesuatu kalau beliau sanggup memperlihatkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam berguru yang penting yakni input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.         
Stimulus yakni segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak sanggup diamati dan tidak sanggup diukur. Yang sanggup diamati yakni stimulus dan respon. Oleh lantaran itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) harus sanggup diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, lantaran pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah laris tersebut terjadi atau tidak.

2.      Teori Dalam Pandangan Behaviorisme
Teori berguru dalam pandangan behaviorisme ada tiga yaitu:
a.      Teori Pengkondisian Klasikal dari Pavlov
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) merupakan proses yang dikemukakan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang orisinil dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan jago lain sepertinya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah :
i.        Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun (contoh: makanan).
ii.      Stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah respon yang terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi (contoh : bunyi bel sebelum kuliner datang).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan memakai rangsangan-rangsangan tertentu, sikap insan sanggup berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan memakai hewan (anjing) lantaran ia menganggap hewan mempunyai kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki insan berbeda dengan binatang.Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor anjing.
Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum kuliner diperlihatkan, maka yang diperlihatkan yakni sinar merah terlebih dahulu, gres makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa kuliner maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan yakni rangsangan wajar, sedang sinar merah yakni rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut : Refleks Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun sanggup dilatih. Bectrev murid Pavlov memakai prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata ditemukan banyak refleks bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Melalui eksperimen tersebut Pavlov memperlihatkan bahwa berguru sanggup mempengaruhi sikap seseorang. Generalisasi, Deskriminasi, Pelemahan.
Faktor lain yang juga penting dalam teori berguru pengkondisian klasik Pavlov yakni generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.
                                   i.      Generalisasi
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara  yang menyerupai dengan bel, teladan bunyi peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus gres yang serupa dengan stimulus terkondisi orisinil untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang penerima didik merasa gugup ketika dikritik atas hasil ujian yang buruk pada mata pelajaran matematika. Ketika mempersiapkan ujian Fisika, penerima didik tersbut akan mencicipi gugup lantaran kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Makara kegugupan penerima didik tersebut hasil generalisasi dari melaksanakan ujian mata pelajaran satu kepada mata pelajaran lain yang mirip.
                                 ii.      Deskriminasi
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memperlihatkan kuliner kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, pesrta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa Indonesia dan sejarah lantaran keduanya merupakan subjek yang berbeda.
                               iii.      Pelemahan (extincition)
Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mngeluarkan air liur. Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat penerima didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya penerima didik pernah mendapat nilai ujian yang cantik dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk menyebarkan sikap yang menguntungkan terhadap peserta didik untuk termotivasi berguru dan membantu guru untuk melatih kebiasaan positif peserta didik.

b.      Teori Connetionisme Thorndike
Menurut Thorndike, berguru merupakan insiden terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Dalam eksperimennya, Thorndike memakai kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam kandang (puzzle box) tersebut diketahui bahwa supaya tercapai korelasi antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk menentukan respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari berguru yakni “trial and error learning or selecting and connecting learning” dan berlangsung berdasarkan hukum-hukum tertentu. Oleh lantaran itu teori berguru yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori berguru koneksionisme atau teori asosiasi. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum berguru sebagai berikut :
i.        Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laris tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
ii.      Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laris diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise yakni koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat lantaran latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hokum ini memperlihatkan bahwa prinsip utama dalam berguru yakni ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
iii.    Hukum akibat (law of effect), yaitu korelasi stimulus respon cenderung diperkuat bila hasilnya menyenangkan dan cenderung diperlemah kalau hasilnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akhir menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akhir tidak menyenangkan cenderung tidak boleh dan tidak akan diulangi. 
Selain tiga aturan di atas Thorndike juga menambahkan hokum lainnya dalam berguru yaitu Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response), Hukum Sikap (Set/Attitude), Hukum Aktifitas Berat Sebelah (Prepotency of Element), Hukum Respon by Analogy, dan Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting).



