Menjelang hari kartini,
" habis gelap terbitlah jelas "
[19/4 05.39]APK,ustadzSwithad,A9,Gersik.
*JEJAK KEISLAMAN KARTINI YANG BELUM BANYAK DIKETAHUI*
(sepenggal catatan menyambut Hari Kartini)
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
"Mengenai agamaku, Islam, saya harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan anutan agamanya dengan umat lain. Lagi pula, saya beragama Islam lantaran nenek moyangku Islam. Bagaimana saya sanggup menyayangi agamaku, kalau saya tidak mengerti dan dihentikan memahaminya?"
"Alquran terlalu suci; dihentikan diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, biar sanggup dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang berguru Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca".
"Aku pikir, ialah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh saya menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya".
"Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
"Dan waktu itu saya tidak mau lagi melaksanakan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, berguru menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa abnormal yang tidak saya mengerti artinya".
"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada saya apa artinya, nanti saya akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami dihentikan mengerti apa artinya".
Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, menceritakan pertemuan RA. Kartini dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat dan menuliskan kisah tsb sbb:
Takdir, berdasarkan Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam program pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.
Kyai Sholeh Darat memperlihatkan ceramah wacana tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.
Ini sanggup dipahami lantaran selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak sanggup mengelak, lantaran Kartini merengek-rengek menyerupai anak kecil. Berikut obrolan Kartini-Kyai Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang akil menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku gres kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, saya heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Alquran ialah bimbingan hidup senang dan sejahtera bagi manusia?”
Dialog berhenti hingga di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak sanggup berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melaksanakan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Setelah pertemuan itu, Kyai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado ijab kabul yang tidak sanggup dinilai manusia.
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh ialah Al Fatihah hingga Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah menerima terjemahan ayat-ayat berikut, lantaran Kyai Sholeh meninggal dunia.
Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini wacana Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban".
"Tidak sekali-kali kami hendak menyebabkan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan".
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki gambaran Islam, yang selama ini kerap menjadi target fitnah. Semoga kami menerima rahmat, sanggup bekerja menciptakan agama lain memandang Islam sebagai agama disun dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya memakai gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.
RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan ketika mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya lantaran dia bertanya wacana arti sebuah ayat Al-Qur’an. Ketika mengikuti pengajian Kiai Soleh Darat di pendopo Kabupaten Demak yang bupatinya ialah pamannya sendiri, RA Kartini sangat tertarik dengan Kiai Soleh Darat. Saat itu dia sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.
RA Kartini lantas meminta romo gurunya itu biar Al-Qur'an diterjemahkan. Karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Dan para ulama waktu juga mengharamkannya. Mbah Shaleh Darat menentang larangan ini. Karena undangan Kartini itu, dan panggilan untuk berdakwah, dia menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf Arab pegon sehingga tak dicurigai penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an itu diberi nama Faidh al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan abjad Arab. Jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim.
Kitab itu dihadiahkannya kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.
Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi semenjak hari ini ia menjadi terang-benderang hingga kepada makna tersiratnya, lantaran Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui kitab itu pula Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Yaitu Surat Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan, bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minadh-Dhulumaati ilan Nuur).
Kartini terkesan dengan kalimat Minadh-Dhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya lantaran ia mencicipi sendiri proses perubahan dirinya.
Kisah ini sahih, dinukil dari Prof KH Musa al-Mahfudz Yogyakarta, dari Kiai Muhammad Demak, menantu sekaligus staf andal Kiai Soleh Darat.
Dalam surat-suratnya kepada sobat Belanda-nya, JH Abendanon, Kartini aneka macam mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Sayangnya, istilah *“Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya sehabis diterjemahkan Armijn Pane dengan kalimat *“Habis Gelap Terbitlah Terang”*.
Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menyebabkan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut bekerjsama dipetik dari Al-Qur’an. Kata “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“ dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa insan dari kegelapan (jahiliyyah atau kebodohan) ke kawasan yang jelas benderang (petunjuk, hidayah atau kebenaran).
*"Selamat Hari Kartini"*