c.     Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner perihal berguru bisa mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia bisa menjelaskan konsep berguru secara sederhana dan sanggup memperlihatkan konsepnya perihal berguru secara komprehensif. Menurut Skinner, korelasi antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Oleh lantaran itu, untuk memahami tingkah laris seseorang secara benar perlu terlebih dahulu memahami korelasi antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan banyak sekali konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akhir dari respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan memakai perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laris hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang dipergunakan perlu klarifikasi lagi, demikian seterusnya. Dari semua pendukung teori behavioristik,teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran menyerupai Teaching Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep korelasi stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori berguru yang dikemukakan oleh Skinner.
i.        Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner, untuk memperkuat sikap atau menegaskan sikap dibutuhkan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.
a)      Penguatan positif (positive reninforcement) 
Didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat lantaran diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, sikap yang diharapkan akan meningkat lantaran diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh, penerima didik yang selalu rajin berguru sehingga mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan yakni rajin berguru sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan yakni pemberian sepeda.
b)      Penguatan negatif (negative reinforcement)
Didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat lantaran diikuti dengan suatu stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, sikap yang diharapkan akan meningkat lantaran diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik sering bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati guru sehingga penerima didik akan sering bertanya. Jadi, sikap yang ingin diulangi atau ditingkatkan adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan yakni kritikan guru sehingga penerima didik tidak aib dan akan sering bertanya lantaran guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
c)      Hukuman
Hukuman (punishmen) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu perilaku. Jadi, sikap yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang lantaran diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, penerima didik yang berperilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin dihilangkan yakni sikap mencontek dan balasan tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak menyenangkan atau hukuman).
Perbedaan antara penguatan negatif dan eksekusi terletak pada sikap yang ditimbulkan. Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (kritik) untuk meningkatkan sikap yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman, pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan sikap yang tidak diharapkan (perilaku mencontek).

         3.            Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik
a.      Kelebihan Teori Behavioristik
Kelebihan teori behaviorisme yakni sebagai berikut:
i.        Teori ini cocok diterapkan untuk melatih belum dewasa yang masih membutuhkan dominansi kiprah orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka menggandakan dan bahagia dengan bentuk-bentuk penghargaan eksklusif menyerupai diberi permen atau pujian.
ii.      Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
b.      Kelemahan Teori Behavioristik
Kelemahan teori behaviorisme yakni sebagai berikut:
i.        Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
ii.      Murid hanya mendengarkan dengan tertib klarifikasi guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara berguru yang efektif. Penggunaan eksekusi sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori skinner) baik eksekusi lisan maupun fisik menyerupai kata-kata kasar, ejekan,  jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa.

C.    TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
1.      Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat berguru sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami berguru sebagai kegiatan insan membangun atau membuat pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, lantaran setiap orang mempunyai bagan sendiri perihal apa yang diketahuinya.
Menurut Slavin (2006) teori konstruktivistik yakni teori yang menyatakan bahwa penerima didik secara individual harus menemukan dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi yang gres terhadap aturan-aturan informasi yang lama, dan merevisi aturan-aturan yang usang bila sudah tidak sesuai lagi. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan fasilitas untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu bagan yang baru. Proses asimilasi adalah peresapan informasi gres dalam pikiran. Sedangkan, fasilitas yakni menyusun kembali struktur pikiran lantaran adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman perihal berguru yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil berguru sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan taktik dalam berguru juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan taktik berguru akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan bagan berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan memakai pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
2.      Ragam Teori Konstruktivistik
a.      Konstruktivistik Kognitif
Ketidakpuasan terhadap behaviorisme yang fokus pada tingkah laris teramati telah membawa Jean Piaget untuk menyebarkan satu pendekatan berguru yang lebih menaruh perhatian pada “apa yang terjadi pada kepala anak”. Pengertian berguru berdasarkan konstruktivistik kognitif yakni proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan internal. Adapun konsep pokok Jean Piaget sebagai berikut:
i.        Equilibrium/Disequilibrium
Situasi ketidaktahuan atau konflik dalam diri individu yang disebabkan rasa ingin tahu, menimbulkan seseorang berada dalam ketidakseimbangan yang disebut disequilibrium. Manusia berusaha mengatasi kondisi disequilibrium yang tidak menyenangkan dengan bertanya, membaca, mendatangi kejadian, dan semacamnya biar tercipta kondisi equilibrium. Sehingga disequilibrium menjadi drive for equilibration atau menjadi dorongan/motivasi untuk bertindak.
ii.      Organisasi & Skema
Perlu diketahui bahwa apa yang dipelajari anak tidak masuk begitu saja kealam berpikir anak, atau dengan kata lain apa yang masuk, tidak tersimpan secara berserakan ke dalam otak. Apa yang masuk akan disusun sedemikian rupa biar berkaitan dengan kerangka berpikir yang dimilikinya yang disebut pengorganisasian.
Setiap struktur atau hirarki dari pengorganisasian semua pengetahuan yang dimiliki individu terdiri dari bagian-bagian yang saling bekerjasama dan membentuk kerangka struktur yang disebut skema. Dalam pembelajaran, tiap materi yang dipelajari sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman anak sebelumnya (skema) biar terkoneksi dengan struktur kognitif siswa.
iii.    Adaptasi : Asimilasi & Akomodasi
Terkadang ketika memperoleh pengalaman gres dan pada ketika bersamaan kita mengetahui bahwa pengalaman sebelumnya yang sudah dimiliki ternyata sudah tidak sesuai lagi. Proses penyesuaian bagan dengan pengalaman gres dalam upaya mempertahankan equilibrium disebut adaptasi.
Asimilasi yakni peresapan informasi gres dalam pikiran. Sedangkan fasilitas yakni proses mental yang mencakup pembentukan bagan gres yang cocok dengan rangsangan gres atau memodifikasi bagan yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Selain Piaget, ada tokoh konstruktivistik kognitif lain yakni Jerome Bruner dengan discovery learning (belajar penemuan) di mana siswa berguru dengan caranya sendiri untuk menemukan prinsip-prinsip dasar. Dalam discovery learning siswa didorong untuk berguru lebih jauh lagi berdasarkan caranya sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa mendapat pengalaman-pengalaman serta melaksanakan eksperimen.

b.      Konstruktivistik Sosial
Berbeda dengan konstruktivistik kognitif dimana anak cenderung lebih bebas mengkonstruk sendiri pengetahuannya dan  kiprah guru yang akhirnya kabur dan tidak terperinci sebagai pengajar. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga kiprah guru menjadi terperinci dalam membantu anak mencapai kemandirian. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial, dan kegiatan sosiakultural. Pengertian berguru berdasarkan konstruktivistik sosial yakni proses perubahan sikap yang terjadi sebagai akhir munculnya pemahaman gres yang dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi kepingan pribadi individu.
Menurut Santrock (2008) salah satu perkiraan penting dari konstruktivistik sosial adalah situated cognition yaitu inspirasi bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Makara idealnya, situasi pembelajaran diciptakan semirip mungkin dengan situasi dunia nyata.
Menurut Vygotsky dalam Slavin (2008) ada empat prinsip konstruktivistik sosial:
i.        Pembelajaran Sosial (social learning)
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai yakni pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa berguru melalui interaksi bersama dengan orang remaja atau sobat yang lebih cakap. Pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang terjadi ketika murid bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam belajar.
ii.      Zone of Proximal Development (ZPD)
Bahwa siswa akan mempelajari konsep-konsep dengan baik kalau berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD kalau siswa tidak sanggup memecahkan kasus sendiri, tetapi sanggup memecahkan kasus itu setelah mendapat pinjaman orang remaja atau temannya (peer). Bantuan atau support diberikan biar siswa bisa mengerjakan kiprah atau soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak.
Bila materi yang diberikan di luar ZPD maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, materi tersebut tidak menantang atau terlalu gampang untuk diselesaikan. Kedua, materi yang disajikan terlalu tinggi dibandingkan kemampuan awal sehingga anak kesulitan untuk menguasai apalagi menyelesaikannya, bahkan anak bisa mengalami frustasi.


iii.    Cognitive Apprenticeship
Yaitu proses yang digunakan seorang pelajar secara sedikit demi sedikit memperoleh keahlian melalui interaksi dengan pakar, bisa orang remaja atau sobat yang lebih tua/lebih pandai.  Pengajaran siswa yakni suatu bentuk masa magang/pelatihan. Awalnya, guru memberi teladan kepada siswa kemudian membantu murid mengerjakan kiprah tersebut. Guru mendorong siswa untuk melanjutkan tugasnya secara mandiri.
iv.    Pembelajaran Termediasi (Mediated Learning)
Vygostky menekankan pada scaffolding yaitu pinjaman yang diberikan oleh orang lain kepada anak untuk membantunya mencapai kemandirian. Siswa diberi  masalah  yang  kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi pinjaman secukupnya dalam memecahkan kasus siswa. Bantuan yang diberikan guru sanggup berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan kasus ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa sanggup mandiri.
Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
1)      Siswa mencapai keberhasilan dengan baik.
2)      Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan.
3)      Siswa gagal meraih keberhasilan.

Dari uraian di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial sebagai berikut:
Aspek
Konstruktivistik Kognitif
Konstruktivistik Sosial
Pengetahuan
Dibangun secara individual dan internal. Sistem pengetahuan secara aktif dibangun oleh pembelajar berdasarkan struktur yang sudah ada.
Dibangun dalam konteks sosial sebelum menjadi kepingan pribadi individu.
Pandangan terhadap interaksi
Menimbulkan disequilibration yang mendorong individu mengadaptasi skema-skema yang ada.
Meningkatkan pemahaman yang telah ada sebelumnya dari hasil interaksi.
Belajar
Proses asimilasi dan fasilitas aktif pengetahuan-pengetahuan gres ke dalam struktur kognitif yang sudah ada.
Integrasi siswa ke dalam komunitas pengetahuan. Kolaborasi informasi gres untuk meningkatkan pemahaman
Strategi belajar
Experience based & discovery oriented
Sharing & Cooperative learning
Peran guru
Minimal & lebih membiarkan siswa menemukan sendiri inspirasi sehingga posisi guru sebagai pengajar menjadi kabur
Penting dalam membantu (scaffolding) siswa mencapai kemandirian melalui interaksi sosial.

Adapun implikasi dari teori berguru konstruktivisme dalam pendidikan yakni sebagai berikut:
1)        Tujuan pendidikan berdasarkan teori berguru konstruktivisme yakni menghasilkan individu atau anak yang mempunyai kemampuan berfikir untuk menuntaskan setiap duduk kasus yang dihadapi.
2)        Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan sanggup dikonstruksi oleh penerima didik. Selain itu, latihan memecahkan kasus seringkali dilakukan melalui berguru kelompok dengan  menganalisis kasus dalam kehidupan sehari-hari.
3)        Peserta didik diharapkan selalu aktif dan sanggup menemukan cara berguru yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan sobat yang membuat situasi yang aman untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri penerima didik.

3.      Prinsip-prinsip Konstruktivistik dalam Pembelajaran
Menurut Hitipeuw (2009) prinsip-prinsip utama konstruktivistik dalam pembelajaran di kelas adalah :
a.       The best learning is situated learning. Pembelajar memecahkan masalah, menjalankan tugas, berguru materi gres dalam suatu konteks yang bermanfaat bagi pembelajar dan berkaitan dengan dunia nyata.
b.      Pembelajar dalam proses belajarnya mendapatkan scaffolding yang bisa tiba dari guru atau sobat dalam menyebarkan pemahaman atau keterampilan barunya. Di sini, konstruktivistik mendorong apprenticeship approach (cognitive apprenticeship), menunjukkan pada proses di mana seorang pembelajar memperoleh keahlian secara perlahan-lahan melalui interaksi dengan seorang ahli, apakah seorang remaja atau dua orang yang lebih maju darinya.
c.       Mengkaitkan semua kegiatan berguru ke dalam kiprah atau problema yang lebih besar. Tujuannya biar pembelajar sanggup melihat relevansi tujuan belajarnya yang spesifik dan kaitannya dengan kiprah yang lebih besar dan kompleks sehingga kelak mereka sanggup berfungsi lebih efektif dalam kehidupan nyata.
d.      Membantu pembelajar dalam menyebarkan rasa mempunyai atas semua kasus dan tugasnya. Makara bukan sekedar lulus tes.
e.       Mendesain kiprah yang autentik. Membuat tugas-tugas yang menantang kognitif siswa dalam berguru sains contohnya menyerupai layaknya ilmuwan. Problem atau kiprah bisa dinego dengan pembelajar biar sesuai dengan tuntutan kognitif dan sanggup mendorong rasa memiliki.
f.       Mendesain kiprah dan lingkungan berguru yang merefleksikan kompleksitas lingkungan yang kelak pembelajar diharapkan berfungsi di dalamnya.
g.      Memberi kesempatan bagi pembelajar untuk mempunyai dan menemukan solusi.
h.      Mendesain lingkungan pembelajar yang mendukung dan menantang pemikiran pembelajar. Di sini guru bertindak sebagai konsultan atau instruktur sesuai dengan konsep scaffolding zone of proximal development dari Vygotsky.
Selain prinsip di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
a.       Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan;
b.      Mengutamakan proses;
c.       Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial;
d.      Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

4.      Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
a.      Kelebihan :
i.        Pembelajaran konstruktivistik memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan memakai bahasa siswa sendiri.
ii.      Pembelajaran konstruktivistik memberi pengalaman yang bekerjasama dengan gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan perihal fenomena yang menantang siswa.
iii.    Pembelajaran konstruktivistik memberi siswa kesempatan untuk berpikir perihal pengalamannya. Ini sanggup mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi perihal model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada ketika yang tepat.
iv.    Pembelajaran konstruktivistik memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan gres biar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan memakai banyak sekali konteks.
v.      Pembelajaran konstruktivistik mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
vi.    Pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan lingkungan berguru yang aman yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu balasan yang benar.
b.      Kelemahan
i.        Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para jago sehingga menimbulkan miskonsepsi.
ii.      Konstruktivistik menanamkan biar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini niscaya membutuhkan waktu yang usang dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
iii.    Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, lantaran tidak semua sekolah mempunyai sarana prasarana yang sanggup membantu keaktifan dan kreativitas siswa.

D.    PERBEDAAN ANTARA TEORI BEHAVIORISTIK DENGAN TEORI KONSTRUKTIVISTIK
Sebelum membahas lebih jauh perihal teori berguru dan pembelajaran konstruktivistik maka lebih dahulu perlu disajikan perbandingan antara teori behavioristik dengan teori konstruktivistik mengingat keduanya mempunyai perbedaan yang cukup mendasar.

Aspek
Behavioristik
Konstruktivistik
Pengetahuan
Objektif, pasti, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi
Tidak objektif, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.
Belajar
Perolehan pengetahuan
Penyusunan pengetahuan dari pengalaman nyata, kegiatan kolaboratif, refleksi serta interpretasi
Mengajar
Pemindahan pengetahuan ke orang yang belajar
Penataan lingkungan biar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan
Pemahaman
Siswa diharapkan mempunyai pemahaman yangs sama terhadap pengetahuan yang diajarkan
Siswa akan mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman, dan persepektif yang digunakan dalam menginterpretasikannya
Mind
Men-jiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang sanggup dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
Sebagat alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik

E.     TEORI BELAJAR REINFORCEMENT
1.      Pengertian teori berguru reinforcement
Istilah reinforcement dalam dunia psikologi secara umum sering diartikan sebagai penguat sikap individu. Perilaku yang diberikan reinforcement sanggup berakibat diulanginya sikap atau dihentikannya perilaku. Sedangkan pengertian fundamental dari reinforcement yakni sebagai pengurangan kebutuhan biologis. Artinya suatu sikap yang telah dikenai reinforcement maka dianggap kebutuhan biologisnya telah terpenuhi. Sebagai teladan kuliner yang sanggup memuaskan rasa lapar atau air yang sanggup menuaskan rasa haus .


2.      Tokoh teori berguru reinforment
a.       Clark Leonard Hull dilahirkan di Akron, New York pada 24 Mei 1884. Ia dibesarkan di Michigan, (1943,1952) menyampaikan bahwa berkurangnya stimulus yang merupakan ciri kebutuhan biologis yakni yang sesungguhnya membentuk reinforcement. (Walker,1973). Penguat yang dimaksudkan oleh Hull di atas sanggup kita sebut sebagai penguat utama (Primary reinforcers) yaitu  penguat yang memengaruhi perilaku tanpa perlu belajar, seperti: makanan, minuman. Ini disebut penguat alami. Sedangkan penguat yang di luar pemenuhan kebutuhan biologis disebut dengan penguat skunder (Secondar reinforcers) yaitu penguat yang membutuhkan  tenaga penguat karena sudah diasosiasikan dengan penguat utama, menyerupai memuji seseorang. Pada prinsipnya penguat yang paling banyak mempengaruhi kehidupan yakni penguat skunder (yang terkondisikan). Sebagai teladan yang paling menonjol yaitu uang dan penghargaan. Walaupun uang sering digandengkan dengan penguat primer dimana uang dibutuhkan untuk membeli makanan, minuman, dan kenyamanan, namun penghargaan tetap bisa berdiri sendiri tanpa digandeng dengan penguat primer lantaran pemberian penghargaan sanggup mempertahankan dan meningkatkan kegiatan dan produktivitas individu.(Atkinson,).
b.      Burrhus Frederic Skinner yakni tokoh yang memperkenalkan teori berguru penguatan berkebangsaan Amerika (1938, 1948, 1953) menyampaikan bahwa setiap stimulus yang sanggup memungkinkan kenaikan dari suatu respon disebut sebagai suatu reinforcement. Jika suatu stimulus diketahui sanggup menjadi penguat pada suatu situasi, maka ia sanggup digunakan sebagi reinforcement pada sikap yang lain. (dalam Walker, 1973). Contohnya yakni pemberian penguat positif (hadiah) berupa uang pada atlit yang berprestasi sanggup juga diterapkan kepada siswa yang berprestasi.

3.      Penguatan  (Reinforcement) dan eksekusi (punishment)
Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang terpenting dalam berguru yakni adanya penguatan (reinforcement ) dan eksekusi (punishment).
a.      Penguatan (reinforcement )
1)   Reinforcement positif
Disebut reinforcement positif apabila suatu stimulus terentu (menyenangkan) ditunjukkan atau diberikan sehabis suatu perbuatan dilakukan. Misalnya, uang atau kebanggaan diberikan kepada seorang anak yang memperoleh nilai A pada mata pelajaran tertentu.
2)   Reinforcement negative
Dinamakan reinforcement negative apabila suatu stimulus tertentu (tidak menyenangkan) ditolak atau dihindari. Reinforcement negative memperkuat tingkah laris dengan cara menghindari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu menimbulkan seseorang menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bersangkutan cenderung mengulangi perbuatan yang sama apabila pada suatu ketika menghadapi situasi yang serupa. Misalnya, murid yang berungkali dipanggil menghadap Kepsek, pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu menjadi bertambah kuat lantaran beliau tetap saja melakukannya.
b.      Hukuman (punishment).
Reinforcement negative seringkali dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement selalu berupa memperkuat tingkah laku. Sebaliknya, eksekusi mengandung pengurangan atau pemfokusan tingkah laku.  Suatu perbuatan yang diikuti hukuman, kecil kemungkinannya diulangi lagi pada situasi-situasi yang serupa di ketika lain. Hukuman dibedakan menjadi dua:
ü  Presentation punishment
Terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukkan atau diberikan. Misalnya, guru memperlihatkan tugas-tugas suplemen lantaran kesalahan-kesalanan yang dibentuk murid.
ü  Removal punishment
Terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan. Misalnya belum dewasa tidak diperkenankan nonton tv selama seminggu sehingga tidak mau belajar.

4.      Tujuan pemberian reinforcement
Kebiasaan yang jarang sekali dilakukan oleh guru di dalam kelas yakni memperlihatkan reinforcement (penguatan) kepada siswa, jarang sekali kita mendengar guru menyampaikan “bagus” atau mengacungkan jempol kepada siswa yang berhasil menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Padahal salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki seorang guru yakni bisa membangkitkan motivasi berguru siswa dan reinforcement merupakan salah satu cara yang efektif untuk membangkitkan motivasi berguru siswa. Sumantri dan Permana (1999:274) menyebutkan beberapa tujuan yang bisa dicapai dari pemberian reinforcement yaitu :
a.         Membangkitkan motivasi berguru penerima didik,
b.         Merangsang penerima didik berpikir lebih baik,
c.         Menimbulkan perhatian perserta didik,
d.        Menumbuhkan kemampuan berinisiatif secara pribadi,
e.         Mengendalikan dan mengubah sikap negatif penerima didik dalam berguru ke arah sikap yang mendukung belajar.

5.      Manfaat reinforment dalam pembelajaran
Secara umum reinforcement bermanfaat bagi siswa lantaran akan meningkatkan motivasi berguru siswa dan motivasi berguru merupakan salah satu hal yang penting dalam berguru lantaran melalui motivasi maka seseorang akan mau untuk belajar. Bagaimana prosedur tumbuhnya motivasi akhir reinforcement ? Maslow pernah menyampaikan bahwa setiap insan mempunyai hirarkis kebutuhan dari mulai kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa mempunyai dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
Sebenarnya reinforcement yang guru berikan merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan dihargai, dicintai bahkan sebagai salah satu bentuk bahwa subjek berguru telah berhasil mengambarkan dirinya (aktualisasi diri), tentu saja ketika kebutuhan subjek berguru terpenuhi ini maka ia akan mencicipi kepuasan yang akan mendorongnya untuk kembali melaksanakan hal yang sama.
Pengalaman di dalam kelas ketika salah seorang siswa yang bandel diberikan reinforcement lantaran siswa tersebut secara kebetulan bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan, memperlihatkan sikap kebiasaan berbuat onar ketika jam pelajaran menjadi berkurang bahkan siswa tersebut berbalik menjadi siswa yang aktif berpartisipasi ketika pertanyaan di lontarkan kepada seluruh siswa di kelas.
Dari teladan di atas, selain untuk membangkitkan motivasi, reinforcement juga mempunyai kegunaan untuk mempertahankan sikap yang diinginkan dari subjek belajar. Dalam sejarah teori belajar, reinforcement digunakan hampir di setiap aliran teori belajar, teladan pada teori berguru behavioristik yang menekankan kepada stimulus dan respon, memakai reinforcement sebagai bentuk stimulus lanjutan untuk mempertahankan respon yang tepat, teori berguru psikologi humanistik juga menekankan pentingnya motivasi biar siswa bisa mengeluarkan potensi dalam dirinya.

6.      Situasi dalam memberikan reinforment
Namun perlu diingat bahwa reinforcement yang kita berikan haruslah diberikan dalam situasi dan waktu yang tepat biar bisa efektif, terdapat beberapa situasi yang cocok dalam memperlihatkan penguatan (Aunurrahman, 2009:130) yaitu :
a.         Pada ketika penerima didik menjawab pertanyaan, atau merespon stimulus guru atau penerima didik yang lain,
b.         Pada ketika penerima didik menuntaskan PR,
c.         Pada ketika penerima didik mengerjakan tugas-tugas latihan,
d.        Pada waktu perbaikan dan penyempurnaan tugas,
e.         Pada ketika penyelesaian tugas-tugas kelompok dan mandiri,
f.          Pada ketika membahas dan membagikan hasil-hasil latihan dan ulangan,
g.         Pada ketika situasi tertentu tatkala penerima didik mengikuti kegiatan secara sungguh-sungguh.
Apabila seseorang berguru sesuatu yang baru, akan lebih cepat kalau setiap responnya yang benar diberi reinforcement. Praktek menyerupai ini disebut reinforcement berkesinambungan. Tetapi setelah respon telah dikuasai, lebih baik diberikan reinforcement berselang-seling, yaitu memperlihatkan reinforcement yang tidak setiap kali diberikan, dengan alasan:
a.         Memberikan reinforcement kepada setiap respon yang benar itu akan memakan banyak waktu dan tidak praktis.
b.         Reinforcement berselang-seling membantu murid untuk tidak mengharap-harap reinforcement setiap saat.
Secara umum kita bisa menyampaikan bahwa reinforcement yang tepat diberikan dalam situasi ketika individu tengah melaksanakan kegiatan belajarnya.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    KESIMPULAN
Teori berguru yang menjadi dasar upaya pendidikan banyak mempengaruhi kurikulum, metode berguru mengajar, manajemen pendidikan, prasarana dan sarana pendidikan, serta tuntutan kompetensi guru dan kepala sekolah. Oleh lantaran itu, teori berguru intinya merupakan titik sentral dan semua permasalahan pendidikan dan upaya melihat implikasi teori-teori berguru tersebut terhadap upaya pendidikan serta proses berguru motorik akan sangat bermanfaat.
Teori behaviorisme dengan model korelasi stimulus-responnya, mendudukkan orang yang berguru sebagai individu yang pasif. Respon atau sikap tertentu dengan memakai metode training atau pembiasaan semata. Sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) harus sanggup diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, lantaran pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah laris tersebut terjadi atau tidak.
Teori berguru dalam pandangan behaviorisme ada tiga yaitu: Teori Pengkondisian Klasikal dari Pavlov, Teori Connetionisme Thorndike dan Teori Operant Conditioning dari B.F.Skinner. Teori behaviorisme cocok diterapkan untuk melatih belum dewasa yang masih membutuhkan dominansi kiprah orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka menggandakan dan bahagia dengan bentuk-bentuk penghargaan eksklusif menyerupai diberi permen atau pujian. Teori behaviorisme yakni pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat berguru sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami berguru sebagai kegiatan insan membangun atau membuat pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman perihal berguru yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Ragam Teori Konstruktivistik ada dua yaitu konstruktivistik kognitif dan konstruktivistik sosial. Pengertian berguru berdasarkan konstruktivistik kognitif yakni proses perubahan dalam struktur kognitif seorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat individual dan internal. Sebaliknya, konstruktivistik sosial yang dipelopori Vygotsky mengedepankan pengkonstruksian pengetahuan dalam konteks sosial sehingga kiprah guru menjadi terperinci dalam membantu anak mencapai kemandirian.
Dalam teori berguru konstruktivisme peserta didik diharapkan selalu aktif dan sanggup menemukan cara berguru yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan sobat yang membuat situasi yang aman untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri penerima didik.
Reinforcement secara umum sering diartikan sebagai penguat sikap individu. Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang terpenting dalam berguru yakni adanya penguatan (reinforcement ) dan eksekusi (punishment) yaitu : a.Penguatan (reinforcement ) dibedakan menjadi reinforcement positif apabila suatu stimulus terentu (menyenangkan) ditunjukkan atau diberikan sehabis suatu perbuatan dilakukan. Dan Reinforcement negative apabila suatu stimulus tertentu (tidak menyenangkan) ditolak atau dihindari. Reinforcement negative memperkuat tingkah laris dengan cara menghindari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu menimbulkan seseorang menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bersangkutan cenderung mengulangi perbuatan yang sama apabila pada suatu ketika menghadapi situasi yang serupa. b. Hukuman (punishment). dibedakan menjadi Presentation punishment Terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukkan atau diberikan. Misalnya, guru memperlihatkan tugas-tugas suplemen lantaran kesalahan-kesalanan yang dibentuk murid dan Removal punishment Terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan.
Tujuan pemberian reinforcement yaitu membangkitkan motivasi berguru penerima didik, merangsang penerima didik berpikir lebih baik, menimbulkan perhatian perserta didik, menumbuhkan kemampuan berinisiatif secara pribadi, mengendalikan dan mengubah sikap negatif penerima didik dalam berguru ke arah sikap yang mendukung belajar.
Secara umum reinforcement bermanfaat bagi siswa lantaran akan meningkatkan motivasi berguru siswa dan mempertahankan sikap yang diinginkan dari subjek belajar. Reinforcement yang kita berikan haruslah diberikan dalam situasi dan waktu yang tepat biar bisa efektif, yaitu  dalam situasi ketika individu tengah melaksanakan kegiatan .


B.     SARAN
Setelah penulis mempelajari dan menyusun makalah ini, penulis menyadari bahwa kenyataan dilapangan kadang tidak sesempurna teori yang diungkapkan. Banyak hal yang menjadi hambatan dalam penerapan teori ini. Namun penulis sangat berharap besar kelak teori ini sanggup digunakan dan dikembangkan oleh sekolah-sekolah mengingat besarnya manfaat dari penerapan konsep teori tersebut walaupun tidak seutuhnya.
Penulis sangat berharap para guru yang dijadikan ujung tombak dalam pendidikan sanggup menghargai siswanya menyerupai ia menghargai dirinya, memperlihatkan apa-apa yang terbaik bagi siswanya dan membimbing siswanya biar bisa menghadapi hari esok yang penuh rintangan. Juga impian biar bangsa ini sanggup lebih berkarya kalau siswanya sanggup berperan dalam pembangunan bangsa ini sebagai sumbangan dari pengalaman mengenyam pendidikan. Mungkin makalah ini jauh dari kata tepat namun ilmu yang terkandug didalamnya semoga sanggup bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman.(2009).Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Bell, Margareth E. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Davies, Ivon K. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Gredler, Margaret E. Bell. 1994. Belajar dan pembelajaran. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Hergenhahn, B.R. and Olson, Mathew H. (1993). An Introduction to Theories of Learning (4th Ed). Prentice Hall. New Jersey.
Hitipeuw, I. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Santrock, J. W. 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (terjemahan). Jakarta: Kencana.
Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice Eighth Edition. USA: Allyn Bacon.
Slavin, R. E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek Edisi Kedelapan (Jilid 2). Jakarta: PT Indeks.
Sumantri, Permana M (1999).Strategi Belajar Mengajar.Jakarta:Depdikbud Dirjen Dikti.





Sumber http://samplingkuliah.blogspot.com